Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MATA KULIAH SISTEM POLITIK

INDONESIA

DOSEN : Drs. Tri Joko Waluyo, M.Si

DISUSUN OLEH : KHASHAAISHA OKTIAPANI

NIM : 1701110271

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU
BAB I
HAKEKAT PARTAI POLITIK

Kehadiran partai politik—bukan birokrasi, pengadilan atau parlemen –


menjadi penanda dan spasi penting transformasi system politik klasik ke metode
berpolitik modern. Hal ini karena sejak keberadaan partai politik formasi politik
berubah secara drastic
Dengan adanya partai politik jabatan-jabatan politik yang semula menjadi
semacam privellage kelompok social tertentu menjadi dapat diakses dari dan o;leh
semua kalangan masyarakat tanpa melihat kelas dan stratifikasi social. Pengisian-
pengisian jabatan politik yang sebelumnya bersandar penuh pada otoritas wahyu,
pewarisan serta kebaikan penguasa bergeser menjadi terbuka melalui saluran
partai politik.
Saat ini sangat sedikit Negara yang mengabaikan relevansi partai politik
dalam kehidupan demokrasinya. Hal ini karena absennya partai politik dari
kancah politik akan menghadirkan dua kemungkinan (Almond dalam Mas’oed
dan MacAndrew, 2001). Pertama, sebuah Negara yang akan dikuasai oleh rejim-
rejim dinasti tradisional.Pemerintahan tanpa partai adalah pemerintahan
konservatif, sedangkan rezim anti partai merupakan rezim reaksioner (Huntington,
2004:484)
A. Partai dan Non-Partai
Terdapat berbagai definisi partai politik. Imawan (1996) menyebutkan tidak
kurang dari 80variasi definisi tentang partai politik. Berbagai pendapat tentang
partai politik terutama berbeda dalam penekanannya. Ada yang menekankan akar
ideology partai seperti Burke dan Reagan, penekanan partai sebagai alat untuk
mendapatkan akses pemerintahan seperti Epstein, Schlesinger, dan Aldrich, ada
yang menekankan sebagai desain instrument mediasi yang penting dalam
mengorganisir dan menyederhanakan pilihan pemilih dalam mempengaruhi
tindakan pemerintah seperti Downs, Key, dan Chambers, dan sebagainya (White,
dalam Katz & Crotty, 2006:5-12).
Dari definisi tersebut, beberapa hal dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
partai politik merupakan sebuah organisasi. Sebagai sebuah organisasi, partai
politik merupakan entitas yang bekerjanya didasarkan pada prinsip-prinsip
tertentu seperti adanya kepemimpinan dan keanggotaan, devisional;isasi dan
spesifikasi, melakukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan control
serta adanya aturan main yang mengatur perilaku anggota dan organisasi.
Kedua, partai politik merupakan instrument perjuangan nilai atau ideology.
Partai adalah alat perjuangan atassebuah nilai yang mengikat kolektivitas
organisasi. Nilai atau ideology itu diyakini kebenarannya oleh kolektivitas
individu yang tergabung dalam organisasi itu. Pada kerangka itu, nilai atau
ideology itu memiliki beberapa fungsi. Pertama, pada tingkatpaling minimal
sebagai corak atau cirri khas yang membedakan dirinya dengan partai lain. Kedua,
menjadi pisau analisa partai dalam memahami realitas. Terakhir, ideology
berfungsi sebagai pemandu perilaku partai dalam menjal;ankan fungsi-fungsinya.
Partai politik setidaknya memainkan salah satu atau semua hal dari fungsi
ideology tersebut. Jika sebuah partai mendeklarasikan dirinya sebagai partai
sosialis, nasionalis, atau agama maka klaim nilai atas nilai atau ideology tersebut
setidaknya menjadi identitas, alat analis, atau penuntun keseluruhan perilaku
individu dan organisasi partai.
Ketiga, perjuangan partai adalah melalui penguasaan struktur kekuasaan.
Dengan demikian, partai sesungguhnya adalah berorientasi pada kekuasaan, yaitu
untuk mendapatkan, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Yang harus
dicatat adalah kekuasaan tersebut direbut dalam rangka implementasi nilai atau
iodeologi yang mengikat partai, bukan semata-mata mengejar kekuasaan. Sebagai
entitas yang berorientasi kekuasaan, partai politik dibedakan dengan organisasi
social ataupun ekonomi. Dengan demikian, perilaku partai politik tidak ditujukan
pada aktivitas-aktivitas social atau belas kasihan (charity), dan juga bukan
organisasi yang berorientasi pada perburuan keuntungan ekonomi. Partai politik
adalah entitas yang terspesialisasi atau memang dilahirkan untuk meraih,
mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Partai adalah alat untuk
memperoleh kekuasaan, bukan yang lainnya. Takdir partai politik adalah untuk
berburu kekuasaan, tenmtu saja dengan sejumlah etika yang membatasinya.
Hanya saja, ketika kekuasaan sudah diraih, kekuasaan yang diperoleh oleh partai
politiok tidak semata-mata diorientasikan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu
kemudian diorientasikan untuk kebaikan bersama.
Terdapat beberapa ciri pembeda antara partai politik dengan organisasi
lainnya. Secara umum partai politik perhatian utamanya adalah pada pemilu,
mereka sepenuhnya berkomitmen pada aktivitas politik, memobilasi massa dalam
jumlah yang sangat besar, memiliki waktu hidup yang sanghat lama serta mereka
