Anda di halaman 1dari 12

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Batubara
Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuh-
tumbuhan (komposisi utama karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat
sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses kimia dan fisika yang
mengakibatkan terjadinya pengkayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984).
Batubara ini terbentuk dari endapan sisa tumbuhan dan fosil. Beberapa
diantaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-
rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini
terbentuk pada kondisi dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat
masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan
sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batu
bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar
abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada
lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan
gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar
Kalimantan (Sukandarrumidi, 1995).

3.1.1. Genesa Pembentukan Batubara


Batubara terbentuk dari hasil endapan sisa-sisa tumbuhan yang terjadi
selama ratusan juta tahun yang lalu yang telah mengalami proses fisika dan kimia
sehingga terjadilah proses pembatubaraan. Terdapat 2 macam teori yang
menyatakan tempat terbentuknya batubara, yaitu :
1. Teori Insitu
Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan
demikian setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi,
segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis
batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata,
kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil.

10
2. Teori Drift
Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terbentuknya di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuh-tumbuhan asal itu
berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut mati, diangkut oleh media air
dan berakumulasi disuatu tempat, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran tidak luas tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitasnya
kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut
bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat
sedimentasi.

3.1.2. Faktor Pengontrol Pembentukan Batubara


Menurut Sukandarrumidi (2006), terdapat beberapa faktor pengontrol
dalam proses pembentukan batubara yaitu :
1. Posisi Geotektonik
Merupakan suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya
tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik
merupakan faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokal dan
morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya.
Pada fase terakhir, posisi geotektonik mempengaruhi proses metamorfosa organik
dan struktur dari lapangan batubara melalui masa sejarah setelah pengendapan.
2. Topografi
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting
karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk.
Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya
bergantung pada posisi geotektonik.
3. Iklim
Kelembapan memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Iklim
tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi
geotektonik.

11
4. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika
penurunan dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara
tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan
pengendapannya.
5. Umur geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai
macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung
membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organic. Semakin tua
umur batuan semakin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk
batubara yang bermutu tinggi.
6. Tumbuh-tumbuhan
Flora merupakan unsure utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari
flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan
topografi tertentu. Flora merupakan faktor penentu terbentuknya berbagai tipe
batubara.
7. Dekomposisi
Dekomposisi flora merupakan bagian dari transformasi biokimia dari
organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut,
sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi.
Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses
pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob).
Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang
lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati.
Dari proses diatas terjadiperubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara
berbitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang
berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam
bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Akibat
pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan
bertambah. Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan
perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air
dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses

12
disintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati
terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan
berkurang, sehingga hanya bagian keras saja tertinggal yang menyulitkan
penguraian oleh mikrobiologi.
8. Sejarah sesudah pengendapan
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik
yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara
singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan
gambut.
9. Struktur cekungan batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan batubara pada umumnya
mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan
batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif
menyebapkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
10. Metamorfosa organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau
penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak
berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini
menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai
mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang
(seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya prosentase karbon
padat, belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkkan oleh
faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen
penutup yang sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebapkan
bertambahnya tekanan dan percepatan proses metamorfosa organik. Proses
metamorfosa organik akan dapat mengubah gambut menjadi batubara sesuai
dengan perubahan sifat kimia, fisik dan optiknya.

3.1.3. Jenis dan Kualitas Batubara


Menurut jenisnya batubara diklasifikasikan menjadi beberapa jenis
diantaranya yaitu gambut, bitumen, sub-bitumen, lignit dan antrasit. Dimana
kelima jenis batubara tersebut dilihat dari tingkat kematangannya, semakin kearah

13
antrasit semakin tinggi tingkat kematangannya. Dengan semakin tinggi tingkat
kematangannya maka akan menghasilkan batubara yang bernilai kalori yang
tinggi pula.

Untuk mengetahui kelima jenis batubara diatas, secara kimia dan fisika
dapat dilakukan dengan cara uji kualitas batubara. Kualitas batubara merupakan
mutu atau tingkatan pada batubara yang dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia
yang terkandung di dalam batubara tersebut. Menurut Thomas (2002), analisa
kualitas batubara terdiri dari beberapa jenis yaitu sebagai berikut :
1. Kandungan air/kelembaban (Total Moisture)
Kandungan air dalam batubara dibedakan menjadi dua yaitu :
 Kandungan air lembab bebas (free moisture) adalah persen air yang
terdapat pada permukaan batubara, berasal dari air permukaan.
 Kandungan air lembab terikat (inherent moisture) adalah air yang
terkandung dalam pori-pori batuan, semakin tinggi kandungan air
kelembabnya maka kualitas batubara makin rendah,
2. Kandungan abu (Ash Content)
Menurut Thomas (2002), kandungan abu adalah material yang tidak
terbakar setelah batubara dibakar sempurna, semakin banyak kandungan abunya
maka kualitas batubaranya semakin jelek, kandungan abu yang tinggi akan
mengurangi nilai kalori.
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang
bakar dan daerah konveksi dalam bentuk abu terbang atau abu dasar. Sekitar 20%
dalam bentuk abu dasar dan 80% dalam bentuk abu terbang.Semakin tinggi
kandungan abu dan tergantung komposisinya mempengaruhi tingkat pengotoran
(fouling), keausan dan korosi peralatan yang dilalui.
3. Zat terbang (Volatile Matter)
Zat terbang adalah gas-gas yang terkandung dalam batubara yang dapat
dibebaskan pada temperatur tinggi seperti metana, hidrogen,oksigen,karbon
monoksida. Semakin tinggi kandungan zat terbang naka kualitas batubara makin
rendah.

