Anda di halaman 1dari 127

Valuasi Sumberdaya Alam

TEKNOLOGI DAN ANALISA POTENSI


KOMODITAS UNGGULAN NUSANTARA
2015 – 2019

Editor
Agustan
Anisah
Doni Fenando Putra

Penerbit
BPPT – Press
Gedung II Lantai 4
Jl.MH.Thamrin No.8 Jakarta 10340
Telp.021-316 9091, 316 9093
Fax.021-310 1802

November 2015

i
TIM PENULIS
Penulis
Agustan
Anisah
Asep Dadang Irawan
Budi Heru Santosa
Doni Fernando Putra
Meuthia Djoharin
Oni Bibin Bintoro
Rony M. Bishri
Syaefudin
Tiara Grace Latuheru
Wisnu Ali Martono

Editor
Agustan
Anisah
Doni Fernando Putra

Penata Letak
Doni Fernando Putra
Riissiyani

Perancang Sampul Buku


Anisah

Desain Peta
Dionysius Bryan Sencaki
Ruki Ardiyanto

ii
TEKNOLOGI DAN ANALISA POTENSI
KOMODITAS UNGGULAN NUSANTARA
2015 – 2019

ISBN 978-602-1124-95-6

November 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun
seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari Penerbit

Diterbitkan oleh :
BPPT PRESS
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Anggota IKAPI, No. 476/DKI/III/2014

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang


Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44
Tentang Hak Cipta

Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak
suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).

iii
SAMBUTAN
DEPUTI KEPALA BPPT
BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA ALAM

Seiring dengan bergulirnya reformasi nasional di berbagai bidang,


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah melaksanakan
Reorganisasi yang bertujuan untuk memperkuat kompetensi disetiap
unit kerja dan melakukan harmonisasi Tugas Pokok dan Fungsi
Organisasi BPPT sebagai sebuah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (LPNK) yang dikordinasikan oleh Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Melalui
Reorganisasi tersebut, diharapkan BPPT semakin mampu berkiprah
dalam pengembangan, pemanfaatan, penguasaan dan pemasyarakatan
teknologi untuk menghadapi era globalisasi.
Saya menyambut baik terbitnya buku “Teknologi dan Analisa Potensi
Komoditas Unggulan Nusantara 2015 - 2019” ini sebagai suatu upaya
untuk menyebarluaskan konsep-konsep dan hasil penelitian dari
peneliti, perekayasa dan staf di Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber
Daya Alam (PTISDA), BPPT.
Kepada para penulis yang telah menyumbangkan buah pikirannya dan
kepada para penyunting yang telah mewujudkannnya menjadi sebuah
buku, saya ucapkan selamat dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Sedangkan kepada para pembaca saya anjurkan untuk membacanya
secara kritis agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Semoga
apa yang telah dicapai Direktorat PTISDA selama ini dapat berlanjut
dan bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi usaha kita bersama.

iv
Jakarta, Desember 2015
Deputi Kepala BPPT
Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya
Alam.

Prof. Ir. Wimpie Agoeng Noegroho A, MSCE, Ph.D

v
SAMBUTAN
DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI
SUMBERDAYA ALAM

Buku ini merupakan hasil dari serangkaian diskusi yang membahas


konsep dan penelitian mengenai sebuah filosofi dasar dalam
pengembangan sumberdaya wilayah yaitu bagaimana memberdayakan
masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Salah satu strategi
pemerintah mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah
adalah pengembangan pusat pusat pertumbuhan ekonomi daerah
yang sudah ada dan potensial cepat tumbuh, yang berdasarkan
potensi dan keunggulan wilayahnya kemudian direalisasikan melalui
program pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan
pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).
Penigkatan investasi dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam
di wilayah KAPET pada sektor bidang pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan dan kelautan, peternakan, pertambangan serta
pariwisata. Peluang investasi di wilayah KAPET berbasis sumberdaya
alam yang besar ini sering kali tidak tersampaikan kepada calon
investor sehingga potensi sumberdaya alam yang ada di wilayah
KAPET tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Untuk itulah
buku ini disusun untuk menginformasikan potensi potensi produk
komoditas yang dapat dilakukan dalam berbagai daerah KAPET.
Buku ini dimulai dengan sejarah dan latar belakang Kawasan Ekonomi
Terpadu (KAPET) yang dibahas secara runtun oleh Agustan, Asep
Dadang dan Tiara Grace. Pembahasan dilanjutkan oleh Oni Bibin
Bintoro, yang meletakkan pengelolaan KAPET dalam konteks Realisasi
Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Kemudian dilanjutkan dengan tulisan
peran KAPET dalam konektivitas nasional, yang ditulis oleh Budi Heru
Santosa. Ketiga tulisan utama ini dikelompokkan pada bagian pertama
sebagai gambaran umum dari buku ini.
Selanjutnya, Bagian Dua membahas metode dan hasil penelitian
mengenai pemeringkatan komoditas unggulan oleh Rony M Bishri dan

vi
Anisah. Bagian Tiga mengulas distribusi sentra potensi komoditas
nusantara oleh Wisnu Ali Martono, Doni Fernando Putra, Agustan,
Meuthia Djoharin, Anisah dan Syaefudin. Bagian penutup merangkum
seluruh potensi pengembangan komoditas nusantara oleh Agustan,
Rony M Bishry, Wisnu Ali Martono, Syaefudin dan Budi Heru Santosa.
Tulisan tulisan pada keempat bagian ini merupakan gagasan dan hasil
penelitian para peneliti, perekayasa dan staf di Pusat Teknologi
Inventarisasi Sumber Daya Alam (PTISDA), BPPT.
Atas nama Direktorat PTISDA, saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tulus kepada berbagai pihak yang telah memberi
sumbangan pemikiran, sehingga buku ini bisa diwujudkan.
Penghargaan ditujukan kepada Dr Agustan, dkk sebagai penyunting
utama yang bekerja keras agar buku ini dapat diterbitkan. Begitupula
penghargaan kepada Dr Rony M Bishry yang akan pensiun dan
memperoleh penugasan baru sebagai komisioner Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Tentu saja, upaya penerbitan
berbagai gagasan dan hasil penelitian dalam bentuk buku seperti ini
mengandung berbagai kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran
perbaikan, akan sangat dihargai.

Jakarta, Desember 2015


Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber
Daya Alam (PTISDA),
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Dr. Ir. Muhamad Sadly M.Eng

vii
Kata Pengantar

Buku Teknologi dan Analisa Potensi Komoditas Unggulan Nusantara


2015-2019 merupakan buku yang berisi rangkuman tentang potensi
dan sebaran komoditas unggulan pada pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi daerah.Komoditas ini diinventarisasi dan divaluasi untuk
mendukung pembangunan pada wilayah atau kawasan berbasis
pengembangan ekonomi terpadu.
Kebijakan pembangunan nasional sebelumnya telah menentukan ada
13 KAPET yang bertujuan untuk mempercepat pemerataan
pembangunan di luar Pulau Jawa. Dari berbagai komoditas yang
tersedia, diperlukan pemeringkatan komoditas melalui analisis dan
valuasi untuk menentukan potensi unggulan yang sebaiknya digarap
secara terpadu. Secara garis besar penyajian tulisan didalam buku ini
dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu : Gambaran Umum
KAPET, Metodologi, dan Distribusi Sentra Potensi Komoditas
Nusantara.
Dalam penyusunan buku ini, Tim Penulis mendapatkan bantuan dan
dukungan dari banyak pihak sehingga buku ini dapat diselesaikan.
Ucapan terimakasih kepada Direktur Pusat TISDA atas bimbingan dan
arahan sehingga buku ini dapat terwujud. Ucapan terimakasih
disampaikan pula kepada rekan-rekan yang turut menyumbangkan
materi tulisan untuk buku ini dan yang terlibat langsung pada
kegiatan survey lapangan untuk mengumpulkan data secara langsung.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam cetakan ini
sehingga kritik dan masukan membangun selalu kami tunggu.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dalam teridentifikasinya
komoditas unggulan yang dapat menjadi prioritas investasi sebagai
rekomendasi dalam pengembangan ekonomi atau menjadi masukan
bagi penyusunan rencana wilayah dalam rangka peningkatan investasi.
Jakarta, November 2015
Tim Penulis

Bidang Teknologi Akuntansi Sumberdaya Alam


Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam
Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

viii
Daftar Isi
SAMBUTAN DEPUTI KEPALA BPPT BIDANG TEKNOLOGI PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA ALAM ............................................................................... IV
SAMBUTAN DIREKTUR PUSAT TEKNOLOGI INVENTARISASI SUMBERDAYA
ALAM ...................................................................................................... VI
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... XII
DAFTAR TABEL....................................................................................... XIII
BAGIAN I .................................................................................................. 1
GAMBARAN UMUM ................................................................................. 1
BAB 1 ....................................................................................................... 2
SEJARAH DAN LATAR BELAKANG KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI
TERPADU (KAPET) ..................................................................................... 2
BAB 2 ....................................................................................................... 4
REALISASI NAWACITA DAN RPJMN 2015 – 2019 ........................................ 4
2.1. NAWACITA ............................................................................................... 4
2.2. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM) TAHUN 2015 – 2019 .. 5
2.3. REALISASI NAWACITA DAN RPJMN 2015 – 2019 .......................................... 6
BAB 3 ..................................................................................................... 10
PERAN KAPET DALAM PROGRAM KONEKTIVITAS NASIONAL.................... 10
3.1. PERMASALAHAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN NASIONAL .......................... 10
3.2. KAPET SEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL ......................................... 12
3.3. PENGUATAN KONEKTIVITAS NASIONAL ........................................................ 13
BAGIAN II ............................................................................................... 16
METODOLOGI ......................................................................................... 16
BAB 4 ..................................................................................................... 17
PEMILIHAN DAN PEMERINGKATAN KOMODITAS UNGGULAN .................. 17
4.1. PEMILIHAN KOMODITAS ........................................................................... 17
4.2. PEMERINGKATAN KOMODITAS ................................................................... 18
BAB 5 ..................................................................................................... 22
NILAI EKONOMIS KOMODITAS UNGGULAN ............................................. 22
BAGIAN III .............................................................................................. 25
DISTRIBUSI SENTRA POTENSI KOMODITAS NUSANTARA .......................... 25

ix
BAB 6 ..................................................................................................... 26
KOMODITAS TANAMAN PANGAN: PADI, KETELA, DAN ............................ 26
JAGUNG ................................................................................................. 26
6.1. PADI ...................................................................................................... 26
6.2. UBI KAYU ............................................................................................... 28
6.3. JAGUNG ................................................................................................. 29
BAB 7 ..................................................................................................... 31
KOMODITAS HUTAN DAN PERKEBUNAN: ROTAN, SAWIT, KARET, KOPI,
PALA, KAKAO DAN CENGKEH .................................................................. 31
7.1. CENGKEH ............................................................................................... 31
7.2. KAKAO ................................................................................................... 33
7.3. KARET .................................................................................................... 36
7.4. KELAPA DALAM ....................................................................................... 37
7.5. KELAPA SAWIT ........................................................................................ 39
7.6. KOPI ...................................................................................................... 39
7.7. PALA ..................................................................................................... 41
BAB 8 ..................................................................................................... 44
KOMODITAS HEWAN TERNAK SAPI ......................................................... 44
BAB 9 ..................................................................................................... 49
KOMODITAS HORTIKULTURA DAN BUAH-BUAHAN .................................. 49
9.1. HORTIKULTURA ....................................................................................... 49
9.2. BUAH-BUAHAN ....................................................................................... 52
BAB 10 ................................................................................................... 54
KOMODITAS KELAUTAN DAN PERIKANAN: PERIKANAN TANGKAP,
PERIKANAN BUDIDAYADAN RUMPUT LAUT ............................................ 54
10.1. PERIKANAN TANGKAP ............................................................................. 54
10.2. PERIKANAN BUDIDAYA ........................................................................... 56
10.3. BUDIDAYA RUMPUT LAUT ....................................................................... 58
BAB 11 ................................................................................................... 60
KOMODITAS MINERAL DAN PENGOLAHAN:............................................. 60
GARAM, BAUKSIT, NIKEL DAN BIJIH BESI ................................................. 60
11.1. GARAM ................................................................................................ 60
11.2. BAUKSIT ............................................................................................... 61
11.3. NIKEL................................................................................................... 62
11.4. BIJIH BESI ............................................................................................. 64

x
BAGIAN IV .............................................................................................. 66
PENUTUP ............................................................................................... 66
BAB 12 ................................................................................................... 67
POTENSI PENGEMBANGAN KOMODITAS NUSANTARA ............................. 67

xi
Daftar Gambar

Gambar 2.1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ........................... 5


Gambar 2.2. Sinergitas RPJM dan Visi Kepemimpinan Nasional ..................... 7
Gambar 3.1. Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Pulau, Tahun 2013.......................................................................................... 11
Gambar 3.2. Pergerakan aliran barang dari dan keluar wilayah NTT ........... 12
Gambar 3.3. Letak geografis 13 KAPET di seluruh Indonesia......................... 13
Gambar 4.1. Diagram alir analisis multikriteria ............................................. 19
Gambar 6.1. Produksi Padi dari 5 wilayah KAPET di Indonesia...................... 28
Gambar 6.2. Produksi Ubi Kayu dari 3 wilayah KAPET di Indonesia .............. 29
Gambar 6.3. Produksi Jagung dari 4 wilayah KAPET di Indonesia ................. 30
Gambar 7.2. Produksi Cengkeh dari wilayah KAPET Seram dan Manado-
Bitung ............................................................................................................. 33
Gambar 7.2. Produksi Kakao dari 7 Wilayah KAPET di Indonesia .................. 36
Gambar 7.3. Produksi Karet dari 9 Wilayah KAPET Khatulistiwa................... 37
Gambar 7.4. Produksi Kelapa Dalam dari 3 Wilayah KAPET di Indonesia ..... 38
Gambar 7.5. Produksi Kelapa Sawit pada Wilayah KAPETBatulicin (Biru) dan
Daskakab (Merah) .......................................................................................... 39
Gambar 7.6. Pohon Industri Kopi ................................................................... 40
Gambar 7.7. Produksi Kopi Wilayah KAPET Bandar Aceh Darussalam dan
Pare-Pare ........................................................................................................ 41
Gambar 7.8. Pohon Produksi Komoditas Pala................................................ 42
Gambar 7.9. Produksi Pala untuk dua Wilayah KAPET di Indonesia .............. 43
Gambar 8.1. Pohon Industri Komoditas Sapi ................................................. 44
Gambar 8.2. Produksi Sapi dari 3 Wilayah KAPET di Indonesia ..................... 46
Gambar 10.1. Tempat Pendaratan Pelelangan Ikan di Kema, Kabupaten
Minahasa Utara ............................................................................................. 54
Gambar 10.2. Produksi Perikanan Tangkap4 Wilayah KAPET ....................... 56
Gambar 10.3. Luas ArealPerikanan Budidaya Wilayah KAPET Pare-Pare ..... 57
Gambar 10.4. Produksi Perikanan BudidayaPerikanan Tangkap Wilayah Pare-
Pare ................................................................................................................ 58
Gambar 10.5. Luas Areal dan Produksi Rumput Laut 2 Wilayah KAPET ........ 59
Gambar 11.1. Ilustrasi Lokasi Pertambangan Nikel di Pomalaa, Sulawesi
Tenggara ........................................................................................................ 62
Gambar 11.2. Ilustrasi Pabrik Pengolahan Nikel di Pomalaa, Sulawesi
Tenggara ........................................................................................................ 63

xii
Daftar Tabel

Tabel 4.1. Parameter Pemeringkatan Komoditas Unggulan ......................... 21


Tabel 6.1. Luas Lahan dan Produksi Padi dari 5 wilayah KAPET di Indonesia
........................................................................................................................ 27
Tabel 6.2. Luas Lahan dan Produksi Keteladari 3 wilayah KAPET di Indonesia
........................................................................................................................ 28
Tabel 6.3. Luas Lahan dan Produksi Jagungdari 4 wilayah KAPET di Indonesia
........................................................................................................................ 30
Tabel 7.1. Luas Lahan dan Produksi Kakao dari X Wilayah KAPET di Indonesia
........................................................................................................................ 35
Tabel 7.2. Luas Lahan dan Produksi Karet dari Wilayah KAPET Khatulistiwa 36
........................................................................................................................ 36
Tabel 7.3. Luas Lahan dan Produksi Kelapa Dalam dari Wilayah KAPET
Indonesia ........................................................................................................ 37
Tabel 7.4. Luas Lahan dan Hasil Produksi Tanaman Pala KAPET di Indonesia43
........................................................................................................................ 43
Tabel 8.1. Produksi Sapi dari 3 Wilayah KAPET di Indonesia ......................... 46
Tabel 9.1. Produksi Cabe Merah Besar di Wilayah KAPET Pare-Pare Tahun
2013................................................................................................................ 50
Tabel 9.2. Produksi Bawang Merah di Wilayah KAPET Pare-Pare Tahun 2013
........................................................................................................................ 51
Tabel 9.3. Produksi Tomat di Wilayah KAPET Pare-Pare Tahun 2013........... 51
Tabel 9.4. Produksi Buah Buahan di wilayah Kapet Pare-Pare, 2013 ........... 52
Tabel 10.1. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Wilayah KAPET
Indonesia ........................................................................................................ 55
Tabel 10.2. Luas Areal dan Produksi Perikanan Budidaya di Wilayah KAPET
Pare-Pare ........................................................................................................ 57
Tabel 10.3. Luas Areal dan Produksi Rumput Laut di Wilayah KAPET ........... 59
Tabel 11.1. Potensi Bauksit KAPET Khatulistiwa ............................................ 62
Tabel 12.1. Ringkasan Komoditas pada Wilayah KAPET ................................ 68
Tabel 12.2. Ringkasan Hasil Analisis Prioritas Pengembangan Komoditas
pada Wilayah KAPET ...................................................................................... 69
Tabel 12.3. Klasifikasi Potensi Emirat Komoditas pada Wilayah KAPET ........ 70
Tabel 12.4. Model Bisnis Wilayah KAPET ....................................................... 71

xiii
Bagian I
Gambaran Umum

1
Bab 1
Sejarah dan Latar Belakang Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET)
Agustan, Asep Dadang Irawan, Tiara Grace Latuheru