menyediakan diri sebagai symbol politik (Harshey, 2005:12-13).
Secara khusus partai politik dapat dibedakan antara kelompok kepentinghan
(interst group) dan kelompok penekan(pressure group) (Mas’oed dan
MacAndrews, 2006: 53; Amal, 1996: xvii; Duverger, 1984:vii-ix). Kelompok
kepentingan merupakan suatu organisasi yang terdiri dari sekelompok individu
yang mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan
yang sama; dam mereka bekerjasama untuk mempengaruhi kebijaksanaan
pemerintah demi tercapainya kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan dan
keinginan-keinginannya. Sementara itu, dalam mambedakan antara partai politik
dan kelompok penekandapat dilihat dari 2 (dua) hal, yakni cara berpartisipasi
dalam konflik-konflik politik dasar keanggotaannya. Pertama, tujuan utama partai
politik adalah untuk merebut kekuasaan atau ambil bagian dalam perebuutan
kekuasaan. Partai selalu berusaha untuk memenangkan pemilu, menentukan para
menteri dan perwakilan-perwakilan, serta dapat mengendalikan pemerintahan.
Sedangkan kelompok penekan sebaliknya, tidak mencari kekuasaan untuk dirinya
sendiri, atau untuk ambil bagian dalam kendali pemerintah yang sedang berkuasa
dan membarikan tekanan kepada penguasa atau wakil-wakilnya.
Kedua, dukungan terhadap parpol berasal dari suatu dasar atau fondasi yang
luas, sedangkan kelompok penekan hanya mewakili suatu jumlah yang terbatas
yang mempunyaikepentingan khusus. Dengan kata lain, parpoll bertindak dalam
rangka masyarakat secara keseluruhan, parpol menjadi tempat setiap warga
Negara bergantung hanya karena ia seorang warganegara. Sebaliknya, kelompok
penekan bertindak untuk selalu mempertahankan dan membela kepentingan
mereka sendiri.
B. Asal-Usul
Di tilik dari sejarahnya, keberadaan partai politik pada awalnya merupakan
suatu problematic dan cenderung mengandung sinisme. Giovanni Sartori dalam
buku “Parties and Party System: A Frameworks for Analysis” (1975) memberikan
uraian yang sangat bagus dan luas tentang hal itu. Menurut Sartori, sinisme
terhadap partai muncul karena kata ‘partai’ sering disamakan denngan kata ‘faksi’
(faction), pada hal tidak demikian.
Menurut Sartori, secara etimologis dan sematis, “faksi (faction)” dan “partai
(party)” tidak mengacu kepada maknayang sama. Faksi, yang merupakan istilah
yang jauh lebih tua dan lebih mapan, berasal dari verba latin facere (melakukan,
bertindak), dan faction untuk mengacu kepada kelompok politik yang
menyimpang kepada suatu facere yang mencegah dan berbahaya, kepada
‘tindakan yang gawat.” Jadi makna pertama yang dibawa oleh akar latin adalah
gagasan tentang kesombongan yang keterlaluan, perilaku yang berlebih, tanpa
perasaan, dan berbahaya.
Sementara itu, kata “partai” juga berasal dari Latin, dari verba partire, yang
artinya membagi (to divide). Tetapi istilah ini tidak masuk dan menjadi penting
dalam kosakata politik hingga pada abad ketujuh belas. Pendahuluny yang jauh
lebih dulu ada yang memiliki konotasi etimologis yang sama adalah “sekte
(sect),” sebuah istilah yang berasal dari Latin secare, yang artinya memisahkan,
memotong, dan membagi. Disebabkan “sekte” sudah tersedia dan mapan untuk
menghadirkan makna ketat partire, istilah “partai” kemudian digunakan dengan
makna yang longgar dan lebih tidak jelas. Pada dasarnya, istilah “partai”
membawa gagasan tentang bagian (part). Istilah part masuk kedalam bahasa
Perancis parteger, yang artinyamembagi-bagi, dan masuk dalam bahasa Inggris
“partaking” (mengadakan kemitraan dan partisipasi). Meskipun demikian harus
dicatat bahwa sementara “party” masuk kosakata politik, “sekte” memiliki
perjalanannya sendiri. Selama abad ketujuh belas, istilah sekte menjadi
diasosiasikan dengan agama dan khususnya dengan sektarianiosme Protestan.
Sebagai sebuah entitas yang kelahirannya mengundang sinisme, oposisi
terhadap kehadiran partai politik setidaknya berasal dari tiga sumber berbeda
(Huntington, 2004:478-480). Pertama, kaum konservatif, golongan ini menentang
partai karena partai dianggap sebuah tantangan terhadap struktur social yang
sudah mapan. Tidak hanya itu, kaum konservatif menolak kehadiran partai juga
terkait dengan adanya gagasan modernisasi yang dibawa oleh partai. Partai politik
adalah penemuan yang secara intrinsic mengancam kekuasaan politik para elit
yang menyandarkan diri pada system warisan, status social ataupun pemilikan
tanah.
Kedua, golongan administrator. Berbeda dengan kaum konsenvatif, golongan
administrator menentang partai tetapi menerima rencana rasionalisasi struktur
social dan ekonomi. Yang ditolak oleh golongan administrator adalah pelaksanaan
modernisasi yang ditujukan untuk memperluas wawasan partisipasi rakyat diarena
politik. Kelompok ini merupakan kelompok birokrat yang bertujuan mencapai
efisiensi kerja dan menghindarkan konflik. Bagi mereka, partai sering dilihat
memasukkan pertimbangan-pertimbangan irasional yang kurang tepat kedalam
pencapaian efisiensi tujuan. Pencermatan terhadap kehadiran partai politik, partai
politik tidak muncul berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, suku, etnik, dan
