Konsepsi Al Ghazali Tentang Fiqh Dan Tas 9ac0c9b7
Konsepsi Al Ghazali Tentang Fiqh Dan Tas 9ac0c9b7
Oleh: Deswita*
Abstract: Al-Ghazali was a sufism and a “faqih”. He was a smart and intelligent one. He knew
of how to combine the ability of “fiqh” and sufism. In combining the two knowledges, he
usually saw the internal aspects between the two eventhough they were different focus of
study, but they were could not be separated each other. He thought that sufism gave
something important to ‘Fiqh” because they sould standed together.
* Penulis adalah Lektor dalam Mata Kuliah Ilmu Tasawuf STAIN Batusangkar
84
Deswita, Konsepsi al-Ghazali tentang Fiqh dan Tasawuf 85
pegang teguh kepada kaidah-kaidah kum syara’ yang terbatas pada di-
formal syariat sebagai langkah awal mensi formalistic.
bagi seseorang yang bermaksud me- Pemaknaan fiqh seperti ini
rambah jalan menuju Allah. ditolak oleh Al-Ghazali, karena me-
Al-Ghazali sama sekali meno- nurut Al-Ghazali berdasarkan apa
lak teori kesatuan, dia menyodorkan yang terdapat dalam, pertama, al-
teori baru tentang ma’rifat dalam Quran (Q.S.al-A’raf: 179), fiqh ber-
batas pendekatan diri kepada Allah kenaan dengan masalah keimanan,
(taqarrub ila Allah), tanpa diikuti bukan persoalan fatwa- fatwa. Dan
penyatuan dengan-Nya. Jalan me- alan surat al-Hasyar ayat 13 di-
nuju ma’rifat itu adalah perpaduan tegaskan bahwa kecilnya ketaqwaan
ilmu dan amal, sementara buahnya kepada Allah dan besarnya peng-
adalah moralitas. Ringkasnya Al- hormatan kepada kekuasaan makh-
Ghazali patut dinilai berhasil dalam luk disebabkan sedikitnya fiqh yang
mendiskripsikan jalan menuju Allah mereka miliki. Ayat ini menegaskan
SWT, sejak permulaan dalam bentuk bahwa fiqh berfungsi sebagai pem-
latihan jiwa, lalu menempuh fase- bangkit ketaqwaan, untuk tidak
fase pencapaian rohani dalam ting- mengatakan fiqh identik dengan
katan-tingkatan (maqomat) dan ke- takwa. Makna fungsional ini sejalan
adaan (ahwal) menurut jalan ter- dengan riwayat tentang pertanyaan
sebut, yang akhirnya sampai pada kepada Sa’ad ibn Ibrahim al-Zuhri:
fana’, tauhid, ma’rifat dan kebaha- “Siapakah diantara orang-orang
giaan. Al-Ghazali mempunyai jasa Madinah yang paling fakih”? Al-
besar dalam dunia Islam. Dia lah Zuhri menjawah “Yang paling ber-
orang yang mampu memadukan taqwa diantara mereka“. Secara
antara ketiga kubu keilmuan islam, implicit jawaba al-Zuhri ini me-
yakni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam, nunjukkepada taqwa sebagai buah
yang sebelumnya terjadi ketegangan. dari fiqh. Sebab, ketaqwaan adalah
buahnya ilmu yang berkaitan de-
ngan batin manusia, dan bukan ber-
KONSEP AL-GHAZALI TEN-
kenaan dengan fatwa dan keputusan
TANG FIQH
hukum. (Al-Ghazali, Ihya’: 79)
Dalam terminology ushuliy- Kedua, dalam hadis kata fikih
yun, fiqh dimaknai sebagai pe- bermakna pengetahuan agama
ngetahuan hukum syara’ yang ber- (“siapakah yang dikehedaki oleh
sifat praktis yang berkenaan dengan Allah kebaikan, maka ia dianugerahi
perbuatan mukallaf yang digali dari pemahaman dalam agama”), Yaitu
dalil-dalil terperinci. Karena itu, pengetahuan tentang masalah-ma-
aspek teologi dan akhlak, tidak di- salah keagamaan secara menye-
kategorikan sebagai fiqh. Bahkan, luruh. Akidah, ibadah, muamalah
pada era Al-Ghazali, makna fiqh dan akhlak merupakan kesatuan
dibatasi kepada pengetahuahn ten- yang tidak terpisahkan dalam pe-
tang hukum-hukum atau fatwa- mahaman dan pengamalan ke-
fatwa dan permasalahannya.Fiqh agamaan. Pemahaman Al-Ghazali ini
merupakan sekumpulan hukum-hu- merjuk kepada makna awal fiqh
sebagai ilmu yang berusaha men-
86 JURIS Volume 13, Nomor 1 (Juni 2014)
benar, karena yang paling tepat ataupun besar. Yang ada hanyalah
dalam kemungkinan ketiga, kita keterpesonaan dan keterpukauan.
