Anda di halaman 1dari 54

TUGAS RINGKASAN REGULASI

TENTANG KEFARMASIAN DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN

PKPA

DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA

Disusun oleh :

Nama : DESY TRIYANI

NPM : 202FF05003

PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
TAHUN
2021
1. PP NO. 72 THN 1998

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 72 TAHUN 1998
TENTANG
PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

 PERSYARATAN MUTU KEAMANAN DAN KEMANFAATAN


Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan yang dimaksud adalah untuk:
1. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan
dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh
Menteri;
2. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam
buku Materia Medika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;
3. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam
buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;
4. Alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.

 PRODUKSI
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha
yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa
obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
produksi sediaan farmasi yangberupa obat tradisional oleh perorangan diatur oleh
Menteri.
Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara
produksi yang baik. Cara produksi yangbaik ditetapkan oleh Mentri.
 PEREDARAN
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan
penyerahan. Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan
memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan
1. Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka
peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan
alat kesehatan.
2. Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka
peredaran, bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan
sediaan farmasi dan alat kesehatan.

 IZIN EDAR
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
memperoleh izin edar dari Menteri. Kecuali sediaan farmasi yang berupa obat
tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Izin edar sediaan farmasi dan alat
kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada Menteri.
Permohonan secara tertulis ini disertai dengan keterangan dan/atau data mengenai
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar
serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara permohonan izin edar diatur oleh Menteri.
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin
edar diuji dari segimutu, keamanan, dan kemanfaatan

 PENGUJIAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN


1. Pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan melalui:
a. pengujian laboratoris berkenaan dengan mutu sediaan farmasi dan alat
kesehatan;
b. penilaian atas keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
2. Tata cara pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan ditetapkan oleh
Menteri.
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang lulus dalam pengujian diberikan izin
edar. Izin edar yang diberikan dalam bentuk persetujuan pendaftaran. Sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang tidak lulus dalam pengujian diberikan surat keterangan yang
menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan tidak memenuhi
persyaratan untuk diedarkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin edar dan surat
keterangan diatur oleh Menteri.
Menteri menjaga kerahasiaan keterangan dan/atau data sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang disampaikan serta hasil pengujian sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 PENYALURAN
Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh:
a. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat
kesehatan;
b. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan
sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika.
Ketentuan ini dikecualikan bagi perorangan yang menyalurkan sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika dengan jumlah komoditi yang
terbatas dan/atau diperdagangkan secara langsung kepada masyarakat. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan diatur
oleh Menteri.
 PENYERAHAN
1. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk digunakan
dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.
2. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam
pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan:
a. resep dokter;
b. tanpa resep dokter.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan diatur olehMenteri.

PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT


KESEHATAN KEDALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA

 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan ke dalam dan


dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
 Pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat kesehatan ke dalam dan
dari wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah
memiliki izin sebagai importir dan/atau eksportir sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain izin sebagai importir
dan/atau eksportir, badan usaha harus memiliki izin Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memasukkan
dan mengeluarkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat ke dalam
dan dari wilayah Indonesia.
 Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan dapat memasukkan sediaan
farmasi dan alat kesehatan ke dalam wilayah Indonesia untuk kepentingan
ilmu pengetahuan. Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan ini
dilarang untuk mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia.
 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan dan dikeluarkan ke
dalam dan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan harus dilengkapi dengan
dokumen yang menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
bersangkutan telah lulus dalam pengujian dari segi mutu, keamanan, dan
kemanfaatan dari Instansi yang berwenang di negara asal atau Menteri.
Kelengkapan dokumen hasil pengujian menjadi tanggung jawab importir
dan/atau eksportir sediaan farmasi dan alat kesehatan.
 Setiap pengangkutan dalam rangka pemasukan dan pengeluaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan ke dalam dan dari wilayah Indonesia dilaksanakan
dengan memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat
kesehatan.
 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia untuk diedarkan harus memiliki izin edar dari Menteri. Tata cara
memperoleh izin edar bagi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan mengenai izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan.
 Terhadap sediaan farmasi yang berupa obat yang sangat dibutuhkan dalam
pelayanan kesehatan serta belum diproduksi di Indonesia, dapat dilakukan
pemasukan ke dalam wilayah Indonesia selain oleh importir sebagaimana.
Pemasukan sediaan farmasi yang berupa obathanya dapat dilakukan untuk:
a. Keadaan darurat;
b. Atas pertimbangan dari tenaga kesehatan yang berwenang dalam
pemberian pelayanan kesehatan;
c. jumlahnya terbatas sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
 Pemasukan sediaan farmasi yang berupa obat dilaksanakan dengan
memperhatikan persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Pelaksanaan
ketentuan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
KEMASAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN
 Pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan
menggunakan bahan kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia
dan/atau dapat mempengarui berubahnya persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan diatur oleh Menteri.
 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan kemasan yang
langsung bersentuhan dengan produk sediaan farmasi dan alat kesehatan,
dilarang untuk diedarkan.
 Sediaan farmasi dan alat kesehatan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
mengenai pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan

 PENANDAAN DAN IKLAN


Penandaan dan Informasi
Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk
melindungi masyarakat dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
tidak obyektif, tidak lengkap serta menyesatkan. Penandaan dan informasi
sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat berbentuk gambar, warna, tulisan atau
kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan pada
kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau merupakan bagian dari wadah
dan/atau kemasannya.