kelas (Almond dalam Mas’oed dan MacAndrew,2001). Partai politik juga tidak
muncul karena adanya perbedaan pendapat dan kepentingan-kepentingan yang
menonjol diantara kelompok masyarakat (Lapalambara dan Anderson,1966). Jika
partai muncul karena sekedar adanya perbedaan didalam masyarakat maka pertain
tentunya akan masuk diantara bentuk-bentuk tertua organisasi social. Teteapi
tidak demikian adanya, partai politik adalah fenomena abad 19. Secara garis
besar, terdapat beberapa penjelasan utama dalam memahami asal-usul partai
politik. Beberapa pendekatan itu adalah pendekatan institusional, pendekatan
historis, dan pendekatan modernisasi (Lapalambara dan Andersondalam
Hawkesworth dan Maurice, Lapalambara dan Weiner,1966:2-42).
Pertama, teori Instirusional. Teori ini memberikan tekanan pada transformasi
yang terjadi pada parlemen. Teori institusional menempatkan asal-usul partai
politik sebagai perluasan bertahap atas hak pilih dan transfigurasi dari badan-
badan di parlemen.
Teori institusional melihat lahirnya partai politik dari dua arah, yaitu partai
politik yang terbentuk dari dalam parlemen (intraparlemen), dan partai politik
yang lahir dari luar parlemen (ekstra-parlemen). Kemunculan partai politik dari
dalam parlemen berkembang dalam tiga tahap, yaitu (1) lahirnya kelompok-
kelompok parlementer, (2) pembentukan panitia-panitia pemilihan local, dan (3)
diadakannya hubungan-hubungan permanen diantara keduanya. Contoh klasik
partai yang tumbuh dari internal parlemen diantaranya Paartai Konservatif fan
:Liberal di Inggris, Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat,
Partai Liberal Nasional Wihelmina di Jerman, dan Partai-partai liberal abad
Sembilan belas di Italia.
Sementara itu, partai politik yang hadir di luar parlemen secara tipikal
menghadirkan perlawanan-perlawanan ideologis terhadap elit yang berkuasa.
Partai-partai yang diciptakan secara eksternal ini berusaha untuk masuk ke koridor
kekuasaan dengan mengedepankan kepentingan-kepentingan kelompok yang
sebelumnya disingkirkan. Keberadaan partai politik ini bahkan berusaha untuk
mentransformasikan system politik itu sendiri. Karakter partai yang terbentuk
secara eksternal ini adalah partai politik massa. Keseluruhan partai-partai sosialis,
partai-partaikomunis, partai-partai Kristen demokratis, dan jugapartai-partai
pertanahan agraria yang lahir dalam konteks Eropa merupakan contoh terbaik
dalam kasus ini.
Sementara itu, terjadinya pembiakan partai politik post-kolonial yang terjadi
seiring dengan terbentuknya Negara bangsa, terutama partai-partai nasionalis,
adalah mempertanyakan bukan saja legitimasi institusi-institusi perwakilan, tetapi
juga mempersoalkan legitimasi Negara yang ada sebagai suatu keseluruhan.
Hadirnya partai-partai fasis dan komunis di abad ke-20 juga mencerminkan krisis
legitimasi yang terjadi pada Negara-negara demokrasi liberal.
Adanya tuntutan partisipasi yang lebih luas juga terkait dengan pembentukan
partai politik. Dilibatkannya kelompok-kelompok social baru kedalam
sistempolitik biasanya membutuhkan pemberian hak pilih yang lebih luas. Sejalan
dengan berkembangnya bangsa-bangsa bersama dengan berkembangnya ukuran
partisipasi particular,adanya partai politik adalah suatu dampak yang alami.
Hampir semua partai yang diciptakan secara eksternal adalah dibentuk bersamaan
dengan krisis partisipasi pemilihan. Atau adanya kekecewaan kekurangan
terhadap system politik yang ada.
Masih dalam kerangkaTeori Modernisasi, beberapa ahli mengasosiasikan
munculnya partai-partai politikdengan dampak-dampak industrialisasi. Dalam
masyarakat modern, partai politikmuncul untuk mobilisasdi massa, bukan untuk
mengadakan revolusi. Partai politik justru menggerakkan massa menuju bentuk-
bentuk partisasi pemilihan yang rutin, produktifdan memperkuat system.
Industrialisai yang menyebabkan adanya biaya-biasa substansial bagi kelompok-
kelompok sosial seprti para tukang, pemilik took kecil dan para petani telah
mendorong lahirnya partai politik yang tujuannya adalah untuk mempertahankan
diri terhadap ancaman kelompok-kelompok itu. Partai-partai agrariadi
Skandinavia, seprti halnya partai-partai fasis dimanapun di Eropa, adalah contoh
dari rekasi semacam itu atas modernisasi. Sementara itu, beberapa eksternalitas
aktivitas industry – seperti ancaman terhadap lingkungan – mengantar kepada
munculnya gelombang pembentukan partai yang baru, seperti yang disebut
Greens dan beberapa partai yang sensitive terhadap soal lingkungan.
Terdapat kelemahan-kelemahan dalam masing-masing teori asal-usul partai
tersebut. Teori Institusional terkait tempat, dalam arti teoriini berhubungan
dengan pengalaman rezim-rezim colonial atau bangsa-bangsa yang sedang
berkembang. Pada bangsa-bangsa itu, majelis parlementer – yang merupakan
lingkaran inti dalam teori institusional – tidak ada atau majelis itu sama sekali
tidak melibatkan rakyat pribumi. Kenyataannya partai politik tetap saja
bermunculan. Teori institusional juga terikat waktu, dalam arti teori ini tidak
