Anda di halaman 1dari 11

Jenis – jenis Kanker Kepala Leher :

1. Karsinoma Nasofaring
a. Definisi

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah


nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa.1
b. Epidemiologi
Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat 87.000 kasus baru kanker nasofaring
muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000
kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-
laki, dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara
25 hingga 60 tahun.
Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni
sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker
nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan
angka kejadian sekitar <1/100.000 penduduk. Di Indonesia, karsinoma nasofaring
merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan ke-
4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan
kanker paru.1
c. Faktor resiko
Beberapa faktor yang tampaknya meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring,
yaitu :1
1. Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita
2. Ras
Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia dan Afrika
Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih tinggi dari jenis
kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran Amerika.
3. Umur
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering didiagnosis
pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.

d. Etiologi
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan KNF :1
1. Makanan yang diawetkan
Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan, seperti ikan dan
sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung, meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat
meningkatkan risiko.
2. Virus Epstein-Barr
Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala ringan, seperti
pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi mononucleosis. Virus Epstein-
Barr juga terkait dengan beberapa kanker langka, termasuk karsinoma nasofaring.
3. Genetic
Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring meningkatkan risiko
penyakit

e. Tanda dan gejala


Gejala yang muncul dapat berupa :1
1. hidung tersumbat,
2. epistaksis ringan,
3. tinitus,
4. telinga terasa penuh,
5. otalgia,
6. diplopia
7. neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI),
8. muncul benjolan pada leher
f. Diagnostik1
1. Anamesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
metastasis / leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, lendir bercampur
darah, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik 1
Pemeriksaan status generalis dan status lokalis. Meriksaan nasofaring dapat
dilakukan dengan rinoskopi posterior dan nasofaringoskop (fiber/rigid)
3. Pemeriksaan penunjang1
a. Pemeriksaan radiologi berupa CT-Scan Nasofaring
b. Biopsy nasofaring

g. Klasifikasi WHO tahun 1978 membagi KNF menjadi


 squamous cell carcinoma (WHO tipe 1),
 nonkeratinizing carcinoma (WHO tipe 2) dan
 undifferentiated carcinoma (WHO tipe 3).2

h. Klasifikasi berdasarkan klasifikasi TNM (AJCC, 7th ed, 2010), dapat ditentukan
dengan menilai karakteristik massa tumor, kelenjar getah bening yang terlibat, dan
metastasis ke organ lain.1

STADIUM TUMOR
T0 Tidak terdapat tumor primer
T1 Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke
orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaringeal
T2 Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T (Tumor)
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau
sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf
kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal / masticator space
N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa
N supraklavikula
(Nodulus N2 Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi
Limafatikus) terbesar di atas fosa supraklavikula
N3a Metastasis di KGB dengan ukuran > 6 cm
N3b Perluasan KGB ke supraklavikula
M M0 Tidak terdapat metastasis
( Metastasis ) M1 Terdapat metastasis

i. Penatalaksanaan
Radioterapi menggunakan sinar peng-ion untuk mematikan sel-sel tumor dan
memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu
berat. Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 Gy DT (dosis tumor)
diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Terapi radiasi
biasanya dilakukan selama 3 minggu dengan menggunakan cisplatinum 100 mg/m².
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang
responsnya. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung
stadium penyakit. Radiasi dapat menimbulkan komplikasi akut maupun kronik. Efek
radiasi akut mencapai puncak dalam 90 hari. Pengaruh radiasi jangka panjang adalah
kerusakan jaringan permanen. Pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring
diindikasikan pada kasus penyebaran ke KGB leher, metastasis jauh dan kasus-kasus
residif. Diberikan sebagai kemoterapi neoadjuvan dan concomitan. Regimen
kemoterapi neoadjuvan antara lain: cisplatin dan 5-FU, cisplatin dan epirubicin,
paclitaxel dan carboplatin, docetaxel dan cisplatin, gemcitabin dan cisplatin. Karena
keterbatasan letak anatomi dan banyaknya kelenjar limfe maka terapi operatif jarang
dilakukan.Pembedahan terbatas pada diseksi untuk mengontrol kelenjar yang
radioresisten dan metastase leher setelah radioterapi .3