 SANKSI
Alkes
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2 ) butir
d
b. Mengedarkan sediaan farmasi danalat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal9. dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,-(seratus
empat puluh juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.

Obat
a. Dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan produk yang tdk
memenuhi persyaratan. Sangsi :pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 80 ayat(4) Undang-
UndangNomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
b. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9. dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus
empat puluh juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.
Obat Tradisional
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) huruf b;
b. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan
ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.

Kosmetik
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1) dan
ayat (2 )huruf
b. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan
ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.
LARANGAN
a. Memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa menerapkan cara
produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5;
b. Melakukan pengangkutan sediaan farmsi dan alat kesehatan dalam rangka
peredaran tanpa disertai dengan dokumen pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
c. Memasukan sediaan farmasi kedalam wilayah Indonesia tanpa dilengkapi
dengan dokumen yang menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang bersangkutan telah lulus dalam pengujian laboratories sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1);
d. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan
kemasan yang langsung bersentuhan dengan produksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1);
e. Mengiklankan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang penyerahannya
dilakukan berdasarkan resep dokter pada mediacetak selain yang ditentukan
dalam pasal 32; dipidana dengan denda sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
2. PMK NO. 12 THN 2017

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 12 TAHUN 2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN IMUNISASI

1. Bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya


diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya suatu penyakit melalui imunisasi;
2. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
3. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang
sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau
berupatoksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein
rekombinan, yang ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada
seseorangakan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit
tertentu.
4. Imunisasi Program adalah imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang sebagai
bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan
masyarakat sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
5. Imunisasi Pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai
dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit
tertentu
6. Cold Chain adalah system pengelolaan Vaksin yang dimaksudkan untuk
memelihara dan menjamin mutu Vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik
pembuat Vaksin sampai padasasaran.
7. Imunisasi Program terdiri atas:
a. Imunisasi rutin; = imunisasi dasar dan lanjutan
b. Imunisasi tambahan; dan
c. Imunisasi khusus.
8. Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Imunisasi
terhadap penyakit:
a. hepatitis B;
b. poliomyelitis;
c. tuberkulosis;
d. difteri;
e. pertusis;
f. tetanus;
g. pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe
b (Hib); dan
h. campak.
9. Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada:
a. Anak usia bawah dua tahun (Baduta); = campak, pneumoni, difteri, tetanus,
hepatitis meningitis.
b. Anak usia sekolah dasar; = diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah
c. Wanita usia subur (WUS) = tetanus, difteri.
Tabel 3.JadwalImunisasi
Lanjutan pada Anak Usia Imunisasi Waktu Pelaksanaan
Sekolah Dasar Sasaran
Kelas 1 SD Campak Agustus
DT November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 5 SD Td November

10. Imunisasi tambahan merupakan jenis Imunisasi tertentu yang diberikan pada
kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan
kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
11. Imunisasi khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu.
12. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan Imunisasi Program.
13. Penyelenggaraan Imunisasi Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. perencanaan;
b. penyediaan dan distribusi logistik;
c. penyimpanan dan pemeliharaan logistik;
d. penyediaan tenaga pengelola;
e. pelaksanaan pelayanan;
f. pengelolaan limbah; dan
g. pemantauan dan evaluasi.
14. Untuk menjaga kualitas, Vaksin harus disimpan pada tempat dengan kendali suhu
tertentu.
15. Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diperuntukkan khusus menyimpan Vaksin saja.
16. Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung
jawab dalam penyediaan tenaga pengelola untuk penyelenggaraan Imunisasi
Program di wilayahnya masing-masing. = pengelola program danpengelola
logistic, sudah bersertifikat.
17. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
Imunisasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala
serta berjenjang kepada Menteri melalui dinas kesehatan provinsi dan dinas
kesehatan kabupaten/kota.
18. Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cakupan
Imunisasi, stok dan pemakaian Vaksin, ADS, Safety Box, monitoring suhu,
kondisi peralatan Cold Chain, dan kasus KIPI ataudiduga KIPI.
19. Pencatatan pelayanan Imunisasi tambahan dan khusus dicatat dan dilaporkan
dengan format khusus secara berjenjang kepada Menteri melalui dinas kesehatan
Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
3. PMK NO. 74 THN 2016

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang
berhubungan dengan peningkatan mutu kehidupan pasien. Puskesmas merupakan
unit pelaksana teknisyang menyelenggarakan upaya kesehatan mulai dari
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok


Puskesmas, yaitu:
a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
b. pusat pemberdayaan masyarakat
c. pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.