menjelaskan proses ketika partai terbentuk di tempat-tempat di mana hak pilih
universal telah menjadinorma untuk beberapa dekade. Munculnya partai-partai
ekologis di Negara-negara demokrasi Barat adalah contoh utama untuk gejala
sejenis itu.
Sementara itu kelemahan Teori Modernisasi adalah teori ini belum secara jelas
menggambarkan jalan-jalan alternative menuju modernitas atau pembangunan
bangsa. Untuk alas an ini, sedikit saja yang bisa dikatakan dengan pasti tentang
kapan, dengan lingkungan seperti apa, dan dengan akibat-akibat apa partai politik
bisa terwujud.
Meskipun demikian, Menurut Lapalambara dan Weiner, diantara ketiga
pendekatan tersebut, ada kesepakatan bahwasanya satu factor penentu munculnya
partai politik adalah: mobilisasi sosial, atyau masuknya massa ke panggung
politik. Ketika politik tidak lagi terbatas hanya untuk satu lingkaran kecil elit-elit
aristokrasi, partai-partai hadir sebagai instrument untuk menghubungkan pusat
kekuasaan politik dengan massa. Dalam hal ini, partai-partai terbukti harus
diadakan, entah transformasi politiknya disebabkan oleh kompetisi diantara para
elit atau didorong oleh tekanan-tekanan massa dari bawah.
C. Fungsi-Fungsi
Banyak kalangan harus melekatkan sejumlah fungsi pada partai politik.
Celakanya, fungsi itu di daftar sedemikian rupa tanpa berusaha memverifikasi
apakah fungsi itu secara empiric dilakukan atau tidak dilakukan oleh partai
politik. Cara itu adalah sebuah kekeliruan yang fatal.
Selama ini, berbagai fungsi yang dilekatkan pada partai politik dilekatkan
begitu saja lewat mekanisme, dalam bahasa LaPalambara, ‘fiat’ (Latin) atau ‘kun
fayakun’ (Arab), artinya ‘jadi maka jadilah’, yang itu bersifat teroris dan logis.
Padahal, partai politik itu – apakah fungsi, posisi, dan bobotnya dalam system
politik – tidak dirancang oleh suatu teori tetapi ditentukan oleh kejadian-kejadian
yang ada (Sartori, 1976: 18). Dengan demikian, fungsi partai politik
sesungguhnya berangkat dari realitas empiric yang dikerjakan partai politik dan
berlangsung melalui proses evolusi yang panjang. Pada massa boleh jadi partai
politik dalam rangka menopang bekerjanya demokrasi memainkan fungsi
tertewntu secara menonjol tetapi pada masa yang lain fungsi itu tidak dimainkan
lagi karena perubahan konteks politik yang melingkupinya.
Kita bisa bertanya fungsi-fungsi apakah yang sungsuh-sungguh diemban oleh
partai-partai, apakah fungsi-fungsi mana mana yang dijalankan bersama dengan
actor-aktor politik lain dalam sebuah system politik.
Meskipun demikian, memang tidak mudah untuk melekatkan fungsi-fungsi
apa yang semestinya disandang partai politik. Menurut Paul Allen Beck dan Frank
J. Sorauf (1992:17), kesulitan untuk melekatkan fungsi apa yang semestinya
menjadi atribut partai disebabkan dua hal. Pertama, diantara para ahli kepartaian
sendiri tidak pernah mencapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan
kata fungsi. Beberapa ahli menggunakan kata itu untuk menunjukkan aktivitas
nyata partai politik, seperti kontestasi dalam pemilu,sementara ahli yang lain
menggunakannya untuk menggambarkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak
direncanakan atau sebuah kebetulan yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang
direncanakan. Pakar yang lain menyatakan fungsi adalah menandakan sebuah
kontribusi partai untuk beroperasi dalam system politik yang luas.
Kedua, kesulitan untuk memformulasikan kategori fungsi partai terkait dengan
kebutuhan untuk dapat diobservasi dan diukur atas fungsi yang dijalankan.
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu fungsi partai adalah
mengorganisir konflik sosialatau artikulasi kepentingan-kepentingan sosial.
Pertanyaannya adalah bagaimana melakukan observasi atas fungsi-fungsi itu?
Dari berbagai studi tentang partai politik, fungsi partai tidak selalu konstan
dan cenderung mengalami transformasi. Mendasarkan padakonseptualisasi V.O
Key (1964:163-164) tentang kerangka tiga bagian partai, yaitu partai di pemilih
(partay in electorate), partai sebagai sebuah organisasi (party organization), dan
partai di institusi pemerintahan (party in government) (lihat bagaan 1), RussellJ.
Dalton dan Martin P. Wattenberg (200:5-10) mendaftar sejumlah fungsi partai
dari setiap bagian tersebut.
Pertama adalah fungsi partai di elektorat (parties in the electorate). Pada
bagian ini fungsi partai menunjuk pada penampilan partai politik dalam
menghubungkan individu dalam proses demikrasi. Terdapat 4 (empat) fungsi
partai yang termasuk dalam fungsi partai di elektorat. Pertama, menyederhanakan
pilihan bagi pemilih. Politik adalah fenomena yang komplek. Pemilih rata-rata
mengalami kesulitan dalam memahami semua persoalan dan
mengkonfrontasiberbagai isu-isu didalam pemilu. Partai politik membantu uyntuk
membuat politik “user friendly” bagi warga Negara. L;abel partai menyediakan
kunci informasi singkat tentang bagaimana “orang-orang seperti saya seharusnya
memilih”. Sekali pemilih mengetahui partai mana yang biasanya mewakili
kepentingan mereka, ini menjadi kunci informasi sebagai layar persepsi