Konstitusi Republik Indonesia mengamanatkan bahwa pemerintah negara


Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Memajukan kesejahteraan umum memperlihatkan cita-cita luhur pendiri
bangsa bahwa bangsa Indonesia harus sejahtera secara bersama-sama
melalui pembangunan nasional. Idealnya, hasil pembangunan nasional harus
dapat dinikmati secara bersama-sama dari Sabang sampai Merauke tanpa
kesenjangan yang besar.
Pemerintah telah membuat strategi untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah yaitu:
1) Melalui upaya pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat
tumbuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya
dalam mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk
unggulan daerah terutama di wilayah luar Jawa;
2) Percepatan pembangunan di wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil;
3) Pengembangan wilayah perbatasan yang berorientasi ke luar
(outward looking) dan berdasarkan pendekatan kesejahteraan
(prosperity approach) selain menggunakan pendekatan yang bersifat
keamanan (security approach);
4) Pengembangan kota-kota metropolitan, besar, menengah dan kecil
secara seimbang, sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang sesuai
dengan sistem perkotaan nasional, dan mendukung pengembangan
perdesaan;
5) Peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan
dengan orientasi pada keunggulan komparatif sumber daya lokal
dan didukung oleh sektor industri, jasa dan perdagangan, dengan
infrastruktur yang menunjang keterkaitan perdesaan dengan pusat-
pusat pertumbuhan;
6) Keserasian pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta
penatagunaan tanah; serta
7) upaya-upaya penyiapan strategi pengurangan resiko bencana yang
mandiri dan berkelanjutan pada wilayah-wilayah yang memiliki

2
karakter berdekatan dengan gejala bencana alam dan rentan
terhadap perubahan iklim global.
Strategi pertama, untuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
daerah yang sudah ada dan potensial cepat tumbuh, berdasarkan potensi
dan keunggulan wilayah direalisasikan melalui program pengembangan
Kawasan Sentra Produksi (KSP), dan pengelolaan Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET).
KAPETtermasuk dalam kawasan strategis nasional dan dijamin melalui UU
No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Secara umum Kapet dapat
didefinisikan sebagai wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang
memiliki potensi untuk cepat tumbuh dan mempunyai sektor unggulan yang
dapat mengerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya dan
memerlukan dana investasi yang besar untuk pengembangannya.
Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, fungsi Kapet direvitalisasi
melalui Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000 untuk memadukan potensi
kawasan dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi kawasan
melalui pengembangan sektor unggulan yang menjadi penggerak utama
(prime mover) kawasan.Fungsi ini bertumpu pada prakarsa daerah dan
masyarakat, sumber daya yang dimiliki, posisi yang strategis terhadap akses
pasar, mempunyai sektor unggulan, dan mampu memberikan dampak
pertumbuhan dan pengembangan pada wilayah sekitarnya.
Lokasi KAPET diusulkan oleh daerah yang dipilih dari kawasan andalan yang
tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).Peningkatan
investasi dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah
KAPET pada sektor bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan
dan kelautan, peternakan, pertambangan serta pariwisata.
Peluang investasi di wilayah KAPET berbasis sumber daya alam yang besar
ini sering kali tidak tersampaikan kepada calon investor sehingga potensi
sumber daya alam yang ada di wilayah Kapet tersebut belum bisa
dimanfaatkan secara optimal.
---o0o---

3
Bab 2
Realisasi Nawacita dan RPJMN 2015 – 2019
Oni Bibin Bintoro

2.1. Nawacita
Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong merupakan visi pemerintah Indonesia saat ini
yang dijabarkan dari cita cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi negara.
Kepemimpinan nasional saat ini mengusung agenda pemerintahan yang
bernama Nawa Cita. Nawacita adalah istilah umum yang diserap dari bahasa
Sanskerta, nawa (sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan). Dalam
konteks pemerintahan Indonesia, istilah ini merujuk kepada visi-misi yang
dipakai oleh pasangan presiden/wakil presiden Joko Widodo/Jusuf Kalla
yang berisi agenda pemerintahan. Dalam visi-misi tersebut dipaparkan
sembilan agenda pokok untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-
cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara
politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Visi
yang sejalan dengan hal tersebut dan dijabarkan dalam 9 (Sembilan) agenda
prioritas pembangunan (Nawa Cita) yang juga sejalan dengan RPJM ke tiga.
NawaCita merupakan 9 agenda prioritas pembangunan nasional pemerintah,
periode 2015-2019 yang terdiri dari:

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi


segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara
2. Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis dan terpercaya
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan
4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat dan terpercaya
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia

4
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di
pasar internasional
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik
8. Melakukan revolusi karakter bangsa
9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat
restorasi sosial indonesia

2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun


2015 – 2019
Letak geografis Indonesia yang sangat strategis di lintas perdagangan dunia
juga mempunyai peranan penting di kawasan Asia Tenggara. Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan direalisasikan tahun 2015 seharusnya
menjadi salah satu pendorong kebangkitan Indonesia dalam meningkatkan
kemampuan dan ketahanan nasional yang salah satunya melalui keunggulan
di bidang produk produk unggulan komoditas daerah.

Gambar 2.1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Berdasarkan Undang Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, disebutkan
bahwa visi pembangunan nasional sampai tahun 2025 adalah Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur. Rencana pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) 20 tahun ini dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) setiap 5 tahun.

5
Prioritas pada tahap RPJM ke tiga periode 2015 – 2019 adalah memantapkan
pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan
keunggulan kompetitif perekonomian berbasis sumberdaya alam yang
tersedia, sumberdaya manusia yang berkualitas dan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Sumberdaya alam merupakan modal dasar pembangunan dan merupakan
komponen penting dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah. Namun,
sejauh ini masih begitu banyak sumberdaya alam Indonesia yang belum
terjamah dan terinventarisasi dengan lengkap.

2.3. Realisasi Nawacita dan RPJMN 2015 – 2019


Perkembangan di zaman globalisasi yang seakan tanpa batas menjadi
tantangan sendiri dalam mempertahankan jati diri, kedaulatan dan
kemandirian bangsa dalam segala bidang, utamanya bidang produk
unggulan daerah.
Indonesia mempunyai sumberdaya alam (SDA) yang berlimpah yang dapat
diperoleh dari sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan,
peternakan, perkebunan serta pertambangan dan energi. Tetapi secara
umum dapat dikatakan bahwa inventarisasi, pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut masih belum optimal dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kekayaan sumberdaya alam ini perlu dimanfaatkan untuk sebesar besar
kemakmuran rakyat tetapi dengan tetap melaksanakan aspek keseimbangan
dan keberlanjutan. Untuk menjamin hal tersebut, informasi dasar tentang
apa, siapa, di mana, mengapa, kapan dan bagaimana sumberdaya alam
tersebut sangat dibutuhkan. Salah satu komponen dasar untuk menjawab
hal tersebut adalah informasi spasial atau informasi yang terkait dengan
potensi komoditi daerah.
Dalam keterkaitan antara RPJMN dengan Nawacita, khususnya pada
program ke 6 dan ke 7 dari Nawacita disebutkan bahwa program
pembangunan untuk “meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di
pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit
bersama bangsa bangsa Asia lainnya serta mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor sektor strategis ekonomi domestik”.

6
Gambar 2.2. Sinergitas RPJM dan Visi Kepemimpinan Nasional

Tujuan umum dari analisis ini adalah memberikan rekomendasi


kepada pemerintah berbasiskan fakta nyata (evidence-based)
dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Lebih
spesifik, tujuan yang hendak dicapai pada kegiatan ini adalah:
a. Menemukan Best Practices pengalaman pembangunan
di Indonesia dan luar negeri terkait lima sub tema
pembangunan (ketahanan pangan, ketahanan energi,
kemaritiman, industri dan pariwisata) untuk dapat
direplikasikan dalam kebijakan pembangunan
Indonesia pada saat ini.
b. Memberikan rekomendasi kebijakan pembangunan
melalui evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan
KAPET agar dapat mendukung tujuan pembangunan
pemerintahan saat ini.

7
Tema kajian dan analisa ini dibagi dalam lima sub tema
pembangunan (didasari pada lima prioritas pembangunan
seperti yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK), yaitu:

Subtema 1: Ketahanan Pangan


pengembangan pertanian organik dan padi produktif;
pertanian ramah lingkungan; peningkatan produktifitas
daging;
pengembangan desa mandiri pangan;
diversifikasi pangan, dan peningkatan produktifitas
pangan.

Subtema 2: Ketahanan Energi


energi baru terbarukan:energi mikrohidro;
pemanfaatan pembuangan (waste) menjadi energi
misalnyasolid waste/biogas.

Subtema 3: Kemaritiman
1. perikanan yang dapat menambah value added yang
meliputi budi daya tangkap, pengolahan dan budidaya
ramah lingkungan;
2. wisata bahari dengan memanfaatkan keindahan alam
tanpa merusak lingkungan;
3. pengolahan ikan;
4. pengembangan transportasi laut.

Subtema 4: Industri
industri ramah lingkungan (clean industry);
pengembangan kawasan industri; pengembangan
technopark;
pengembangan infrastruktur industri.

Subtema 5: Pariwisata
pemasaran wisata diluar negeri dan dalam negeri;
pemasyarakatan local branding;
8
wisata bahari/ sungai.

Implikasi praktis dari pemikiran diatas adalah perlunya diketahui potensi


potensi produk komoditas yang dapat dilakukan dalam berbagai daerah
KAPET dalam bab bab selanjutnya. Eksplorasi potensi komoditas
dikombinasikan dengan informasi keruangan yang diperoleh dengan cepat
dan akurat juga sangat menentukan dalam merencanakan, melaksanakan
dan mengevaluasi kegiatan.

---o0o---

9
Bab 3
Peran KAPET dalam Program Konektivitas Nasional
Budi Heru Santosa

3.1. Permasalahan Ketimpangan Pembangunan Nasional


Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025
mengamanatkan arah dan kebijakan pengembangan wilayah dalam rangka
mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan. Artinya, dalam
pengembangan wilayah harus diperhatikan potensi dan peluangkeunggulan
sumber daya darat dan atau laut di setiap wilayah dan memperhatikan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan.
Bila melihat hasil-hasil pembangunan hingga saat ini, maka tampak sekali
ketimpangan terjadi antara wilayah-wilayah yang secara geografis terletak di
Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Ketimpangan tersebut
merupakan hasil dari program pembangunan selama ini yang tidak merata
sehingga ada banyak wilayah tertinggal terutama di Indonesia bagian Timur.
Untuk mengatasi masalah ini perlu didorong percepatan pembangunan di
wilayah-wilayah tertinggal dalam suatu sistem wilayah pengembangan
ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah
administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata
rantai produksi dan distribusi.
Tahapan Pembangunan dan Arahan Kebijakan RPJP Nasional Tahun 2015-
2019 periode ketiga yang dituangkan di dalam RPJM 2015-2019 adalah
Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA
yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK. Isu strategis
nasional yang mengawali periode ketiga ini antara lain:

Aktivitas ekonomi terkonsentrasi di kawasan perkotaan khususnya


di Pulau Jawa dan Sumatera, Kalimantan bagian timur, dan Sulawesi
bagian selatan.

Keterbatasan prasarana transportasi menyebabkan kegiatan industri


tidak menyebar ke wilayah-wilayah terbelakang dan terisolir.

Meningkatkan konektivitas antar wilayah melalui penyediaan


transportasi dapat memperbaiki akses industri dari pusat-pusat
pengolahan ke wilayah pemasaran (mengurangi biaya angkutan
komoditas dan barang konsumsi dan meningkatkandaya saing).

10
Kesenjangan ekonomi yang terjadi antara daerah maju dan daerah yang
belum maju ditunjukkan dengan adanya ketimpangan Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) berdasarkan pulau pada tahun 2013 (lihat gambar 1).
Salah satu penyebab terjadinya ketimpangan ini adalah tersedianya
infrastruktur yang lebih memadai di daerah maju tersebut bila
dibandingkan dengan infrastruktur di daerah lain.
Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk menganalisis kemajuan
industri pengolahan di suatu daerah adalah pergerakan aliran barang dari
dan ke suatu daerah.
Secara umum pergerakan aliran barang lebih banyak didominasi oleh aliran
dari pulau Jawa. Pada studi kasus wilayan Nusa Tenggara Timur pada tahun
2011, ditampilkan secara kuantitatif bagaimana aliran barang dari dan
keluar wilayah NTT ke wilayah lainnya. Data yang ada menunjukkan masih
rendahnya industri pengolahan di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua.

Gambar 3.1. Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Pulau, Tahun
2013 (Sumber: BPS)

11
Gambar 3.2. Pergerakan aliran barang dari dan keluar wilayah NTT

3.2. KAPET sebagai Kawasan Strategis Nasional


KAPET sebagai salah satu komponen dalam RPJMN dengan statusnya
sebagai Kawasan Strategis Nasional merupakan komponen yang harus
berpartisipasi dalam pencapaian arah dan tujuan RPJMN 2015-2019. Potensi
geografis 13 KAPET yang tersebar di wilayah Pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua diarahkan untuk mampu
menjadi penopang bagi sentra-sentra pengolahan berbasis SDA yang
dihasilkan di wilayah KAPET (gambar 3).Namun dengan perkembangan
KAPET yang ada hingga saat ini sepertinya program pembangunan berbasis
KAPET ini belum mencapai apa yang seharusnya sehingga perlu dilakukan
revitalisasi pengelolaan KAPET supaya program pembangunan di dalam
KAPET lebih terasa dan berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian
arah dan tujuan pembangunan nasional.
Secara konseptual, pengembangan KAPET merupakan rangkaian upaya
untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya,
merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan
wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan
antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan tidak
lagi dilihat dan diselenggarakan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan
sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah
yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan
keserasian pengelolaan berbagai sumber daya, yakni: alam, buatan, manusia,

12
dan keuangan, yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan
yang melingkupinya.

Gambar 3.3. Letak geografis 13 KAPET di seluruh Indonesia

3.3. Penguatan Konektivitas Nasional


Dengan dicanangkannya koridor-kodidor ekonomi dalam pembangunan,
KAPET yang terletak di koridor ekonomi Sumatera, koridor ekonomi
Kalimantan, koridor ekonomi Sulawesi, koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara,
koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku bisa berperan sebagai hinterland
bagi sentra-sentra yang ditetapkan. Dalam hal ini KAPET bisa diarahkan
menjadi penggerak pertumbuhan pada wilayah yang tingkat kesenjangannya
tinggi dan sekaligus menjadi hinterland bagi Koridor Ekonomidalam
hubungan hulu-hilir.
Pembangunan Koridor Ekonomi dilakukan melalui pendekatan peningkatan
konektivitas yang terintegrasi dalam rangka percepatan transformasi
ekonomi. Konektivitas di dalam koridor terdiri dari konektivitas utama yang
menghubungkan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan konektivitas pendukung
yang menghubungkan klaster industri dengan pusat kegiatan ekonomi
dengan infrastruktur pendukung berupa pelabuhan, pembangkit dan
jaringan transmisi listrik, dan sebagainya. Dalam koridor ekonomi, KAPET
diorientasikan menjadi klaster industri hulu yang mendukung Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) sehingga produk-produk dari KAPET dikirim ke KEK
untuk diolah sehingga terjadi proses nilai tambah di dalam KEK yang akan
berimbas pada peningkatan taraf ekonomi KAPET di belakangnya.

13
Di dalam KAPET sendiri yang terdiri dari area yang sangat luas, bisa jadi
terdapat Pusat KAPET, Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT), Kabupaten-
kabupaten dengan komoditas unggulan masing-masing yang berbeda-beda,
KEK dengan sarana pengolahan dan infrastruktur perhubungannya. Antar
komponen di dalam KAPET ini diarahkan untuk saling mendukung proses
peningkatan nilai tambah dalam mata rantai industri hulu-hilir produk
unggulan daerah yang berasal dari kawasan penghasil komoditas yang
bermuara pada industri pengolahan untuk kemudian dipasarkan di kawasan
regional atau pun nasional dan ekspor.
Penguatan internal KAPET ini menjadi salah satu batu penyusun Program
Penguatan Konektivitas Nasional yang merupakan salah satu strategi yang
ditempuh dalam rangka percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
nasional. Tiga tujuan program peningkatan konektivitas yang didukung oleh
keberadaan KAPET antara lain:
1. Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama untuk
memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan,
bukan keseragaman, melalui intermodal supply chains systems.
2. Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah
belakangnya (hinterland).
3. Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang
inklusif dan berkeadilan) melalui peningkatan konektivitas dan
pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan
dalam rangka pemerataan pembangunan.