PASAL 3 : Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan,


yaitu :
1. Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan
evaluasi (PASAL 3 AYAT 2).
2. Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
BMHP.

PASAL 3 AYAT 3 : Pelayanan farmasi klinik meliputi:


1. Pengkajian dan pelayanan Resep

2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

3. Konseling

4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)

5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

PASAL 4 AYAT 1 : Sumber Daya Kefarmasian di Puskesmas


Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung jawab, yang
dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan. Rasio untuk
menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas bila memungkinkan diupayakan 1 (satu)
Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari.

PASAL 5 : Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


Pengendalian mutu merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya
masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan
pengobatan
/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient
safety).

 Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:


1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerjasama.

3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya, respon


dan tingkat pendidikan masyarakat.

 Kegiatan Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi


1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi
untuk peningkatan mutu sesuai standar.

2. Pelaksanaan, yaitu: Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana


kerja dan memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.

3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu: melakukan perbaikan kualitas


pelayanan dan meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah
memuaskan.

Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung


untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan.
Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses.
Contoh: monitoring pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat, monitoring
kinerja tenaga kefarmasian.
Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang diperoleh melalui
metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.

 Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:


1. Retrospektif  Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan.
Contoh: survey kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
2. Prospektif  Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan
pelayanan. Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu
pelayanan kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
 Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:
1. Langsung (data primer)  Data diperoleh secara langsung dari sumber
informasi oleh pengambil data. Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap
kualitas pelayanan kefarmasian.
2. Tidak Langsung (data sekunder)  Data diperoleh dari sumber informasi
yang tidak langsung. Contoh: catatan penggunaan Obat, rekap itulasi data
pengeluaran Obat.

 Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:


1. Survei  Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Contoh:
survey kepuasan pelanggan.
2. Observasi  Pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan
menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan konseling
pasien.

 Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:


1. Audit  Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan
dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan
menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki dan
dengan menyempurnakan kinerja tersebut.
Secara sistematis terdapat 2 macam audit, yaitu:
a. Audit Klinis  analisis kritis sistematis terhadap pelayanan
kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan untuk pelayanan,
penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup pasien.
Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti.
b. Audit Profesional  analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh seluruh
tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati,
penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh. Contoh: audit
pelaksanaan sistem manajemen mutu.
2. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan
pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengans tandar. Contoh: kajian
penggunaan antibiotik.
4. PMK NO. 75 THN 2014

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 75 TAHUN 2014
TENTANG
PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT

1. Bahwa pusat kesehatan masyarakat sebagai salah jenis falsilitas pelayanan


kesehatan tingkat pertama memiliki peranan penting dalam sistim kesehatan
nasional, khususnya subsistem upaya kesehatan.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau masyarakat.
3. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
4. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah satuan kerja pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam bidang kesehatan di kabupaten/kota.
5. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
6. Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang diberikan
oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh
Menteri setelah dinilai bahwa Puskesmas telah memenuhi standar pelayanan
Puskesmas yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk meningkatkan mutu
pelayanan Puskesmas secara berkesinambungan
7. Sistem Rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik
baik vertikal maupun horizontal.
8. Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diberikan oleh Puskesmas kepada
masyarakat, mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pencatatan,
pelaporan, dan dituangkan dalam suatu sistem.
9. Sistem Informasi Puskesmas adalah suatu tatanan yang menyediakan
informasi untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam
melaksanakan manajemen Puskesmas dalam mencapai sasaran kegiatannya.
10. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat
b. mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
11. Prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi:
a. paradigma sehat
b. pertanggung jawaban wilayah
c. kemandirian masyarakat
d. pemerataan
e. teknologi tepat guna; dan
f. keterpaduan dan kesinambungan
12. Dalam menyelenggarakan fungsi Puskesmas berwenang untuk:
a. melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
c. melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang kesehatan
d. menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait
e. melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat
f. melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas
g. memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
h. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,
dan cakupan Pelayanan Kesehatan
i. memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat,
termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon
penanggulangan penyakit
13. Lokasi pendirian Puskesmas harus memenuhi persyaratan:
a. geografis
b. aksesibilitas untuk jalur transportasi
c. kontur tanah
d. fasilitas parkir
e. fasilitas keamanan
f. ketersediaan utilitas publik
g. pengelolaan kesehatan lingkungan
h. kondisi lainnya.
14. Puskesmas harus memiliki prasarana yang berfungsi paling sedikit terdiri atas:
a. sistem penghawaan (ventilasi)
b. sistem pencahayaan
c. sistem sanitasi
d. sistem kelistrikan
e. sistem komunikasi
f. sistem gas medik
g. sistem proteksi petir
h. sistem proteksi kebakaran
i. sistem pengendalian kebisingan
j. sistem transportasi vertikal untuk bangunan lebih dari 1 (satu) lantai
k. kendaraan Puskesmas keliling
l. kendaraan ambulans.
15. Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati
hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan
memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja
16. Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin
praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Berdasarkan kemampuan penyelenggaraan puskesmas dikategorikan menjadi:
a. Puskesmas non rawat inap
b. Puskesmas rawat inap
18. Puskesmas non rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah Puskesmas yang tidak menyelenggarakan pelayanan rawat inap,
kecuali pertolongan persalinan normal.
19. Puskesmas rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
Puskesmas yang diberi tambahan sumber daya untuk meenyelenggarakan
pelayanan rawat inap, sesuai pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.
20. Setiap Puskesmas wajib melakukan kegiatan sistem informasi Puskesmas.
21. Sistem informasi Puskesmas paling sedikit mencakup:
a. pencatatan dan pelaporan kegiatan Puskesmas dan jaringannya
b. survei lapangan;
c. laporan lintas sektor terkait; dan
d. laporan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya.
5. PMK NO.75 THN 2016