membantu bagaimana mereka melihat sebuah persoalan dan berperilaku ketika
pemilihan.
Kedua, pendidikan warga Negara. Partai politik adalah educator. Pada konteks
itu partai politik adalah mendidik, menginformasikan dan membujuk masyarakat
untuk berperilaku tertentu. Partai politik bertugas memberikan informasi politik
penting bagi warga Negara. Selain itu, partai politik juga mendidik warga Negara
mengapa mereka harus mengambil posisi kebijakan tertentu. Pemilu menjadi
salah satu kursus pendidikanwarga Negara bersifat missal. Ketiga,
membangkitkan symbol identifikasi dan loyalitas. Dalam system politik yang
stabil, pemilih membutuhkan jangkar politik, dan partai politik dapat memenuhi
fungsi itu. Telah lama diyakini bahwa loyalitas kepada partai dapat
menghindarkan warganegara dari kerentanan terombang-ambing olehpara
demogog. Keterikatan partisan terhadap partai politik dapat melestarikan dan
menstabilkan pemerintahan demokratis, menciptakan kesinambungan pilihan
pemilih dan hasil pemilu. Lebih lanjut, partai politik menyediakan basis
identifikasi politik yang terpisah dari Negara itu sendiri, dan ketidakpuasan
terhadap hasil pemerintahan dapat langsung ditujukan kepada institusi-institusi
spesifik daripada Negara itu sendiri.
Keempat, mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi. Di hamper semua Negara
demokratis, partai politik memainkan peran penting dalam mendapatkan orang
untukmemilih dan berpartisipasi dalam proses pemilihan. Partai politik
memainkan peran itu secara langsungdan tidak langsung. Proses langsung
melibatkan keaktifan organisasi pekerja partai untuk mendorong pemilihan. Partai
politik juga memobilisasi warganegara untuk terlibat dalam kampanye itu sendiri,
serta berpartisipasi dalam aspek-aspek lain proses demikrasi. Perasaan
keterikatanpartai adalah motivasi lebih lanjut untukmemilih dalam pemilihan dan
terlibat dalam aktivitas politik lainnya. Secara tidak langsung, usaha partai untuk
membuat partai politik lebih “user-friendly” menurunkan biaya pemilihan, dan
hasil partisan dari aktivitas pemilihan meningkatkan manfaat bagi masing-masing
pendukung partai.
Kedua adalah fungsi partai sebagai organisasi (partiesas organization). Pada
fungsi ini menunjuk pada fungsi-fungsi yang melibatkan partai sebagai organisasi
politik,l atau proses-proses didalam organisasi partai itu sendiri. Pada bagian ini
partai politik setidaknya memiliki 4 (empat)fungswi. Pertama, rekruitmen
kepemimpinan politik dan mencari pejabat pemerintahan. Fungsi ini sering
disebut sebagai salah satu fungsi mendasar dari partai politik. Pada fungsi ini,
partai politik aktif mencari, meneliti, dan mendesainkandidat yang akan bersaing
dalam pemilu. Desain rekruitmen kemudian menjadi aspek penting yang harus
dipikirkan partai untuk menjalankan fungsi ini. Kualifikasi siapa yang akan
diseleksi,siapa yang menyeleksi, diarena mana kandidat diseleksi, dan siapa yang
memutuskan nominasi; serta sejauhmana derajat demokratisasi dan desentralisasi
adalah pertanyaan-pertanyaan kunci dalam desain seleksikandidat (Rahatdan
Hazan, 2001; Hazan, 2006).
Kedua, pelatihan elit politik. Dalam fungsi ini, partai politik melakukan
pelatihan dan pembekalan terhadap elit yang prospektif untuk mengisi jabatan-
jabatan politik. Berbagai materi pelatihan dapat meliputi pemahaman tentang
proses demokrasi, norma-norma demokrasi, dan prinsip-prinsip partai,
sertaberbagai persoalan strategis yang dihadapi oleh bangsa dan pilihan-pilihan
kebijakannya. Fungsi ini dipercaya menjadi bagian vital kesuksesan kerja-kerja
dari system demokrasi.
Ketiga, pengartikulasian kepentingan politik. Kaum fungsionalis structural
menempatkan fungsi ini sebagai fungsi kunci dari partai politik. Pada fungsi ini,
partai politik menyuarakan kepentingan-kepentingan pendukungnya melalui
pilihan posisi dalam berbagai isu pollitik dan dengan mengekspresikanpandangan
pendukungnya dalam proses pemerintahan. Dalam konteks ini, partai politik tidak
jauh berbeda dengan kelompok kepentingan khusus yang juga mengartikulasikan
kepentingan politik. Meskipun demikian, sentralitas partai politik adalah
penstrukturan fungsi tersebut dalam kampanye politik, pengkontrolan debat
legislative, dan pengarahan langsung tindakan politisi untuk merepresentasikan
kepentingan pendukungnya.
Terakhir, pengagregasian kepentingan politik. Fungsi ini membedakan partai
dengan kelompok kepentingan, yaitu partai melakukan artikulasi dan agregasi
kepentigan sedangkan kelompok kepentingan terbatas pada artikulasi kepentingan
Sementara itu menurut Caton (2007:7), dalam Negara demokrasidari berbagai
fungsi partai politik yang ada sebenarnya terdapat 4 (empat) fungsi sentral partai
politik. Pertama adalah fungsi artikulasi kepentingan, yaitu mengembangkan
program-program dan kebijakan pemerintah yangkonsisten. Kedua, fungsi
agregasi kepentingan, memungut tuntutan masyarakat dan membungkusnya.
Ketiga, rekruitmen, yaitu menyeleksi dan melatih orang unuk posisi-posisi di
eksekutif dan legislative. Keempat, mengawasi dan mengontrol pemerintah.