Ketiga tujuan program tersebut bisa diintegrasikan di dalam Rencana Detil


Tata Ruang (RDTR) KAPET yang salah satu bahasannya adalah
Pengembangan Infrastruktur Wilayah yang terdiri dari infrastruktur berupa
jaringan jalan dan jembatan, kereta api, pelabuhan, bandara, listrik, dan
jaringan air bersih. Bila program pembangunan infrastuktur ini terlaksana
maka jaringan hinterland – kawasan pengolahan akan bisa terealisasi dan
menjadi penopang bagi arus barang baku dari KAPET menuju pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi utama dan sekaligus mendukung penyebaran
manfaat pembangunan secara luas hingga ke seluruh wilayah KAPET. Proses
dua arah ini akan berjalan secara iteratif sejalan dengan meningkatnya
kualitas dan kuantitas infrastruktur pendukung konektivitas di dalam
KAPET.
Peningkatan konektivitas pada koridor ekonomi yang ada didasarkanpada
keselarasan empat elemen kebijakan nasional yang terdiri dari Sistem

14
Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas),
Pengembangan wilayah (RPJMN/RTRWN), dan Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Keselarasan tersebut dilakukan untuk dapat mewujudkan
konektivitas nasional yang efektif, efisien, dan terpadu dalam rangka
meningkatkan daya saing nasional.
Penyelerasaan konektivitas perlu dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia,
dan KAPET sebagai Kawasan Strategis Nasional berlaku sebagai simpul
konektivitas nasional. Untuk itu diperlukan investasi secara masif ke
wilayah di bagian timur Indonesia yang cenderung memiliki ketersediaan
jaringan transportasi yang sangat minim karena kondisi geografis dan aspek
lainnya.
Dalam konteks yang lebih luas lagi, KAPET bisa berperan sebagai komponen
dalam sistem konektivitas nasional yang efektif dan efisien yang saling
terkait satu dengan yang lainnya serta memiliki peran sebagai pintu
internasional. Dalam hal ini, pengembangan pelabuhan dan bandara dengan
fasilitas perdagangan dan industri secara efektif dan efisien akan menjadi
kunci utama untuk mencapai tujuan tersebut.
Diharapkan Pemerintah bisa memposisikan dirinya sebagai motor
penggerak dalam pembangunan infrastruktur dasar untuk mendukung
integrasi perekonomian dengan melakukan identifikasi simpul-simpul
transportasi (transportation hubs) dan pusat distribusi untuk memfasilitasi
kebutuhan logistik bagi komoditi utama dan penunjang serta peningkatan
jaringan komunikasi dan teknologi informasi untuk memfasilitasi seluruh
aktifitas ekonomi, aktivitas pemerintahan, dan sektor pendidikan nasional.
Dalam mengembangkan sistem konektivitas dalam koridor ekonomi,
efektivitas dan efisiensi serta keterhubungannya secara global merupakan
hal utama yang harus menjadi tujuan. Bila hal ini tercapai maka KAPET akan
menjadi kawasan yang tumbuh dan berkembang serta terhubung dengan
kawasan lain di luar KAPET baik dalam skala regional, nasional maupun
global.

---o0o---

15
Bagian II
Metodologi

16
Bab 4
Pemilihan dan Pemeringkatan Komoditas Unggulan
Rony M. Bishri dan Anisah

4.1. Pemilihan Komoditas


Pemilihan komoditas unggulan penting untuk peningkatan keunggulan
komparatif dan keuntungan kompetitif suatu wilayah. Dari sisi penawaran,
Produksi dan populasi dari suatu komoditas akan menentukan terpilihnya
menjadi komoditi unggulan. Untuk efisiensi industri, keunggulan
komparatif diperlukan ditinjau dari segi penawaran dan ketersediaan.
Komoditas atau produk unggulan berarti ada kelebihan dari segi
ketersediaan dan pertumbuhan karena kondisi geofisik, karena kekuatan
teknologi, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dari segi permintaan,
produk unggulan ditandai dengan tingginya permintaan baik, lokal, regional,
domestik atau internasional.
Untuk menilai Potensi sumber daya alam perlu dianalisa dari segi:

Peta

Ketersediaan atau Stok


Lokasi
Dari peta atau informasi geospasial tematik tertentu, dapat terlihat di
daerah mana saja terdapat produk unggulan. Kemudian perlu dihitung stok
yang tersedia. Lokasi ketersediaan produk unggulan untuk menilai
aksesibilitas dan ongkos transportasi mendapatkan produk unggulan.
Potensi sumber daya alam akan menentukan besarnya program produk
unggulan (Project Magnitude) dalam ton, ekor, atau volume misalnya dalam
meter kubik (m3).
Produk Unggulan perlu didukung oleh pasar yang di tentukan dengan
banyaknya:

Kosumen Lokal

Konsumen Regional
Konsumen Domestik
Konsumen Internasional

17
Dengan banyaknya konsumen akan menyebabkan tingginya penawaran yang
akan meningkatkan skala ekonomi. Dengan skala ekonomi yang cukup besar
maka produk unggulan akan dapat bersaing di pasar.

4.2. Pemeringkatan Komoditas


Setiap wilayah di Indonesia memiliki keanekaragaman dan keunikan sumber
daya masing-masing. Potensi sumberdaya alam yang melimpah, sarana dan
prasarana yang ada di daerah tersebut merupakan salah satu faktor yang
menentukan kemajuan suatu wilayah. Salah satunya adalah produk atau
komoditas unggulan yang dimiliki setiap wilayah. Sebelum melakukan
penentuan produk unggulan ini maka perlu dilakukan identifikasi awal
yakni meliputi:

identifikasi kondisi nyata terkini (existing condition),

infrastruktur yang diperlukan untuk pengembangan industri


pengolahan dan pendukung,

industri pengolahan hulu-hilir serta analisis pasar yakni pasar lokal,


regional dan internasional.
Setelah dilakukan identifikasi maka akan disusun pemeringkatan produk
unggulan sehingga diharapkan hasil dari teridentifikasinya produk unggulan
ini dapat menjadi prioritas investasi yang dapat direkomendasikan dalam
kebijakan pengembangan ekonomi atau menjadi masukan bagi penyusunan
masterplan wilayah dalam rangka peningkatan investasi.
Pemeringkatan komoditas atau produk unggulan dilakukan dengan analisis
multikriteria di mana terdapat tiga perangkat utama yaitu: prinsip, kriteria
dan indikator. Analisis multikriteria atau sering disebut Multiple Criteria
Decision Making (MCDM) pada dasarnya memperhitungkan banyak kriteria
di dalam pengambilan keputusan secara eksplisit.
Prinsip merupakan suatu kebenaran atau hukum pokok yang merupakan
dasar suatu tindakan; kriteria adalah patokan dalam menilai suatu hal;
sedangkan indikator adalah variabel atau komponen yang digunakan untuk
memperkirakan suatu kriteria tertentu. Berdasarkan analisis diatas maka
dapat disusun kerangka pikir dalam bentuk diagram yang diilustrasikan
pada gambar 4.1.

18
Gambar 4.1. Diagram alir analisis multikriteria

MCDM ini dapat mengakomodir berbagai tipe data, yang mungkin juga
memiliki unit ukuran yang berlainan. Untuk itu langkah awal analisis adalah
standarisasi. Terdapat beberapa teknik standarisasi, dan salah satu yang
sering dipakai adalah teknik standarisasi kriteria-manfaat (benefit-criteria),
dimana nilai yang tinggi mengindikasikan kondisi yang lebih baik. Secara
matematis dapat ditulis sebagai berikut:
𝑆𝑖𝑗 − min⁡(𝑆𝑖𝑗 )
𝑉𝑖 (𝑆𝑖𝑗 ) =
𝑚𝑎𝑥𝑗 (𝑆𝑖𝑗 ) − 𝑚𝑖𝑛𝑗 (𝑆𝑖𝑗 )

dimana i menyatakan banyaknya baris, j menyatakan banyaknya kolom, Vi


menyatakan fungsi nilai kriteria setiap baris data (nilai terstandar). Langkah
kedua menggunakan teknik standarisasi kriteria-biaya (cost-criteria). Teknik
standarisasi ini mengacu kepada asumsi bahwa nilai yang tinggi merupakan
indikator kondisi yang buruk.
min⁡(𝑆𝑖𝑗 ) − 𝑆𝑖𝑗
𝑉𝑖 (𝑆𝑖𝑗 ) =
𝑚𝑎𝑥𝑗 (𝑆𝑖𝑗 ) − 𝑚𝑖𝑛𝑗 (𝑆𝑖𝑗 )

Setelah dilakukan standardisasi maka data tersebut dapat digunakan dalam


analisis lanjutan Teknik Evaluasi Multi Kriteria. Teknik evaluasi ini
dilakukan dengan simulasi Monte Carlo yang dibedakan dengan
menggunakan dua teknik pemeringkatan yakni Weighted Summation
Technique dan The Ideal Point Technique. Penggunaan kedua teknik yang

19
berbeda dimaksudkan untuk melihat konsistensi hasil analisis, agar
peringkat yang diperoleh memang benar-benar konsisten dan
mencerminkan keunggulan komoditas yang dikaji.

4.2.1. Weighted Summation Technique


Teknik ini paling sederhana dan umum dipakai untuk data kardinal
(kuantitatif). Nilai-nilai terstandarisasi dalam matriks evaluasi dikalikan
dengan bobot masing-masing. Untuk memperoleh indeks kardinal setiap
alternatif laik-pilih, maka hasil perkalian tadi dijumlahkan mengikuti baris
(kriteria). Besarnya indeks kardinal suatu alternatif laik-pilih mencerminkan
peringkat alternatif laik-pilih yang bersangkutan. Rumus matematis teknik
evaluasi ini adalah sebagai berikut:
𝑁

𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒(𝑎𝑗 ) = ∑ 𝑤𝑖 𝑉𝑖 (𝑆𝑖𝑗 )
𝑖=1

di mana wi adalah bobot, N jumlah kriteria dan aj adalah data yang akan
diperingkatkan.

4.2.2. The Ideal Point Technique


Prinsip dasar teknik ini adalah ukuran besarnya penyimpangan antara
sekumpulan suatu solusi ideal dan sekumpulan solusi efisien (alternatif laik-
pilih). Dalam kenyatan solusi ideal hampir pasti tidak ada. Tetapi, ia tetap
berguna sebagai kerangka acuan yang penting untuk menetapkan posisi
alternatif laik-pilih yang berhasil diidentifikasi.
𝑗

𝑑𝑚𝑖𝑛 = ∑ 𝑤𝑖 Φ(𝑆𝑖𝑗 )
𝑖=1

dimana 𝑑𝑚𝑖𝑛 adalah jarak maksimum dari solusi ideal dan Φ nilai
terstandardisasi mengikuti distribusi Normal.
Dalam proses pembuatan pemeringkatan produk unggulan diperlukan
pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder. Data primer
dapat diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung ke wilayah terkait
untuk mengetahui keberadaan produk unggulan, luasan dan beberapa
masalah yang dihadapi, wawancara ke pihak berwenang di wilayah tersebut.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai referensi seperti dari
Badan Pusat Statistik, kementerian atau lembaga terkait.
Kriteria yang digunakan berjumlah 22 dengan rincian yang dirangkum pada
tabel berikut.

20
Tabel 4.1. Parameter Pemeringkatan Komoditas Unggulan
No. Parameter Keterangan
1 Project Magnitude (ton) Ton/th
2 Project Unit Capacity (ton) Ton/th
3 Project Cost/Unit (Rp)(the lower the better) Rp
4 Jumlah plant pengolahan No.2 / No.3
5 Direct Backward (Jumlah industri hulu) 1-5
6 Direct Forward (Jumlah industri hilir) 1–5
7 Financial Benefit (FB) %
8 Economic Benefit (EB) %
9 Domestic Potential Market:Cukup(1-2),Baik (3), Baik sekali (4-5)
Lokal 1-5
Regional 1-5
National 1-5
Potential Market(Import Substitution): Cukup(1-2), Baik (3), Baik
10
sekali (4-5)
11 Foreign Potential Market (Export) 1-5
12 Tantangan Utama: Tantangan(the lower the better) 1-5
13 Income multiplier effect - IM (EB/FB) 1-5
14 Employment multiplier effect (<IM; >IM) 1-5
15 Ketersediaan Infrastruktur Dasar 1-5
16 Governmental Intervention (RPJPN, RPJMN, RPJPD, RPJMD) 1-5
17 Environmental Effect (the lower the better) 1-5
18 Kesesuaian Lahan 1-5
19 LQ Regional %
20 LQ Nasional %

Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka proses penyusunan


pemeringkatan dimulai dengan pengelompokan dan pemilihan produk
unggulan pada setiap wilayah yang mempunyai potensi besar dan sebaran
luas serta melibatkan banyak masyarakat.
Penentuan bobot pun didasarkan pada keadaan wilayah kajian dan
pengamat yang telah mendapatkan data primer. Hasil pemilihan produk
unggulan ini selanjutnya dihitung dengan kedua teknik diatas. Dari hasil
yang diperoleh kemudian dilakukan analisis sehingga didapatkan studi awal
kelayakan ekonominya.
---o0o---

21
Bab 5
Nilai Ekonomis Komoditas Unggulan
Rony M. Bishri

Untuk menganalisis nilai ekonomi komoditi unggulan, perlu dikaji apakah


produk tersebut menjadi sumber dan pengganda pendapatan masyarakat.
Untuk menganalisis secara detail maka terdapat beberapa parameter seperti
dibawah ini:
1. Potensi ketersediaan produk unggulan akan menentukan besarnya
industri produk unggulan keseluruhan.
2. Besarnya sebuah industri yang dapat dikembangkan dengan skala
ekonomi yang mencukupi.
3. Jumlah industri yang dapat dikembangkan uang dihitung dari
potensi ketersediaan produk unggulan dibagi dengan besarnya skala
industri

Parameter yang dapat dipakai dalam menganalisis potensi untuk


mengembangkan industri adalah antara lain:
1. Potensi untuk mengembangkan industri yang mendukung industri
hulu,misalnya pabrik pupuk untuk industri pertanian. Potensi
industri hulu biasa disebut dengan istilah direct backward linkage
2. Potensi untuk mengembangkan industri yang memiliki input dari
industri hulu yang biasa disebut industri hilir atau direct forward
linkage, baik bahan jadi atau bahan setengah jadi.

Parameter yang dapat dipakai dalam menganalisis potensi keuntungan dari


produk unggulan adalah:
1. Potensi memberikan keuntungan untuk industri yang disebut
keuntungan finansial.
2. Potensi memberikan keuntungan kepada masyarakat termasuk
industri itu sendiri yang disebut keuntungan ekonomi.

22
Pasar yang menyerap produk unggulan meliputi:
1. Pasar lokal yang berarti produk unggulan dikonsumsi oleh masyarak
sekitar tempat produksi.
2. Pasar regional yang berarti produk unggulan dikonsumsi juga oleh
daerah sekitar tempat produksi. Biasanya terdiri dari
kota/kabupaten yang memiliki perbatasan dengan kota/kebupaten
yang memproduksi produk unggulan.
3. Pasar nasional yang berarti produk unggulan dikonsumsi oleh
masyarakat di seluruh negeri.
4. Pasar internasional yang berarti produk unggulan dikonsumsi oleh
masyarakat luas di luar negeri.

Dampak Penggandaan dari produk unggulan dinilai dari segi:


1. Dampak penggandaan pada income masyarakat yang dikenal dengan
income multiplier effect.
2. Dampak penggandaan pada kesempatan kerja masyarakat atau
dikenal dengan employment multiplier effect.

Beberapa hal yang sangat mempengaruhi industri seperti:


1. Ketersediaan infrastruktur dasar sangat menentukanpengembangan
industri produk unggulan.
2. Keikutsertaan pemerintah dalam mendukung pengembangan produk
unggulan seperti tertuang dalam konvensi (RPJPN, RPJMN, RPJPD,
RPJMD).
3. Dampak lingkungan juga perlu dipertimbangkan untuk
pengembangan produk unggulan.
4. Kesesuaian lahan juga faktor yang penting dalam pengembangan
produk unggulan.

Analisis pasar untuk program unggulan perlu dilakukan berdasarkan:


1. Analisis per produk: perlu dilakukan untuk produk hulu dan hilir
karena permintaan akan berbeda satu sama lain.

23
2. Analisis lokal, regional, nasional dan internasional: untuk dapat
menganalisis skala ekonomi industri yang dikembangkan perlu
melihat pasar lokal, regional, domestik dan luar negeri.
3. Potensi Investasi: dari keseluruhan industri yang dikembangkan
perlu dihitung berapa potensi investasi sehingga dapat diketahui
investor mana yang sesuai dan perlu diundang.
4. Sensitivitas yang meliputi: saingan penggunaan input; ketersediaan
bahan substitusi/komplemen; kerawanan terhadap musim

---o0o---

24
Bagian III
Distribusi Sentra Potensi
Komoditas Nusantara

25
Bab 6
Komoditas Tanaman Pangan: Padi, Ketela, dan
Jagung
Wisnu Ali Martono

Padi, jagung dan ketela merupakan tiga bahan pangan penyedia karbohidrat
pokok di Indonesia.Selain itu, ketiga sumber karbohidrat tersebut juga
digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Usaha untuk meningkatkan
produksi padi, ketela dan jagung penting dilakukan untuk menjamin
ketahanan pangan nasional.