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 75 TAHUN 2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT PADA INSTALASI FARMASI
PEMERINTAH

1. bahwa untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh obat
yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat dan mutu
pada instalasi farmasi pemerintah, perlu dilakukan pengujian terhadap mutu
obat secara berkala;
2. Instalasi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat penyimpanan dan
penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam rangka pelayanan
kesehatan.
3. Sampel adalah sejumlah obat yang diambil sesuai dengan tujuan dan prosedur
pengambilan Sampel yang ditetapkan.
4. Uji Mutu adalah pengujian laboratorium yang dilakukan untuk membuktikan
mutu obat selalu konsisten memenuhi standar dan persyaratan
5. BPOM adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas
untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
6. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang
bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
7. Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
9. Pengaturan penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah
bertujuan untuk mendukung pemastian mutu obat yang diadakan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
10. Penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah dilakukan
oleh BPOM melalui kegiatan:
a. pengambilan Sampel
b. uji laboratorium
c. pelaporan hasil uji.
11. Obat yang dijadikan Sampel meliputi semua jenis obat terutama obat yang
tercantum dalam formularium nasional dan obat program kesehatan.
12. Setiap pengambilan Sampel harus dibuat Berita Acara Pengambilan Sampel
(BAP), Berita Acara Serah Terima (BAST), dan Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) yang ditandatangani oleh petugas BPOM atau Balai Besar/Balai
POM dan penanggung jawab Instalasi Farmasi Pemerintah dengan
menggunakan contoh Formulir 1, Formulir 2, dan Formulir 3 terlampir.
13. Hasil pelaksanaan uji mutu obat terdiri atas:
a. Memenuhi Syarat (MS)
b. Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
14. Hasil pelaksanaan uji mutu obat, disampaikan kepada:
a. Direktur Jenderal untuk Sampel obat yang diambil pada Instalasi Farmasi
Pemerintah milik kementerian kesehatan
b. kepala dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal untuk Sampel yang diambil di Instalasi Farmasi
Pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
15. Penyampaian hasil pelaksanaan uji mutu obat , disampaikan dengan
ketentuan:
a. secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk hasil uji mutu obat memenuhi
syarat (MS); dan
b. paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditetapkan hasil uji mutu obat
tidak memenuhi syarat (TMS).
16. Terhadap hasil pelaksanaan uji mutu obat tidak memenuhi syarat (TMS),
dilakukan penarikan dan pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
17. Perintah penarikan dan pemusnahan disampaikan kepada industri farmasi
dengan tembusan Direktur Jenderal atau kepala dinas kesehatan
provinsi/kabupaten/kota.
18. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, Kepala BPOM, kepala dinas kesehatan provinsi, dan
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing.
19. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 33 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Uji Mutu Obat pada Instalasi
Farmasi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
20. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
6. UU NO. 5 THN 1997

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 1997
TENTANG
PSIKOTROPIKA

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
Dalam UU no. 5 disebutkan bahwa psikotropika terbagi menjadi: Golongan I,
golongan II, golongan III, dan golongan IV. Dalampasal 3 disebutkan tujuan
pengaturan di bidang psikotropika adalah:
1. Menjamin ketersediaan psikotropika untuk pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika
Dalam pasal 4 psikotropika hanya dapat digunakan dalam pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan (golongan I), golongan I dinyatakan sebagai barang
terlarang karena dapat menimbulkan penyalahgunaan. Psikotropika dalam pasal 5
hanya dapat diproduksi oleh pabrik yang telah memiliki izin.
Tindakan administratif, dapat berupa:
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Penghentian sementara kegiatan
4. Denda administratif
5. Pencabutan izin praktek.
Macam-macam psikotropika:
1. Psikotropika golongan I : Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang
hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalamterapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
2. Psikotropika golongan II: Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III: Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
4. Psikotropika golongan IV: Psikotropika golongan IV adalah psikotropika
yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan.

 Penyaluran Psikotropika
Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang
besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Psikotropika
golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi
kepada Lembaga penelitian/Pendidikan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

 Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan golongan I dilakukan paling lambat 7 hari setelah penyitaan,
pemusnahan wajib dibuat berita acara.