Menurut Caton, ketiga fungsi yang pertama, yaitu artikulasi, agregasi, dan
rekruitmen, memainkan dua peran fundamental dimana partai politik bermain
dalam proses politi: mereka membentuk pemerintahan, atau mereka menjadi
oposisi akan menetukan bagaimana fungsi artikulasi, agregasi, dan rekruitmen
politik diekspresikan. Jika sebuah partai menjadi partai yang sedang berkuasa
maka fungsi artikulasi diwujudkan dalam bentuk melaksanakan kebijakan
pemerintah atau partai; fungsi agregasi diwujudkan dengan melanggengkan
dukungan kepada pemerintah; dan fungsi rekruitmen melanggengkan dukungan
kepada pemerintah; dan fungsirekruitmen diekspresikan dengan mengisi posisi-
posisi pemerintahan.
Fungsi-fungsi utama partaitersebut akandiekspresikan secara berbeda ketika
partai itu bukan mnenjadi bagian dari partai pemerintah atau partai penguasa.
Ketika sebuah partai menjadi partai yang bukan sedang memerintah atau partai
sedang menjadi oposisi maka fungsi partai diekspresikan sebagai berikut: pada
fungsi artikulasi kepentingan partai mengembangkan alternative kebijakan, pada
fungsi agregasi partai berusaha mendapat dukungan public untuk perubahan, dan
rekruitmen diekspresikan dengan membangun kelompok orang yang kompeten
sebagai alternative pejabat yang sedang berkuasa.
Relasi antara eksekutif dan legislatif adalah mutual-independen yang itu
terformulasikan dalam relasi “check and balances”.
BAB II
TIPOLOGI PARTAI POLITIK
Ada satu kesalahan fundamental yang sering dilakukan oleh banyak orang
terhadap realitas partai politik, yaitu semua partai politik dianggap sebagai entitas
yang sama atau tunggal, padahal tidak demikian adanya. Partai poitik adalah
entitas yang komplek. Antara satu partai dengan partai yang lainnya tidak selalu
sama. Kompleksitas realitas partai politikitu dapat disebabkan oleh asal-usul
pembentukan, orientasi partai, pengelolaan organisasinya dan sebagainya.
Kekeliruan cara pandang itu akhirnya berakibat pada beberapa hal. Pertama,
terjadi generalisasi dalam melihat perilaku partai politik. Perilaku partai politik
dalam rangka mencapai kekuasaan sering ditafsiri selalu memiliki motif-motif
yang sama. Kedua, analisis terhadap berbagai penyakit yang menggerogoti partai
sering didiagnosa secara salah. Ketiga, sebagai kelanjutan yang diagnose yang
salah, terapi yang diberikan kepada partai politik juga cenderung sama.
Akibatnya, bukannya penyakit yang diderita sebuah partai politik sembuh,
kebalikannya justru dapat membunuh partai politik itu sendiri.
A. Metode Klasifikasi
Kajian akademis mengenai partai politik telah menghasilkan beragam cara
dalam melakukan klasifikasitipologipartai politik. Secara ringkas, dalam
literature-literatus ilmu politik pada dasarnya ada tiga metodepengklasifikasian
partai politik yang pernah ditawarkan dan digunakan(Krouweldalam Katz dan
Crotty, 2006:250). Metode pertama dan paling sederhana adalah mendaftar tipe-
tipe partai politik dan merinci karakter utama masing-masing partai. Klasifikasi
Katz dan Mair yang membedakan partai politik kedalam empat tipologi, yaitu elit,
massa, catch-all, dan kartel, dan kemudian menemukan 13aspek yang
membedakanmasing-masing tipe partai politik masuk dalam metode ini.
Genus partai politik yang kemudian menurunkan spesies-spesies tertentu
partai politik adalah: partai berbasis elit, partai berbasis massa, partai berbasis
entitas, partai elektoralis, dan partai pergerakan. Genus partai berbasis elit
merupakan genus tertua dalam sejarah evolusi kepartaian. Sementara itu genus
partai pergerakan yang kemudian menghasilkan dua spesies partai, yaitu partai-
partai libertarian kiri dan partai-partai post-industrial atau partai kanan ekstrim,
adalah partai yang muncul dipenghujung tahun 1900-an dan awal tahun 2000-an.
Klasifikasi itudidasarkan pada tiga hal, yaitu: (1) sifat dari organisasi partai
(tebal/tipis, berbasis elit atau berbasis massa, dan sebagainya); (2) orientasi
progmatikpartai (ideologis, orientasi clientalis partikularistik, dan sebagainya); (3)
toleransi dan p;uralistik (atau demofrasi) versus proto-hegemonik (atau anti-
sistem)
Menurut krouwel, walaupun pada perkembangannya terdapat keterkaitan
yang tidak bisa disangkal tetapi penggunaan metode pengelompokkan tersebut
terlalu deterministik.

