Anda di halaman 1dari 10

“Penatalaksanaan Syok Kardiogenik di Unit Perawatan Intensif (ICU) Jantung”

ABSTRAK: Syok kardiogenik adalah suatu kondisi kompleks yang ditandai dengan
hipoperfusi end-organ yang membutuhkan dukungan farmakologis dan/atau sirkulasi
mekanik. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan curah jantung yang disebabkan oleh adanya
gangguan jantung primer. Syok kardiogenik seringkali dipersulit dengan adanya disfungsi
sistem multi-organ yang membutuhkan pendekatan multidisiplin dalam pengaturan perawatan
kritis. Penggunaan yang tepat dari data diagnostik menggunakan alat yang tersedia di unit
perawatan intensif jantung modern dapat memandu manajemen yang optimal dengan
menggabungkan terapi farmakologis dan non-farmakologis dalam meminimalisir morbiditas
dan mortalitas.
Kata kunci: syok kardiogenik, perawatan kritis, infark miokard akut, gagal jantung,
kateterisasi arteri pulmonalis

PENDAHULUAN
Syok kardiogenik adalah kondisi kompleks yang ditandai dengan hipoperfusi end-organ yang
disebabkan penurunan curah jantung akibat adanya gangguan jantung primer. Secara klinis,
syok kardiogenik dapat muncul dengan spektrum fenotipe hemodinamik yang luas. Namun,
karakteristik utama kondisi ini berupa curah jantung tidak adekuat yang membutuhkan
dukungan farmakologis dan/atau sirkulasi mekanik.
Syok kardiogenik adalah indikasi utama perawatan di cardiac intensive care unit
(CICU). Critical Care Cardiology Trials Network mengkarakterisasi demografi, diagnosis,
dan outcome pada lebih dari 3.000 pasien yang dirawat di CICU tersier di Amerika Serikat
dan Kanada dan menemukan bahwa indikasi utama perawatan CICU adalah insufisiensi
respiratorik (26,7%) dan syok (21,1%). Medikasi vasoaktif intravena, monitoring
hemodinamik invasif, dan ventilasi mekanik diperlukan pada 58,2% pasien, dan pasien yang
dirawat dengan syok kardiogenik memiliki angka mortalitas 30,6%. Adanya penyakit non-
kardiovaskular akut seperti cedera ginjal akut atau gagal napas akut dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas rumah sakit dan lama rawat di CICU.
Manajemen syok kardiogenik yang optimal di CICU pertama-tama membutuhkan
investigasi etiologi yang cermat. Penyebab paling umum dari syok kardiogenik adalah infark
miokard akut yang diikuti oleh gagal jantung kronik akut (Tabel 1). Terlepas dari etiologinya,
syok kardiogenik seringkali dipersulit oleh terjadinya disfungsi sistem multi-organ yang
1
membutuhkan pendekatan multidisiplin dalam perawatan intensif. Tujuan awal pengobatan
adalah untuk mencapai euvolemia dan stabilisasi hemodinamik guna mengoptimalkan perfusi
end-organ agar terhindar atau meminimalisir kejadian disfungsi sistem multi-organ.
Pencegahan dan manajemen disfungsi sistem multi-organ sangat penting untuk mencapai
hasil yang diinginkan pada syok kardiogenik. Dalam studi kohort retrospektif selama periode
15 tahun (2000-2014), Vallabhajosyula et al. menemukan bahwa 31,9% pasien yang dirawat
karena infark miokard akut dipersulit oleh kegagalan sistem multi-organ. Adanya kegagalan
multi-organ dikaitkan dengan odds ratio 2,23 (95% CI, 2,19-2,27) terhadap peningkatan
mortalitas rumah sakit, pemanfaatan sumber daya yang lebih besar, dan lebih sedikit angka
kepulangan.
Tabel 1. Etiologi dari Syok Kardiogenik
Sindrom Koroner Akut
 Komplikasi mekanik dari infark miokard akut
Gagal jantung akut atau kronik
Gagal jantung akut
 Miokarditis
 Takotsubo
 Peripartum
 Gangguan tiroid
Post kardiotomi
Penyakit katup
 Regurgitasi atau stenosis katup
 Malfungsi katup prostetik
Aritmia tidak terkontrol
Tamponade jantung
Kontusio miokardium
Obstruksi aliran keluar ventrikel kiri
Emboli paru akut
 Gagal jantung kanan