 Sanksi Psikotropika
Sanksi psikotropika berkisar denda dari 20 juta sampai 5 milyar dengan
pidana penjara berkisar 3 bulan – 20 tahun sesuai dengan sanksi-sanksi yang
dilanggar baik pemakai, penyalur, ekspor-impor, dan pelabelan psikotropika.
Nama-nama Psikotropika
No. Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV
1. Boram fetamina Amfetamina Amobarbital Allobarbital
2. Etisiklidina Deksamfetamina Buprenofrina Alprazolam
3. Etriptamina Fenetilina Butalbital Amfepramone
4. Mekatinona Metamfetamina Flunitrazepam Bromazepam
5. Psilosibina metilfenidat Pentazosina Brotizolam
6. Tenamfetamine Zipeprol Katina Diazepam
7. tenoksilidina Secobarbital Glutetimida Estazolam
8. Pentobarbital Tetrazepam
9. siklobarbital Triazolam
10. Midazolam
11. Klobazam
12. Metiprilon
7. UU NO. 35 THN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III.
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses
produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami
maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat.
Penyaluran narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang
besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi yang sudah memiliki izin
khusus penyaluran Narkotika dari Menteri. Narkotika Golongan I hanya dapat
disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik
dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, dapat berbentuk tulisan,
gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada
kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian
dari wadah, dan/atau kemasannya.
Pengawasan narkotika meliputi :
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan
d. produksi
e. impor dan ekspor
f. peredaran
g. pelabelan
h. informasi
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketentuan pidana :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman,narkotika golongan II dan Narkotika golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Nama-nama obat Narkotika berdasarkan golongan :
NO. Golongan I Golongan II Golongan III
1. Opium Allilprodina Asetildihidrokodeina
2. Tanaman koka Anileridina Dekstropropoksifena
3. Tanaman ganja Benzetidin Dihidrokodeina
4. Heroina Benzilmorfina Etilmorfina
5. etorfina Betameprodina . Kodeina
6. ketobemidona Betametadol Nikodikodina
7. Betaprodina Nikokodina
8. Betasetilmetadol Norkodeina
9. Bezitramida Polkodina
10. Diampromida Propiram
11. Dietiltiambutena Buprenorfina
12. Difenoksin Dll.
13. Metadona
14. Morfin
15. Dll
8. PMK NO. 30 THN 2014

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 63 TAHUN 2014
TENTANG
PENGADAAN OBAT BERDASARKAN KATALOG ELEKTRONIK
(E-CATALOGUE)

Katalog elektronik (e-catalogue) adalah sistem informasi elektronik yang


memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai
penyedia barang/jasa pemerintah. Sedangkan, E-Purchasing adalah tata cara
pembelian barang/jasa melalui sistem E-catalogue.
Tujuan pengadaan berdasarkan E-catalogue:
1. Menjamin transparansi/keterbukaan
2. Lebih efektif dan efisien dalam proses pengadaan obat yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan
Dalam hal pengadaan, seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik pusat
maupun daerah dan FKTP (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) dan FKTP
(Fasilitas Kesehatan Rujukan Pertama) pemerintahan apabila terdapat kendala
operasional dalam aplikasi, pembelian dapat dilakukan secara manual/ langsung
kepada industri farmasi yang sudah tercantum dalam E-catalogue.
PBF yang ditunjuk oleh industry farmasi yang tercantum dalam E-catalogue
wajib memenuhi persyaratan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL swasta yang
bekerjasama dengan BPJS kesehatan dalam rangka pengadaan obat. Industri farmasi
yang tercantum dalam E-catalogue wajibmelaporkan realisasi pemenuhan permintaan
obat dari FKTP atau FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan yang telah
dilakukan oleh PBF yang ditunjuk kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan.
Pengadaan obat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan
(Pokja ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan Kerja berdasarkan perintah dari Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun
Daerah dan FKTP atau FKRTL.
Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-Purchasing adalah
sebagai berikut:
1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi E-
Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat yang diberikan oleh PPK. Paket
pembelian obat dikelompokkan berdasarkan penyedia.
2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian
obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam kelompok
paket pengadaan sesuai angka 1.
3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian obat
melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan
persetujuan atas permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/PBF.
Apabila menyetujui, penyedia obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan
pembelian kepada distributor/PBF untuk ditindaklanjuti. Apabila menolak,
penyedia obat/Industri Farmasi harus menyampaikan alasan penolakan.
4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja
ULP/Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal
permintaan pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri
Farmasi, maka ULP melakukan metode pengadaan lainnya sesuai Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
2012.
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah
disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri
Farmasi.
6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi
perjanjian/kontrak jual beli.
7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi riwayat
pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing
8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh
penyedia obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan Sistem Katalog,
tembusan kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q
Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari
kerja
Dalam hal pengadaan, seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik pusat
maupun daerah dan FKTP (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) dan FKTP
(Fasilitas Kesehatan Rujukan Pertama) pemerintahan apabila terdapat kendala
operasional dalam aplikasi, pembelian dapat dilakukan secara manual/ langsung
kepada industri farmasi yang sudah tercantum dalam E-catalogue.
PBF yang ditunjuk oleh industry farmasi yang tercantum dalam E-catalogue
wajib memenuhi persyaratan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL swasta yang
bekerjasama dengan BPJS kesehatan dalam rangka pengadaan obat. Industri farmasi
yang tercantum dalam E-catalogue wajibmelaporkan realisasi pemenuhan permintaan
obat dari FKTP atau FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan yang telah
dilakukan oleh PBF yang ditunjuk kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan.
9. UU NO. 36 THN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual


maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan
berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan kesehatan bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas
pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pemerintah mengatur perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pengadaan dan
peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan
pelayanan kesehatan. Penempatan tenaga kesehatan dilakukan dengan tetap
memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang merata. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan
mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan dilakukan dengan
memperhatikan :
1. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
2. Jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
3. Jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan
yang ada.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan harus
memiliki kualifikasi minimum diatur dengan Peraturan Menteri. Tenaga
kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan Kesehatan dilakukan
sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan,
menurut jenis pelayanannya terdiri atas : pelayanan kesehatan perseorangan
(ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan dan keluarga) dan pelayanan kesehatan masyarakat (ditujukan
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu
kelompok dan masyarakat). Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi : pelayanan
kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua dan pelayanan
kesehatan tingkat ketiga. Persyaratan dan perizinan fasilitas pelayanan
kesehatan dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta
ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas
pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya. Penentuan
jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah
daerah dengan mempertimbangkan:
1. Luas wilayah;
2. Kebutuhan kesehatan;
3. Jumlah dan persebaran penduduk;
4. Pola penyakit;
5. Pemanfaatannya;
6. Fungsi sosial; dan
7. Kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus
tersedia bagi kepentingan masyarakat. Daftar dan jenis obat ditinjau dan
disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi. Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan
kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
Ketentuan mengenai keadaan darurat dilakukan dengan mengadakan
pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang mengatur paten. Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang
termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan
keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh
Pemerintah. Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan
perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan
permasalahan kesehatan manusia. Dalam mengembangkan teknologi dapat
dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau
hewan. Uji coba ilakukan dengan jaminan tidak merugikan manusia yang
dijadikan uji coba. Uji coba dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan
persetujuan orang yang dijadikan uji coba. Penelitian terhadap hewan harus
dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak
buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia. Setiap orang dilarang
mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh
dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Upaya kesehatan
diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan melalui
kegiatan :
1. Pelayanan kesehatan;
2. Pelayanan kesehatan tradisional;
3. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
4. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
5. Kesehatan reproduksi;
6. Keluarga berencana;
7. Kesehatan sekolah;
8. Kesehatan olahraga;
9. Pelayanan kesehatan pada bencana;
10. Pelayanan darah;
11. Kesehatan gigi dan mulut;
12. Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
13. Kesehatan matra;
14. Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
15. Pengamanan makanan dan minuman;
16. Pengamanan zat adiktif; dan/atau
17. Bedah mayat.
Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial,
nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi. Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan
upaya Kesehatan sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar
masyarakat. Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan dilakukan
berdasarkan pengkajian dan penelitian dilaksanakan melalui kerja sama antar-
Pemerintah dan antarlintas sektor.
Perlindungan Pasien dimana setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap. Hak menerima atau menolak tidak berlaku pada
penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas, keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
gangguan mental berat. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan
pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan
Kesehatan tidak berlaku dalam hal : perintah undang-undang, perintah
pengadilan, izin yang bersangkutan, kepentingan masyarakat atau kepentingan
orang tersebut.
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan
nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah sehingga
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun
temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat sehingga dibina dan diawasi
oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya
serta tidak bertentangan dengan norma agama. Berdasarkan cara
pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk
mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan
informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit. Pemerintah
dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk
mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit
dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat. Penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
perawatan. Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan
berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya. Pelaksanaan
pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu. Pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan
dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan
yang bersifat promosi Kesehatan. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu
kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan
kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan
kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi
lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang
diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sediaan farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Alat kesehatan adalah
instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan
penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
khasiat/kemanfaatan. Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu
sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta
mengurangi angka kematian ibu. Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal; dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan pada fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak
harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat,
cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.
Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam
kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan
belas) tahun.
Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk
mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial
maupun ekonomi. Upaya pemeliharaan kesehatan remaja termasuk untuk
reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan
yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara
sehat. Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk
menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis
sesuai dengan martabat kemanusiaan. Upaya pemeliharaan kesehatan
penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat. Peningkatan mutu gizi dilakukan melalui : a.
perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; b.
perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; c. peningkatan
akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan
teknologi; dan d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya penyembuhan
penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi
penderita. Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan
fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan
jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular. Upaya pencegahan,
pengendalian, dan penanganan penyakit menular) dilakukan melalui kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
Pengendalian sumber penyakit menular dilakukan terhadap lingkungan dan atau
orang dan sumber penularan lainnya.
Upaya meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku
sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkan dapat dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif bagi individu atau masyarakat. Pengendalian penyakit tidak
menular dilakukan dengan pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit,
dan surveilan kematian. Kegiatan tersebut bertujuan memperoleh informasi
yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian penyakit tidak menular dan dilakukan melalui kerja sama lintas
sektor dan dengan membentuk jejaring, baik nasional maupun internasional.
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya. Lingkungan sehat bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan
gangguan kesehatan, antara lain:
1. Limbah cair;
2. Limbah padat;
3. Limbah gas;
4. Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
pemerintah;
5. Binatang pembawa penyakit;
6. Zat kimia yang berbahaya;
7. Kebisingan yang melebihi ambang batas;
8. Radiasi sinar pengion dan non pengion;
9. Air yang tercemar;
10. Udara yang tercemar; dan
11. Makanan yang terkontaminasi.
Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi
kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan dilakukan
secara berjenjang di pusat dan daerah sehingga dibuat dalam suatu sistem
kesehatan nasional.
10. PP NO. 16 THN 2018

