Anda di halaman 1dari 42

DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA

UPTD FARMASI

Tugas Ringkasan Regulasi-Regulasi Yang Dijalankan


Di Pelayanan Kesehatan Pemerintahan

Disusun oleh :

Nama : WANDA WULANDARI

NPM : 202FF05095

PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
TAHUN
2021
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.

Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika

Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: Narkotika


Golongan I, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III.

Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi,


kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun
sintetis, yang digunakan untuk produksi obat.

Penyaluran narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar
farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi yang sudah memiliki izin khusus penyaluran
Narkotika dari Menteri. Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi
tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik dalam bentuk
obat jadi maupun bahan baku Narkotika, dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan
gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan,
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, dan/atau kemasannya.

Pengawasan narkotika meliputi :


a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan
d. produksi
e. impor dan ekspor
f. peredaran
g. pelabelan
h. informasi
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketentuan pidana :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman,narkotika golongan II dan Narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
Nama-nama obat Narkotika berdasarkan golongan :

Golongan I Golongan II Golongan III

Opium Allilprodina Asetildihidrokodeina


Tanaman koka Anileridina Dekstropropoksifena
Tanaman ganja Benzetidin Dihidrokodeina
Heroina Benzilmorfina Etilmorfina
etorfina Betameprodina Kodeina
ketobemidona Betametadol Nikodikodina
Betaprodina Nikokodina
Betasetilmetadol Norkodeina
Bezitramida Polkodina
Diampromida Propiram
Dietiltiambutena Buprenorfina
Difenoksin Dll.
Metadona
Morfin
Dll.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 75 TAHUN 2014
TENTANG
PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT

1. bahwa pusat kesehatan masyarakat sebagai salah jenis falsilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama memiliki peranan penting dalam sistim kesehatan nasional, khususnya
subsistem upaya kesehatan.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
3. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya.
4. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah satuan kerja pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
bidang kesehatan di kabupaten/kota.
5. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
6. Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang diberikan oleh
lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah
dinilai bahwa Puskesmas telah memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah
ditetapkan oleh Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara
berkesinambungan
7. Sistem Rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan
tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun
horizontal.
8. Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diberikan oleh Puskesmas kepada masyarakat,
mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pencatatan, pelaporan, dan dituangkan
dalam suatu sistem.
9. Sistem Informasi Puskesmas adalah suatu tatanan yang menyediakan informasi untuk
membantu proses pengambilan keputusan dalam melaksanakan manajemen Puskesmas
dalam mencapai sasaran kegiatannya.
10. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat
b mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat.
11. Prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi:
a. paradigma sehat
b. pertanggung jawaban wilayah
c. kemandirian masyarakat
d. pemerataan
e. teknologi tepat guna; dan f. keterpaduan dan kesinambungan
12. Dalam menyelenggarakan fungsi Puskesmas berwenang untuk:
a. melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan
analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan
b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
c. melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dalam
bidang kesehatan
d. menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor
lain terkait
e. melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan
berbasis masyarakat
f. melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas
g. memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
h. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan cakupan
Pelayanan Kesehatan
i. memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan
terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit
13. Lokasi pendirian Puskesmas harus memenuhi persyaratan:
a. geografis
b. aksesibilitas untuk jalur transportasi
c. kontur tanah
d. fasilitas parkir
e. fasilitas keamanan
f. ketersediaan utilitas publik
g. pengelolaan kesehatan lingkungan
h. kondisi lainnya.
14. Puskesmas harus memiliki prasarana yang berfungsi paling sedikit terdiri atas:
a. sistem penghawaan (ventilasi)
b. sistem pencahayaan
c. sistem sanitasi
d. sistem kelistrikan
e. sistem komunikasi
f. sistem gas medik
g. sistem proteksi petir
h. sistem proteksi kebakaran
i. sistem pengendalian kebisingan
j. sistem transportasi vertikal untuk bangunan lebih dari 1 (satu) lantai
k. kendaraan Puskesmas keliling
l. kendaraan ambulans.
15. Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan
dan kesehatan dirinya dalam bekerja
16. Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di puskesmas harus memiliki surat izin praktik
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Berdasarkan kemampuan penyelenggaraan puskesmas dikategorikan menjadi:
a. Puskesmas non rawat inap
b. Puskesmas rawat inap
18. Puskesmas non rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
Puskesmas yang tidak menyelenggarakan pelayanan rawat inap, kecuali pertolongan
persalinan normal.
19. Puskesmas rawat inap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Puskesmas
yang diberi tambahan sumber daya untuk meenyelenggarakan pelayanan rawat inap,
sesuai pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.
20. Setiap Puskesmas wajib melakukan kegiatan sistem informasi Puskesmas.
21. Sistem informasi Puskesmas paling sedikit mencakup:
a. pencatatan dan pelaporan kegiatan Puskesmas dan jaringannya
b. survei lapangan;
c. laporan lintas sektor terkait; dan
d. laporan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