14
4. Nilai Kalori
Menurut Thomas (2002) coal geologi. Nilai kalori adalah kalori jenis atau
nilai panas yang dihasilkan pada pembakaran batubara. Semakin tinggi nilai kalori
maka kualitas batubara akan semakin baik.
Menurut Sukandarrumidi (1995) terdapat 2 macam nilai kalor yaitu :
 Nilai kalor net (net calorific value atau low heating value), yaitu nilai kalor
pembakaran dimana semua air (H2O) dihitung dalam keadaan wujud gas.
 Nilai kalor gross (grosses calorific value atau high heating value), yaitu
nilai kalor pembakaran dimana semua air (H2O) dihitung dalam keadaan
wujud cair. Nilai kalor ini dinyatakan dalam cal/gram, Btu/lb atau Mj/kg.

3.2. Metode Well Logging


Logging adalah metoda yang digunakan untuk menginterpretasi suatu tipe
batuan pada urutan batuan sedimen pembawa batubara (coal bearing sequence).
gamma ray log dan density log keduanya dioperasikan secara bersamaan sebagai
dasar analisis batuan serpih (shale), batupasir, batulumpur (mudstone) dan
batubara. Metode itu digabung dilakukan pada sebuah lubang bor. Penampilan
dari kedua log ini disebut “coal lithology log” termasuk juga di dalamnya caliper
log bila lubang bor rusak misal adanya ambrukan menyebabkan kesulitan dalam
interpretasi (Yos Rosadi dalam Winda, 1996).

3.2.1. Gamma Ray Log


Log Gamma Ray merupakan suatu kurva dimana kurva tersebut
menunjukkan besaran intensitas radioaktif yang ada dalam formasi. Log ini
bekerja dengan merekam radiasi sinar gamma alamiah batuan, sehingga berguna
untuk mendeteksi / mengevaluasi endapan-endapan mineral radioaktif seperti
Potasium (K), Thorium (Th), atau bijih Uranium (U). Pada batuan sedimen unsur-
unsur radioaktif banyak terkonsentrasi dalam serpih dan lempung, sehingga besar
kecilnya intensitas radioaktif akan menunjukkan ada tidaknya mineral-mineral
lempung. Batuan yang mempunyai 28 kandungan lempung tinggi akan
mempunyai konsentrasi radioaktif yang tinggi, sehingga nilai gamma ray-nya juga
tinggi, dengan defleksi kurva kekanan yang umumnya ditemukan pada illite.

15
Pada lapisan permeabel yang bersih, kurva log GR akan menunjukkan
intensitas radioaktif yang sangat rendah, kecuali bila lapisan tersebut mengandung
mineral mineral tertentu yang bersifat radioaktif, atau lapisan yang mengandung
air asin yang mengandung garam-garam potassium yang terlarutkan.
Unsur-unsur radioaktif banyak terkandung dalam lapisan serpih, sehingga
log GR sangat berguna untuk menentukan besar kecilnya kandungan serpih atau
lempung. Dengan menarik garis Gamma Ray yang mempunyai harga minimum
dan garis Gamma Ray maksimum pada suatu penampang log, maka kurva tersebut
merupakan indikasi adanya lapisan serpih. Gamma Ray log dinyatakan dalam API
Units (GAPI).
Kurva GR biasanya ditampilkan dalam kolom pertama, bersama kurva SP
dan Kaliper dengan skala dari kiri kekanan 0–100 atau 0–150 GAPI.Log GR
merupakan log yang sangat bagus untuk menentukan permeabilitas suatu batuan
karena mampu memisahkan dengan baik antara lapisan serpih dari lapisan
permeabel.
Kegunaan log GR ini antara lain adalah untuk menentukan kandungan
serpih (Vsh), kandungan lempung, menentukan lapisan permeabel, evaluasi
mineral bijih yang radioaktif, evaluasi lapisan mineral tidak radioaktif, dan
korelasi antar sumur. Ilustrasi respon log gamma ray pada litologi dapat dilihat
pada (Gambar 3.1. )

16
Gambar 3.1. Respon log gamma ray terhadap batuan (Asquith and Krygowsky
2004).

3.2.2. Density Log


Energi Gamma dari Radioaktif akan sangat menurun apabila bertumbukan
dengan elektron formasi. Semakin tinggi massa jenis formasi akan semakin
banyak elektron yang terdapat pada formasi tersebut, sehingga akan semakin
sedikit gamma yang terdeteksi oleh detektor. Dengan kata lain, semakin besar
densitasnya, respon dari detektor akan semakin kecil, sebaliknya bila massa jenis
makin kecil (elektron sedikit) maka gamma yang tertangkap detector akan
semakin besar. (Martono, 2004).