gunakan istilah “menghilang” Menurut al-Ghazali, bisikan
(in‘idam) dan bukan “bersatu” suci dalam kalbu itulah yang se-
(ittihad). (Ibtahim Hilal; 2002) harusnya menjadi prinsip para wali,
Sementara, untuk pemikiran orang-orang yang mendalami ilmu-
inkarnasi, al-Ghazali menolak de- nya. Mereka, kata al-Ghazali, harus
ngan menjelaskan bahwa inkarnasi mengakui kelemahan dirinya dan
bias terjadi diantara dua materi rela menyinari jalan mereka dengan
(jism), padahal Allah yang bebas dari cahaya kenabian. Tidak seorang arif
sifat material, sangat mustahil inkar- pun yang boleh mengkalin dirinya
nasi terjadi padaNya. Inkarnasi ter- teah meraih makrifat sempurna
jadi di antara akside (ardh) dan tentang Allah. Sebab, tidak ada yang
substasi (jauhar), karena sesungguh- meraih mengetahui Alah dengan
nya aksidem aka nada nilainya bila sebanr-benarnya makrifat kecuali
disertai oleh substansi, dan hal ini Allah sendiri.
sangat tidak mungkin terjadi pada Dengan demikian, tidaklah be-
suatu Zat yang berdiri sendiri (atau nar adanya pengakuan yang dida-
tidak membutuhka yang lain). Al- sarkan atas spekulasi spiritual, ima-
Ghazali mengatakan bahwa daam jinasi, dan ucapan-ucapan akstatik
perkara ini jangan pernah menyebut yang menjerumuskan orang kepada
bahwa hal ini berlaku pada Allah. konsep inkarnasi atau pemikiran
Al-Ghazali tidak membahas lainnya dari berbagai mazhab, yang
lebih lanjut ihwal makrifat intuitif tidak mungkin mengantar mereka
(al-ma’rifah adz-dzawqiyyah), yang menuju kebenaran dan keyakinan.
merupakan kosep utama tasawuf- Dalam ruang lingkup itulah al-
nya. Sebab, al-Ghazali, sebagaimana Ghazali menempuh perjalanana tasa-
yang dikatakan oleh Ibnu Thufail, wufnya. Pemikirannya tentang ilmu
telah terasah dengan berbagai ilmu ladunni berdasarkan prinsip itu pula.
dan terpoles dengan makrifat. Ia berpendapat bahwa ilmu yaqin
(Ibrahim Hilal: 2002). Karena itu, adalah ilmu yang bisa menyingkap
pembahasan al-Ghazali tentang kon- objeknya dengan keterbukaan yang
sep makrifat senantiasa berada da- tidak menyisakan keraguan sedikit-
lam batas-batas agama. Ia tidak per- pun dan tidak dihantui oleh ke-
nah membiarkan dirinya hanyut mungkinan keliru dan salah duga.
dalam ucapan orang lain. (Al- Itulah makrifat para wali atau orang-
Ghazali, al-Munqidz min adh Dhalal: orang yang mendalam ilmunya (ar-
h. 131) rasikhun). Setiap ilmu yang diraih
Bisikan suci dalam kalbu lebih oleh manusia, tetapi tidak ber-
tinggi derajatnya daripada jejak yang dasarkan prinsip di atas atau keber-
ditempuh oleh kaki-kaki para arif, adaannya atas prinsip itu diragukan
dan lebih utama daripada segala adalah ilmu yang tidak bias diper-
sesuatu yang dapat dijangkau oleh caya sama sekali dan tidak terjamin
mata orang yang melihat, dan bah- dari kekeliruan. Dan ilmu yang tidak
kan sama sekali tidak dapat mencitra terjamin keamanannya tidak bias
sisi yang sangat tinggi itu, kecil
Deswita, Konsepsi al-Ghazali tentang Fiqh dan Tasawuf 89
disebut ilmu yakin. (Al-Ghazali: al- orang awam yang belum sanggup
Munqidz) berpikir cerdas, teratur dan meluas-
Al-Ghazali yakin bahwa cara kan ilmu pengetahuan, tak perlu
untuk meraih makrifat dalam bentuk memasuki soal-soal secra mendalam.
seperti itu tidak bisa diukur dengan Bagi si awam cukuplah dia berpe-
parameter rasional, melainkan bisa gang pada Al-Quran dan Sunnah.
diraih dengan kalbu dan mata batin Tidak perlu ikut campur dalam
(bashirah). Sementara itu, perjalanan menakwilkan ayat-ayat Al-Quran
kalbu dan mata matin berada di dan Hadits.
belakang rasio. Ada lagi tingkat manusia, ilmu-
Lebih lanjut, Imam Al-Ghazali nya baru: setengah perjalanan”, baru
memberikan uraian tentang makri- mendapat perkakas, tetapi bukan
fat, tingkat manusia, dan bahagia. alat dari hasilnya sendiri, hanyalah
Pertama, makrifat atau ilmu sejati diambil dari orang lain. Belum ada
bukanlah didapat semata-mata de- kesanggupan untuk membanding-
ngan akal. Makrifat atau ilmu sejati kan, maka akan timbul keraguan
yang sebenarnya adalah mengenal dalam hatinya.