DAFTAR PUSTAKA
1. Soehartati, Gondhowiardjo., dkk. Pedoman Nasioanal Pelayanan Kedokteran. Kanker
Nasofaring. 2017. Komite Penanggulangan kanker nasinoanal.
2. Faiza,shofi., dkk. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring di Bagian
THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)
3. Ariani,Suci.,dkk. Diagnosa Dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.2019

2. Angiofibroma Nasofaring Juvenil


a. Definisi
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma merupakan lesi jinak yang jarang,
berasal dari fossa pterigopalatin dengan epidemiologi dan pola pertumbuhan
khusus. ANJ tampak jelas, berlobul ditutupi mukosa nasofaring. Tumor ini terdiri
dari cabang-cabang vascular ireguler dan berproliferasi dalam suatu stroma
fibrosa. Pembuluh darah tumor secara tipikal mempunyai dinding tipis, tidak
memiliki lapisan elastis, lapisan otot tidak lengkap atau bahkan tidak ada,
sehingga mudah terjadi perdarahan. Ruang stromal terbuat dari selsel yang bisa
berbentuk seperti poros atau bintang menyebabkan tumor dapat sangat keras atau
kenyal bahkan relatif lembut tergantung jumlah sel-sel yang mengisi ruang
stromal tumor.1
b. Epidemiologi
Angka kejadian ANJ berkisar 0,5% dari semua tumor kepala leher, dengan
frekuensi 0,4 per satu juta penduduk dengan angka puncak 3,4 per satu juta
penduduk yaitu pada usia remaja di Amerika Serikat. Meskipun jarang, ANJ
secara eksklusif terjadi pada laki-laki. Usia penderita umumnya pada dekade
kedua, antara 10-24 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. Kasus
angiofibroma dapat terjadi di luar nasofaring, lokasi paling sering pada sinus
maksilaris (32%) dan sinus ethmoid (10%). Angiofibroma yang timbul di sinus
maksilaris dan ethmoid secara klinis berbeda dari angiofibroma nasofaring.
Mereka berkembang pada usia yang sedikit lebih tua dan lebih sering terjadi pada
wanita.2
c. Etiologi
Etiologi ANJ masih belum jelas. Berbagai teori, salah satunya adalah teori
jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma
adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.Tumor ini hampir eksklusif
ditemukan pada remaja laki-laki, memunculkan banyak spekulasi dan bukti tidak
langsung pengaruh endokrin atau hormonal pada perkembangan tumor ini.1
d. Gejala klinis
Gejala khas ANJ adalah obstruksi nasal unilateral, pada pasien remaja
lakilaki dengan rinorea dan epistaksis unilateral berulang. Nyeri kepala dan nyeri
wajah mungkin muncul apabila terjadi sumbatan sinus paranasal, atau gangguan
fungsi tuba Eustachius dengan otitis media sekretorik unilateral.1
e. Klasifikasi ANJ
Penentuan stadium pada ANJ yang paling umum menggunakan sistem
klasifikasi Chandler dan Radkowski yang dapat dilihat pada table bawah ini :2

Sistem klasifikasi ANJ Chandler

Stadiu
Deskripsi
m
I
Terbatas pada nasofaring
II Meluas ke rongga hidung dan atau sphenoid
Perluasan ke 1 atau beberapa hal berikut: antrum,
III ethmoid, pterygomaxillary dan fossa infratemporal,
orbit, dan / atau pipi
IV Meluas ke rongga tengkorak