6.1. Padi
Padi merupakan tanaman pangan unggulan dibeberapa wilayah KAPET
seperti Banda Aceh Darussalam, Sasamba di Kalimantan Timur, Pare-Pare di
Selawesi Selatan, Bangsejahtera di Sulawesi Tenggara, dan Manado-Bitung di
Sulawesi Utara.
KAPET Bandar Aceh Darussalam, yang terdiri dari Kabupaten Aceh, Pidie
dan Kota Bandaaceh pada tahun 2012 mempunyai luas lahan sekitar 91.149
Ha dengan total produksi sekitar 407.853 ton.
KAPET Sasamba yang terdiri dari Kutai Kertanegara, Balikpapan dan
Samarinda, mempunyai luas lahan sekitar 45.508 Ha dengan total produksi
sekitar 205.017 ton pada tahun 2013.
KAPET Pare-Pare yang terdiri dari Kabupaten Sidenreng Rappang, Pinrang,
Barru, Enrekang dan Kota Pare-Pare, mempunyai luas lahan sekitar 168.148
Ha dengan total produksi padi sekitar 914.382,46 ton pada tahun 2013.
KAPET Bangsejahtera yang terdiri dari 5 kabupaten di Provinsi Sulawesi
Tenggara yaitu: Konawe, Kepulauan Konawe, Kolaka, Kolaka Timur dan
Kendari pada tahun 2014 mempunyai luas lahan sekitar 72.209 Ha dengan
total produksi sekitar 320.150 ton.
KAPET Manado Bitung yang terdiri dari Kabupaten Minahasa, Minahasa
Utara, Kota Tomohon, Kota Bitung dan Kota Manado mempunyai luas lahan
sekitar 29.740 Ha, dengan total produksi sekitar 87.579 ton pada tahun
2013.

26
Tabel 6.1. Luas Lahan dan Produksi Padi dari 5 wilayah KAPET di Indonesia (Sumber: BPS
Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten / Kota Luas (ha) Produksi
(ton)
1. Aceh Besar 47.124 203.516
2. Banda Aceh 121 285
3. Pidie 43.904 204.052
Total KAPET Bandar Aceh Darussalam 91.149 407.853
1. Kutai Kertanegara 41.574 203.746
2. Balikpapan 241 693
3. Samarinda 3.693 15.563
Total KAPET Sasamba 45.508 205.017
1. Sidenreng Rappang 80.331 427.028
2. Pinrang 55.074 311.526
3. Barru 19.495 100.402
4. Enrekang 12.415 70.025
5. Pare-Pare 833 5.401
Total KAPET Pare-Pare 168.148 914.382
1. Konawe 43.466 1.887,57
2. Kepulauan Konawe 954 3.755,88
3. Kolaka 11.572 53.027,80
4. Kolaka Timur 15.325 71.118,43
5. Kendari 892 3.491,69
Total KAPET Bang Sejahtera 72.209 320.150,85
1. Bitung 266 1.047
2. Manado 414 831
3. Tomohon 2.370 11.340
4. Minahasa 16.270 16.401
5. Minahasa Utara 10.420 57.960
Total KAPET Manado Bitung 29.740 87.579

27
Gambar 6.1. Produksi Padi dari 5 wilayah KAPET di Indonesia (Sumber: BPS Kabupaten
Dalam Angka tahun 2014)

6.2. Ubi Kayu


Ubi kayu atau ketela merupakan tanaman pangan yang potensial di KAPET
Sasamba di Kalimantan Timur, Pare-Pare di Selawesi Selatan, dan Manado
Bitung di Sulawesi Utara.
Pada tahun 2013, luas lahan ketela pada KAPET Sasamba sekitar 1.643 Ha
dengan total produksi sekitar 33.225 ton. Untuk KAPET Pare-Pare, luas lahan
ketela sekitar 1.666 Ha dengan total produksi sekitar 28.280 ton. Sedang
untuk KAPET Manado Bitung, luas lahan ketela sekitar 1.161 Ha dengan
total produksi sekitar 19.172 ton.

Tabel 6.2. Luas Lahan dan Produksi Keteladari 3 wilayah KAPET di Indonesia (Sumber: BPS
Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten / Kota Luas (ha) Produksi
(ton)
1. Kutai Kertanegara 1.152 21.027
2. Balikpapan 322 9.527
3. Samarinda 169 2.671
Total KAPET Sasamba 1.643 33.225
1. Sidenreng Rappang 120 2.357
2. Pinrang 148 2.703
3. Barru 415 7.179

28
4. Enrekang 976 15.904
5. Pare-Pare 7 137
Total KAPET Pare-Pare 1.666 28.280
1. Bitung 132 1.716
2. Manado 138 1.688
3. Tomohon 123 1.615
4. Minahasa 268 4.153
5. Minahasa Utara 500 10.000
Total KAPET Manado Bitung 1.161 19.172

Gambar 6.2. Produksi Ubi Kayu dari 3 wilayah KAPET di Indonesia (Sumber: BPS
Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
6.3. Jagung
Jagung merupakan tanaman pangan yang potensial dibeberapa wilayah
KAPET yaituKAPET Pare-Pare di Selawesi Selatan, Manado Bitung di Sulawesi
Utara, Bima di Nusa Tenggara Barat dan Mbay di Nusa Tenggara Timur. Pada
tahun 2013, KAPET Pare-Pare mempunyai luas lahan jagung sekitar 31.579
Ha dengan total produksi sekitar 165.609 ton. Untuk KAPET Manado Bitung,
luas lahan jagung yang tersedia sekitar 36.989 Ha dengan total produksi
sekitar 136.247 ton.
Untuk KAPET Bima yang meliputi Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Bima,
luas lahan jagungnya sekitar 447.446 Ha dengan produksi 262.373 ton.
Untuk KAPET Mbay, komoditas jagung terdapat di Kabupaten Nagekeo dan
Ngada dengan luas lahan sekitar 15.051 Ha dengan total produksi sekitar
46.884 ton.

29
Tabel 6.3. Luas Lahan dan Produksi Jagungdari 4 wilayah KAPET di Indonesia (Sumber: BPS
Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten / Kota Luas (ha) Produksi
(ton)
1. Sidenreng Rappang 12.312 59.475
2. Pinrang 8.438 46.406
3. Barru 1.299 3.386
4. Enrekang 9.319 53.703
5. Pare-Pare 202 2.639
Total KAPET Pare-Pare 31.579 165.609
1. Bitung 2.136 6.968
2. Manado 1.101 3.778
3. Tomohon 4.218 14.292
4. Minahasa 24.045 90.813
5. Minahasa Utara 5.489 20.396
Total KAPET Manado Bitung 36.989 136.247
1. Dompu 28.665 153.305
2. Bima 17.479 101.482
3. Kota Bima 1.352 7.586
Total KAPET Bima 447.446 262.373
1. Nagekeo 6.072 14.179
2. Ngada 8.979 32.705
Total KAPET Mbay 15.051 46.884

Gambar 6.3. Produksi Jagung dari 4 wilayah KAPET di Indonesia (Sumber: BPS Kabupaten
Dalam Angka tahun 2014)
---o0o---

30
Bab 7
Komoditas Hutan dan Perkebunan: Rotan, Sawit,
Karet, Kopi, Pala, Kakao dan Cengkeh
Doni Fernando Putra dan Agustan

Potensi komoditas hutan dan perkebunan di wilayah KAPET Indonesia


dikembangkan untuk cengkeh, kakao, karet, kelapa dalam, kelapa sawit,
kopi dan pala. Keberagaman karakteristik dan keunikan daerah
menyebabkan beberapa komoditas berkembang secara unik didaerah
tersebut sebagai komoditas unggulan. Usaha peningkatan produksi
beberapa komoditas hutan dan perkebunan dilakukan untuk menjamin
peningkatan pendapatan perekonomian daerah yang masuk dalam kawasan
KAPET.

7.1. Cengkeh
Cengkeh (Syzygium aromaticum, syn.Eugenia aromaticum), dalam bahasa
Inggris disebut cloves, adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga
pohon Myrtaceae. Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak
digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan
sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Pohon cengkeh
merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10–20 m,
mempunyai daun berbentuk lonjong yang berbunga pada pucuk-pucuknya.
Tangkai buah pada awalnya berwarna hijau, dan berwarna merah jika bunga
sudah mekar. Cengkeh akan dipanen jika sudah mencapai panjang 1.5– 2
cm.
Berdasarkan hasil analisis data primer dan sekunder, potensi sumberdaya
cengkeh terdapat pada wilayah KAPET Seram dan Manado-Bitung. KAPET
Seram mempunyai potensi cengkeh yang cukup besar, dengan total lahan
sekitar 33.000 hektar dengan total produksi per tahun lebih dari 11.000 ton,
akan tetapi belum dilakukan pembuatan produk hilir dari cengkeh seperti
pembuatan minyak asiri dari daun cengkeh.
Untuk wilayah KAPET Manado-Bitung komoditas cengkeh terdapat di
Kabupaten Minahasa. Luas perkebunan Cengkeh secara keseluruhan
diwilayah KAPET Manado adalah seluas 25.236 hektar, dengan total hasil
produksi sebesar 6.330 ton. Dengan area terbesar ada di kabupaten
Minahasa seluas 24.647 Ha dengan hasil produksi sebesar 5.457 ton.

31
Gambar 7.1. Pohon Industri Cengkeh

Berdasarkan luas areal lahan dan produksi cengkeh dari wilayah KAPET
Seram dan Manado-Bitung, maka KAPET Seram memiliki potensi yang lebih
besar.

32
35.000

30.000

25.000

20.000 KAPET Seram

15.000 KAPET Manado-Bitung

10.000

5.000

0
Luas Areal Produksi

Gambar 7.2. Produksi Cengkeh dari wilayah KAPET Seram dan Manado-Bitung
(Sumber: BPS, dirangkum dari Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

7.2. Kakao
Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, di alam
dapat mencapai ketinggian 10 m. Meskipun demikian, dalam
pembudidayaan, tingginya dibuat tidak lebih dari 5 m tetapi dengan tajuk
menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang
produktif. Biji Kakao adalah bahan utama pembuatan bubuk kakao (coklat),
yang merupakan bahan dalam pembuatan kue, es krim, makanan ringan,
susu, dan lain-lain. Dalam bahasa keseharian masyarakat kita menyebutnya
coklat. Karakter rasa coklat adalah gurih, dengan aroma yang khas sehingga
disukai banyak orang.

33
Gambar 7.3. Pohon Industri Kakao

Tanaman kakao merupakan produk unggulan di KAPET Aceh, Khatulistiwa


(Kalimantan Timur), Palapas (Sulawesi Tengah), Bangsejahtera (Sulawesi
Tenggara), Seram (Maluku), dan Biak (Papua)
KAPET Bandar Aceh Darussalam menghasilkan sekitar 15% produksi kakao
Provinsi Aceh. Provinsi, yaitu sebesar 5.000 ton. Diantara kabupaten/kota di
wilayahKAPET BAD, lebih dari 90% dihasilkan oleh Kabupaten Pidie yang
mempunyai lahan seluas 258.067 ha yang belum dimanfaatkan.KAPET
Bangsejahtera memiliki luas lahan 116.201 ha dan total produksi sebesar
52.809 ton. Produksi kakao terbesar di Kabupaten Kolaka Timur sebesar
32.023 ton dengan luas lahan 66.765 ha. Produksi kakao terendah berada di
Kota Kendari sebesar 342 ton dengan luas lahan 748 ha.
KAPET Biak mengalami penurunan potensi kakao yang cukup
signifikandalam lima tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan karena
serangan hama, mengakibatkan matinya pohon Kakao. Menurut data
Provinsi Papua tahun 2014 menyebutkan bahwa ada 3 wilayah di KAPET
Biak yang sangat berpotensi untuk pengembangan tanaman Kakao yaitu di
Kabupaten Yapen, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Nabire. Potensi luas
lahan terbesar di Kabupaten Waropen sebesar 196.011 Ha dengan produksi
terbesar berada di Kabupaten Kepulauan Yapen sebesar 1.447 ton. KAPET

34
Palapas memiliki luas terbesar di daerah Parigi Moutong sebesar 69.948 Ha
dengan produksi 48.244 ton.KAPET Khatulistiwa berada di Provinsi
Kalimantan Timur, dimana Kutai Kertanegara sebagai kabupaten di wilayah
KAPET menghasilkan luas areal sebesar 281 Ha dan produksi sebesar 53
ton.

Tabel 7.1. Luas Lahan dan Produksi Kakao dari X Wilayah KAPET di Indonesia
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) Produksi (ton)
1. Seram Bagian Barat 4.084 848
2. Seram Bagian Timur 1.022 464
3. Maluku Tengah 6.225 3.196
Total KAPET Seram 11.331 4.508
1. Pidie 258.067 5.000
Total KAPET BAD 258.067 5.000
1. Kota Kendari 748 342
2. Kab. Konawe 16.108 9.459
3. Kab. Konawe Kepulauan 3.413 2.422
4. Kab. Kolaka 29.167 8.563
5. Kab. Kolaka Timur 66.765 32.023
Total KAPET Bangsejahtera 116.201 52.809
1. Seram Bagian Barat 4.084 848
2. Seram Bagian Timur 1.022 464
Total KAPET Seram 5.106 1.312
1. Kepulauan Yapen 1.926 1.447
2. Waropen 997 747
3. Nabire 1.828 1.369
Total KAPET Biak 4.751 3.563
1. Palu 114,95
2. Donggala 20.388
3. Parigi Moutong 69.948 48.244
4. Sigi 18.386,5
Total KAPET Palapas 69.948 87.018,05
1. Kutai Kertanegara 281 53
2. Balikpapan 11 1
3. Samarinda 161 3
Total KAPET Khatulistiwa 453 57

35
300.000
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
0

Gambar 7.2. Produksi Kakao dari 7 Wilayah KAPET di Indonesia


(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

7.3. Karet
Untuk KAPET Khatulistiwa, total luas wilayah karet sebesar 475.025 Ha
dengan produksi sebesar 202.556 ton. Kabupaten Sangau memiliki luas
areal terbesar, yaitu 104.543 Ha dengan jumlah produksi yaitu 49.987 ton.

Tabel 7.2. Luas Lahan dan Produksi Karet dari Wilayah KAPET Khatulistiwa
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) Produksi (ton)
1. Kab. Sambas 52.184 17.000
2. Kab. Bengkayang 52.270 23.227
3. Kab. Landak 83.409 37.365
4. Kab. Sanggau 104.543 49.987
5. Kab. Sekadau 41.534 19.217
6. Kab. Sintang 83.630 35.101
7. Kab. Kapuas Hulu 46.646 15.799
8. Kota Singkawang 10.809 4.860
Kab. Sambas 52.184 17.000
Total KAPET Seram 475.025 202.556

36
120.000

100.000

80.000

60.000
Luas (Ha)
40.000
Produksi (ton)
20.000

Gambar 7.3. Produksi Karet dari 9 Wilayah KAPET Khatulistiwa


(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

7.4. Kelapa Dalam


KAPET Seram memiliki potensi luas pengembangan kelapa dalam sebesar
33.960 Ha. Sebaran komoditas perkebunan kelapa dalam ada di Kecamatan
Taniwel dan sekitarnya, Seram Utara dan Werinama.
KAPET Khatulistiwamemiliki potensi luas kelapa dalam sebesar 30.990 Ha
dengan produksi sebanyak 18.224 ton.
Kelapa dalam merupakan produk unggulan yang banyak dijumpai di wilayah
KAPET Palapas. Produksi kelapa terbesar terdapat di Kecamatan Dolo
Selatan. Selain itu, luas tanam perkebunan kelapa di Kota Palu sebesar
253,00 Ha.
KAPET Bangsejahtera memiliki potensi luas kelapa dalam sebesar 12,992 Ha
dengan produksi 7.649 ton. Dengan potensi terbesar terdapat di Kabupaten
Kutai Kertanegara, dengan luas areal sebesar 11.142 Ha dan produksi
sebanyak 7.246 ton.

Tabel 7.3. Luas Lahan dan Produksi Kelapa Dalam dari Wilayah KAPET Indonesia
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

37
No. Kabupaten/Kota Luas (Ha) Produksi (ton)
1. Kab. Sambas 22.483 13.655
2. Kab. Bengkayang 4.306 2.715
3. Kab. Landak - -
4. Kab. Sanggau 531 143
5. Kab. Sekadau 13 1
6. Kab. Sintang 708 147
7. Kab. Kapuas Hulu 131 58
8. Kota Singkawang 2818 1505
9. Kab. Sambas 22.483 13.655
Total KAPET Seram 30.990 18.224
1. Palu 253,00
2. Donggala 30.058
3. Parigi Moutong 27.333 40.252
4. Sigi 6.259,3 2.367,70
Total KAPET Palapas 33.845,3 72.677,7
1. Kutai Kertanegara 11.142 7.246
2. Balikpapan 1.085 175
3. Samarinda 765 228
Total KAPET Bangsejahtera 12.992 7.649

80.000
70.000
60.000
50.000
40.000 Luas (Ha)

30.000 Produksi (ton)

20.000
10.000
0
Total KAPET Total KAPET Total KAPET
Seram Palapas Bangsejahtera

Gambar 7.4. Produksi Kelapa Dalam dari 3 Wilayah KAPET di Indonesia


(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

38
7.5. Kelapa Sawit
Untuk KAPET Batulicin Pada tahun 2012, menghasilkan produksi kelapa
sawit sebanyak 410.358 ton dan luas 32.952 Ha.
Palangkaraya sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah berada pada
kawasan KAPET Daskakab, memiliki potensi lahan yang cukup luas dalam
pengembangan komoditas kelapa sawit dengan luas lahan yang telah
digunakan sebesar 732 Ha dan produksi sebesar 151 ton. Pulangpisau
sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kuala Kapuas memiliki luas
lahan pengembangan kelapa sawit yang masih memiliki potensi baik untuk
dikembangkan.