BAB 1 KETENTUAN UMUM


1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional.
2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.
6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan
Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
7. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas
produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan kefarmasian.
8. Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi
atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.
9. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan
dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan
kemanfaatan.
10. Tujuan pengaturan pekerjaan farmasi
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga Kefarmasian

BAB II
PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

1. Pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan.


2. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi
a. dilakukan pada fasilitas produksi, distribusi, penyaluran dan pelayanan kesehatan
b. dilakukan oleh tenaga kefarmasian
c. pengadaan harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan farmasi
3. Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi
a. harus memiliki Apoteker penanggung jawab
b. APJ dapat dibantu oleh apoteker pendamping/ tenaga teknis kefarmasian
c. Fasilitas produksi dapat berupa industry farmasi obat, industry bahan baku, industry obat
tradisional dan kosmetik
4. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran obat sediaan farmasi
a. Fasilitas distribusi harus memiliki seorang apoteker penanggungg jawab
b. APJ dibantu oleh apotekr pendamping / TTK
c. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi sediaan farmasi harus memenuhi Cara Distribusi
yang baik (CDOB)
d. Fasilitas distribusi sediaan farmasi melalui PBF, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan
farmasi dan alat kesehtan milik pemerintah.
e. Apoteker penanggung jawab harus menetapkan SOP
f. SOP dibuat secara tertulis dan diperbarui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan
g. Pekerjaan kefaarmasian yang berkaitan dengan distribusi wajib dicatat oleh tenaga
kefarmasian sesuai tugas dan fungsinya
h. Tenaga teknis kefarmasian dalam melakukan distribusi harus mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan
5. Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan kefarmasian
a. Fasilitas pelayanan kefarmasin berupa apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas,
klinik, toko obat dan praktek Bersama
b. Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian pada pelayanan kefarmasian apoteker dapat dibantu
oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian
c. Apoteker harus menetapkan standart pelayanan kefrmasian
d. Penyerahan dan pelayanan resep dilakukan oleh apoteker
e. Diwilayah terpencil yang tidak terdapat apoteker, mentri dapat menetapkan TTK yang
memiliki STRTTK untuk meracil dan menyerahkan obat kepada pasien
f. Diwilayah terpencil yang tidak terdapat apoteker, dokter atau dokter gigi yang memiliki STR
memiliki wewenang meracik dan menyerahkan kepada pasien.
g. Apoteker dapat mengangkat apoteker pendamping yang memilik SIPA
h. Apoteker dapat mengganti obat merk dagang dengan generic atas persetujuan dokter atau
pasien
i. Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotik dan psikotripika aatas resep dokter dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
j. Rahasia dokter dan rahasia kefarmasian hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien,
memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan

BAB III
TENTANG KEFARMASIAN
1. Tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker dan TTK
2. Apoteker merupakan Pendidikan profesi setelah sarjana
3. Standar Pendidikan profesi apoteker terdiri dari kemaampuan akademik dan
mengaplikasikan dalam pekerjaan kefarmasian
4. Apoteker harus memiliki sertifikat kompetensi profesi
5. Sertifikat kompetensi profesi berlaku selaama 5 tahun
6. Untuk pengajuan STRA, ijazah dan surat rekomendasi diserahkan kepada dinas
kesehatan kabupaten/ kota untuk memperoleh izin kerja
7. STRA dan STRTTK dikeluarkan oleh Menteri
8. STRA dan STRTTK tidak berlaku karena :
a. Habis masa berlaku
b. Dicabut atas ketentuan perundang-undangan
c. Permohonan yang bersangkutan
d. Yang bersangkutan meninggal dunia
e. Dicabut oleh mentri atau pejabat kesehatan yang berwenang
9. Pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya
dapat dilakukan oleh apoteker dan dibantu oleh TTK yang sudah memiliki STRTTK
10. Setiap tenaga kefarmasian yang melaakukan pekerjaan kefarmasian di indonesia wajib
memiliki surat izin sesuai tempat bekerja
11. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit;
12. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker
pendamping;
13. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas kefarmasian
diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
14. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Kefarmasian
15. Apoteker hanya dapat melakukan praktik di satu apotek atau puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit
16. Apoteker pendamping hanya dapat malakukan praktik paling banyak 3 apotek atau
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.

