BAKTERI CORYNEBACTERIUM
Disusun Oleh :
Kelompok 7
1. Anggi Latifasari P27903120055
2. Aulia Citra P27903120009
3. Bela Nabila P27903120010
4. Mira Annisa Nurjanah P27903120070
5. Nadiroh P27903120075
6. Nazwa Kirana Maulida P27903120030
7. Siti Mania P27903120040
8. zahra Alya Khoirunisa P27903120096
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
berkat dan karunia-Nyalah tugas makalah bakteriologi diselesaikan dengan baik
dalam waktu yang telah ditentukan.
Tugas makalah mengenai” Bakteri Corynebacterium” dalam makalah ini
dijabarkan mengenai diagnosa laboratorium, Tes kepekaan antibiotik dan terapi,
pencegahan.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kami sadar atas
kekurangan dalam tugas makalah bakteriologi ini. Dan kami mengucapkan banyak
terimakasih atas selesainya makalah yang ditugaskan.
Kelompok 7
i
Daftar isi
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, Indonesia sangat dikhawatirkan dengan polemik yang
terjadi di masyarakat, terutama pada lingkup kesehatan. Dari berbagai
aspek, kesehatan sangatlah penting dalam kehidupan dan banyak
masyarakat yang telah memahami akan pentingnya kesehatan. Namun, hal
tersebut tarpati hanya pada kalangan atas yang memiliki tingkat
perekonomian yang mencukupi, sedangkan kalangan menegah ke bawah
tingkat kesadaran individu akan pentingnya kesehatan tidak terlalu tinggi.
Hal itu banyak disebabkan karena tingkat perekonomian. Sehingga,
belakangan ini banyak tersebar berbagai endemik penyakit di Indonesia,
misalnya difteria.
Difteria merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheria yaitu bakteri yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/tenggorokan) dan laring. Penularan difteria dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita
yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteria umumnya anak-anak usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10% kasus difteria dapat berakibat fatal hingga menimbulkan
kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteria merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak. Penyakit ini juga
dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam
menunjang kesehatan.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit difteria mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteria diberikan
pada anakanak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteria akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini. Untuk itulah sehingga dianggap perlu untuk menulis
makalah ini yang berjudul “Corynebacterium”.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana diagnose cyanobacteria di laboratorium ?
2. Bagaimana tes kepekaan antibiotic dan terapi terhdap cyanobacterium
sp?
3. Bagaimana cara pencegahan pertumbuhan cyanobacterium sp ?
1
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan dari bakteri
Corynebacterium sp
2. Untuk mengetahui cara pencegahan dari cyanobacterium sp
2
BAB II
Pembahasan
A. Diagnosis Laboratorium
Corynebacterium diphtheriae merupakan agen penyebab penyakit
difteri.Penyakit ini biasanya menyerang saluran nafas atas,(1) pada
beberapa kasus mengenai kulit (2) dan beberapa organ lainnya.(3) Difteri
mudah menular melalui udara dengan masa inkubasi antara 1 – 10
(tersering 2-5) hari.(4)Kelompok risiko tinggi adalah anak-anak dan orang
lanjut usia, namun pada era vaksinasi sekarang ini terjadi perubahan
epidemiologi,dimana difteri juga terjadi pada orang dewasa. (5, 6) Epidemi
atau peningkatan kasus di suatu daerah yang sudah lama bebas dari
penyakit difteri dapat timbul karena adanya penderita atau karier yang
datang dari daerah endemik, penurunan cakupan imunisasi dan perubahan
virulensi bakteri.
Salah satu penyakit tersebut adalah difteri yang disebabkani oleh
bakteri Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau
intermedius. Bakteri ini terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Gejala difteri adalah tenggorokan terasa sakit,
timbul lesi membran diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus yang sedang sampai berat ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada
trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Diagnosis klinik difteria tidak selalu mudah ditegakkan, dan oleh
klinikus-klinikus berpengalaman dinyatakan sebagai salah satu penyakit
yang cenderung untuk salah didiagnosis. Kesalahan yang sering terjadi
ialah dalam membedakan difteria dengan infeksi-infeksi lain seperti
tonsilitis, faringitis streptokokal dan infeksi Vincent. Diperlukan waktu
beberapa hari bagi laboratorium mikrobiologi untuk memastikan
toksigenitas kuman difteri yang diasingkan. Laboratorium tidak dapat
menentukan diagnosis difteri hany aberdasarkan pemeriksaan
mikroskopik saja karena strain C. Diptheriae baik yang toksigenik maupun
yang nontoksigenik tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya secara
mikroskopik, lagi pula spesies Corynebacterium yang lainpun secara
marfologik mungkin serupa. Karena itu apabila pada pemeriksaan
mikroskopik ditemukan kuman-kuman yang bentuknya khas kuman difteri,
maka hasil presumif yang diberikan adalah: ditemukan kuman kuman
tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya diagnosis bakteriologik
laboratorium untuk mendapatkan cara-cara yang mudah,cepat, sederhana
dan dipercayara dapat membantu klinikus dalam menegakkan
diagnosisnya.
3
Walaupun demikian, dalam kasus-kasus tersangka klinis difteri
janganlah hendaknya pemeriksaan laboratorium menjadi penyebab
ditundanya pengobatan terhadap penyakit tersebut. Diagnosis
bakteriologik harus dianggap sebagai penunjang dan bukan sebagai
Pengganti diagnosis klinik.
Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil
sebelum pemberian obat-obat antimikroba, dan harus segera dikirim ke
Laboratorim.
Seseorang terkena difteri jika terdapat lapisan abu-abu di tenggorokan
atau amandelnya. Namun untuk memastikannya, dokter akan mengambil
sampel lendir dari tenggorokan pasien (pemeriksaan usap atau swab
tenggorok), untuk diteliti di laboratorium.
Difteri tergolong penyakit serius dan harus diatasi sesegera mungkin.
Menurut data statistik, 1 dari 10 pasien difteri meninggal dunia meski telah
mendapat pengobatan.
4
(MIC) dengan menggunakan agar dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)
atau MIC E-test.
Penggunaan MIC metode agar dilusi cair secara manual dianggap
kurang efektif dan efisien karena dalam persiapannya di laboratorium
memerlukan banyak waktu dan tenaga serta kemungkinan tingkat
kesalahannya lebih tinggi. Sehingga MIC menggunakan E-test merupakan
alternatif yang lebih mudah, cepat, dan sesuai untuk penentuan kepekaan
antibiotik.
C. Pencegahan
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien
terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi
pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis
APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid
tetanusdan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin
berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya
harusdibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat
kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui
dengan melakukan reaksi Schick
5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corynebacterium diphteriae merupakan penyebab penyakit difteri.
Penyakit ini menyerang saluran nafas atas yaitu daerah tonsil, faring,
laring, hidung terkadang menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Gejala yang dirasakan oleh
penderita penyakit ini adalah tenggorokan terasa sakit, timbul lesi
membran diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak.
Pada kasus yang sedang sampai berat ditandai dengan pembengkakan
dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea
secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Pencegahan
infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan
tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu,
imunisasi aktif juga perlu dilakukan.
B. Saran
Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit difteri yang
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae sebaiknya
melakukan imunisasi aktif sejak dini.
6
Daftar Pustaka