Allah, mengenal wujud Tuhan me- Tetapi ada orang yang men-
liputi akan segala wujud. Tidak ada capai tingkat yang lebih tinggi.
yang wujud melainkan wujud Allah Orang itu tidak lagi berpegang pada
dan perbutanNya. (Oman Fathur- yang zahir nash semata-mata, tetapi
Rahman, 1999) meningkat kepada yang lebih tinggi
Di sinilah Al-Ghazali menjelas- dari itu, yaitu ilmu yang lebih ba-
kan pendiriannya yang berbeda de- nyak dapat dirasakan daripada di-
ngan al-Hallaj dan sufi lainnya yang ungkapkan. Itulah anugerah istime-
terkesan wujudnya itu ialah Ke- wa dari Allah. Dia dapat menyaksi-
satuan Semesta (Wihdatul wujud). kan yang haqq dengan Nur cahaya
Alam seluruhnya adalah makhluk, keyakinan.
dan bukti tentang kekuasaan dan Maka beliau membagi derajat
kebesaranNya. Apabila telah tajalli yang mencapai iman dan yakin itu
(jelas) dalam hati makrifat akan kepada tiga tingkat, yaitu (1) tingkat
hakikat keTuhanan itu, dan sifat- orang awam, yang mempunyai
sifat perbuatannya dan nikmat rah- kabar berita yang dibawa oleh prang
mat yang terkandung pada kejadian dipercayainya. (2) iman orang awam,
dunia dan akhirat, itulah bahagia. dia dapat kepercayaan dengan mem-
(Sayyid Hosein Nasr: 2000). Oleh banding, meneliti dan memeriksa
kaum filsafat, itulah yang dikatakan dengan segenap kekuatan akal dan
surga. Dan oleh ahli haqq, itulah mantiqnya. (3) iman orang Arifin,
sebab yang menjadikan manusia tumbuh keyakinan mereka setelah
masuk surga. menyaksikan sendiri akan kebenaran
Kedua, tingkat manusia. Me- itu dengan tidak ada hijab lagi.
nurut Al-Ghazali, kecerdasan dan (Hamka; 1986)
kesanggupan akal manusia tidaklah Menurut al-Ghazali, orang
sama antara orang awam dengan Arifin yang telah mencapai martabat
khawas. (Harun Nasution, 1989). Se- seperti ini, itulah kecintaan kepada
hingga beliau menasehatkan supaya Tuhan yang telah bertemu dengan
90 JURIS Volume 13, Nomor 1 (Juni 2014)
DAFTAR PUSATAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid, t.th. Ihya’ Harun Nasution, 1989, Falsafah dan
Ulumuddin, Semarang: Toha Mistisisme Dalam Islam, Jakarta:
Putra. Bulan Bintang.
_____, 2008. Rasa’il Al-Ghazali, Ibrahim Hilal, 2002, Tasawuf Antara
Jakarta: Diadit Media. Agama Dan Filsafat, Bandung:
Pustaka Hidayah.
_____, 2005, Raudhah Taman Jiwa
Kaum sufi, Surabaya: Risalah Jalaluddin Rahmat,2000, Kuliah-
Gusti. Kuliah Tasawuf, Bandung:
Pustaka Hidayah
Abdul Halim, Mahmud, 2001,
Penyelamat Dari kesesatan, Aspek- Al-Kalabadzi, 1969, Al-Ta’arruf
aspek Tashawuf Al-Munqidhmin Limazhabi Ahli al-Tasawwuf,
Adh Dhalaal Al-Ghazali, Kairo: Maktabah al-Kulliyah
Bandung: Pustaka Setia
Oman Fathurahman, 1999, Tanbih al-
_____, 1998, Hal Ihwal Tasawuf, Dar Masyi Menyoal Wahdatul Wujud:
ul Ihya. Kasus AbdulRauf Sinkel di Aceh
Abad 17, Bandung: Mizan
Hamka, 1984, Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya, Jakarta: Syamsun Ni’am, 2001, Cinta Ilahi
Pustaka Panjimas. Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah
dan Jalaluddin Rumi, Surabaya:
Risalah Gusti.
86 JURIS Volume 13, Nomor 1 (Juni 2014)