Gambar 7.5. Produksi Kelapa Sawit pada Wilayah KAPETBatulicin (Biru) dan Daskakab
(Merah)
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

7.6. Kopi
Kopi Sumatera merupakan salah satu varietas kopi yang bertekstur paling
halus dan bercita rasa paling berat dan kompleks di antara beragam kopi di

39
dunia. Sebagian besar kopi Sumatera diproses secara kering (dry-processed),
tetapi sebagian lagi melalui proses pencucian ringan (semi-washed).
Kopi Aceh memang telah menjadi andalan Indonesia dalam hal produksi
dan keunggulan mutu. Pasalnya sekitar 40 persen biji kopi Arabica tingkat
premium dari total panen kopi di Indonesia merupakan hasil produksi dari
daerah Aceh. Produksi Perkebunan Rakyat di Aceh pada tahun 2010
mencapai 50.774 ton. Produksi kopi di Indonesia setiap tahunnya rata-rata
mencapai 600 ribu ton dan lebih dari 80 persen produksi biji kopi tersebut
berasal dari seluruh perkebunan rakyat di Indonesia.

Gambar 7.6. Pohon Industri Kopi

Jenis Kopi Arabika merupakan jenis kopi terbanyak dikembangkan oleh


para petani Kopi Gayo di dataran tinggi Gayo Aceh.Hasil produksi Kopi
Arabika dari Tanah Gayo ini adalah yang terbesar di Asia.Kopi Gayo Aceh
memang memiliki cita rasa khas dan sudah diakui oleh seorang pakar uji
cita rasa (cupper) kopi dunia, Christopher Davidson.Sebagian besar
komoditas kopi arabika Gayo tersebut dikembangkan di tiga kabupaten
yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total perkebunan kopi
Gayo Aceh pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektare, terdiri dari
48.500 hektare di Aceh Tengah, 39.000 hektare di Kabupaten Bener Meriah,
dan 7.000 hektare di Gayo Lues.
Komoditas kopi juga menjadi unggulan dari KAPET Parepare, yang terbagi
menjadi dua jenis, yaitu kopi robusta dan kopi arabica. Sebagian besar areal
perkebunan kopi terletak di Kabupaten Enrekang dengan luas areal 11.975
Ha, dan produksi kopi sebanyak 7.918 Ton. Luas perkebunan kopi diwilayah
KAPET Parepare seluas 17.275 Ha, dengan produksi sebanyak 11.001 ton.

40
Gambar 7.7. Produksi Kopi Wilayah KAPET Bandar Aceh Darussalam dan Pare-Pare
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

7.7. Pala
Pala (Myriistica Fragarant Houtt) merupakan salah satu komoditas pertanian
yang memiliki nilai ekonomis tinggi, disamping jenis komoditas pertanian
lainnya. Daging buah pala dapat digunakan sebagai manisan atau asinan, biji
dan fulinya bermanfaat dalam industri pembuatan sosis, bumbu, makanan
kaleng, pengawetan ikan dan makanan lainnya.

41
Gambar 7.8. Pohon Produksi Komoditas Pala

Di samping itu minyak pala hasil penyulingan dapat digunakan sebagai


bahan baku dalam industri sabun, parfum, makanan, minuman, obat-obatan
dan sebagainya. Permintaan pasar dunia akan pala dan minyaknya setiap
tahun terus meningkat dan sekitar 60% kebutuhan pala dunia dipasok oleh
Indonesia.
KAPET Seram saat ini terdapat tanam pala seluas 23.724 hektar, dengan
produksi sebesar 2.755 ton.KAPET Manado-Bitungmemiliki wilayah
pengembangan yang terdapat di daerah Kota Minahasa, Bitung dan
Tomohon. Luas areal pengembangan buah pala diwilayah KAPET Manado
seluas 938 Ha dan menghasilkan produksi sekitar 303 ton.

42
Tabel 7.4. Luas Lahan dan Hasil Produksi Tanaman Pala KAPET di Indonesia
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
Kabupaten/Kota Luas Areal Produksi (Ton)
(Ha)
Seram Bagian Barat 1.623 187
Seram Bagian Timur 7.873 672
Maluku Tengah 14.228 1.291
Total KAPET Seram 23.724 2.150
Bitung 541 53
Manado 0 0
Tomohon 20 0
Minahasa 355 56
Minahasa Utara 22 194
Bitung 541 53
Total KAPET Manado Bitung 938 303

25.000

20.000

Total KAPET Seram


15.000

Total KAPET Manado


10.000 Bitung

5.000

0
Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

Gambar 7.9. Produksi Pala untuk dua Wilayah KAPET di Indonesia


(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

---o0o---

43
Bab 8
Komoditas Hewan Ternak Sapi

Meuthia Djoharin dan Anisah

Salah satu komoditas sumberdaya alam yang penting adalah sektor ternak.
Salah satu sumber utama penghasil daging sampai saat ini adalah jenis sapi
potong. Ini berarti bahwa aspek penyediaan konsumsi daging sapi cukup
penting, apalagi setelah diputuskan bahwa produk daging selain telur dan
susu merupakan komponen baru dari sembilan bahan pokok (sembako)
menggantikan ikan asin, tekstil kasar dan sabun cuci. Selain memegang
peranan penting sebagai pemasok daging, ternak sapi juga mempunyai
peran sebagai sarana investasi, tabungan, fungsi sosial, sumber pupuk dan
membantu dalam pengolahan tanah bagi petani.
Gambar 8.1. Pohon Industri Komoditas Sapi

Sapi dapat dimanfaatkan daging, susu dan tenaganya. Dagingnya


dikonsumsi dan dapat diolah menjadi berbagai makanan. Susunya sebagai
sumber protein menyehatkan dan diminum. Tenaganya untuk bajak, atau
pedati. Semua bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan. Termasuk kotoran dan
urine-nya. Saat ini, kulit sapi sudah mulai ramai dimanfaatkan untuk
membuat berbagai macam produk kerajinan yang bernilai ekonomi tinggi,

44
mulai sepatu, sabuk, dompet, tas, kursi atau kerupuk kulit, bisa
memanfaatkan bagian ini. Dagingnya, baik dikonsumsi atau menjadi bahan
olahan seperti bakso, abon, rendang. Tulangnya untuk tepung, campuran
pakan sebagai sumber protein ternak ayam. Kulit kaki, menjadi hidangan
istimewa di rumah makan padang, tunjang. Tulang belakang untuk sop
buntut. Tulang rusuk, untuk iga bakar, atau penyet. Kotoran sapi pun dapat
diolah menjadi gas yang dimanfaatkan sebagai sumber energi bioetanol.
Dari seluruh wilayah KAPET yang memiliki potensi produk unggulan ternak,
terpilih jenis ternak sapi karena sapi adalah satu-satunya jenis ternak yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Wilayah KAPET yang memiliki jenis ternak
sapi sebagai produk unggulan adalah Mbay, Bima dan Pare-Pare. Selain itu
KAPET Bandar Aceh Darussalam juga berpotensi dalam pengembangan
ternak sapi.
Ternak sapi pada kawasan KAPET Mbay memiliki potensi yang cukup besar
untuk dikembangkan dan menjadi salah satu komoditas KAPET wilayah ini.
Luas daerah pengembangan komoditas sapi di wilayah Ngada sebagai salah
satu daerah kawasan KAPET Mbay adalahseluas 11.930 Ha. Potensi
pengembangan usaha peternakan sapi dilakukan pula dengan sistem
penggemukan. Lahan yang potensial untuk pengembangan peternakan
seluas 4.530 Ha, yang terdapat pada kawasan Maronggela 2.940 Ha, dan
kawasan Lambo 1.590 Ha.
Sedangkan sapi di Kawasan KAPET Bima umumnya berupa sapi peranakan
ongole (PO) yang merupakan peranakan antara sapi jantan Sumba dan sapi
betina Bali atau Jawa yang berwarna putih.Sesuai dengan induk
persilangannya, sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi
pekerja.Mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi
perubahan liangkungan, sapi ini juga mempunyai tenaga yang
kuat.Keunggulan sapi PO ini antara lain tahan terhadap panas, terhadap
ekto dan endoparasit, pertumbuhan cepat walaupun adaptasi terhadap
pakan kurang, serta persentase karkas dan kualitas daging yang baik.
Jenis sapi yang dipelihara di wilayah KAPET Pare-Pare adalah sapi Bali
dengan arah pemeliharaan dan penggemukkan.Ternak sapi ini telah
dikembangkan kegiatan penggemukan dan pembiakan sapi oleh PT.
Berdikari United Livestock (PT. BULI) dengan luas lahan 6.000 Ha yang
merupakan peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara. Skala pemilikan
ternak berkisar antara 5 - 10 ekor induk per kepala keluarga. Kandang yang
digunakan adalah kandang kelompok yang terbuat dari kayu dan alas
semen, daya tahan kandang sekitar 20 tahun.

45
Tabel 8.1. Produksi Sapi dari 3 Wilayah KAPET di Indonesia
(Sumber: BKPM 2014, BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten/Kota Produksi (ekor)
1. Ngada 22513
Total KAPET Mbay 22513
1. Dompu 94320
2. Kab. Bima 137554
3. Kota Bima 13299
Total KAPET Bima 245173
1. Sidrap 37159
2. Pinrang 23120
3. Enrekang 45250
4. Barru 33920
5. Kota Pare-Pare 4106
Total KAPET Pare-Pare 143555

Produksi (ekor)

250000
200000
150000
Produksi (ekor)
100000
50000
0
Mbay Bima Pare-Pare

Gambar 8.2. Produksi Sapi dari 3 Wilayah KAPET di Indonesia


(Sumber: BKPM 2014, BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

Beberapa kendala umum yang dihadapi dalam upaya pengembangan atau


pembudidayaan komoditas wilayah KAPET dapat disajikan sebagai berikut:

46
1. Di pasar tradisional, selain sistem transaksi yang belum
transparan, bangunan fisik pasar ternak tempat transaksi
berlangsung,masih sangat sederhana dengan kondisi
fasilitas yang terbatas dan belum tertata dengan baik,
belum menggunakan kriteria berat badan maupun
menetapkan grade atau kelas mutu dan menggunakan
alat ukur atau timbangan sebagai dasar penentuan harga.
2. Kurangnya dukungan masyarakat akibat minimnya
sosialisasi kepada masyarakat.
3. Terbatasnya dukungan sarana prasarana dasar seperti
jalan, listrik, telekomunikasi, air baku, air bersih.
4. Untuk budidaya sapi, pengadaan bibit belum mendapat
perhatian
5. Belum ada kebijakan mengurangi ketergantungan pada
bibit sapi dari luar.
6. Produktivitas ternak sapi rendah.

Untuk tiga kawasan KAPET Pare-Pare, Bima dan Mbay, pasar utama adalah
pasar nasional (500.000ton) dan substitusi impor (100.000 ton).Pemasaran
sapi hasil penggemukan yang dijual bisa dalam bentuk hidup maupun
produk daging. Pasar sapi secara umum dibagi 2 yaitu pasar tradisional dan
pasar tertentu seperti pasar swalayan maupun restoran, rumah sakit dan
hotel.

Sistem pemasaran ternak sapi (hidup atau daging) di KAPET


pada umumnya sistem jual beli atau penetapan harga masih
dengan metoda tradisional. Di pasar tradisional sistem jual beli
ternak atau penetapan harga masih didominasi dan
berdasarkan kepercayaan diantara pihak-pihak tertentu yaitu
para pedagang pengumpul (tengkulak atau blantik).
Kemudian pedagang pengumpul di desa menjual ternaknya ke
pedagang antar kota atau pedagang pengumpul di kabupaten
bahkan ke pedagang besar di provinsi atau didaerah konsumen
yang selanjutnya akan menjual ternaknya ke pedagang

47
pemotong atau jagal melalui Rumah Potong Hewan(RPH) untuk
diperjualbelikan oleh para pengecer di pasar-pasar tradisional
dalam bentuk daging kepada konsumen.Di pasar daging
tradisional umumnya pelanggannya adalah pedagang bakso.
Dalam menentukan berat atau bobot ternak dilakukan dengan
menaksir berdasarkan pengalaman peternak dan blantik, bukan
berdasarkan bobot ternak atau kriteria tertentu.
Dominasi blantik dalam pemasaran ternak sangat nyata baik di
pasar-pasar desa maupun kecamatan, bahkan sampai ke
kabupaten atau kota, di mana dominasi margin keuntungan
pada umumnya berada pada pedagang, baik pengumpul atau
blantik maupun pedagang besar di sentra konsumen,
sedangkan peternak sebagai produsen ternak hanya
mendapatkan margin keuntungan terendah. Khusus untuk
pasar tertentu atau ke pasar modern atau pasar swalayan atau
ke restoran, rumah sakit maupun hotel biasanya menginginkan
daging-daging pilihan atau yang relatif empuk.Oleh karena itu
pilihannya tentunya dari sapi-sapi muda yang digemukkan yang
memiliki daging relatif empuk dan gurih. Jadi pemilihan sapi
yang akan dipasarkan ke pasar tertentu tadi merupakan sapi-
sapi pilihan.
Jalur lainnya para pabrikan olahan daging atau industri olahan
yang telah bermitra dengan para peternak melalui Rumah
Potong Hewan (RPH), diolah oleh pabrik atau industri daging
olahan kemudian di pasarkan oleh para pedagang pengecer ke
konsumen dalam bentuk olahan daging sapi (daging segar,
daging beku, bakso, sosis, dendeng, abon) melalui pasar
tradisional atau pasar swalayan.

---o0o---

48
Bab 9
Komoditas Hortikultura dan Buah-buahan
Syaefudin dan Agustan

Komoditas hortikultura yang terdiri dari cabe merah besar, bawang merah
dan tomat terdapat di KAPET Pare-Pare. Sedang komoditas buah-buahan
yang terdiri dari alpokat, durian, langsat, nanas, nangka, semangka dan
jeruk.

9.1. Hortikultura
Sebagian besar tanaman hortikultura yang diproduksi pada wilayah KAPET
Pare-Pare berasal dari wilayah Kabupaten Enrekang.Produksi cabe merah
besar mencapai 18.957,20 ton pada tahun 2012. Produksi ini naik hampir
lima kali lipat dibandingkan produksi pada tahun 2011 yaitu sekitar
3.976,80 ton.

Gambar 9.1. Kegiatan Pensortiran Cabe Merah Besar di Pasar Hortikultura Enrekang

Kabupaten lain penghasil cabe merah besar pada tahun 2012 adalah
Kabupaten Barru sebesar 4.215 ton, Kabupaten Pinrang sebesar 654,8 ton,

49
Kabupaten Sidrap sebesar 2,531 ton. Produksi cabe merah besar untuk
seluruh wilayah KAPET Pare-Pare dapat ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 9.1. Produksi Cabe Merah Besar di Wilayah KAPET Pare-Pare Tahun 2013
(Sumber BPS: Sulsel dalam Angka, 2014)
No. Kabupaten / Kota Luas (ha) Produksi
(ton)
1. Barru 37 4215
2. Sidrap 55 2,531
3. Pinrang 175 880,2
4. Enrekang 856 18.957,20
5. Pare-Pare - -
Total KAPET Pare-Pare 1.123 24.054,931

Kabupaten Enrekang juga sebagai penghasil bawang merah dengan tingkat


produktivitas pada tahun 2013 mencapai 10,495 ton/ha. Kabupaten lain
yang menghasilkan bawang merah adalah Kabupaten Pinrang dan
Kabupaten Barru.

Gambar 9.2. Proses Pengeringan Bawang Merah Digantung di Kolong Rumah Tingkat

50
Tabel 9.2. Produksi Bawang Merah di Wilayah KAPET Pare-Pare Tahun 2013
(Sumber BPS: Sulsel dalam Angka, 2014)
No. Kabupaten / Kota Luas (ha) Produksi
(ton)
1. Barru 1 5
2. Sidrap - -
3. Pinrang 26 254
4. Enrekang 3.744 39.295
5. Pare-Pare - -
Total KAPET Pare-Pare 3.771 39.554

Komoditas tomat yang dihasilkan oleh KAPET Pare-Pare pada tahun 2012
mencapai 14.692 ton dengan kontribusi terbesar adalah Kabupaten
Enrekang sebanyak 13.933,8 ton.

Gambar 9.3. Tomat Yang Siap dikirim Keluar (Pasar Hortikultura Enrekang)

Tabel 9.3. Produksi Tomat di Wilayah KAPET Pare-Pare Tahun 2013


(Sumber BPS: Sulsel dalam Angka, 2014)
No. Kabupaten / Kota Luas (ha) Produksi
(ton)
1. Barru - -
2. Sidrap 38 103,4
3. Pinrang 114 654,8
4. Enrekang 1271 13.933,8
5. Pare-Pare - -
Total KAPET Pare-Pare 1.423 14.692

51
Pemasaran hasil hortikultura ini umumnya dikirim ke Makasar maupun ke
arah Balikpapan, Kalimantan Timur. Kendala yang ada umumnya pada
proses pasca panen (hilirisasi) dari produk hortikultura belum berkembang.
Hal ini menyebabkan pada musim panen raya seperti tomat dan cabe harga
jatuh sehingga banyak yang terbuang, tidak termanfaatkan untuk diolah
menjadi beberapa produk turunan.