Mengingat kompleksitas dan tingkat mortalitas yang tinggi, manajemen syok


kardiogenik menuntut diagnosis akurat dari fenotipe hemodinamik serta pendekatan
multidisiplin kolaboratif untuk mengoptimalkan terapi farmakologis dan non-farmakologis.
Di sini akan ditinjau pertimbangan praktis dalam mengelola syok kardiogenik dengan
pengaturan perawatan kritis.

PERAN KATETERISASI ARTERI PULMONER PADA SYOK KARDIOGENIK

2
Ketidakstabilan hemodinamik dan gangguan metabolik termasuk dalam patofisiologi syok
kardiogenik. Oleh karena itu, pemantauan invasif yang tidak hanya termasuk tekanan arteri
sistemik tetapi juga pengukuran perfusi end-organ penting untuk mengidentifikasi etiologi
syok dengan tepat. Kateter arteri pulmonalis adalah alat diagnostik penting yang tersedia
secara luas dalam pengaturan perawatan kritis yang dapat membantu dalam identifikasi yang
tepat dari keberadaan dan jenis syok kardiogenik serta dalam panduan terapinya.
Konsep kateterisasi jantung pertama kali diperkenalkan pada tahun 1929 ketika
Werner Forssmann memasukkan kateter ke dalam jantungnya sendiri dan membuktikan
bahwa tindakan tersebut layak dilakukan. Sejak itu, banyak iterasi kateter telah
dikembangkan yang dapat dimasukkan ke sisi kanan jantung dan mengukur tekanan di arteri
pulmonalis. Namun, Drs. William Ganz dan H.J.C. Swan yang mengembangkan kateter arteri
pulmonalis floating balloon-tipped pada tahun 1970 yang dapat dimasukkan tanpa
memerlukan ruang operasi maupun tanpa menggunakan fluoroskopi. Sejak iterasi pertama,
kateter Swan-Ganz telah mengalami modifikasi lebih lanjut termasuk penempatan koil
termistor untuk mengukur curah jantung dengan termodilusi, port infus untuk pemberian
obat, dan fungsi pacing untuk pacu jantung kanan.
Penggunaan rutin kateter Swan-Ganz dalam praktek klinis pada pasien dengan
penyakit akut di ICU telah menjadi suatu kontroversi. Pada awal setelah metode ini
diperkenalkan, kateterisasi kemudian diadopsi secara luas dan digunakan terutama pada
pasien pasca infark miokard sebagai modalitas pemantauan hemodinamik. Meskipun
berperan penting dalam memahami hemodinamik pada pasien miokard infark akut,
penggunaan rutin memiliki efek samping tersendiri. Pada tahun 1987, Gore et al. melaporkan
dalam studi observasi retrospektif bahwa kateter arteri pulmonalis dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan miokard infark akut, hipotensi
dan/atau gagal jantung kongestif. Hasil ini mendorong uji klinis acak lebih lanjut yang
memeriksa kegunaan kateter arteri pulmonalis. Beberapa penelitian yang dilakukan pada
pasien bedah risiko tinggi dan mereka yang mengalami cedera paru akut menunjukkan bahwa
penggunaan kateter arteri pulmonalis pada populasi ini dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas.
Evaluation Study of Congestive Heart Failure and Pulmonary Artery Catheterization
Effectiveness (ESCAPE) dilakukan pada pasien rawat inap dengan gagal jantung kronis
dekompensata. Dalam uji coba ini, pasien secara acak mendapatkan terapi yang dipandu
dengan penilaian klinis berdasarkan kateter arteri pulmonalis atau terapi yang dipandu
dengan penilaian klinis saja. Studi ESCAPE tidak menunjukkan perbedaan mortalitas di
3
antara kedua kelompok. Selain itu, penggunaan kateter arteri pulmonalis dalam studi ini
dikaitkan dengan peningkatan efek samping. Namun, studi ESCAPE menerima berbagai
kritik terkait kemungkinan faktor perancu, termasuk kemungkinan bahwa penggunaan yang
tepat pada pasien syok kardiogenik dapat memberikan manfaat secara garis besar.
Sebuah studi kohort retrospektif yang dilakukan oleh Hernandez et al menunjukkan
bahwa meskipun penggunaan kateter arteri pulmonalis telah menurun selama dekade terakhir,
penggunaan modalitas ini pada pasien dengan syok kardiogenik dikaitkan dengan mortalitas
yang lebih rendah. Rossello et al. juga melaporkan mortalitas jangka pendek dan jangka
panjang yang lebih rendah terkait penggunaan kateter arteri pulmonalis pada pasien dengan
syok kardiogenik. Penggunaan kateter arteri pulmonalis juga memungkinkan evaluasi
berkelanjutan dari respon hemodinamik terhadap manipulasi terapeutik yang bertujuan untuk
mengoptimalkan filling pressure dan curah jantung. Namun, penggunaannya memiliki risiko
komplikasi prosedural, infeksi, infark paru, perdarahan paru, dan potensi pengambilan dan
interpretasi data yang tidak akurat. Oleh karena itu, pemantauan hemodinamik invasif harus
digabungkan untuk melengkapi penilaian klinis dan marker perfusi jaringan lain yang
tersedia seperti pengukuran laktat arteri, fungsi ginjal dan hati, status mental, dan urin output.