BAB IV
DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN

Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian dalam menyelenggarakan Pekerjaan Kefarmasian


dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian.

1. Tujuan pembinaan dan pengawasan


a. Melindungi pasien dan masyarakat dalam pelaksanaan pekerjaan kefarmasian
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pekerjaan kefarmasian sesuai dengan ilmu
pengetahuan
c. Memberikan kepastian hukum pada pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau
SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten Apoteker
dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2
(dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
3. Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun belum memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, maka surat izin untuk
menjalankan Pekerjaan Kefarmasian batal demi hukum.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi
harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2014
TENTANG
PENGADAAN OBAT BERDASARKAN KATALOG ELEKTRONIK
(E-CATALOGUE)

Katalog elektronik (e-catalogue) adalah sistem informasi elektronik yang memuat


daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa
pemerintah. Sedangkan, E-Purchasing adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem E-
catalogue.
Tujuan pengadaan berdasarkan E-catalogue:
1. Menjamin transparansi/keterbukaan
2. Lebih efektif dan efisien dalam proses pengadaan obat yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan
Dalam hal pengadaan, seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik pusat maupun
daerah dan FKTP (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) dan FKTP (Fasilitas
Kesehatan Rujukan Pertama) pemerintahan apabila terdapat kendala operasional dalam aplikasi,
pembelian dapat dilakukan secara manual/ langsung kepada industri farmasi yang sudah
tercantum dalam E-catalogue.
PBF yang ditunjuk oleh industry farmasi yang tercantum dalam E-catalogue wajib
memenuhi persyaratan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL swasta yang bekerjasama
dengan BPJS kesehatan dalam rangka pengadaan obat. Industri farmasi yang tercantum dalam E-
catalogue wajibmelaporkan realisasi pemenuhan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL yang
bekerjasama dengan BPJS kesehatan yang telah dilakukan oleh PBF yang ditunjuk kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Pengadaan obat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja
ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan Kerja berdasarkan perintah dari Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau
FKRTL.
Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-Purchasing adalah sebagai
berikut:
1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam aplikasi E-
Purchasing berdasarkan Daftar Pengadaan Obat yang diberikan oleh PPK. Paket
pembelian obat dikelompokkan berdasarkan penyedia.
2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan pembelian obat
kepada penyedia obat/Industri Farmasi yang termasuk dalam kelompok paket pengadaan
sesuai angka 1.
3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima permintaan pembelian obat melalui
E-Purchasing dari Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan persetujuan atas
permintaan pembelian obat dan menunjuk distributor/PBF. Apabila menyetujui, penyedia
obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan pembelian kepada distributor/PBF
untuk ditindaklanjuti. Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus
menyampaikan alasan penolakan.
4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian diteruskan oleh Pokja ULP/Pejabat
Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal permintaan pembelian obat
mengalami penolakan dari penyedia obat/Industri Farmasi, maka ULP melakukan metode
pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012.
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli terhadap obat yang telah
disetujui dengan distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi.
6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan isi
perjanjian/kontrak jual beli.
7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi riwayat
pembayaran dengan cara mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing
8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak dipenuhi oleh penyedia
obat/Industri Farmasi kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (LKPP) c.q Direktur Pengembangan Sistem Katalog, tembusan kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan c.q Direktur Bina Obat Publik
dan Perbekalan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja
Dalam hal pengadaan, seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik pusat maupun
daerah dan FKTP (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan) dan FKTP (Fasilitas
Kesehatan Rujukan Pertama) pemerintahan apabila terdapat kendala operasional dalam aplikasi,
pembelian dapat dilakukan secara manual/ langsung kepada industri farmasi yang sudah
tercantum dalam E-catalogue.
PBF yang ditunjuk oleh industry farmasi yang tercantum dalam E-catalogue wajib
memenuhi persyaratan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL swasta yang bekerjasama
dengan BPJS kesehatan dalam rangka pengadaan obat. Industri farmasi yang tercantum dalam E-
catalogue wajibmelaporkan realisasi pemenuhan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL yang
bekerjasama dengan BPJS kesehatan yang telah dilakukan oleh PBF yang ditunjuk kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2018
TENTANG
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah


kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai
oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima
hasil pekerjaan.