9.2. Buah-buahan
Komoditas buah-buahan pada umumnya terdapat pada seluruh wilayah
Indonesia. Khusus yang terkait dengan wilayah KAPET, yang berpotensi
untuk dikembangkan, terdapat pada KAPET Pare-Pare dan Biak.
Komoditas Buah-buahan yang dihasilkan dari kawasan KAPET Pare-Pare
cukup banyak ragamnya. Dari angka total produksi tahun 2013, buah
nangka mencapai angka tertinggi yaitu 3.298,54 ton dengan daerah
penghasil tertinggi dari Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dengan
angka 1.035 ton, diikuti oleh Kabupaten Barru sebanyak 1.005,10 ton, dan
Kabupaten Pinrang dengan jumlah 869 ton.
Komoditas buah-buahan jenis kedua adalah durian. Total produksi buah
durian pada tahun 2013 adalah 1.814,56 ton, dengan sebaran penghasil
durian terbanyak pertama adalah Kabupaten Pinrang dengan jumlah
produksi 1.116 ton danKabupaten Enrekang sebanyak 623,76 ton.
Produksi buah yang menduduki peringkat ke tiga adalah buah jeruk dengan
total nilai produksi 1.530,10 ton pada tahun 2013.Penghasil jeruk terbanyak
dari daerah Pinrang di angka 852 ton diikuti oleh daerah Sidrap dengan
jumlah produksi sebanyak 336 ton, dan Barru dengan jumlah produksi
sebanyak 280,40 ton.

Tabel 9.4. Produksi Buah Buahan di wilayah Kapet Pare-Pare, 2013


(Sumber : Dinas Pertanian se-wilayah KAPET Pare-Pare, 2013)
Kabupaten/ Alpokat Durian Langsat Nanas Nangka Semangka Jeruk
Kota
Barru 150,60 42,80 6,30 5,90 1.005,10 - 280,4
Parepare 7 - - 2,6 13,6 - 18
Pinrang 36 1.116 752 390 869 114 852
Sidenreng 4 32 - 32 1.035 90 336
Rappang
Enrekang 80,56 623,76 222,54 26,66 375,84 - 43,7
Jumlah 278,16 1.814,56 980,84 457,16 3.298,54 204 1.530,
10

52
Primadona produksi buah-buahan di KAPET Biak adalah jeruk, yang dikenal
dengan Jeruk Manis Nabire. Menurut data dari Direktorat Tanaman Buah,
Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian menyebutkan bahwa di
Kabupaten Nabire memiliki potensi pengembangan buah jeruk manis
mencapai 75.000 ha.
Budidaya jeruk manis di Kabupaten Nabire telah dimulai sejak tahun
1993 yang berskala tanaman pekarangan hingga tahun 2003
pengembangan ini telah berkembang ke skala hamparan dengan luas areal
tanam pada saat itu baru mencapai 50 ha yang tersebar di beberapa distrik,
yaitu distrik Nabire, Wanggar, Uwapa dan Napan.
Jeruk Nabire mempunyai tekstur buah yang lebih halus dan lebih manis.
Keistimewaan ini menjadikan Jeruk Nabire mulai disukai oleh masyarakat di
luar Kabupaten Nabire. Tahun 2012, produksi jeruk Nabire ini mencapai
13.800 ton dan menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke
tahun.
Rencananya, Pemerintah Kabupaten Nabire dan Pemerintah Provinsi Papua
memperluas wilayah tanam jeruk Nabire, tetapi status kepemilikan lahan
menjadi kendala.
Jeruk Nabire biasanya dikirim ke Manado, Sorong, Biak, Manokwari,
Jayapura, dan Timika, dan sudah diperdagangkan ke luar daerah, bahkan
sudah dikirim ke Makasar dan Surabaya.

Gambar 9.4. Lokasi Kebun Jeruk di Kabupaten Nabire

---o0o---

53
Bab 10
Komoditas Kelautan dan Perikanan: Perikanan
Tangkap, Perikanan Budidayadan Rumput Laut

Syaefudin dan Doni Fernando Putra

Komoditas perikanan terbagi menjadi dua yaitu perikanan tangkap dan


perikanan budidaya.Sebaran wilayah perikanan tangkap meliputi KAPET
Manado-Bitung, Pare-Pare, Bangsejahtera dan Biak. Sedang komoditas
unggulan perikanan budidaya berada di wilayah KAPETPare-Pare.

10.1. Perikanan Tangkap


KAPET Manado Bitung memiliki komoditasutama yang telah
dikembangkan pada sektor kelautan dan perikanan, diantaranya
tuna dan cakalang. Sentra-sentra produksi perikanan tangkap untuk ikan
pelagis besar, pelagis kecil dan demersal di wilayah KAPET Manado-Bitung
tersebar di Kecamatan Tuminting dan Bunaken (Kota Manado), Kota Bitung,
Kabupaten Minahasa, dan Kabupaten Minahasa Utara.Wilayah KAPET
Manado Bitung yang paling banyak menghasilkan ikan laut adalah
Kota Bitung produksi 158.335,93 ton.

Gambar 10.1. Tempat Pendaratan Pelelangan Ikan di Kema, Kabupaten Minahasa Utara

54
Untuk KAPETPare-Pare, potensi perikanan tangkap terdapat di Kabupaten
Barru, Pinrang dan Kota Pare-Pare dengan total produksi perikanan laut
sebesar 4.455 ton. Produksi perikanan laut Kabupaten Barru sebesar 2.183
ton, Kabupaten Pinrang sebesar 1.838 ton dan Kota Pare-Pare sebesar 434
ton. Ketiga wilayah ini memiliki potensi optimalisasi hasil perikanan laut
mengingat daerah ini berbatasan langsung dengan Selat Makassar yang
dikenal kaya dengan sumberdaya perikanan pelagis yang cukup besar
maupun sumberdaya ikan demersal yang berasosiasi di daerah terumbu
karang.

Tabel 10.1. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Wilayah KAPET Indonesia
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten/Kota Produksi (ton)
1 Kab. Minahasa 7.290,40
2 Kab. Minahasa Utara 17.516
3 Kota Manado 7.535,23
4 Kota Bitung 158.335,93
5 Kota Tomohon -
Total KAPET Manado Bitung 190.678,00
No. Kabupaten/Kota Produksi (ton)
1 Sidrap -
2 Pinrang 1.838
3 Enrekang -
4 Barru 2.183
5 Kota Pare-Pare 434
Total KAPET Pare-Pare 4.455
No. Kabupaten/Kota Produksi (ton)
1. Konawe 5.079,20
2. Kolaka 3.312,10
3. Kendari 40.285,39
Total KAPET Bangsejahtera 48.676.69
No. Kabupaten/Kota Produksi (ton)
1. Kabupaten Biak Numfor 15.495
2. Kabupaten Supiori 4.597,40
3. Kabupaten Kepulauan Yapen 6.611,30
4. Kabupaten Waropen 12.591
5. Kabupaten Nabire 4.105
Total KAPET Biak 43.399,70

55
Gambar 10.2. Produksi Perikanan Tangkap4 Wilayah KAPET
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

KAPET Bangsejahtera memiliki potensi perikanan tangkap sangat besar


terutama wilayah yang berhubungan lansung dengan Laut Banda. Produksi
perikanan tangkap wilayah KAPET pada tahun 2013 sebesar 531.520.065
ton. Dari total produksi yang ada, produksi terbesar berada di Kota Kendari
sebesar 40.285,39 ton.
Produksi perikanan tangkap yang dihasilkan di KAPET Biak sebesar
43.399,70 ton.Secara umum jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan
umumnya jenis ikan karang dan sebagian kecil ikan pelagis kecil dan besar.
Ikan karang menjadi dominan mengingat alat tangkap dan sarana yang
digunakan cukup terbatas, sehingga rata-rata nelayan hanya menangkap
ikan di sekitaran pantai saja atau tidak lebih dari 2 mil laut.

10.2. Perikanan Budidaya


KAPET Pare-Pare menjadi wilayah unggulan pengembangan
komoditas perikanan budidaya berupa tambak ikan bandeng
dan udang yang dikembangkan diwilayah pesisir Kabupaten

56
Pinrang dan Kabupaten Barru. Total produksi tambak pada
kedua wilayah tersebut pada tahun 2012, berupa ikan bandeng
mencapai 19.258 ton, udang windu 3.179 dan udang vaname
sebesar 1.445,2 ton, dari areal tambak seluas 17.620 ha.

Tabel 10.2. Luas Areal dan Produksi Perikanan Budidaya di Wilayah KAPET Pare-Pare
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
IKAN BANDENG UDANG WINDU UDANG
NO KABUPATEN VANAME
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Areal (Ton) Areal (Ton) Areal (Ton)
(Ha) (Ha) (Ha)
1. Sidrap - - - - - -
2. Pinrang 15.026 17.346 15.026 2.931,0 15.026 754,2
3. Enrekang - - - - - -
4. Barru 2.594 1.912,5 2.594 248 2.594 691
5. Kota Pare-Pare - - - - - -
Total KAPET 17.620 19.258 17.620 3.179 17.620 1.445,2
Pare-Pare

Gambar 10.3. Luas ArealPerikanan Budidaya Wilayah KAPET Pare-Pare


(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

57
Gambar 10.4. Produksi Perikanan BudidayaPerikanan Tangkap Wilayah Pare-Pare
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

10.3. Budidaya Rumput Laut


Rumput laut atau alga-makro laut atau dalam perdagangan disebut seaweed
adalah biota laut yang tergolong sumberdaya alam terbarukan, tanaman
berderajat rendah, tumbuh melekat pada substrat tertentu serta tidak
memiliki akar, batang dan daun sejati yang disebut thallus. Secara
taksonomi dikelompokkan ke dalam Divisio Thallophyta, dengan empat
kelas besar dalam divisio ini, yaitu: Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae
(alga coklat), Rhodophyceae (alga merah), Cyanophyceae (alga biru-hijau).
Komoditas unggulan rumput laut di wilayah KAPET terdapat di wilayah
Palapas dan Bangsejahtera.
KAPET Palapas yang mempunyai budidaya rumput laut yang terdapat di
Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Donggala.
Potensi rumput laut di wilayah KAPET Bangsejahtera sangat besar, hal ini
ditunjukkan dengan jumlah produksi rumput laut wilayah KAPET
Bangsejahtera pada tahun 2013 mencapai 302.153,25 ton. Produksi rumput
laut terbesar di Kabupaten Kolaka sebesar 256.920 ton.

58
Tabel 10.3. Luas Areal dan Produksi Rumput Laut di Wilayah KAPET
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)
No. Kabupaten/Kota Luas Areal (Ha) Produksi (ton)
1. Palu - -
2. Donggala - -
3. Parigi Moutong 2.049 22.734
4. Sigi - -
Total KAPET Palapas 2.049 22.734
1. Konawe n/a 45.141,73
2. Konawe Kepulauan - -
3. Kolaka n/a 256.920,00
4. Kolaka Timur - -
5. Kendari n/a 91,52
Total KAPET Bangsejahtera n/a 302.153,25

Gambar 10.5. Luas Areal dan Produksi Rumput Laut 2 Wilayah KAPET
(Sumber: BPS Kabupaten Dalam Angka tahun 2014)

---o0o---

59
Bab 11
Komoditas Mineral dan Pengolahan:
Garam, Bauksit, Nikel dan Bijih Besi
Syaefudin dan Anisah

Komoditas garam berpotensi untuk dikembangkan pada KAPET Mbay (Nusa


Tenggara Timur), Bauksit pada KAPET Khatulistiwa (Kalimantan Barat), Nikel
pada KAPET Bangsejahtera (Sulawesi Tenggara) dan Bijih Besi pada KAPET
Batulicin (Kalimantan Selatan).

11.1. Garam
Potensi garam berada di wilayah KAPET Mbay – Nusa Tenggara Timur, yang
meliputi wilayah Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo. Pada era di
bawah tahun 70-an masyarakat Kecamatan Boawae, sebagian Kecamatan
Nangaroro, Kecamatan Aesesa Selatan dan Kecamatan Aesesa khususnya
daerah Munde, Boanio dan Labolewa, belum menggunakan garam kristal
(NaCl) melainkan menggunakan garam hitam atau garam tanah yang disebut
“pazo”. Era “pazo” telah lama berlalu. Namun, Dhawe khususnya dan
Kecamatan Aesesa umumnya, ditambah dengan Kecamatan Wolowae tetap
menyimpan potensi besar garam kristal. Kalau “pazo” sangat tegantung
kepada alam melalui ritual adat, sementara garam kristal adalah hasil
olahan memanfaatkan air laut menggunakan teknologi dari yang paling
sederhana secara manual sampai dengan cara yang canggih menggunakan
peralatan modern.
Potensi alam untuk komoditas garam industri di wilayah KAPET Mbay
terbentang di sepanjang pantai utara Kabupaten Ngada. Areal terluas
terdapat di Waemburung, Kecamatan Aesesa yaitu sekitar 626,50 ha dengan
perkiraan produksi pertahun sekitar 105.000 ton. Alokasi peruntukan lahan
juga telah direncanakan untuk mendukung industri garam yaitu jasa
perdagangan, pergudangan, perkantoran, iodisasi, pelabuhan atau dermaga
dan pemukiman.
Data dari Dinas Koperasi,UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Nagekeo menerangkan bahwa potensi garam di Kabupaten Nagekeo secara
total adalah sekitar 2.440 ha dengan dan menghasilkan 1.500 ton garam non
yodium pada tahun 2010.

60
Badan Pengelola (BP) KAPET Mbay pada tahun 2000 telah menghasilkan
Rencana Induk Kawasan (RIK) yang membagi wilayah menjadi 15 sub
kawasan. Salah satu sub kawasan adalah sub kawasan garam industri.
Dengan ditetapkannya sub kawasan garam industri, pada tahun 2000, BP
KAPET Mbay telah membuat sebuah Studi Kelayakan untuk ditawarkan
kepada investor yang berminat.
Dalam Studi Kelayakan yang lengkap dengan rencana alokasi pemanfaatan
ruang dalam bentuk Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan ketersediaan
tenaga kerja, terdapat 3 lokasi yang berpotensi untuk pengembangan garam
industri yakni Kaburea (33,75 ha), Waemburung (626,5 ha) dan Nggolonio
(166,75 ha). Kawasan Waemburung diproyeksikan menjadi Sub Kawasan
Garam Industri dengan luas perencanaan meliputi areal 950 ha. Sub
Kawasan Garam Industri Waemburung dibagi dalam 3 kawasan lagi yaitu
Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga, Kawasan Budidaya (Ladang Garam)
ditambah satu kawasan sebagai Kawasan Non-Budidaya, terdiri dari Industri
Pengolahan Garam, Pergudangan, Perkantoran, Pemukiman, perdagangan
dan jasa. Selain itu direncanakan pula pengembangan sarana dan prasarana,
terdiri dari listrik, air bersih, telekomunikasi, drainase, pengolahan
persampahan, pengelolaan air buangan, fasilitas dan utilitas.

11.2. Bauksit
Bauksit adalah biji logam aluminium (Al) dan merupakan suatu koloid
oksida Al dan Si yang mengandung air. Di Kalimantan Barat, cebakan
bauksit terdapat pada jalur penyeberangan busur laterit yang membujur
dengan arah barat laut-tenggara dari Kabupaten Bengkayang, Sanggau dan
Ketapang. Secara geologi, endapat bauksit terjadi karena proses pelapukan
dari batuan yang kaya akan mineral feldspar atau mineral alumina silikat
lainnya. Adapun batuan tersebut antara lain: granit, granodiorit, syenit,
dasit, andesit, trakhit, monzonit, riolit, dan tuff riodasit. Kegunaan alumina
sebagian besar digunakan untuk industri logam alumunium, industri kimia
dan metalurgi.
Pada kawasan KAPET Khatulistiwa – Kalimantan Barat, telah dibangun
industri pengolahan bauksit yang dikerjakan oleh anak perusahaan Aneka
Tambang (ANTAM) yang berlokasi di Tayan. Industri ini dibangun sejak
tahun 2009 dan selesai tahap pembangunan pada kuartal pertama Tahun
2014. Operasi industri pengolahan baru berjalan saat ini.