Sistem klasifikasi ANJ Radkowski

Stadium Deskripsi

IA Terbatas pada area hidung dan nasofaring


IB Perluasan pada 1 atau lebih sinus
IIA Perluasan minimal ke fossa pterigopalatina
Perluasan ke fossa pterygopalatine dengan atau tanpa
IIB
erosi orbital
IIC Perluasan ke fossa infratemporal
Erosi dasar tengkorak (fossa kranial bagian tengah atau
IIIA
pterygoid)
Erosi dasar tengkorak dengan ekstensi intrakranial
IIIB
dengan atau tanpa keterlibatan sinus kavernosa
f. Diagnosis
Diagnosis ANJ ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
radiologis. Biopsi tidak disarankan karena risiko perdarahan masif. Pemeriksaan
radiologi konfirmasi dapat dilakukan dengan CT, MRI,serta angiografi.1
g. Penatalaksanaan
Pada kasus ANJ, terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan,
radiasi, krioterapi, elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi
sclerosing agent.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Dewi, Wisma Ary,. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. CDK-262/ vol.
45 no. 3 th. 2018
2. Herzon, K,. Radioterapi & Onkologi Indonesia. Angiofibroma Nasofaring Juvenile. 2017
3. Karsinoma sinonasal
a. Definisi
Karsinoma hidung dan sinus paranasal atau disebut juga karsinoma sinonasal adalah
tumor ganas yang terdapat pada kavum nasi dan sinus paranasal. Kebanyakan
karsinoma sinonasal berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histopatologi yang
paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.1
b. Epidemiologi
Tumor sinonasal jarang, hanya 3% dari keganasan di kepala dan leher, dan hanya
sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh. Di Asia, keganasan sinonasal menempati
peringkat kedua tersering keganasan di kepala dan leher, setelah karsinoma
nasofaring. Keganasan tersering pada sinonasal adalah karsinoma sel skuamosa
(70%), selanjutnya adenokarsinoma (10-20%). Predileksi tersering di sinus maksila
(60%), diikuti rongga hidung (20-30%), sinus etmoid (10- 15%), jarang di sinus
frontal dan sphenoid (<1%). Sekitar 80% ditemukan pada usia 45-85mtahun dan
insiden pada pria dua kali lebih sering dibandingkan pada wanita.2

c. Etiologi
Etiologi tumor sinonasal belum diketahui pasti, studi epidemiologi dari berbagai
negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat kimia atau bahan industri
antara lain nikel,debu kayu, kulit, mebel.2

d. Gejala
Gejala awal cenderung tidak spesifik dan bervariasi, mulai dari obstruksi hidung
unilateral, diikuti rhinorrhea jernih encer, serosanguinosa, purulen, sampai
epistaksis.2 Pada keadaan lanjut, gejala yang ditimbulkan antara lain :3
1. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinore, kadang disertai
darah atau epistaksis. Desakan pada hidung menyebabkan deformitas.
2. Gejala orbital, perluasan ke arah orbita dapat menimbulkan gejala diplopia,
proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral menimbulkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus
alveolaris.
4. Gejala fasial, perluasan tumor ke anterior menimbulkan penonjolan pada pipi
disertai nyeri, anestesi atau parestesi.
5. Gejala intrakranial, perluasan ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia, gangguan visus, kadang dapat timbul likuorea serta mengenai
saraf kranial
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Pemeriksaan radiologi penting untuk evaluasi tumor sinonasal. Foto polos sinus
paranasal berfungsi untuk diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan
perselubungan padat unilateral, selanjutnya dapat dilakukan Ct-Scan. Computed
Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan informasi
yang baik mengenai tekstur, margin, efek pada tulang dan bahkan vaskularisasi.2
f. Penatalaksanaan
Tatalaksana yang paling sering dilakukan adalah pembedahan disertai dengan
radioterapi.4

DAFTAR PUSTAKA
1. Astuti,DP,. Dkk,. Karakteristik Penderita Karsinoma Sinonasal yang Menjalani
Operasi di RSUP Sanglah Denpasar. Medicine: 2020, Volume 51, Number 1:92-
95
2. Shavilla,E.,dkk, Prevalensi Kanker Sinonasal di Poliklinik THT-KL RS. Hasan
Sadikin Bandung. Jurnal Kesehatan 2017
3. Prasetyaningrum,Ika,dkk,. Distribusi Penderita Karsinoma Sinonasal di RSUP
Sanglah. 2017
4. Husna,M.,dkk. Gambaran Klinis dan Hsitopatologi Pasien Karsinoma Kavum
Nasal dan Sinus Paranasalis dibagian THT-KL RSUP Dr. M. Jamil Padang tahun
2016 – 2018. Jurnal kesehatan andalas : 2019;8(3)

Anda mungkin juga menyukai