Pengadaan Barang/Jasa dalam Peraturan Presiden ini meliputi:


a. Barang;
b. Pekerjaan Konstruksi;
c. Jasa Konsultansi; dan
d. Jasa Lainnya.

Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dilaksanakan dengan cara:


a. Swakelola; dan/atau
b. Penyedia.

Pengadaan Barang/Jasa bertujuan untuk:


a. rnenghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek
kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan Penyedia;
b. meningkatkan penggunaan produk dalam negeri;
c. meningkatkan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
d. meningkatkan peran pelaku usaha nasional;
e. mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian;
f. meningkatkan keikutsertaan industri kreatif;
g. mendorong pemerataan ekonorni; dan
h. mendorong Pengadaan Berkelanjutan.

Pelaku Pengadaan Barang/Jasa terdiri atas:


a. PA;
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang
kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah.
b. KPA;
Kuasa Pengguna Anggaran pada Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA
adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian
kewenangan dan tanggung jawab penggUnaan anggaran pada Kementerian
Negara/Lembaga yang bersangkutan.
c. PPK;
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya ‘disingkat PPK adalah pejabat yang diberi
kewenangan oleh PA/ KPA untuk mengambil keputusan dan/ atau melakukan tindakan
yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran be1anja negara/anggaran belanja
daerah.
d. Pejabat Pengadaan;
Pejabat Pengadaan adalah pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas
melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan/atau E-purchasing.
e. Pokja Pemilihan;
Kelompok Kerja Pemilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan adalah sumber
daya manusia yang ditetapkan oleh pimpinan UKPBJ untuk mengelola pemilihan
Penyedia.
f. Agen Pengadaan;
Agen Pengadaan adalah UKPBJ atau Pelaku Usaha yang melaksanakan sebagian atau
seluruh pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa yang diberi kepercayaan oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah sebagai pihak pemberi pekerjaan.
g. PjPHP/PPHP;
Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang selanjutnya disingkat PjPHP adalah pejabat
administrasi/pejabat fungsional/personel yang bertugas memeriksa administrasi hasil
pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa.
Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang selanjutnya disingkat PPHP adalah tim yang
bertugas memeriksa administrasi hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa.
h. Penyelenggara Swakelola; dan
Penyelenggara Swakelola adalah Tim yang menyelenggarakan kegiatan secara
Swakelola.
i. Penyedia.
Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah Pelaku
Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak.

Metode pemilihan Penyedia Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya terdiri atas:


a. E-purchasing;
b. Pengadaan Langsung;
c. Penunjukan Langsung;
d. Tender Cepat; dan
e. Tender

Metode evaluasi penawaran Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dilakukan


dengan:
a. Sistem Nilai;
b. Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis; atau
c. Harga Terendah.

Ruang lingkup pengawasan Pengadaan Barang/Jasa meliputi:


a. pernenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya;
b. kepatuhan terhadap peraturan;
c. pencapaian TKDN;
d. penggunaan produk dalam negeri;
e. pencadangan dan peruntukan paket untuk usaha kecil; dan
f. Pengadaan Berkelanjutan.

Perbuatan atau tindakan Penyedia yang dikenakan sanksi adalah:


a. tidak melaksanakan Kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, atau tidak melaksanakan
kewajiban dalam masa pemeliharaan;
b. menyebabkan kegagalan bangunan;
c. menyerahkan Jaminan yang tidak dapat dicairkan;
d. melakukan kesalahan dalam perhitungan volume hasil pekerjaan berdasarkan hasil audit;
e. menyerahkan barang/jasa yang kualitasnya tidak sesuai dengan Kontrak berdasarkan hasil
audit; atau
f. terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak.

