Anda di halaman 1dari 12

Makalah metodelogi studi islam

MODEL PENELITIAN POLITIK

Dosen Pembimbing :

Dra. Munawiah, M.Hum

Di susun oleh :

Nafila Zahra (190802090)

Aini Maisura ( 190802086)

Sulviana (190802093)

ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIALDAN ILMU PEMERINTAHAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

2021
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “model penelitian
politik “
Makalah ini penulis susun dengan upaya maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari kalangan pembaca agar penulis dapat
memperbaiki makalah ini di kemudian hari.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah tentang “ model penelitian politik ” Dapat
dirasakan manfaatnya untuk masyarakat dan dapat memberikan manfaat serta inspirasi terhadap
pembaca.

Bener Meriah 24 Juni 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………………1

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………..2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..4

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..4

C. Tujuan Pembahasan…………………………………………………………………...4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik………………………………………………………………………5

B. Eksistensi politik dalam islam …………….…………………………………………..6

C. Model-Model Penelitian Politik………………………..…………………………… .8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...11

B. Saran ………………………………………………………………………………….11

Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah politik ternasuk bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada
umumnya. Hal ini antara lain di sebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir dan batin dan
seterusnya tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang diterapkan. Karena demikian
pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli
terhadapnya. Demikian pula dengan ajaran islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan
manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan
kenegaraan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian politik ?
2. Bagaimana eksistensi politik dalam islam ?
3. Bagaimana model-model penelitian politik ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui penegertian dari politik
2. Untuk mengetahui eksistensi politik dalam islam
3. Untuk mengetahui model-model penelitian

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminza, politik di
artikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya dan dapat pula berarti segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau
terhadap negara lain.
Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut,
apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan, serta kepada siapa kewenangan melaksanakan
kekuasaan itu di berikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan
bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Jika bicara masalah politik memang tidak akan ada habisnya. Hal ini dikarenakan politik
memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah negara.  Arti dari politik sendiri adalah suatu
usaha yang dilakukan untuk mencapai segala harapan dan keinginan terbaik dari masyarakat.
Selain itu, politik juga merupakan aktivitas atau kegiatan yang pada umumnya dilakukan untuk
mendapatkan atau mempertahankan suatu kedudukan penting di negara. Oleh karena itu, dunia
politik selalu berkaitan dan tidak akan pernah terlepas dari pengawasan pemerintahan. Jika bagi
negara politik ini sangat penting, namun bagaimana menurut pandangan Islam? Apakah Islam
juga mengajarkan berpolitik? Apakah politik dalam Islam sama pentingnya dengan negara?
Pandangan politik secara Islam memang banyak menimbulkan banyak pro dan kontra.
Sebagian umat muslim menyatakan jika politik dalam Islam itu tidak penting dan bahkan tidak
ada. Namun, sebagiannya lagi berpendapat jika politik dan agama itu adalah hal yang sangat
berbeda, sehingga tidak ada kaitannya. Menurut Imam Al Mawardi, beliau mengatakan seorang
imam tidak hanya menjadi seorang pemimpin agama. Namun, seorang imam juga akan menjadi
seorang pemimpin politik. Selain itu, politik dalam Islam ini bukanlah suatu perlombaan untuk
merebut suatu kedudukan tertinggi di sebuah negara.
Politik dalam Islam juga tidak haus akan tawaran kekuasaan yang tentunya sangat
menggiurkan bagi setiap orang. Dalam bahasa Arab, politik adalah Siyasah yang memiliki arti
mengatur, memelihara, dan mengurusi. Maksudnya, menurut Imam al-Bujairimi politik dalam
Islam ini memiliki peran untuk membantu menyelesaikan segala permasalahan masyarakat serta
menata dan membimbing mereka agar selalu taat dengan peraturan pemerintahan. Oleh karena
itu, nyatanya antara politik dan Islam saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan.
Terdapat beberapa argumen muncul untuk lebih meyakinkan hubungan antara Islam dan politik:
Agama Islam memang mengatur berbagai hal dalam kehidupan. Namun, Islam juga tidak hanya
mengatur mengenai ibadah atau akhlak seseorang saja. Hal ini dikarenakan Islam juga mengatur