61
Tabel 11.1. Potensi Bauksit KAPET Khatulistiwa
(Sumber: Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Barat dalam BP KAPET Khatulistiwa)
No. Kabupaten Potensi (ton) Keterangan
1. Sanggau 424.920.100 Infered
2. Bengkayang 2.000.000 Measured

11.3. Nikel
Pada tahun 1909, biji nikel di Pomalaa (Kecamatan Pomalaa Kabupaten
Kolaka, yang berjarak sekitar 165 km dari Kendari, Ibu Kota Sulawesi
Tenggara) dieksplorasi dan ditambang oleh E. C. Abendanon kemudian pada
tahun 1934, Oast Borneo Maatsschappij (OBM) melakukan eksploitasi di
Pomalaa dan menemukan endapan-endapan biji nikel berkadar 3,00-3,50 %
Ni. Tahun 1939 – 1942 OBM Melakukan proses penambangan biji nikel di
Pomalaa yang hasilnya dikirim ke Jepang.
Pada saat perang dunia ke II yaitu pada tahun 1942 – 1945, Indonesia
diduduki oleh Jepang, Sumitomo Metal Mining Co. (SSM) lalu mengusulkan
pembuatan tambang nikel Pomalaa yang akhirnya dibangun sebuah pabrik
pengolahan yang menghasilkan nikel matte.
Kemudian berdasarkan PP No. 22 Tahun 1968 PT. Pertambangan Nikel
Indonesia bersama badan usaha lainnya disatukan menjadi PN Aneka
Tambang denganwilayah Pomalaa selaku unit produksi bernama Unit
Pertambangan Nikel Pomalaa. Sejak tahun 2006, badan usaha tersebut
berubah menjadi PT. Aneka Tambang disingkat menjadi PT. ANTAM, Tbk.

Gambar 11.1. Ilustrasi Lokasi Pertambangan Nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara

62
Mengingat cadangan biji nikel laterit kadar rendah (≤1,82 % Ni) cukup besar
sedangkan biji nikel laterit berkadar tinggi (≥ 2,30 % Ni) semakin menipis,
maka untuk memperpanjang jangka waktu penambangan nikel di Pomalaa
dan agar biji nikel kadar rendah tersebut dapat bernilai maka didirikan
pabrik peleburan biji nikel menjadi produk program FeNi.
Wilayah kuasa penambangan Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN)
mencangkup daerah seluas 7.500 Ha dan terbagi atas 3 wilayah
penambangan yaitu: wilayah utara (wilayah penambangan sekitar bukit-
bukit Pomalaa sebelah utara); wilayah tengah (daerah Tambea, Latumbi, dan
daerah sekitar Komoro); dan wilayah selatan (gugusan bukit-bukit dibagian
utara sungai Oko-Oko, Tanjung Batu Kilat, Kayu Angin, Tanjung Lappe).
Keberadaan Pabrik (Smelter) Ferro Nikel di Pomalaa sejalan dengan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral,
pemerintah memang melarang tambang mineral yang diekspor dalam
bentuk bahan mentah. Komoditas mineral yang dilarang diekspor berjumlah
55 jenis, di antaranya tembaga, emas, perak, timah, timbal, kromium,
platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, dan mangan, kecuali batubara.

Gambar 11.2. Ilustrasi Pabrik Pengolahan Nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara

Pemerintah membolehkan ekspor, tetapi dengan syarat. Selain berstatus


”clean and clear” (CnC), perusahaan pemegang IUP juga harus melunasi
kewajiban pembayaran keuangan, antara lain penerimaan negara bukan

63
pajak royalti pertambangan serta menyampaikan rencana kerja dan kerja
sama pengolahan dan pemurnian mineral. Dengan CnC, lahan tambang tak
tumpang tindih dan punya dokumen perizinan yang harus memenuhi aspek
teknis, seperti adanya laporan eksplorasi dan studi kelayakan.
Persyaratan lain, petambang harus menandatangani pakta integritas yang
menunjukkan komitmen untuk menjaga lingkungan dan membayar bea
keluar sebesar 20 persen. Ketentuan itu ditindaklanjuti Peraturan Menteri
Perdagangan No 29/M.DAG/PER/5/2012 Tahun 2012 tentang Ketentuan
Ekspor Produk Pertambangan serta Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan
Batubara No 574.K/30/DJB/2012 tentang Ketentuan Tata Cara dan
Persyaratan Rekomendasi Ekspor Produk Pertambangan.

11.4. Bijih Besi


Produksi Bijih Besi kawasan KAPET Batulicin adalah sebesar 8 juta ton pada
tahun 2012. Sektor Pertambangan terutama bijih besi dan batubara
berperan cukup besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Kotabaru dan
Kabupaten Tanahbumbu. Saat ini di Kabupaten Tanahbumbu dan Kotabaru
sedang berkembang industri pengolahan bijih besi. Kapasitas produksi
sekitar 315 ribu ton per tahun di Tanahbumbu dan sekitar 1 juta ton per
tahun sedang dikembangkan di Kotabaru.
Industri pengolahan Besi Meratus di Batulicin dengan produksi sekitar
315,000 ton per tahun dalam bentuk iron sponge memerlukan input kadar
besi diatas 40% dari daerah di sekitar Tanahbumbu. Data yang dimiliki oleh
perusahaan swasta PT. Silo memperlihatkan terdapat cadangan untuk 15
tahun sebesar 7 juta ton dengan kapasitas pengolahan sebesar 450 ribu per
tahun. Meratus masih termasuk industri pengolahan yang besar di Asia
Tenggara.
Kabupaten Tanahbumbu dan Kotabaru dilirik oleh pengusaha termasuk
BUMN sebagai basis produksi industri pengolahan bijih besi disamping PT.
Krakatau Steel di Cilegon, Provinsi Banten, karena adanya cadangan bijih
besi dan laterit. Keberadaan pabrik pengolahan bijih pesi itu tentunya akan
menopang upaya Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan sebagai daerah
bijih besi hilir dan diharapkan peningkatan produksinya optimal.
Beberapa Kendala pada pengembangan industri bijih besi di wilayah KAPET
Batulicin antara lain meliputi:
1. Input bijih besi untuk industri pengolahan sangat spesifik untuk
masing-masing mesin. Hal ini menimbulkan kendala pengadaan
bahan baku untuk industri. Ketersediaan bahan baku yang terperinci

64
hanya ada setelah eksplorasi oleh suatu perusahaan. Data
perusahaan ini belum tentu terbuka untuk umum. Oleh karena itu
perencanaan industri banyak didasarkan pada perkiraan cadangan
tanpa adanya data terperinci. Dalam menjalankan bisnis industri
pengolahan, bahan baku menjadi masalah dan tantangan tersendiri.
2. Kebutuhan air dan listrik sangat besar untuk industri pengolahan
pertambangan. Pembangkit listrik tenaga uap sedang dikembangkan
dan akan memasok sebagian kebutuhan listrik di KAPET Batulicin.
Air dipasok dari PDAM yang dikelola BUMD. Keterlambatan pasokan
air sering terjadi sehinga menggangu operasi pabrik. Pasar industri
pengolahan besi dalam bentuk iron spongeadalah dalam bentuk besi
batangan dan besi beton. Pasar untuk kedua besi diatas masih
berada di Pulau Jawa dan internasional. Diperlukan pengembangan
industri besi beton dan besi batangan untuk memperkuat pasar.

---o0o---

65
Bagian IV
Penutup

66
Bab 12
Potensi Pengembangan Komoditas Nusantara
Agustan, Rony M. Bishri, Wisnu Ali Martono, Syaefudin dan Budi Heru
Santosa

Pada tahun 2013 pendapatan per kapita di 13 KAPET berada pada kisaran
Rp. 4,9 juta – Rp. 8,6 juta (20% - 35% dari pendapatan per kapita nasional
sebesar Rp. 24,3 juta) dan pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Kapet
juga berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketertinggalan kondisi ekonomi di wilayah KAPET yang cukup jauh
dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia ini perlu diupayakan untuk
dapat diatasi, sehingga dibutuhkan percepatan pembangunan melalui
peningkatan investasi dan pengembangan industri di wilayah KAPET.
Peningkatan investasi dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam di
wilayah KAPET pada sektor bidang pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan dan kelautan, peternakan dan pertambangan. Peluang investasi di
wilayah KAPET berbasis sumberdaya alam yang besar ini sering kali tidak
tersampaikan kepada calon investor sehingga potensi sumber daya alam
yang ada di wilayah KAPET tersebut belum bisa dimanfaatkan secara
optimal. Di samping itu terdapat beberapa kendala investasi, antara lain
proses perizinan yang panjang dan sarana dan prasarana dasar yang belum
memadai berupa sarana dan prasarana akses ke lokasi sumber daya alam
dan ketersediaan listrik dan air dalam kapasitas yang mencukupi.
Terdapat 20 komoditas yang disurvey dan dianalisis pada wilayah KAPET.
Analisis dilakukan untuk menghitung nilai ekonomis dan potensi
pengembangan dari komoditas terpilih. Komoditas tersebut adalah: padi,
ubi kayu, jagung, cengkeh, kakao, karet, kelapa dalam, kelapa sawit, kopi,
pala, ternak sapi, hortikultura, buah-buahan, perikanan tangkap, perikanan
budidaya, rumput laut, garam, bauksit, nikel dan bijih besi.
Komoditas yang terdapat pada wilayah KAPET tersebut diinventarisasi
kemudian dianalisis untuk pemilihan prioritas komoditas unggulan.
Pemilihankomoditas unggulan dilakukan berdasarkan metodologi yang telah
disusun dan dijelaskan pada bagian 2 sebelumnya yang berbasis aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan.Ringkasan hasil inventarisasi komoditas
pada wilayah KAPET dapat dilihat pada tabel berikut.

67
Tabel 12.1. Ringkasan Komoditas pada Wilayah KAPET
No. Kapet, Provinsi Produk Unggulan Kabupaten/Kota
1 Bandar Aceh Kopi, Kakao, (Kab.Pidie, KotaBanda Aceh,
Darussalam, Perikanan Tangkap, Kab.Aceh Besar)
Nangroe Aceh Padi, dan Sapi
Darussalam
2 Khatulistiwa, Perikanan Tangkap, (Kab. Pontianak, Kota
Kalimantan Barat Sawit, Karet, Kelapa Pontianak, KotaSingkawang,
Dalam dan Alumina Kab. Sanggau, Kab.Bengkayang,
Ore Kabupaten Kubu Raya dan Kab.
Sambas)
3 Batulicin, Bijih Besi, (Kab. Kotabaru dan Kab.Tanah
Kalimantan Selatan Sawit,Perikanan Bumbu)
Tangkap, dan Karet
4 Daskakab, Karet, Rotan, Sawit, (Kab. Kapuas,
Kalimantan Tengah Buah-Buahan, Ternak KotaPalangkaraya,
Kab.Pulangpisau dan Kab.
Barito Selatan)
5 Sasamba, Karet, Sawit, Ubi (Kab.Kutai Kertanegara, Kota
Kalimantan Timur Kayu, Pepaya Samarinda dan Kota
Balikpapan)
6 Pare-Pare, Sulawesi Kopi, Bandeng, Sapi, (Kab. Barru, Kota Pare-Pare,
Selatan Cabe, Bawang, Padi Kab. Pinrang, Kab. Sidrap, dan
Kab. Enrekang)

7 Palapas, Sulawesi Rotan, Rumput Laut, (Kab. Parigi Motong, Kabupaten


Tengah Kakao dan Kelapa Donggala, Kabupaten Sigi dan
Dalam dan Pariwisata Kota Palu

8 Manado-Bitung, Jagung, Cengkeh, (Kota Manado, Kota Bitung,


Sulawesi Utara Pala, Wortel Kota Tomohon, Kab. Minahasa,
Kab. Minahasa Utara)

9 Bangsejahtera, Nikel, Perikanan (Kab.Konawe,Kota Kendari,Kab.


Sulawesi Tenggara Tangkap, Padi, Kakao, Konawe Kepulauan, Kab.
Sawit dan Karet Kolaka, dan Kab. Kolaka Timur

10 Bima, NTB Sapi, Jagung, Rumput (Kab. Bima, Bima Kota, Kab.
Laut, bawang dan Dompu)
Perikanan tangkap.
11 Mbay, NTT Garam, Sapi, dan (Kab. Ngada dan Kab. Nagekeo)
Jagung

12 Seram, Maluku Perikanan Tangkap, (Kab. Maluku Tengah, Kab.


Kakao, Rumput Laut, Seram Bagian Barat dan
Padi, Ferro Nickel Kabupaten Seram Bagian Timur

13 Biak, Papua Kakao, Rumput laut, (Kab. Waropen, Kab. Nabire,


dan Jeruk Kab. Biak Numfor, Kab. Kep.
Yapen dan Kab. Supiori)

68
Berdasarkan potensi komoditas tersebut, prioritas pengembangan produk
dan industri turunannya dilakukan berdasarkan analisis multikriteria yang
telah dijelaskan pada Bagian Metodologi sebelumnya. Hasilnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 12.2. Ringkasan Hasil Analisis Prioritas Pengembangan Komoditas pada Wilayah
KAPET
Potensi
No. Kapet, Provinsi Prioritas Pengembangan 2015-2020 Investasi
(Rupiah)

Bandar Aceh Budidaya Sapi, Perikanan Tangkap,


1 281,5 M
Darussalam, NAD Fermentasi dan Bubuk Coklat,

Industri Allumina Ore, Ikan Beku,


Khatulistiwa,
2 Advanced Keramik, Chemical Allumina, 27,5 T
Kalimantan Barat
dan Tawas Alum

Batulicin, Industri Besi Beton, Besi Batangan, Ikan


3 662 M
Kalimantan Selatan Beku,PakanTernak, Ikan Tangkap

Daskakab,
Budidaya Ternak, Kerajinan Rotan,
4 Kalimantan 140 M
Papan Rotan, Daging Segar
Tengah

Obat Biji Pepaya, Tapioka,Budidaya


Sasamba,
5 Papaya,Makanan Olahan Singkong, 55 M
Kalimantan Timur
Kosmetik/Sabun Sawit

Pare-Pare, Sulawesi Budidaya Sapi, Bawangkering, Kopi


6 247,5 M
Selatan Bubuk, Budi Daya Cabe dan Tomat

Furniture Rotan, Fermentasi/Bubuk


Palapas, Sulawesi
7 Kakao,Papan-Rotan, Semirefined, Kara- 120 M
Tengah
Geenandan Refined Karageenan

Manado-Bitung, Pakan Ternak Jagung, Minyak Cengkeh,


8 97 M
Sulawesi Utara Budi Daya Pala, dan Sereal Jagung

Bangsejahtera, Ferro Nickel,Ikan Tangkap, Ikan Beku,


9 620 M
Sulawesi Tenggara Budaya Kakao dan Rumput Laut

Pakan Ternak, Budidaya Jagung, Cereal


10 Bima, NTB 247 M
Jagung, Budidaya Sapid dan Bawang

69
Garam Farmasi, Industri Dan
1290 M, 800
11 Mbay, NTT Rumahtangga, Pakan Ternak dan Ternak
M
Sapi

Minyak Cengkeh, Ikan Beku, Sirup Pala,


12 Seram, Maluku 52,5 M
Minyak Pala, dan Minyak Pala

Konsentrate Jeruk, Perikanan Tangkap,


13 Biak, Papua Jus Jeruk, Semi Refined Karageenan dan 51,6 M
Budidaya Jeruk

Analisis pemeringkatan terhadap produk unggulan di masing-masing KAPET


menghasilkan lima produk prioritas untuk dikembangkan di masing-masing
Kapet. Produk unggulan peringkat pertama diharapkan dapat dikembangkan
menjadi “Emirat” KAPET yang menjadi lokomotif bagi pengembangan
KAPET dan produk unggulan lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut
maka model bisnis KAPET disajikan pada tabel berikut.

Tabel 12.3. Klasifikasi Potensi Emirat Komoditas pada Wilayah KAPET


No Kapet, Provinsi Jenis Emirat Keterangan
1 Bandar Aceh Darussalam, Emirat Budidaya Sapi Pengembangan
NAD
2 Khatulistiwa, Kalimantan Emirat Industri Hilir Pengembangan
Barat Alumina
3 Batulicin, Kalimantan Selatan Emirat Industri Hilir Baja Pengembangan
4 Daskakab, Kalimantan Tengah Emirat Budidaya Ternak Pengembangan
5 Sasamba, Kalimantan Timur Emirat Industri Hilir pepaya Inisiasi
6 Pare-Pare, Sulawesi Selatan Emirat Budidaya Sapi Pengembangan
7 Palapas, Sulawesi Tengah Emirat Industri Hilir Rotan Pengembangan
8 Manado-Bitung, Sulawesi Emirat Industri Hilir Jagung Pengembangan
Utara
9 Bangsejahtera, Sulawesi Emirat Industri Hilir Ferro Pengembangan
Tenggara nikel
10 Bima, NTB Emirat Industri Hilir Jagung Pengembangan
11 Mbay, NTT Emirat Industri Hilir Garam Pengembangan
12 Seram, Maluku Emirat Industri Hilir Inisiasi
Cengkeh
13 Biak, Papua Emirat Industri HIlir Jeruk Inisiasi

Hingga tahun 2014, sepuluh KAPET telah mengembangkan produk unggulan


dengan tahapan yang berbeda-beda. Untuk menjadi sebuah Emirat yang
ideal diperlukan langkah-langkah pengembangan lebih lanjut yang

70
memerlukan dukungan dari seluruh pihak. Tiga KAPET saat ini masih
berada pada posisi menginisiasi pengembangan produk unggulan yang akan
menjadi yaitu Sasamba, Seram, dan Biak.
Dari Klasifikasi Emirat untuk setiap wilayah KAPET. dapat diturunkan model
bisnis berdasarkan jenis industri yang dikembangkan, yaitu: industri hulu,
industri hilir, dan industri jasa. Dalam usaha pengembangannya, setiap
KAPET memerlukan dukungan dari segenap pihak yang disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing. Dukungan dari Pemerintah Pusat sangat
berkaitan dengan isu penting yang ada pada saat ini dan juga program
prioritas pembangunan nasional, sehingga hal ini perlu diidentifikasi untuk
menangkap peluang dukungan yang memadai.