Berdasarkan kemiripan focus dan ciri-ciri khusus, Krouwel telah


mengelompokkan beragam tipe partai politik kedalam lima jenis dasar yaitu:

1. Partai elit, caucus dan kader;


2. Partai massa;
3. Partai catch-all, elektoralis;
4. Partai kartel; dan
5. Partai firma bisnis.
Keseluruhan tipologi yang selama ini diprbincangkan oleh mereka yang studi
tentang kepartaian dapat dimasukkan dalam salah satu dari lima tipe kepartaian
tersebut.
Secara historis, transformasi pembentukan model kepartaian tersebut
adalah sebuah proses dialektika, dimana setiap partai politik baru menciptakan
reaksi yang akhirnya akan menyebabkan munculnya tipologi partai politik yang
baru dan akan menimbulkan serangkaian reaksi yang lainnya.
Partai massa muncul sebagai hasil penyingkiran sejumlah besar warga
Negara secara politis oleh elit yang dominan dan partai kader pada zaman proto-
demokrasi diakhir abad ke-19 dan awal abd ke-20. Selanjutnya, setelah integrasi
politik para pengikutnya selesai dilakukan, maka partai massa akan berubah
menjadi partai catch-all pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Partai
massa secara perlahan menjadi organisasi professional, memoderasi tuntutan
transformasi social dan politiknya, dan mulai berusaha menjangkau pemilih diluar
pendukung asalnya.
B. Partai Kader
1. Dimensi asal-usul: dari dalam parlemen yaitu sebagai bagian dari elit yang
berkuasa distruktur parlemen yang berusaha mempertahankan eksistensinya
dipanggung politik.
2. Dimensi pemilih:
a. Pemilih terbatas dari kelas atas dengan mengandalkan kontak-kontak
personal elit partai atau jejaring elit partai itu sendiri
b. Basis social partai adalah kelas atas, dan rekruitmen elit politik dilakukan
atas inisiatif elit itu sendiri dengan kandidat dari kleas atas.
3. Dimensi ideology partai:
a. Basis kompetisi partai adalah status tradisioanl dari individu kandidat.
Posisi kandidat sebagai elit social politik menjadi basis partai dalam
berkompetisi dengan partai lain.
b. Usaha partai untuk melakukan perluasan kompetisi partai sangat terbatas.
Mereka sangat mengandalkan pada pesona basis status personal dan
kemakmuran yang dimiliki oleh individu-individu partai.
4. Dimensi organisasi:
a. Keanggotaaan partai atau posisi partai diakar rumput tidak eksis atau
minimal.
b. Posisi partai dikantor pusat adalah minimal. Eksistensi partai dikantor
pusat dibawah partai diranah public.
c. Posisi partai diranah public adalah inti dari organisasi partai. Artinya,
dinamika partai lebih ditentukan oleh eksistensi partai diranah publik.

C. Partai Massa
1. Asal-usul kelahiran partai ini adalah dari luar parlemen. Kelompok-kelompok
social yang ada diluar masyarakat berusaha memepengaruhi arah politik
Negara dengan cara masuk dalam struktur kekuasaan. Kelompok-kelompok
social itu ingin mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politiknya
sendiri.
2. Dimensi pemilih:
a. Pemilih muncul dari kelompok social khusus, agama atau etnis dari
pembilahan sosial seperti kelas, agama, dan aliran tertentu
b. Rekruitmen elit didasarkan atas kelas, agama, atau basis sosial partai
dengan komitmen berbasis idologi dan organisasi serta melalui sistem
pendidikan inner partai.
3. Dimensi ideologi partai
a. Basis bagi partai untuk berkompetisi dengan partai lain adalah ideblogi
dan perwakilan dari sebuah kelompok sosial.
b. Perluasan kompetisi partai adalah terpolarisasi dan kompetisinya bersifat
ideologis. Watak kompetisinya cenderung bersifat sentrifugal.
4. Dimensi organisasi:
a. Keanggotaan partai eksis. Kesukarelaan keanggotaan organisasi menjadi
inti dari partai
b. Posisi partai dikantor pusat adalah simbiosis antara partai di kantor pusat
dan partai di akar rumput
c. Posisi partai di ranah publik adaiah subjek dari kepemimpinan ekstra
parlementer. Eksistensi partai di ranah publik adalah eksekutor atas
aspirasi angota dan pelaksana keputusan partai di kantor pusat.