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 2018
TENTANG
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan


Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang
prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.

 Pengadaan Barang/Jasa dalam Peraturan Presiden ini meliputi:


a. Barang;
b. Pekerjaan Konstruksi;
c. Jasa Konsultansi; dan
d. Jasa Lainnya.

 Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dilaksanakan dengan cara:


a. Swakelola; dan/atau
b. Penyedia.

 Pengadaan Barang/Jasa bertujuan untuk:


a. rnenghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan,
diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan Penyedia;
b. meningkatkan penggunaan produk dalam negeri;
c. meningkatkan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
d. meningkatkan peran pelaku usaha nasional;
e. mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil
penelitian;
f. meningkatkan keikutsertaan industri kreatif;
g. mendorong pemerataan ekonorni; dan
h. mendorong Pengadaan Berkelanjutan.

 Pelaku Pengadaan Barang/Jasa terdiri atas:


a. PA;
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat
pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga/Perangkat Daerah.
b. KPA;
Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBN yang selanjutnya
disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk
melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggUnaan
anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
c. PPK;
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya ‘disingkat PPK adalah pejabat
yang diberi kewenangan oleh PA/ KPA untuk mengambil keputusan dan/
atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran
be1anja negara/anggaran belanja daerah.
d. Pejabat Pengadaan;
Pejabat Pengadaan adalah pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel
yang bertugas melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung,
dan/atau E-purchasing.
e. Pokja Pemilihan;
Kelompok Kerja Pemilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah
sumber daya manusia yang ditetapkan oleh pimpinan UKPBJ untuk
mengelola pemilihan Penyedia.
f. Agen Pengadaan;
Agen Pengadaan adalah UKPBJ atau Pelaku Usaha yang melaksanakan
sebagian atau seluruh pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa yang diberi
kepercayaan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah sebagai pihak
pemberi pekerjaan.
g. PjPHP/PPHP;
Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang selanjutnya disingkat PjPHP adalah
pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas memeriksa
administrasi hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa.
Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang selanjutnya disingkat PPHP adalah
tim yang bertugas memeriksa administrasi hasil pekerjaan Pengadaan
Barang/Jasa.
h. Penyelenggara Swakelola; dan
Penyelenggara Swakelola adalah Tim yang menyelenggarakan kegiatan
secara Swakelola.
i. Penyedia.
Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah
Pelaku Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak.

 Metode pemilihan Penyedia Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya


terdiri atas:
a. E-purchasing;
b. Pengadaan Langsung;
c. Penunjukan Langsung;
d. Tender Cepat; dan
e. Tender

 Metode evaluasi penawaran Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa


Lainnya dilakukan dengan:
a. Sistem Nilai;
b. Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis; atau
c. Harga Terendah.

 Ruang lingkup pengawasan Pengadaan Barang/Jasa meliputi:


a. pernenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya;
b. kepatuhan terhadap peraturan;
c. pencapaian TKDN;
d. penggunaan produk dalam negeri;
e. pencadangan dan peruntukan paket untuk usaha kecil; dan
f. Pengadaan Berkelanjutan.

 Perbuatan atau tindakan Penyedia yang dikenakan sanksi adalah:


a. tidak melaksanakan Kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, atau tidak
melaksanakan kewajiban dalam masa pemeliharaan;
b. menyebabkan kegagalan bangunan;
c. menyerahkan Jaminan yang tidak dapat dicairkan;
d. melakukan kesalahan dalam perhitungan volume hasil pekerjaan berdasarkan
hasil audit;
e. menyerahkan barang/jasa yang kualitasnya tidak sesuai dengan Kontrak
berdasarkan hasil audit; atau
f. terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak.