MANAJEMEN FARMAKOLOGIS
Manajemen farmakologis awal dari syok kardiogenik harus mencakup peninjauan riwayat
pengobatan dan penghentian obat yang mungkin berkontribusi pada hipotensi dan inotropi
negatif. Misalnya, pada pasien dengan guideline-directed medical therapy (GDMT) untuk
gagal jantung kronis mungkin memerlukan penghentian semua atau sebagian dari rejimen
GDMT mereka. Penghentian GDMT pada populasi ini menandakan prognosis yang lebih
buruk. Data dari registri OPTIMIZE-HF (Organized Program to Initiate Lifesaving
Treatment in Hospitalized Patients with Heart Failure) menunjukkan bahwa penghentian
beta blocker pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena gagal jantung akut
dekompensata dikaitkan dengan mortalitas yang lebih buruk (HR: 2.3; 95% CI, 1.2 -4.6, P = .
013). Tran et al. mengevaluasi lebih dari 5.000 pasien yang dirawat karena gagal jantung
dekompensata akut dan menemukan bahwa pasien yang dihentikan GDMT selama rawat inap
mengalami peningkatan mortalitas (HR 1,30; 95% CI, 1,02-1,66). Pada pasien dengan syok
kardiogenik karena miokard infark akut, inisiasi beta blocker dan inhibitor sistem renin-
angiotensin-aldosteron sebelum syok kardiogenik mengalami resolusi sempurna dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas 30 hari.

4
INOTROPIK DAN VASOPRESOR
Inotropik meningkatkan kontraktilitas dan output jantung pada syok kardiogenik. Vasopresor
meningkatkan tonus vaskular dan karena itu meningkatkan resistensi vaskular sistemik untuk
meningkatkan tekanan darah. Vasopresor dan inotropik yang umum digunakan diuraikan
pada Tabel 2. Dobutamin dan milrinone adalah inotropik utama yang digunakan pada CICU
kontemporer, dan keduanya menghasilkan peningkatan kontraktilitas miokard meskipun
melalui mekanisme yang berbeda. Norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan vasopresin biasanya
digunakan sebagai vasopresor dalam kasus syok kardiogenik dengan hipotensi. Meskipun
ketersediaannya luas, meta-analisis Cochrane dari inotropik dan penggunaan vasopressor
pada syok kardiogenik tidak menemukan bukti konklusif untuk lebih merekomendasikan satu
agen berbanding yang lainnya. Pernyataan ilmiah konsensus American Heart Association
(AHA) tentang pengelolaan syok kardiogenik juga mencatat bahwa tidak ada cukup bukti
untuk memandu pemilihan terapi farmakologis pada syok kardiogenik. Oleh karena itu,
penggunaan agen inotropik dan vasopressor harus dipandu oleh data hemodinamik yang
tersedia dan penilaian dari dokter.
Tabel 2. Obat inotropik dan vasopresor yang umum digunakan pada syok kardiogenik
Obat Mekanisme Utama Dosis
Dobutamin Agonis β1 2.5 – 20 mcg/kg/menit
Milirinon Inhibitor fosfodiesterase 3 0.125 – 0.5 mcg/kg/menit
Epinefrin Agonis campuran α dan β 0.01 – 1 mcg/kg/menit
Norepinefrin Agonis campuran α dan β (α > β) 0.01 – 1 mcg/kg/menit
Vasopresin Reseptor V1 di otot polos 0.02 – 0.04 unit/menit
pembuluh darah
Dopamin Dopamin dengan dosis rendah; 1.5 – 20 mcg/kg/menit
peningkatan agonis α dan β
dengan dosis tinggi

Dobutamine adalah agonis β1, β2, dan α1 non-selektif yang menstimulasi kaskade
adenilat cyclase G-protein, menghasilkan peningkatan produksi AMP siklik dan akhirnya
meningkatkan uptake kalsium. Hal ini menghasilkan peningkatan curah jantung oleh karena
meningkatnya detak jantung dan stroke volume. Afinitas β1 merupakan yang paling tinggi,
menyebabkan peningkatan kronotropi dan inotropi; pada dosis yang digunakan untuk terapi
rumatan (<10 mcg/kg/menit), agonisme β2 dan α1 seimbang, menyebabkan sedikit atau tidak
ada perubahan pada resistensi vaskular sistemik. Hasil augmentasi pada curah jantung

5
bermanfaat pada syok kardiogenik tetapi diimbangi dengan risiko terjadinya takiaritmia dan
peningkatan konsumsi oksigen miokard.
Milrinone adalah inhibitor fosfodiesterase-3 selektif yang menyebabkan peningkatan
adenosin monofosfat siklik intra miosit dan uptake kalsium yang dihasilkan dalam retikulum
sarkoplasma. Karena dampak tidak langsungnya pada sel β, milrinone memiliki lebih banyak
efek inotropik daripada kronotropik. Hal ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah
sistemik maupun pulmoner dan telah terbukti menyebabkan penurunan resistensi pembuluh
darah paru yang setara dengan efek dari sildenafil, tetapi menyebabkan penurunan wedge
pressure kapiler paru yang lebih besar. Akibatnya, milrinone meningkatkan curah jantung
dengan meningkatkan stroke volume dan denyut jantung, tetapi juga menurunkan resistensi
vaskular sistemik. Milrinone memiliki waktu paruh yang lebih lama secara signifikan
dibandingkan dengan dobutamin pada menit ke 90, yang di mana memanjang pada pasien
dengan disfungsi ginjal.
Data dari randomized clinical trial (RCT) masih kurang untuk secara jelas
menyimpulkan efek inotropik terhadap luaran klinis. Data dengan dobutamin menunjukkan
bahwa terdapat perbaikan gejala dan profil hemodinamik awal; namun, mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang tampaknya meningkat. Studi FIRST (Flolan International
Randomized Survival Trial) menunjukkan peningkatan mortalitas pada pasien yang diobati
dengan dobutamine pada bulan ke-6 jika dibandingkan dengan mereka yang tidak (70,5% vs
37,1%, P = .0001). Namun, ini merupakan analisis subkelompok dari studi yang menilai efek
epoprostenol intravena pada pasien dengan gagal jantung lanjut. Pasien yang diterapi dengan
dobutamine cenderung mengalami sakit yang lebih berat yang disertai dengan gagal jantung
lebih lanjut, di mana hal ini dapat mempengaruhi luaran akhir dari pasien. Baru-baru ini,
dobutamine dibandingkan dengan levosimendan dalam uji coba SURVIVE (Survival of
Patients with Acute Heart Failure in Need of Intravenous Inotropic Support) dan tidak
ditemukan perbedaan angka mortalitas di antara kedua agen. Tingkat mortalitas keseluruhan
yang dikaitkan dengan dobutamin pada hari ke-30, 90, dan 180 masing-masing adalah 14%,
21%, dan 26%, lebih rendah daripada yang terlihat pada uji coba FIRST. Salah satu
mekanisme potensial yang menyebabkan peningkatan angka mortalitas yang terkait dengan
dobutamin adalah aritmia jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
menyebabkan iskemia. Tingkat penggunaan implantable cardiac defibrillators (ICD) tidak
dilaporkan baik dalam uji coba FIRST atau SURVIVE. Tidak jelas apakah tingkat
penggunaan ICD yang lebih tinggi berkontribusi terhadap rendahnya mortalitas yang terlihat
pada uji coba terbaru dari SURVIVE.
6
Dalam studi OPTIME-CHF (Outcomes of a Prospective Trial of Intravenous
Milrinone for Exacerbations of Chronic Heart Failure) yang mempelajari efek milrinone
pada pasien dengan gagal jantung dekompensata menunjukkan tidak ada perbaikan mortalitas
rawat inap atau mortalitas 60 hari dibandingkan dengan plasebo, tetapi dikaitkan dengan
lebih banyak kejadian aritmia secara signifikan (8% vs 3%) dan hipotensi (10,7% vs 3,2%).
Milrinone tidak bekerja secara langsung melalui sistem adrenergik; oleh karena itu, lebih
disukai dalam penggunaan terhadap pasien yang mampu mentolerir terapi beta blocker
karena efeknya yang lebih kecil terhadap indeks jantung.
Pedoman American College of Cardiology / AHA 2013 untuk manajamen gagal
jantung kronis memberikan rekomendasi kelas I pada inotropik untuk digunakan pada pasien
dengan syok kardiogenik sampai terapi definitif dapat dilakukan. Penggunaan inotropik untuk
pasien rawat inap dengan gagal jantung dekompensata akut dengan hipotensi dan tanda-tanda
penurunan perfusi serta penggunaan paliatif untuk meredakan gejala pada pasien yang tidak
memenuhi syarat untuk terapi lanjutan memiliki rekomendasi kelas IIa.
Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) mengevaluasi
pasien yang dirawat karena gagal jantung akut dekompensata dan menemukan bahwa pasien
yang menerima dobutamin atau milrinone memiliki angka mortalitas di rumah sakit yang
secara signifikan lebih tinggi daripada pasien yang menerima terapi vasodilator dengan
nitrogliserin atau nesiritide (masing-masing 13.9%, 12.3%, 4.7%, dan 7.1%). Sementara
gejala dan parameter hemodinamik awal dapat membaik dengan penggunaan inotropik,
dampak potensialnya terhadap angkat mortalitas tidaklah sepele. Pemilihan pasien yang
cermat dan pemantauan ketat sangat penting untuk mendapatkan manfaat sekaligus
meminimalkan paparan efek samping.
Ketika hipotensi terjadi pada syok kardiogenik, penggunaan vasopresor diperlukan
untuk mempertahankan normotensi dan memberikan perfusi end-organ yang adekuat. Dalam
studi SOAP II (Sepsis Occurrence in Acutely Ill Patients), norepinefrin dibandingkan dengan
dopamin pada pasien syok yang disebabkan berbagai etiologi. Tidak ada perbedaan mortalitas
antara dopamin dan norepinefrin pada kedua kelompok, tetapi aritmia lebih ditemukan secara
signifikan pada kelompok pasien yang diberikan dopamin (24,1% vs 12,4%, P <0,001).
Dalam subkelompok pasien dengan syok kardiogenik, dopamin dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas berbanding norepinefrin; Namun, hal tersebut merupakan analisis
subkelompok sehingga harus diinterpretasi dengan hati-hati. Baru-baru ini, Levy et al
mengevaluasi penggunaan norepinefrin dan epinefrin pada syok kardiogenik sekunder akibat
infark miokard akut. Para penulis menemukan bahwa dibandingkan dengan epinefrin,
7
norepinefrin dikaitkan dengan tingkat mortalitas yang lebih rendah secara signifikan pada
hari ke-7 (30% vs 10%) dan selama rawat inap (52% vs 37%). Penggunaan norepinefrin juga
dikaitkan dengan tingkat syok refrakter yang lebih rendah secara statistik signifikan (37% vs
7%, P = 0,01). Hasil serupa terlihat pada studi observasi CardShock, di mana epinefrin
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas 90 hari dibandingkan dengan vasopresor lainnya
(OR 5,2, 95% CI, 1,88, 14,7, P = 0,002). Mekanisme peningkatan mortalitas diperkirakan
karena peningkatan konsumsi oksigen miokard, vasokonstriksi berlebihan, dan efek toksik
langsung pada end-organ.
Dopamin adalah agen non-selektif yang mempengaruhi reseptor berbeda bergantung
pada dosisnya. Dosis di bawah 4 mcg/kg/menit disebut sebagai "dosis renal" karena efek
aktivasi reseptor dopamin yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah splanknikus dan
renalis yang secara teoritis meningkatkan aliran darah ginjal. Beberapa studi telah meneliti
efek dopamin pada fungsi ginjal pasien gagal jantung dan salah satu studi terbesar ialah studi
ROSE AHF (Renal Optimization Strategies Evaluation in Acute Heart Failure). Pada pasien
yang dirawat karena gagal jantung akut dengan disfungsi ginjal moderet, dopamin dosis
rendah, 2 mcg/kg/menit, tidak menghasilkan perbaikan urin output, kreatinin serum, atau
gejala yang dirasakan pasien, dan juga ditemukan penghentian signifikan yang disebabkan
oleh takikardia (7,2% ). Dalam studi SOAP II, dosis mediannya adalah 10 mcg/kg/menit dan
dominan mempengaruhi reseptor α dan β yang akan menyebabkan vasokonstriksi dan
inotropi positif. Alasan peningkatan mortalitas pada subkelompok syok kardiogenik tidak
dijelaskan. Selain itu, etiologi atau manajemen syok kardiogenik tidak dilaporkan. Aritmia
ventrikel hanya menyumbang 1,5% dari 12,4% yang dilaporkan, sehingga sudden cardiac
death bukanlah penyebab dari peningkatan angka mortalitas.
Armamentarium farmakologis untuk syok kardiogenik mencakup agen inotropik
untuk meningkatkan curah jantung dan vasopresor bila diperlukan untuk kasus hipotensi.
Sayangnya, tidak satu pun dari terapi ini yang terbukti meningkatkan perbaikan angka
mortalitas. Kasus syok kardiogenik yang refrakter terhadap terapi farmakologis memerlukan
eskalasi perangkat pendukung sirkulasi mekanis sementara.

PERAN TERAPI NON FARMAKOLOGIS


Ultrafiltrasi
Terapi non-farmakologis tambahan memiliki peran dalam manajemen critical care syok
kardiogenik. Gagal jantung akut dan syok kardiogenik sering ditandai dengan peningkatan
8
filling pressures intrakardiak akibat retensi natrium dan cairan oleh ginjal yang diakibatkan
oleh aktivasi neurohormonal. Diuretik adalah terapi utama untuk mengurangi kongesti.
Namun, gangguan absorpsi, penurunan aliran darah ginjal, dan proteinuria dapat
menyebabkan resistensi diuretik. Sebaliknya, kongesti yang semakin parah dapat
menyebabkan disfungsi multi-organ, termasuk gagal ginjal akut, yang selanjutnya
mempropaganda lingkaran setan ini. Kegagalan ventrikel kanan akut juga dapat
bermanifestasi sebagai perburukan kongesti yang berhubungan dengan distensi ventrikel
kanan, peningkatan interdependensi ventrikel, penurunan pengisian ventrikel kiri, dan
perburukan syok serta kegagalan end-organ. Dalam situasi seperti ini, ultrafiltrasi mungkin
merupakan pilihan untuk mengurangi kongesti vaskular.
Ultrafiltrasi menggambarkan proses transportasi cairan melintasi membran
semipermeabel yang dipicu oleh gradien tekanan membran. Ultrafiltrasi dapat digunakan
secara tunggal untuk mengontrol volume atau dapat dikombinasikan dengan difusi, seperti
yang dilakukan pada proses dialisis untuk mencapai kontrol zat terlarut dan volume cairan.
Dengan perkembangan teknologi terbaru, ultrafiltrasi dapat dilakukan dengan volume
ekstrakorporeal minimal sehingga dapat mengurangi efek ketidakstabilan hemodinamik.
Secara teori, ultrafiltrasi lebih menguntungkan dibandingkan diuresis farmakologis
karena tidak menyebabkan aktivasi neurohumoral, hipokalemia signifikan, atau
hipomagnesemia, serta laju dan jumlah cairan yang dikeluarkan dapat dikontrol dengan tepat.
Beberapa randomized trials (RT) dilakukan untuk menilai manfaat ultrafiltrasi yang
dibandingkan dengan diuretik. Meskipun beberapa uji coba menunjukkan penurunan gejala
gagal jantung dan kehilangan berat badan yang lebih besar dengan ultrafiltrasi dibandingkan
dengan diuretik, hasil yang didapatkan tidak konsisten pada semua uji coba. Ditemukan
peningkatan kadar kreatinin serum yang mencerminkan adanya kemungkinan cedera tubulus
ginjal dan efek samping lainnya, sehingga hal tersebut mempertanyakan manfaat dari
ultrafiltrasi berbanding dengan diuretik. Sayangnya, percobaan ini mengeksklusi pasien yang
menggunakan agen inotropik ataupun agen vasoaktif, hal ini secara langsung mengeksklusi
pasien dengan syok kardiogenik. Saat ini, tidak ada data randomized trial (RT) besar untuk
menguji manfaat ultrafiltrasi pada syok kardiogenik. Dalam sebuah studi retrospektif yang
dilakukan oleh Li et al. pada pasien pasca operasi jantung dengan syok kardiogenik dan gagal
ginjal akut, hemofiltrasi vena terus menerus dikaitkan dengan kelangsungan hidup saat rawat
inap maupun secara jangka panjang.

Ventilasi Mekanik
9
Ventilasi mekanik mungkin diperlukan pada kasus syok kardiogenik oleh karena adanya
hipoksemia akut, peningkatan beban pernapasan, penurunan tingkat kesadaran yang
membutuhkan perlindungan jalan napas, atau ketidakstabilan hemodinamik secara
keseluruhan. Meskipun tingginya prevalensi kegagalan pernafasan yang membutuhkan
ventilasi mekanis, terdapat kekurangan data dalam mendukung mode ventilasi tertentu atau
target fisiologis oksigenasi atau ventilasi pada pasien syok kardiogenik. Dokter harus
memperhatikan interaksi antara ventilasi tekanan positif pada hemodinamik ventrikel kiri dan
kanan serta agen analgesia dan sedasi yang optimal untuk pada pasien syok kardiogenik.

KESIMPULAN
Syok kardiogenik adalah gangguan heterogen kompleks dari curah jantung yang tidak efektif
yang dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi dan seringkali dipersulit oleh adanya disfungsi
sistem multi-organ. Identifikasi dini dari etiologi syok kardiogenik yang dibantu dengan data
hemodinamik invasif sangat penting dalam mewujudkan manajemen yang optimal.
Kurangnya data berkualitas tinggi di bidang syok kardiogenik menuntut koordinasi perawatan
di berbagai disiplin ilmu untuk meningkatkan prognosis dari pasien. Manajemen syok
kardiogenik masih menjadi prioritas tinggi pada bidang penelitian dalam mengatasi berbagai
kesenjangan dalam pengetahuan.

POIN-POIN UTAMA
• Syok kardiogenik merupakan gangguan heterogen kompleks berupa perfusi end-organ
yang tidak adekuat oleh sebab curah jantung yang tidak adekuat dan dihubungan dengan
angka mortalitas yang tinggi.
• Syok kardiogenik seringkali dipersulit oleh disfungsi sistem multi-organ yang
memerlukan pendekatan multidisiplin menggunakan kombinasi terapi farmakologis dan
non-farmakologis.
• Data yang tersedia masih terbatas dalam memandu pemilihan terapi farmakologis pada
kasus syok kardiogenik. Oleh karena itu, penilaian klinis dan analisa hemodinamik yang
tepat sangat penting untuk meningkatkan prognosis akhir dari pasien.

10

Anda mungkin juga menyukai