17
Gambar 3.2. Prinsip pengukuran pada density log (Martono, 2004).

Probe ini merupakan Probe lengkap dari tipe Density, kerena dalam sekali
Run akan diperoleh Long Space Density, Short Space Density dan Caliper. Peran
Caliper pada log density selain dapat merapatkan posisi Radioaktif dan sensor
(mendorong probe) pada dinding lobang bor sehingga menjadikan pengukuran
density lebih akurat karena partikel Gamma akan langsung masuk dalam formasi
tanpa melewati media (air atau mud) yang berada dalam lobang bor. Pada
(Gambar 3.2.) menunjukkan bagaimana partikel Gamma keluar dari Radioactive
Source menuju ke detector. Karena jarak detector Long Space Density (LD) lebih
jauh dari pada Short Space Density (SD), maka LD mempunyai penetrasi yang
lebih dalam dari pada SD, sehingga pada kasus-kasus adanya cavity, LD tidak
begitu terpengaruh, demikian halnya jika logging dilakukan didalam rod atau
casing, LD lebih baik hasilnya. Sementara SD, karena jarak detector ke Gamma
Source relative dekat, maka SD dapat mendeteksi layer-layer yang tipis (<10 cm),
namun sangat terpengaruh terhadap adanya cavity, meski ukuran cavitynya yang

18
relative kecil, dan kurang baik hasilnya jika di run dalam Rod atau casing.
(Martono, 2004).

Gambar 3.3. Prinsip Long Density dan Short Density (Martono, 2004).

Prinsip mendasar dari perbedaan pengukuran Long Density dan Short


Density adalah pada Jarak Gamma Source dan Detektor. Pada Spesifikasi Probe
FDG terlihat bahwa Jarak Detector Long Density terhadap Gamma Source adalah
37 cm, sementara untuk Short Density adalah 17 cm. Secara ideal digambarkan
bahwa perjalanan partikel Gamma yang tertangkap oleh detector Short Density
(SD) lebih dangkal masuk kedalam formasi disbanding yang tertangkap detector
Long Density (LD). Dengan kata lain penetrasi Gamma pada LD lebih dalam
dibanding SD. Dalam kondisi logging dilakukan didalam casing atau adanya
cavity atau keduanya, maka pengaruh casing/cavity relative kecil pada LD, namun
sebaliknya pada SD. Pengaruh lainnya dalam pengukuran yang ideal (tidak ada
casing dan tidak ada caving), bahwa LD cenderung akan merata-ratakan densitas
formasi-formasi yang tipis, sementara SD akan lebih detai membaca formasi-
formasi yang tipis. (Martono, 2004).

19
Dari hasil pengukuran dengan menggunakan metode well logging yang
dilakukan pada penelitian kali ini mendapatkan nilai long density dan short
density. Sehingga untuk mempermudah dalam interpretasi perlu dilakukan
konversi nilai long density yang semula memiliki satuan CPS (count per second)
menjadi satuan densitas yaitu gram/cc. Dengan demikian akan lebih mudah
dilakukan interpretasi pada tiap litologi yang dijumpai seperti pada (Gambar 3.4.)

Gambar 3.4. Respon densitas terhadap litologi (Reeves, 1986).

3.2.3. Caliper Log


Perlu dilakukannya pengukuran caliper log karena untuk mengetahui
kondisi lubang bor apakah terdapat rongga – rongga pada dinding bor sehingga
dengan keberadaan rongga tersebut akan sangat mempengaruhi pembacaan respon
dari gamma ray log maupun densitas log. Keberadaan rongga tersebut sering
sekali terjadi akibat runtuhan dinding bor yang dikarenakan lapisan batuan yang
kurang kompak. Pengukuran caliper log tersebut dapat dilihat pada (Gambar 3.2.)

20
Dengan dilakukannya pengukuran caliper log akan sangat membantu dalam
interpretasi litologi baik dari gamma ray log dan density log.

Gambar 3.5. Pengukuran Caliper Log (Harsono, 1997)

Faktor-faktor yang mempengauhi log caliper (Warren, 2002).

Diameter Kemungkinan
Sebab
Lubang Bor Lithologi
Formasi kompak Batupasir masif
Serpih Calcareous,
Stabil
Formasi non-permeabel Batuan beku,
Batuan metamorf
Evaporites
Formasi lunak, mudah hancur Pasir tidak kompak,
Lebih besar
Formasi lemah, runtuhan Kerikil,
Serpih rapuh
Penebalan pada formasi, sepanjang Serpih yang menebal
lubang bor
Lebih kecil
Lumpur pemboran pada formasi Batupasir poros dan
poros dan parmeabel permeabel

21

Anda mungkin juga menyukai