 Perbuatan atau tindakan akan dikenakan:


a. sanksi digugurkan dalam pemilihan;
b. sanksi pencairan jaminan;
c. Sanksi Daftar Hitarn;
d. sanksi ganti kerugian; dan/atau
e. sanksi denda
11. PP NO. 51 THN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN

 KETENTUAN UMUM
1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi
atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian,
yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
7. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada fasilitas produksi, distribusi atau penyaluran, dan
pelayanan kefarmasian.
8. Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan
farmasi.
9. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien
atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
10. Tujuan pengaturan pekerjaan farmasi
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian

 PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN


1. Pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan, produksi, distribusi dan
pelayanan.
2. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi
a. dilakukan pada fasilitas produksi, distribusi, penyaluran dan pelayanan
kesehatan
b. dilakukan oleh tenaga kefarmasian
c. pengadaan harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat
sediaan farmasi
3. Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi
a. harus memiliki Apoteker penanggung jawab
b. APJ dapat dibantu oleh apoteker pendamping/ tenaga teknis kefarmasian
c. Fasilitas produksi dapat berupa industry farmasi obat, industry bahan
baku, industry obat tradisional dan kosmetik
4. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran obat sediaan farmasi
a. Fasilitas distribusi harus memiliki seorang apoteker penanggungg jawab
b. APJ dibantu oleh apotekr pendamping / TTK
c. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi sediaan farmasi harus memenuhi
Cara Distribusi yang baik (CDOB)
d. Fasilitas distribusi sediaan farmasi melalui PBF, penyalur alat
kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan alat kesehtan milik pemerintah.
e. Apoteker penanggung jawab harus menetapkan SOP
f. SOP dibuat secara tertulis dan diperbarui secara terus menerus sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan
g. Pekerjaan kefaarmasian yang berkaitan dengan distribusi wajib dicatat
oleh tenaga kefarmasian sesuai tugas dan fungsinya
h. Tenaga teknis kefarmasian dalam melakukan distribusi harus mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan
5. Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan kefarmasian
a. Fasilitas pelayanan kefarmasin berupa apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik, toko obat dan praktek Bersama
b. Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian pada pelayanan kefarmasian
apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis
kefarmasian
c. Apoteker harus menetapkan standart pelayanan kefrmasian
d. Penyerahan dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker
e. Diwilayah terpencil yang tidak terdapat apoteker, mentri dapat
menetapkan TTK yang memiliki STRTTK untuk meracil dan
menyerahkan obat kepada pasien
f. Diwilayah terpencil yang tidak terdapat apoteker, dokter atau dokter gigi
yang memiliki STR memiliki wewenang meracik dan menyerahkan
kepada pasien.
g. Apoteker dapat mengangkat apoteker pendamping yang memilik SIPA
h. Apoteker dapat mengganti obat merk dagang dengan generic atas
persetujuan dokter atau pasien
i. Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotik dan psikotripika aatas
resep dokter dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
j. Rahasia dokter dan rahasia kefarmasian hanya dapat dibuka untuk
kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan

 TENTANG KEFARMASIAN
1. Tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker dan TTK
2. Apoteker merupakan Pendidikan profesi setelah sarjana
3. Standar Pendidikan profesi apoteker terdiri dari kemaampuan akademik
dan mengaplikasikan dalam pekerjaan kefarmasian
4. Apoteker harus memiliki sertifikat kompetensi profesi
5. Sertifikat kompetensi profesi berlaku selaama 5 tahun
6. Untuk pengajuan STRA, ijazah dan surat rekomendasi diserahkan kepada
dinas kesehatan kabupaten/ kota untuk memperoleh izin kerja
7. STRA dan STRTTK dikeluarkan oleh Menteri
8. STRA dan STRTTK tidak berlaku karena :
a. Habis masa berlaku
b. Dicabut atas ketentuan perundang-undangan
c. Permohonan yang bersangkutan
d. Yang bersangkutan meninggal dunia
e. Dicabut oleh mentri atau pejabat kesehatan yang berwenang
9. Pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah
sakit hanya dapat dilakukan oleh apoteker dan dibantu oleh TTK yang
sudah memiliki STRTTK
10. Setiap tenaga kefarmasian yang melaakukan pekerjaan kefarmasian di
indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat bekerja
11. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek,
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit;
12. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai
Apoteker pendamping;
13. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas
kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
14. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian
15. Apoteker hanya dapat melakukan praktik di satu apotek atau puskesmas
atau instalasi farmasi rumah sakit
16. Apoteker pendamping hanya dapat malakukan praktik paling banyak 3
apotek atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.

 DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN


Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian dalam menyelenggarakan Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian.
1. Tujuan pembinaan dan pengawasan
a. Melindungi pasien dan masyarakat dalam pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pekerjaan kefarmasian sesuai
dengan ilmu pengetahuan
c. Memberikan kepastian hukum pada pasien, masyarakat dan tenaga
kefarmasian

 KETENTUAN PERALIHAN
1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker
dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah ini.
2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten
Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah ini.
3. Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini, maka surat izin untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
batal demi hukum.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang
Besar Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Anda mungkin juga menyukai