Perbuatan atau tindakan akan dikenakan:


a. sanksi digugurkan dalam pemilihan;
b. sanksi pencairan jaminan;
c. Sanksi Daftar Hitarn;
d. sanksi ganti kerugian; dan/atau
e. sanksi denda
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 75 TAHUN 2016
TENTANG
PENYELENGGARAAN UJI MUTU OBAT PADA INSTALASI FARMASI
PEMERINTAH

1. bahwa untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh obat yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat dan mutu pada instalasi farmasi
pemerintah, perlu dilakukan pengujian terhadap mutu obat secara berkala;
2. Instalasi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat penyimpanan dan penyaluran sediaan
farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, dalam rangka pelayanan kesehatan.
3. Sampel adalah sejumlah obat yang diambil sesuai dengan tujuan dan prosedur
pengambilan Sampel yang ditetapkan.
4. Uji Mutu adalah pengujian laboratorium yang dilakukan untuk membuktikan mutu obat
selalu konsisten memenuhi standar dan persyaratan
5. BPOM adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas untuk
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
6. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang
bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
7. Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai
tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
9. Pengaturan penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah bertujuan
untuk mendukung pemastian mutu obat yang diadakan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
10. Penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah dilakukan oleh BPOM
melalui kegiatan:
a. pengambilan Sampel
b. uji laboratorium
c. pelaporan hasil uji.
11. Obat yang dijadikan Sampel meliputi semua jenis obat terutama obat yang tercantum
dalam formularium nasional dan obat program kesehatan.
12. Setiap pengambilan Sampel harus dibuat Berita Acara Pengambilan Sampel (BAP),
Berita Acara Serah Terima (BAST), dan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) yang
ditandatangani oleh petugas BPOM atau Balai Besar/Balai POM dan penanggung jawab
Instalasi Farmasi Pemerintah dengan menggunakan contoh Formulir 1, Formulir 2, dan
Formulir 3 terlampir.
13. Hasil pelaksanaan uji mutu obat terdiri atas:
a. Memenuhi Syarat (MS)
b. Tidak Memenuhi Syarat (TMS).

14. Hasil pelaksanaan uji mutu obat, disampaikan kepada:


a. Direktur Jenderal untuk Sampel obat yang diambil pada Instalasi Farmasi Pemerintah
milik kementerian kesehatan
b. kepala dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal untuk Sampel yang diambil di Instalasi Farmasi Pemerintah
provinsi/kabupaten/kota.
15. Penyampaian hasil pelaksanaan uji mutu obat , disampaikan dengan ketentuan:
a. secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk hasil uji mutu obat memenuhi syarat (MS);
dan
b. paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditetapkan hasil uji mutu obat tidak
memenuhi syarat (TMS).
16. Terhadap hasil pelaksanaan uji mutu obat tidak memenuhi syarat (TMS), dilakukan
penarikan dan pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Perintah penarikan dan pemusnahan disampaikan kepada industri farmasi dengan
tembusan Direktur Jenderal atau kepala dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota.
18. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh
Menteri, Kepala BPOM, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
19. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33
Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Uji Mutu Obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1167), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
20. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan
Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan peningkatan
mutu kehidupan pasien. Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan
upaya kesehatan mulai dari pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif),
yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok


Puskesmas, yaitu:
a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
b. pusat pemberdayaan masyarakat
c. pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat.

PASAL 3 : Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu :


1. Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dimulai dari
perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan
dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi (PASAL 3 AYAT 2).
2. Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan BMHP.
PASAL 3 AYAT 3 : Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian dan pelayanan Resep

2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

3. Konseling
4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)

5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

PASAL 4 AYAT 1 : Sumber Daya Kefarmasian di Puskesmas


Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus dilaksanakan oleh
1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan. Rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas
bila memungkinkan diupayakan 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari.

PASAL 5 : Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


Pengendalian mutu merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah
terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan
/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana, ketersediaan dana,
dan Standar Prosedur Operasional.

2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja sama.

3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya, respon dan tingkat
pendidikan masyarakat.
Kegiatan Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk
peningkatan mutu sesuai standar.

2. Pelaksanaan, yaitu: Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja dan
memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.

3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu: melakukan perbaikan kualitas pelayanan dan
meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.

Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung untuk


memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Monitoring dapat
dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses. Contoh: monitoring pelayanan
resep, monitoring penggunaan Obat, monitoring kinerja tenaga kefarmasian.
Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang diperoleh melalui metode
berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
1. Retrospektif  Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan. Contoh: survei
kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
2. Prospektif  Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan pelayanan. Contoh:
Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu pelayanan kesehatan di Puskesmas,
sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:
1. Langsung (data primer)  Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh
pengambil data. Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan kefarmasian.
2. Tidak Langsung (data sekunder)  Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak langsung.
Contoh: catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
1. Survei  Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Contoh: survei kepuasan
pelanggan.
2. Observasi  Pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan menggunakan cek list atau
perekaman. Contoh: pengamatan konseling pasien.
Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:
1. Audit  Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan
pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan
dengan standar yang dikehendaki dan dengan menyempurnakan kinerja tersebut.
Secara sistematis terdapat 2 macam audit, yaitu:
a. Audit Klinis  analisis kritis sistematis terhadap pelayanan kefarmasian, meliputi prosedur
yang digunakan untuk pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas
hidup pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti.
b. Audit Profesional  analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh seluruh tenaga kefarmasian
terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati, penggunaan sumber daya dan hasil yang
diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen mutu.
2. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian
tanpa dibandingkan dengan standar. Contoh: kajian penggunaan antibiotik.
Regulasi-Regulasi Yang Dijalankan
Di Pelayanan Kesehatan Pemerintahan

1. Undang undang no. 5 tahun 1997 tentang psikotropika


Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.

Dalam UU no. 5 disebutkan bahwa psikotropika terbagi menjadi: Golongan I, golongan II,
golongan III, dan golongan IV. Dalam pasal 3 disebutkan tujuan pengaturan di bidang
psikotropika adalah:

1. menjamin ketersediaan psikotropika untuk pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan


2. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
3. memberantas peredaran gelap psikotropika
dalam pasal 4 psikotropika hanya dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan (golongan I), golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang karena dapat
menimbulkan penyalahgunaan. Psikotropika dalam pasal 5 hanya dapat diproduksi oleh pabrik
yang telah memiliki izin.

Tindakan administratif, dapat berupa:


1. teguran lisan
2. teguran tertulis
3. penghentian sementara kegiatan
4. denda administratif
5. pencabutan izin praktek.

Macam-macam psikotropika:
1. Psikotropika golongan I : Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2. Psikotropika golongan II : Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III : Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
4. Psikotropika golongan IV : Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Penyaluran Psikotropika
Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi,
dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Psikotropika golongan I hanya dapat
disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada Lembaga penelitian/Pendidikan
hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan golongan I dilakukan paling lambat 7 hari setelah penyitaan, pemusnahan
wajib dibuat berita acara.
Sanksi Psikotropika
Sanksi psikotropika berkisar denda dari 20 juta sampai 5 milyar dengan pidana penjara
berkisar 3 bulan – 20 tahun sesuai dengan sanksi-sanksi yang dilanggar baik pemakai, penyalur,
ekspor-impor, dan pelabelan psikotropika.
Nama-nama Psikotropika
No. Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV
1. Boramfetamina Amfetamina Amobarbital Allobarbital
2. Etisiklidina Deksamfetamina Buprenofrina Alprazolam
3. Etriptamina Fenetilina Butalbital Amfepramone
4. Mekatinona Metamfetamina Flunitrazepam Bromazepam
5. Psilosibina metilfenidat Pentazosina Brotizolam
6. Tenamfetamine Zipeprol Katina Diazepam
7. Tenoksilidina Secobarbital Glutetimida Estazolam
8. Pentobarbital Tetrazepam
9. siklobarbital Triazolam
10. Midazolam
11. Klobazam
12. Metiprilon
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 1998
TENTANG
PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

PERSYARATAN MUTU KEAMANAN DAN KEMANFAATAN


Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan
yang dimaksud adalah untuk:
1. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam
buku Farmakope atau buku standar lainnya
2. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam buku
Materia Medika Indonesia
3. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam buku Kodeks
Kosmetika Indonesia
4. Alat kesehatan sesuai dengan persyaratan

PRODUKSI
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah
memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang
diproduksi oleh perorangan. Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan
cara produksi yang baik.

PEREDARAN
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya
pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan
1. Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus
disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
2. Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran,
bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.

IZIN EDAR
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar
dari Menteri. Kecuali sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh
perorangan. Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara
tertulis kepada Menteri. Permohonan secara tertulis ini disertai dengan keterangan dan/atau data
mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar
serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan. Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
dimohonkan untuk memperoleh izin edar diuji dari segi mutu, keamanan, dan kemanfaatan

PENGUJIAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN


1. Pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan melalui:
a. pengujian laboratoris berkenaan dengan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan;
b. penilaian atas keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
2. Tata cara pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan ditetapkan oleh Menteri.
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang lulus dalam pengujian diberikan izin edar. Izin
edar yang diberikan dalam bentuk persetujuan pendaftaran. Sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang tidak lulus dalam pengujian diberikan surat keterangan yang menyatakan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan.

PENYALURAN
Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh:
a. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan
farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat kesehatan;
b. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional dan kosmetika.
Ketentuan ini dikecualikan bagi perorangan yang menyalurkan sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional dan kosmetika dengan jumlah komoditi yang terbatas dan/atau
diperdagangkan secara langsung kepada masyarakat.

PENYERAHAN
1. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.
2. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan
dilakukan berdasarkan:
a. resep dokter;
b. tanpa resep dokter.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2017
TENTANG
PENYELENGGARAAN IMUNISASI

1. Bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya diperlukan


upaya untuk mencegah terjadinya suatu penyakit melalui imunisasi;
2. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak
akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
3. Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati
atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, atau berupa toksin
mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang
ditambahkan dengan zat lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan
kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
4. Imunisasi Program adalah imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang sebagai bagian dari
masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
5. Imunisasi Pilihan adalah imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang sesuai dengan
kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari penyakit tertentu
6. Cold Chain adalah sistem pengelolaan Vaksin yang dimaksudkan untuk memelihara dan
menjamin mutu Vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik pembuat Vaksin sampai
pada sasaran.
7. Imunisasi Program terdiri atas:
a. Imunisasi rutin; = imunisasi dasar dan lanjutan
b. Imunisasi tambahan; dan
c. Imunisasi khusus.
8. Imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Imunisasi terhadap
penyakit:
a. hepatitis B;
b. poliomyelitis;
c. tuberkulosis;
d. difteri;
e. pertusis;
f. tetanus;
g. pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib);
dan
h. campak.
9. Imunisasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada:
a. anak usia bawah dua tahun (Baduta); = campak, pneumoni, difteri, tetanus, hepatitis
meningitis.
b. anak usia sekolah dasar; = diberikan pada bulan imunisasi anak sekolah
c. wanita usia subur (WUS) = tetanus, difteri.
Tabel 3. Jadwal Imunisasi
Lanjutan pada Anak Imunisasi Waktu Pelaksanaan
Usia Sekolah Dasar
Sasaran
Kelas 1 SD Campak Agustus
DT November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 5 SD Td November