5
tentang muamalah yang meliputi politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Argumen ini
juga tercantum dalam ayat suci Al-Quran seperti pada surat Al-Maidah, ayat 32; Al-Baqarah,
ayat 275; dan Thaha, ayat 114.
Ternyata, politik juga sudah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan, beliau
sangat dipercaya dan diamanatkan untuk menjadi seorang pemimpin di Madinah. Sifatnya yang
siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas) inilah
yang membuat Rasulullah menjadi sosok yang sangat tepat untuk menjadi kepala negara Islam.
Hidup masyarakat di Madinah menjadi lebih sejahtera saat dipimpin oleh Nabi.
Agama Islam selalu mengajarkan kepada para umatnya untuk selalu berbagi kebaikan dan
manfaat dengan sesama. Hal ini juga berlaku dalam politik Islam agar masyarakat dapat menjadi
lebih maju dan bermanfaat bagi negara. Oleh karena itu, para pemimpin negara memiliki tugas
penting untuk membangun masyarakat yang bijaksana.
Politik Islam juga harus diamalkan sesuai dengan syariat Islam dengan syarat utama harus sesuai
dengan hukum. Politik dalam suatu negara tidak boleh bertentangan dengan aturan-aturan syariat
Islam agar masyarakat mendapatkan keadilan dan terhindar segala keburukan. Tidak hanya itu
saja, politik Islam tetap harus mengikuti dalil-dalil syariat dan disesuaikan dengan zaman,
tempat, dan kondisi masyarakat atau negara.
Terakhir adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Maksud dari ini adalah politik Islam
seharusnya bersifat adil, jujur, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, seorang pemimpin
bertugas untuk membagikan informasi penting kepada masyarakat agar mereka tidak khawatir
dengan kondisi negaranya.

B. Eksistensi Politik Dalam Islam


Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik
dengan agama. Hal ini di sebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan
ajaran Islam itu sendiri. Banyak orang yang beragama islam, tetapi hanya menganggap Islam
adalah individual dan lupa kalau Islam merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam
mempunyai kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi bersama.
Pernyataan atau tesis tersebut selanjutnya dibuktikan oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan
dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat dilihat dalam buku Harun
Nasution yang berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid II. Dalam bukunya,
ditegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah
persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik. Ketika Nabi Muhammad berada di
Madinah, tidak hanya sebagai Rasul tetapi juga sebagai Kepala Negara pada masa itu. Para
peneliti sejarah politik mengategorikan corak politik yang diterapkan Nabi Muhammad adalah
bercorak deo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap

6
persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah, kemudian menunggu ketetapan Tuhan. Hal
ini dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad wahyu masih dalam proses turunnya.
Setelah beliau wafat, pemerintahan negara secara berturut-turut dipegang oleh Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada zaman empat khalifah ini, corak
pemerintahannya adalah aristokrat demokratik, yaitu sistem pemerintahan yang dalam
menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah yang para anggotanya dari kalangan aristokrat.
Kalangan aristokrat sendiri adalah kumpulan bangsawan atau orang kaya yang mendapat gelar
bangsawan, sehingga mendapat hak-hak yang elit dan istimewa untuk memimpin suatu wilayah.
[2] Bibit perpecahan umat terjadi mulai zaman Usman bin Affan dan mencapai puncaknya di
zaman Ali bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain krena pemerintah Usman dinilai sudah
kurang lurus. Politik neopotisme yang diterapkan di zaman Usman menimbulkan reaksi yang
tidak menguntungkan kedudukannya.
Selanjutnya, setelah Usman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil mengantikannya, tetapi segera ia
mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan
Zubair dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah, tantangan yang datang dari
Mu;awiyah, Gubernur Damaskus, dan selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang
kemudian diselesaikan dengan perundingan tahkim (arbitrase) yang secara politik dan diplomatik
mengalahkan pihak Ali.
Selanjutnya, kekhalifahan dilanjutkan oleh kelompok Bani Umayyah dengan Mu’wiyah
bin Abi Sufyan sebagai pendirinya. Pada masanya corak pemerintahan sudah berubah menjadi
bentuk kerajaan, karena pengangkatan kepala negara tidak lagi berdasarkan musyawarah secara
demokratis, melainkan petunjuk kepada putra mahkota secara otokratis. Setelah tiga kesultanan
tersebut hancur dan negara-negara islam di bawah kekuasaan penjajahan Barat, negara Islam
mengikuti sistem yang di terapkan kaum penjajah. Setelah berakhir masa penjajahan Barat di
akhiri abad ke sembilan belas, kini negara Islam mengambil bentuk sistem pemerintahan yang
tidak seragam.
Berdasarkan penelusuran kesejarahan, islam sejak kelahirannya telah mengenal bentuk
pemerintahan atau sudah mengenal sistem politik. Selain itu, sejarah juga menunjukkan bahwa
islam tidak mengenal bentuk pemerintahan tertentu. Islam dapat menerima bentuk dan sistem
pemerintahan apapun sepanjang bentuk dan sistem pemerintahan tersebut dapat menegakkan
keadilan, kemakmuran, kesejahteraan lahir batin, aman dan damai bagi seluruh masyarakat.[3]
Keberadaan politik dalam Islam selanjutnya dapat pula dilihat dari munculnya berbagai
teori politik, khususnya khalifah dan imamiyah yang diajukan berbagai aliran. Berbagai aliran
politik, teologi juga para filosof sudah berbicara tentang politik. Jika Kaum syi’ah, misalnya,
mengatakan bahwa kekuasaan pemerintahan harus berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib,
kaum sunni tidak menerima paham-paham tersebut. Sementara itu, dikalangan Khawarij terdapat
doktrin yang menyatakan bahwa seorang khalifah dapat dijatuhkan oleh rakyat manakala sudah
menyimpang dari syariat Islam yang diyakini paling benar. Sedangkan Al-Ghazali dari kalangan
sunni berpendapat bahwa khalifah tidak dapat di jatuhkan, walaupun khalifah yang zalim.
Menggulingkan khalifah yang zalim tapi kuat akan  membawa kekacauan dan pembunuhan