Tabel 12.4. Model Bisnis Wilayah KAPET


No. Emirat Industri Hulu Industri Hilir Industri Jasa
1. Arah Industri bahan baku Industri barang Melayani jasa
Pencapaian setengah jadi atau pelabuhan atau
jadi pariwisata

2. Segmen Rumah tangga dan Rumah tangga Konektivitas dan


Pasar atau Industri hilir dan atau Industri aksesibilitas
(termasuk KEK) hilir barang
Lokal, regional, Lokal, regional, Lokal, regional,
national dan national dan national dan
Internasional Internasional Internasional

3. Value chain Supplier bahan baku Supplier bahan Sistim logistik


structure setengah jadi dan
jadi
4. Pendapatan Nilai Neto Nilai neto Transfer fee
dan margin
5. Posisi Pendukung Pendukung Pendukung
pengembangan penggunaan sistim
Industri hilir produk Industri Transportasi
hulu
6. Competitive Penggunaan SDA Peningkatan nilai Sistim logistik
strategy sesuai kebutuhan tambah SDA yang efisien
Pasar

Informasi peluang investasi di wilayah KAPET berbasis sumberdaya alam ini


diharapkan dapat tersampaikan kepada calon investor sehingga potensi
sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara
optimal.

71
Selain itu, peran Pemerintah sebagai motor penggerak dalam pembangunan
infrastruktur dasar untuk mendukung integrasi perekonomian sangat
diharapkan. Utamanya dengan melakukan identifikasi simpul-simpul
transportasi dan pusat distribusi untuk memfasilitasi kebutuhan logistik
bagi komoditi utama dan penunjang, serta peningkatan jaringan komunikasi
dan teknologi informasi untuk memfasilitasi seluruh aktifitas ekonomi,
aktivitas pemerintahan, dan sektor pendidikan nasional. Bila hal ini tercapai
maka KAPET akan menjadi kawasan yang tumbuh dan berkembang serta
terhubung dengan kawasan lain di luar KAPET baik dalam skala regional,
nasional maupun global.

---o0o---

72
Lampiran

74
Lampiran 1. Peta Sebaran Komoditi KAPET

L.1. Peta Distribusi dan Potensi Komoditas Tanaman Pangan

1
L.2. Peta Distribusi dan Potensi Komoditas Hutan dan Perkebunan

3
L.3. Peta Distribusi dan Potensi Komoditas Hewan Ternak

5
L.4. Peta Distribusi dan Potensi Komoditas Hortikulturan dan Buah-buahan

7
L.5. Peta Distribusi dan Potensi Komoditas Kelautan dan Perikanan

9
L.6. Peta Distribusi dan Potensi Komoditas Mineral dan Pengolahan

11
Potensi Komoditas Ubi Kayu Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

¯
Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Î Pelabuhan Produksi Ubi Kayu (ton)
KAPET Manado Bitung 137
Coordinate System: GCS WGS 1984
KAPET Parepare 138 - 2357
Datum: WGS 1984
KAPET Sasamba 2358 - 4153
Units: Degree
Sumber Data : BPS
Indonesia 4154 - 10000
Tahun Pembuatan : 2017
10001 - 21027
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Tomat Nusantara
99 108 117 126 135
7
4

Î Î

Î
1
-2
-5

¯
Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Coordinate System: GCS WGS 1984
Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
Indonesia Sumber Data : BPS
Produksi Tomat (ton) Tahun Pembuatan : 2017
103,4
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
654,8 Meter
13933,8 1:5.000.000
Potensi Komoditas Sapi Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Î Pelabuhan Produksi Sapi (ekor)
Coordinate System: GCS WGS 1984
KAPET Parepare 4106 - 13299
Datum: WGS 1984
KAPET Bima 13300 - 23120
Units: Degree
Sumber Data : BPS
KAPET Mbay 23121 - 37159
Tahun Pembuatan : 2017
Indonesia 37160 - 45250
45251 - 137554
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Rumput Laut Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Coordinate System: GCS WGS 1984
Î Pelabuhan Produksi Rumput Laut (ton) Datum: WGS 1984
KAPET Bang Sejahtera 91,52
Units: Degree
KAPET Palapas 22734
Sumber Data : BPS
Indonesia 45141,73
Tahun Pembuatan : 2017
256920
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Perikanan Tangkap Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Produksi Perikanan Tangkap (ton) Datum: WGS 1984
Merge 434 - 3312 Units: Degree
KAPET Biak 3313 - 7535 Sumber Data : BPS
Tahun Pembuatan : 2017
KAPET Parepare 7536 - 17516
KAPET Manado Bitung 17517 - 40285
Indonesia 40286 - 158336 0 360.000 720.000 1.440.000 2.160.000 2.880.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Udang Windu Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
Indonesia Sumber Data : BPS
Produksi Udang Windu (ton) Tahun Pembuatan : 2017
248 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
2931 Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Udang Vaname Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
Indonesia Sumber Data : BPS
Produksi Udang Vaname (ton) Tahun Pembuatan : 2017
691 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
754,2 Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Ikan Bandeng Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
Indonesia Sumber Data : BPS
Produksi Ikan Bandeng (ton) Tahun Pembuatan : 2017
1912,5 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
17346 Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Pala Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Datum: WGS 1984
Î Pelabuhan Produksi Pala (ton)
Units: Degree
KAPET Manado Bitung 0 - 56
KAPET Seram 57 - 194
Sumber Data : BPS
Tahun Pembuatan : 2017
Indonesia 195 - 672
673 - 1291
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Padi Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Text
-11

Legenda Produksi Padi (ton)


Pelabuhan KAPET Sasamba 285 - 5643 5644 - 16401
KAPET Manodo Bitung KAPET Bandar Aceh Darussalam 16402 - 100402 100403 - 204052
KAPET Bang Sejahtera KAPET Parepare 204053 - 427028
Coordinate System: GCS WGS 1984
Indonesia Datum: WGS 1984
0 375.000 750.000 1.500.000 2.250.000 3.000.000 Units: Degree
Meter Sumber Data : BPS
1:5.000.000 Tahun Pembuatan :: 2017
Potensi Komoditas Kopi Nusantara
99 108 117 126 135
7
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î
ÎÎ

¯
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
KAPET Bandar Aceh Darussalam Sumber Data : BPS
Indonesia Tahun Pembuatan : 2017
Produksi Kopi (ton) 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
11001
50774 1:5.000.000
Potensi Komoditas Kelapa Sawit Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

¯
Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Daskakab Units: Degree
KAPET Batulicin Sumber Data : BPS
Indonesia Tahun Pembuatan : 2017
Produksi Kelapa Sawit (ton)
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
151 Meter
410358
1:5.000.000
Potensi Komoditas Kelapa Dalam Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Produksi Kelapa Dalam (ton) 2716 - 7247
Datum: WGS 1984
KAPET Sasamba 0 - 228 7248 - 13655
Units: Degree
Sumber Data : BPS
KAPET Palapas 229 - 2715 13656 - 40252
Tahun Pembuatan : 2017
KAPET Kharulistiwa
Indonesia
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Karet Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

¯
Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Produksi Karet (ton) 19218 - 23227 Datum: WGS 1984
KAPET Khatulistiwa 4860 23228 - 37365 Units: Degree
Indonesia 4861 - 19217 37366 - 49987 Sumber Data : BPS
Tahun Pembuatan : 2017

0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000


Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Kakao Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Coordinate System: GCS WGS 1984
Î Pelabuhan Produksi Kakao (ton) 5001 - 11881
Datum: WGS 1984
KAPET Sasamba 0 - 1447 11882 - 32023
Units: Degree
KAPET Palapas 1448 - 5000 32024 - 48244
Sumber Data : BPS
KAPET Biak
Tahun Pembuatan : 2017
KAPET Bang Sejahtera
KAPET Bandar Aceh Darussalam
KAPET Seram 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Indonesia Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Jeruk Nusantara

,000000

,000000

,000000

,000000
,000000
100

120

130

140
110
,000000

Î Î
4

Î
,000000

1
,000000

-2
,000000

Î
-5

¯
ÎÎ
Î Î
,000000

-8

Î
,000000

-11

Legenda
Î Pelabuhan Produksi Jeruk (ton) Coordinate System: GCS WGS 1984
KAPET Biak 18
Datum: WGS 1984
Units: Degree
KAPET Parepare 19 - 44
Sumber Data : BPS
45 - 336 Tahun Pembuatan : 2017
337 - 852
853 - 13800 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
Indonesia
1:5.000.000
Potensi Komoditas Jagung Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
0
-4

Î Î
ÎÎ
Î Î

¯
-8

Î
-12

Legenda 0 375.000 750.000 1.500.000 2.250.000 3.000.000


Meter
Î Paelabuhan Produksi Jagung (ton) 1:5.000.000
KAPET Mbay 2639 - 7586
KAPET Bima 7587 - 20396 Coordinate System: GCS WGS 1984
Datum: WGS 1984
KAPET Manado Bitung 20397 - 32705
Units: Degree
KAPET Parepare 32706 - 59475
Sumber Data : BPS
Indonesia 59476 - 153305 Tahun Pembuatan : 2017
Potensi Komoditas Cengkeh Nusantara
99 108 117 126 135
7
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Seram Units: Degree
KAPET Manado Bitung Sumber Data : BPS
Indonesia Tahun Pembuatan : 2017
Produksi Cengkeh (ton) 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
6330 Meter
11000 1:5.000.000
Potensi Komoditas Cabe Merah Besar Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Produksi Cabe Merah Besar (ton) Datum: WGS 1984
KAPET Parepare 2,531 Units: Degree
Indonesia 880,2 Sumber Data : BPS
4215 Tahun Pembuatan : 2017
18957,2
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1:5.000.000
Potensi Komoditas Semangka Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Coordinate System: GCS WGS 1984


Legenda Datum: WGS 1984
Î Pelabuhan Units: Degree
KAPET Parepare Sumber Data : BPS
Indonesia Tahun Pembuatan : 2017
Produksi Semangka (ton)
0
0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
90 Meter
114
1:5.000.000
Potensi Komoditas Nangka Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Coordinate System: GCS WGS 1984
Î Pelabuhan
Datum: WGS 1984
KAPET Parepare
Units: Degree
Indonesia
Produksi Nangka (ton) Sumber Data : BPS
13,6 Tahun Pembuatan : 2017
375,84
869 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1005,1
1035 1:5.000.000
Potensi Komoditas Nanas Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

¯
Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Coordinate System: GCS WGS 1984
Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare
Units: Degree
Indonesia
Sumber Data : BPS
Produksi Nanas (ton)
Tahun Pembuatan : 2017
2,6
5,9
26,66 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
32
390 1:5.000.000
Potensi Komoditas Langsat Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
Indonesia Sumber Data : BPS
Produksi Langsat (ton) Tahun Pembuatan : 2017
0
6,3 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
222,54 Meter
752
1:5.000.000
Potensi Komoditas Durian Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2
-5

¯
Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Produksi Durian (ton) Datum: WGS 1984
KAPET Parepare 0 Units: Degree
Indonesia 32 Sumber Data : BPS
42,8 Tahun Pembuatan : 2017
623,76
1116 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter

1:5.000.000
Potensi Komoditas Alpokat Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda
Coordinate System: GCS WGS 1984
Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare
Units: Degree
Indonesia
Sumber Data : BPS
Produksi Alpokat (ton)
Tahun Pembuatan : 2017
4
7
36 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
80,56
150,6 1:5.000.000
Potensi Komoditas Bijih Besi Nusantara
99 108 117 126 135
7
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î
ÎÎ
Î

¯
Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Batulicin Units: Degree
Indonesia Sumber Data : BPS
Produksi Bijih Besi (ton) Tahun Pembuatan : 2017
315000 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
1000000 1:5.000.000
Potensi Komoditas Bawang Merah Nusantara
99 108 117 126 135
4

Î Î

Î
1
-2

¯
-5

Î Î
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
KAPET Parepare Units: Degree
Produksi Bawang Merah (ton) Sumber Data : BPS
Tahun Pembuatan : 2017
5
254 0 420.000 840.000 1.680.000 2.520.000 3.360.000
Meter
39295
1:5.000.000
Indonesia
Potensi Komoditas Bauksit Nusantara
99 108 117 126 135
7
4

Î Î

Î
1
-2
-5

Î Î

¯
ÎÎ
Î Î
-8

Î
-11

Legenda Coordinate System: GCS WGS 1984


Î Pelabuhan Datum: WGS 1984
Potensi Bauksit (ton)
Units: Degree
2000000
424920100
Sumber Data : BPS
KAPET Khatulistiwa
Tahun Pembuatan : 2017 0 350.000 700.000 1.400.000 2.100.000 2.800.000
Meter
Indonesia
1:5.000.000
AGUSTAN
Berlatar belakang pendidikan Geodesi
ITB dan bergabung dengan Pusat
Inventarisasi Sumberdaya Alam BPPT
sejak tahun 1997. Saat ini menekuni
bidang survei pemetaan dan menjadi
anggota beberapa organisasi profesi
seperti Ikatan Surveyor Indonesia (ISI)
dan Masyarakat Penginderaan Jauh
(MAPIN).

BUDI HERU SANTOSA

Berlatar belakang pendidikan Teknik Sipil di


Jerman, berstatus pegawai BPPT sejak tahun
1991 melalui program STAID. Saat ini menekuni
bidang water resource management dan GIS,
serta menjadi anggota organisasi profesi
Masyarakat Hidrologi Indonesia (MHI).

SYAEFUDIN Berlatar belakang Geologi Lingkungan,


perekayasa Madya BPPT dengan beberapa
pengalaman sebagai tenaga ahli bidang
akuntansi sumberdaya alam (NRA)
pertambangan batubara, kebencanaan pada
penyusunan rencana tata ruang wilayah di
Dirjen Penataan Ruang Kementerian PU
dan bidang kawasan di Kementerian
Koordinasi Perekonomian.

1
WISNU ALI MARTONO

Alumnus Auckland University, New


Zealand di bidang Natural Recources
Economics. Sejak tahun 1987 bekerja
sebagai ekonom energi dan sumberdaya
alam. Pernah menjadi anggota Dewan
Pakar Masyarakat Ekonomi Terbarukan
Indonesia (METI). Ikut mendirikan
Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam
dan Lingkungan (MASLI).

RONY MAMUR BISHRY Peneliti madya bidang Akuntansi Sumberdaya


Alam di PTISDA BPPT dan peneliti utama dalam
kajian pengembangan industri untuk Kawasan
Ekonomi khusus dan Terpadu di Kementrian
Koordinasi bidang Perekonomian.
Menyelesaikan Ph. D di Departemen Ekonomi
University of Illinois, 1990. Mulai bulan Juni
2015, menjadi Komisioner bidang
Makroekonomi di Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia.

MEUTIA DJOHARIN P.
Berlatar belakang Sistem Informatika dan
Keuangan. Sejak tahun 1996 menjadi pegawai
di BPPT dengan bidang keahlian database.
Banyak kegiatan yang sudah dijalankan
termasuk pengaplikasian sistem informasi
dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam.

2
DONI FERNANDO PUTRA
Berlatar belakang pendidikan Matematika
Terapan IPB dengan bidang keahlian
statistik dan pemodelan. Bergabung
dengan Pusat Inventarisasi Sumberdaya
Alam BPPT sejak tahun 2014. Saat ini
menekuni bidang pemodelan dan valuasi
sumberdaya alam serta menjadi anggota
Perkumpulan Matematika-Statistika
Indonesia (INDOMS).

RIISSiYANI
berlatar belakang pendidikan Akuntansi dari
Universitas Jenderal Soedirman tahun
2004, dan Magister Ekonomi Terapan
Universitas Padjadjaran, bergabung di
PTISDA tahun 2006. Saat ini sedang
menekuni bidang akuntansi sumberdaya
alam dan lingkungan.

TIARA GRACE FRANZISCA L.


Alumnus Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura di bidang Agronomi. Mengawali
karir sebagai sekretaris Kepala Bidang
Akuntansi Sumberdaya Alam dan sejak
tahun 2009 menjadi pegawai BPPT
dengan bidang yang ditekuni adalah
ekonomi pertanian dan valuasi ekonomi
semberdaya alam.

3
ANISAH
Berlatar belakang pendidikan Matematika
ITB dengan bidang keahlian statistik.
Pernah menjadi dosen untuk mata kuliah
persamaan diferensial dan matematika
statistika. Bergabung dengan Pusat
Inventarisasi Sumberdaya Alam BPPT
sejak tahun 2014. Saat ini menekuni
bidang valuasi sumberdaya alam.

ASEP DADANG IRAWAN


Alumnus STIA Yapan, dengan latar belakang
pendidikan bidang administrasi negara.
Bergabung dengan PTISDA di bidang
Akuntansi Sumberdaya Alam sejak tahun
1998. Keahlian dalam bidang administrasi
dan sebagai pembantu peneliti.

DIONYSIUS BRYAN SENCAKI


Berlatar belakang pendidikan Teknik Geomatika
ITS. Sejak Maret 2015 menjadi pegawai BPPT.
Saat ini, menekuni bidang GIS dan remote
sensing data processing untuk middle-spatial
resolution imagery.

4
ONI BIBIN BINTORO
Memiliki kompetensi multi-disiplin, antara lain
elektro, sistem informasi, remote sensing & GIS,
komunikasi politik, bisnis, ekonomi sumberdaya
alam dan hukum. Saat ini aktif menjadi pengurus
KORPRI & ASN.

Anda mungkin juga menyukai