10. Imunisasi tambahan merupakan jenis Imunisasi tertentu yang diberikan pada kelompok umur
tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan kajian epidemiologis pada
periode waktu tertentu.
11. Imunisasi khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat terhadap
penyakit tertentu pada situasi tertentu.
12. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
Imunisasi Program.
13. Penyelenggaraan Imunisasi Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. perencanaan;
b. penyediaan dan distribusi logistik;
c. penyimpanan dan pemeliharaan logistik;
d. penyediaan tenaga pengelola;
e. pelaksanaan pelayanan;
f. pengelolaan limbah; dan
g. pemantauan dan evaluasi.
14. Untuk menjaga kualitas, Vaksin harus disimpan pada tempat dengan kendali suhu tertentu.
15. Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperuntukkan
khusus menyimpan Vaksin saja.
16. Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab
dalam penyediaan tenaga pengelola untuk penyelenggaraan Imunisasi Program di
wilayahnya masing-masing. = pengelola program dan pengelola logistic, sudah
bersertifikat.
17. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Imunisasi harus
melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala serta berjenjang kepada
Menteri melalui dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota.
18. Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cakupan Imunisasi,
stok dan pemakaian Vaksin, ADS, Safety Box, monitoring suhu, kondisi peralatan Cold
Chain, dan kasus KIPI atau diduga KIPI.
19. Pencatatan pelayanan Imunisasi tambahan dan khusus dicatat dan dilaporkan dengan format
khusus secara berjenjang kepada Menteri melalui dinas kesehatan Pemerintah Daerah
provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,
keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pembangunan kesehatan
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.
Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Pemerintah mengatur
perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pengadaan dan
peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan
kesehatan. Penempatan tenaga kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan hak
tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
merata. Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan
dilakukan dengan memperhatikan :
1. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
2. Jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
3. Jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum diatur dengan Peraturan
Menteri. Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan Kesehatan
dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas :
pelayanan kesehatan perseorangan (ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga) dan pelayanan kesehatan masyarakat
(ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu
kelompok dan masyarakat). Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi : pelayanan kesehatan
tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua dan pelayanan kesehatan tingkat
ketiga. Persyaratan dan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh pihak
Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan
yang berlaku dan ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya. Penentuan jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
mempertimbangkan:
1. Luas wilayah;
2. Kebutuhan kesehatan;
3. Jumlah dan persebaran penduduk;
4. Pola penyakit;
5. Pemanfaatannya;
6. Fungsi sosial; dan
7. Kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi
kepentingan masyarakat. Daftar dan jenis obat ditinjau dan disempurnakan paling lama
setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi. Dalam
keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan
pemanfaatan perbekalan kesehatan. Ketentuan mengenai keadaan darurat dilakukan dengan
mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang mengatur paten. Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk
dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya,
sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah. Pemerintah daerah berwenang
merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan
untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
kesehatan manusia. Dalam mengembangkan teknologi dapat dilakukan uji coba teknologi
atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan. Uji coba ilakukan dengan jaminan
tidak merugikan manusia yang dijadikan uji coba. Uji coba dilakukan oleh orang yang
berwenang dan dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba. Penelitian terhadap
hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak
buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia. Setiap orang dilarang mengembangkan
teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk
terhadap kesehatan masyarakat.
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah
dan/atau masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu,
menyeluruh, dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan dilaksanakan
melalui kegiatan :
1. Pelayanan kesehatan;
2. Pelayanan kesehatan tradisional;
3. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
4. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
5. Kesehatan reproduksi;
6. Keluarga berencana;
7. Kesehatan sekolah;
8. Kesehatan olahraga;
9. Pelayanan kesehatan pada bencana;
10. Pelayanan darah;
11. Kesehatan gigi dan mulut;
12. Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
13. Kesehatan matra;
14. Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
15. Pengamanan makanan dan minuman;
16. Pengamanan zat adiktif; dan/atau
17. Bedah mayat.
Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan
norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi. Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya Kesehatan sekurang-
kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat. Peningkatan dan
pengembangan upaya kesehatan dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian
dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.
Perlindungan Pasien dimana setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian
atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Hak menerima atau
menolak tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat
menular ke dalam masyarakat yang lebih luas, keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri;
atau gangguan mental berat. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya
yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan Kesehatan tidak berlaku dalam
hal : perintah undang-undang, perintah pengadilan, izin yang bersangkutan, kepentingan
masyarakat atau kepentingan orang tersebut.
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang
dalam keadaan darurat.
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah sehingga mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara
dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris
yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat sehingga dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama. Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi
pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan ramuan.
Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk
menunjang tercapainya hidup sehat. Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk
menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk
mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau
akibat cacat, atau menghilangkan cacat. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan. Pengendalian,
pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan
keamanannya. Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran
atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau
berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi Kesehatan.
Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan
rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas
penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat
yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetika. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau
implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan
pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pengamanan
sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan. Pemerintah
berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak
memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian
ibu. Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan: hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan pada fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus
ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan
berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak. Upaya pemeliharaan
kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan
menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi. Upaya
pemeliharaan kesehatan remaja termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas
dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani
kehidupan reproduksi secara sehat. Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun
ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan. Upaya pemeliharaan kesehatan
penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi
perseorangan dan masyarakat. Peningkatan mutu gizi dilakukan melalui : a. perbaikan pola
konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; b. perbaikan perilaku sadar gizi,
aktivitas fisik, dan kesehatan; c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai
dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan
gizi.
Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan
jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dan
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap
menghormati hak asasi penderita. Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa,
digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular dilakukan
untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit,
cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi
akibat penyakit menular. Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
menular) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi
individu atau masyarakat. Pengendalian sumber penyakit menular dilakukan terhadap
lingkungan dan atau orang dan sumber penularan lainnya.
Upaya meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan
mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan dapat
dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau
masyarakat. Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan
faktor risiko, registri penyakit, dan surveilan kematian. Kegiatan tersebut bertujuan
memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular dan dilakukan melalui kerja sama lintas
sektor dan dengan membentuk jejaring, baik nasional maupun internasional.
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Lingkungan sehat bebas dari unsur-
unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:
1. Limbah cair;
2. Limbah padat;
3. Limbah gas;
4. Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
5. Binatang pembawa penyakit;
6. Zat kimia yang berbahaya;
7. Kebisingan yang melebihi ambang batas;
8. Radiasi sinar pengion dan non pengion;
9. Air yang tercemar;
10. Udara yang tercemar; dan
11. Makanan yang terkontaminasi.
Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan,
sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan
pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta
pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan dilakukan
secara berjenjang di pusat dan daerah sehingga dibuat dalam suatu sistem kesehatan
nasional.
Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan
informasi Kesehatan dan dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor.
Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala
bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya mencakup keikutsertaan
secara aktif dan kreatif.

Anda mungkin juga menyukai