Merujuk pada Wolinetz, ciri terpenting lainnya dari partai massa adalah
berorientasi pada kebijakan (policy-seeking). Perdebatan untuik mengambil posisi
kebijakan sangat intensif, fokus dan melibatkan hampir semua level partai. 
Konsekuensinya, infrastruktur untuk mendukung kebijakan partai seperti biroriset
dan think thank sangat rapi dan kuat. Konsistensi asumsi posisi kebijakan dengan
ideologi partai sangat tinggi. Ketika kampanye pemilu tiba sangat kuat
menonjolkan program atau kebijakan dan strategi kampanye mengikuti kebijakan.
Penggunaan berbagai teknik baru dalam kampanye relatif terbatas
D. Partai Catch-all
1. Asal usul partai adalah transformasi dari partai massa. Partai ini adalah
pertalian atau penyatuan antara massa dengan kelompok kepentingan.
Dimensi pemilih
a. Kemunculan pemilih adalah dari kelas menengah, dan basis  sosialnya
melampaui kelompok pendukung inti. Basis sosial partai ini adalah
perluasan dari basis sosial partai massa.
b. Rekruitmen elit politik adalah rekruitmen eksternal, atau tidak mesti
pendukung inti partai, dengan beraneka ragam kelompok kepentingan
2. Dimensi ideologi
a. Basis kompetisi partai adalah kualitas manajemen sektor publik.
Sejauhmana berbagai persoalan publik dpat dikelola sedemikian rupa
sesuai dengan mood mayoritas pemiih.
b. Perluasan kompetisi partai dilakukan dengan kompetisi yang bersifat
sentripetal dalam teknikalitas.
3. Dimensi organisasi
a. Keanggotaan organisasi mengalami peminggiran. Peran dan aspirasi
anggota partai kurang penting. Posisi partai di ranah publik merupakan
tempat konsentrasi kekuasaan dan sumber-sumber kelompok partai
parlemen. 
Mengikuti konseptualisasi Wolinetz, partai catch-all atau elektoralis adalah
berorientasi pada pencari-suara (vote-seeking). Pada partai ini perdebatan tentang
kebijakan kurang begitu menonjol.

E. Partai Kartel 
Pada dasarnya tipe partai ini bercirikan peleburan partai di jabatan publik
dengan beberapa kelompok kepentingan yang membentuk kartel politik, dengan
tujuan utama mempertahankan kekuasaan eksekutif.
Dimensi pemilih
a. Kemunculan pemilih dan dukungan sosial adalah "regular clientele" yang
menyediaan pertukaran dukungan untuk kebi- jakan yang
menguntungkan.
b. Rekruitmen elit terutama dari dalam struktur negara (birokrat) Partai ini
berusaha mengambil pejabat-pejabat strategis negara untuk menjadi
bagian dari partai.
1. Dimensi ideologi
a. Basis kompetisi partai dalam berkompetisi dengan partai lain adalah
perawatan kekuasaan yang tumbuh dari pembagian Jabatan eksekutif. 
Dukungan kekuasaan pilar utama basis kompetisi partai.
b. Perluasan kompetisi partai dilakukan dengan penyebaran ketidaksesuaian
politik. Konflik menjadi simbolik, yaitu kompetisi artifisial dalam isu.
Sebuah isu dijadikan permainan untuk memperluas kekuasaarn.
2. Dimensi organisasi
a. Anggota menjadi sumber rekruitmen personal politik
b. Posisi partai di kantor pusat adalah simbiosis antara partai di kantor pusat
dan partai diranah publik
c. Konsentrasi kekuasaan di kepemimpinan partai parlemen dan
pemerintahan (partai diranah publik) 
Menurut Wolinetz, orientasi partai ini adalah pencari jabatan  (office-
seeking)  sehingga debat internal tentang kebijakan partai terbatas dan kalaupun
ada kurang fokus dan terbatas pada pimpinan partai atau komite kebijakan.
Konsistensi asumsi posisi kebijakan relatif rendah dan dalam kampanye tidak
menonjolkan kebijakan dengan pilihan strategi kampanye yang beresiko rendah.
Infrastruktur partai untuk mendukung kebijakan partaipun juga terbatas. 

F. Partai Firma Bisnis 


Kluster terakhir tipe-tipe partai politik ini masih relatif baru.  Tipe partai
politik yang mirip firma bisnis ini muncul dari inisiatif pribadi para entrepreneur
politik dan sebagian besar memiliki struktur perusahaan komersial. Image
pemimpin partai politik, ditambah beberapa isu hangat, dilemparkan ke pasar
pemilih yang sangat dinamis melalui sebuah organisasi profesional
1. Asal usul partai adalah inisiatif privat dari wirausahawan politisi.
2. Dimensi pemilih:
a. Pemilih dilihat sebagai pasar pemilih. Dengan demikian dukungan
pemilih terjadi dengan tingkat perpindahan tinggi. Pemilih adalah
konsumen, yaitu pemakai produk yang dihasilkan oleh partai
b. Rekruitmen elit adalah rekruitmen sendiri, inisiatif privat.
3. Dimensi ideologi
a. Basis kompetisi partai adalah issu dan personalitas individu partai
sebagai sebuah produk politik.
b. Perluasan kompetisi partai dilakukan dengan perjuangan permanen untuk
mendapatkan perhatian media secara terus menerus.
4. Dimensi organisasi
a. Keanggotaan partai minimal dan dianggap tidak relevan
b. Posisi partai di kantor pusat adalah minimal dan tidak relevan.
Kepengurusan partai tidak relevan untuk menggerakkan organisasi
c. Di wilayah publik tingkat otonomi individu enterprenuer politisi tinggi
dalam mempromosikan diri mereka 

Anda mungkin juga menyukai