7
dalam masyarakat.Selain kaum teolog, kaum filosof Islam juga membahas soal politik dalam
Islam. Al-Farabi umpamanya, meninggalkan buku bernama al-Madinah al-Fadilah (Negara
Terbaik). Didalamnya ia menguraikan bahwa negara terbaik adalah negara yang dikepalai oleh
seorang Rasul.Selanjutnya, Munawir Sjadzali, berdasarkan hasil penelitiannya
menginformasikan, bahwa dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang
hubungan Islam dan ketatanegaraan.
a.    Aliran petama, berpendirian bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian
Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam
adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokohnya antara lain Syaikh Hasan
Al-Bana, Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan Maulana A.A.Maududi.
b.   Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak
ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokohnya antara lain Ali Abd Al-Razik dan
Thaha Husain.
c.   Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan
bahwa dalam Islam terdapat sistem kenegaraan. Tokoh yang menonjol adalah Mohammad
Husein Haikal.

C. Model-Model Penelitian Politik


Berikut ini akan di sajikan model penelitian politik yang dilakukan oleh:

1.      Model M.Syafi’i  Ma’arif


Salah satu hasil penelitian bidang politik yang dilakukan Syafi’i Ma’arif tertuang dalam
bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, tahun 1985.
Hasil penelitiannya tertuang dalam lima bab yang saling berhubungan logis. Bab I adalah
Pendahuluan. Beliau mengemukakan substansi ajaran Al-Qur’an mengenai ketatanegaraan. Ia
mengatakan usaha intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan dan
mensistematisasikan berbagai aspek ajaran Islam perlu digalakkan agar umat islam punya
kemampuan menghadapi dan memecahkan masalah-masalah modern yang sedang di hadapi oleh
Bangsa Indonesia, seperti kemiskinan.[4] Dengan mengikuti pandangan ini, menurutnya, studi
Al-Qur’an secara mendalam dan sistematik menjadi sangat mutlak diperlukan. Tanpa kerja
strategis ini, bangunan sosio politik Islam akan tetap goyang.
Berangkat dari latar belakang pemikirannya itu, masalah pokok yang ingin diteliti oleh Syafi’i
adalah ingin melihat seberapa jauh tingkat hubungan antara ajaran etik Al-Qur’an dan sunnah
Nabi dengan kenyataan empirik dalam sejarah kehidupan perpolitikan umat Islam di Indonesia.

8
Selanjutnya Bab II mengemukakan secara hati-hati teori-teori politik yang di rumuskan para
yuris Muslim abad pertengahan dan sarjana-sarjana serta pemikir Muslim Modern.
Selanjutnya Bab III, bertitik berat pada mendekati Islam Indonesia di abad 20. Bab ini tidak
hanya bersifat deskriptif historis, tetapi juga analitis evaluatif.
Selanjutnya Bab IV, menguraikan secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan
Islam sebagai dasar falsafah negara oleh partai-partai Islam dan tantangan kelompok nasionalis
dalam sidang-sidang Majelis Konstituante Republik Indonesia. Bab V, kesimpulan dari
penelitiannya.
Selanjutnya Syafi’I  Ma’arif mengatakan bahwa suatu analisa tentang tema pokok dan topik-
topik lain dalam esai ini akan melahirkan tiga hipotesis yang berkaitan secara organik yang perlu
dilacak lebih jauh. Tiga hipotesis tersebut ialah :
1.   Islam di Indonesia, sebagian telah disinggung di bagian awal merupakan suatu agama yang
hidup dinamis, ia bergerak perlahan-lahan tapi nampaknya pasti dari posisi kuantitas ke posisi
kualitas.
2.   Usaha-usaha mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam, sekalipun sah menurut
undang-undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan usaha prematur dan tidak realistik karena
fondasi keintelektualan keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi di ciptakan.
3.   Prospek Islam di Indonesia nampaknya banya tergantung pada kemampuan intelektual
muslim, para ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Islam yang lain untuk memahami realitas
masyarakat mereka, baik di bidang politik, ekonomi sosial, maupun kultural serta hubungannya
dengan ajaran-ajaran Islam  sebagaiman yang telah terurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Al-
Sunnah yang sejati.

Dengan megikuti uraian tersebut, terlihat dengan jelas bahwa model penelitian politik yang
dilakukan Syafi’i Ma’arif sangat baik dijadikan model oleh para peneliti selanjutnya. Bentuk
penelitianya bersifat deskriptif analisis. Pendekatan dan analisis yang digunakan bersifat
normatif historis, sedangkan data-data yang digunakan bersumber pada kajian perpustakaan.

2.      Model Harry J. Benda


Penelitian di bidang politik juga dilakukan oleh Harry J. Benda, sebagaimana tertuang dalam
bukunya yang berjudul Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, di terjemahkan Daniel Dhakidae dari judul aslinya The Crescent and The
Rising Sun, dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, tahun 1980.
Penelitian tersebut berusaha mencari informasi dari sumber-sumber sesudah perang, dalam usaha
untuk menguji dan memeperbaiki gambaran yang telah muncul dari studi catatan-catatan masa
pendudukan.

9
            Sejalan dengan upaya tersebut, maka penelitian yang dilakukan dibuat untuk memberikan
analisa sosio-historis tentang elite islam dan dalam jangkauan yang lebih kecil, tentang elit-elit
non religius yang bersaing di panggung politik Indonesia dibawah kekuasaan asing. Penelitian
tersebut diarahkan pada tempat-tempat yang diberikan kepada pemimpin masyarakat Islam oleh
tuan penjajah berturut-turut.
            Dari segi cakupannya, penelitian ini membahas perkembanagn islam di Pulau Jawa saja.
Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini sebagian besar ditentukan oleh sumber-sumber
bahan yang bisa di peroleh. Terutama pada masa Jepang, banyak informasi atau catatan-catatan
kecil yang tidak dapat diperoleh peneliti.
            Aspek politik Islam Indonesia merupakan pokok utama dalam buku tersebut.
Pembahasan seperti ini terpaksa tidak memperdulikan adanya perbedaan regional yang meliputi
Islam bahkan dalam konteks terbatas di Pulau Jawa. Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian
tersebut, menurut Benda di Jawa telah mendapatkan perwujudan organisatoris paling penting. Di
sanalah kelompok-kelompok Islam paling langsung terlibat dalam membentuk politik Indonesia
pada umumnya.
            Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa model penelitian yang dilakukan Benda
mengambil bentuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian deskriptif, dengan
menggunakan pendekatan analisis sosio-historis.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Politik Islam adalah memperjuangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Tidak
mungkin Islam dapat dilaksanakan dengan baik jika tidak melalui gerakan massa berupaka partai
politik. Beragama Islam juga sebenarnya secara langsung atau tidak adalah melaksanakan politik
dalam arti luas. Jadi politik Islam itu adalah perilakuperilaku yang dilakukan bertujuan
memperbaiki umat, dalam hal ini adalah umat Islam. Islam sesungguhnya tidak terlepas dari
ajaran-ajaran mengatur kehidupan sosial manusia. Tanpa berpartai omong kosong kita dapat
memperjuangkan umat Islam untuk memperoleh hakhaknya dalam berkehidupan yang plural ini.
Islam adalah agama yang mengharuskan umatnya melakukan politik dalam pengertian yang luas,
yakni mengatur dan mengendalikan umat Islam dalam menjalankan tugastugas hidup di tengah-
tengah masyarakat lain. Dinyatakan bahwa politik Islam itu sesunggunhnya adalah bahwa
bagaimana kita bisa melaksanakan ajaran-ajaran Islam itu sesuai dengan kondisi dan konteks
yang ada sekarang ini. Untuk itu politik Islam adalah ajaranajaran Islam itu dilaksanakan secara
tepat. Dengan demikian politik Islam itu adalah strategi melaksanakan ajaranajaran Islam

B. Saran
Sebagai awal dalam pembelajaran tentunya saya memeliki kakurangan dalam
melengkapi tugas makalah ini oleh karena itu untuk para pembaca, saya mengharapkan sumbang
kritik dan saran supaya kedepannya makalah yang disusun bisa tampil lebih baik dan menjadi
bermanfaat bagi para pembaca atas  kritik dan sarannya saya ucapkan terimakasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.316


 [2] Alfi, Apa Yang dimaksud Dengan Aristokrat, diakses
dari http://www.alfiforever.com/2014/02/apa-yang-dimaksud-dengan-aristokrat.html pada 06
Desember 2016 pukul 20.09
       [3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 317-324
       [4]Ibid., hlm.325-330
       [5] Ibid., hlm.330-331
https://media.neliti.com/media/publications/11298-ID-pemahaman-politik-islam-studi-tentang-
wawasan-pengurus-dan-simpatisan-partai-pol.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai