Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. Nadhifah Khairunnisa’ Alfath

PENDAMPING :
dr. Ellya Yudianti

DOKTER INTERNSIP WAHANA RS AISYIYAH MUNTILAN


PERIODE 15 November 2020 – 14 Agustus 2021
KABUPATEN MAGELANG
Borang Portofolio

Nama Peserta: dr. Nadhifah Khairunnisa’ Alfath


Nama Wahana: RS Aisyiyah Muntilan
Topik: Digoxin toxicity
Tanggal (kasus): 26 Maret 2021
Nama Pasien: Ny.M/58 Tahun No. RM: 131565
Nama Pendamping: dr. Ellya Yudianti
Tanggal Presentasi : 14 April 2021

Tempat Presentasi: RS Aisyiyah Muntilan


Obyektif Presentasi:
■ Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
■ Diagnostik ■ Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja ■ Dewasa  Lansia  Bumil
 Deskripsi:
Seorang wanita berusia 58 tahun dengan keluhan nyeri perut
 Tujuan:
- Mampu mendiagnosis Intoksikasi digoksin
- Mampu memberikan penatalaksanaan awal pada kasus Intoksikasi digoksin
- Mampu memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang Intoksikasi digoksin
Bahan bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset ■ Kasus  Audit
Cara membahas:  Diskusi  Presentasi dan diskusi  Email  Pos
Data pasien: Nama: Ny.M/58 tahun Nomor Registrasi: 131565
Nama klinik: RS Aisyiyah Muntilan Telp : - Terdaftar sejak: 26 Maret 2021
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : Nyeri perut
2. Riwayat Kesehatan / Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut seluruh lapang, nyeri dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, memberat satu hari SMRS. Nyeri
dirasakan terus menerus disertai dengan mual (+) dan muntah (+) 1x, isi berupa makanan dan cairan, darah (-). Badan terasa tidak
nyaman (+), penurunan nafsu makan (+), demam (-), nyeri dada (-), keringat dingin (-), berdebar-debar (-), batuk (-), sesak nafas (-),
BAB cair (-), BAK tidak ada keluhan.
Pasien sedang dalam pengobatan CHF dan Atrial fibrilasi, biasa kontrol ke poli dr. Migi Sp.PD mengonsumsi obat : Digoksin tab 0.25
mg 1x1, Paracetmol tab 3x1, Megabal tab 1x1, Gitas Plus tab 2x1, Furosemide tab 1x1, Omeprazole caps 2x1, dan Candesartan tab 8 mg
1x1.
3. Riwayat Pengobatan: Pasien mengaku sudah melakukan pengobatan satu kali untuk keluhannya saat ini ke IGD RSAM,
diberikan obat suntik. Keluhan membaik sebentar kemudian muncul kembali.
4. Riwayat Kesehatan/Penyakit : CHF, Atrial fibrilasi rutin kontrol ke poli dalam, COVID-19 di bulan Desember, HT (-),
DM (-), penyakit ginjal (-), alergi (-).
5. Riwayat Keluarga : Tidak ditemukan anggota keluarga lain yang mengalami gejala ataupun riwayat s erupa dengan pasien.
6. Lingkungan sosial : Pasien seorang pedagang, tinggal bersama anaknya.
7. Skrining Covid-19: Demam (-), batuk (-), sesak (-), nyeri tenggorokan (-), anosmia (-), ageusia (-), riwayat berpergian
keluar kota dalam dua minggu (-), riwayat covid 19 (+) Desember.
8. Pemeriksaan fisik
Airway: Paten, clear, gurgling (-), snoring(-), stridor (-)
Breathing : Simetris, hiperventilasi (-), retraksi(-), cyanosis(-), paradoksikal (-), vesikuler (+)
Circulation : CRT<2”, akral hangat keempat ekstremitas, nadi radialis (+) kuat
VITAL SIGN
- Tekanan darah : 81/60 mmhg
- Frekuensi nadi : 69 x/menit -> Evaluasi 38 x/menit
- Frekuensi nafas : 25 x/menit
- Suhu : 36,5 oC
PEMERIKSAAN FISIK

a. Kepala : Simetris, mesosefal


b. Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), xeroftalmia (-/-)
c. Mulut &Tenggorokan : Mukosa basah, tonsil T1-T1, kripte (-), detritus (-), faring hiperemis (-)
d. Leher : KGB servikal tidak membesar, JVP tidak meningkat
e. Thoraks :
Cor I : ictus cordis tidak tampak

P: ictus cordis tidak kuat angkat


P: batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea parasternalis sinistra
batas jantung kiri bawah : spatium intercostale V linea axilaris anterior sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea parasternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea parasternalis dextra
(Kesan : Batas jantung kiri bawah melebar)
A : Bunyi jantung I-II, tunggal, mur-mur (-), gallop (-)
Pulmo I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor / sonor
A : SDV (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-)
f. Abdomen :
I : Datar, jejas (-), vulnus (-), distended (-), sikatrik (-)
A : Bising usus (+) dalam batas normal
P : Timpani (+)
P : Supel, nyeri tekan (+) seluruh lapang, defans muscular (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor dalam batas normal.
g. Genitourinaria : BAK normal, nyeri BAK (-)
h. Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), edem (-/-/-/-), CRT <2 S

9. Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan EKG pada tanngal 26/3/2021


Reverse tick dengan junctional rhytm

Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 26 Maret 2021

Hasil Satuan Nilai Normal


Pemeriksaan
Hemoglobin 10,3 (L) g/dL 11.7-15.5
Leukosit 14.8 (H) 103 /µL 3.6-11
Hematokrit 29.3 (L) Vol% 35-47
Eritrosit 3.84 106/µL 3.8- 5.2
Limfosit 4.3 (L) % 25-40
Monosit 9.2 (H) % 2-8
Segmen 86.5 (H) % 50-70
RDW-CV 13 % 10-20
Natrium 112.4 (L) mmol/L 135-147
Kalium 5.03 (H) mmol/L 3.5-5.0
Klorida 64.8 (L) mmol/L 95-105
SGOT 18 U/L 0-35
SGPT 8 U/L 0-35
Ureum 131.4 (H) mg/dL 16.6-48.5
Creatinin 5.98 (H) mg/dL 0.35-0.93
GDS 128 mg/dL <180
HBsAg-Rapid Negatif Negatif

Pemeriksaan Rontgen Thoraks pada tanngal 26 Maret 2021


Corakan bronchovasculer dalam batas normal, sinus costophrenicus dan diafragma baik, Cor CTR = 0,57
Kesan
Cardiomegali ringan
Pulmo dalam batas normal

Pemeriksaan Rapid test SARS CoV-2 pada tanggal 26/3/2021


Negatif

Diagnosis
Intoksikasi digoksin dengan Junctional Rhytm
Elektrolit Imbalance
Acute Kidney Injury (AKI)
Congestive Heart Failure (CHF)

Terapi
- Dopamine 5 mcg/menit
- Inj. Ketorolac 1A
- Inj. Pantoprazole 1 V
Konsul dr Chandra. Sp.JP, advice :
- Rujuk -> Tidak mendapatkan tempat hingga tanggal 27 Maret 2021
- Inf. NaCl 0,9% 2000cc/24jam
- Inj. Furosemide 2A/6jam.
- Dopamine 7 mcg/menit
- Salbutamol tab 3 x 2mg
- Laporkan urine output setiap 6 jam
- Konsul SP.PD
- Rawat HCU

Konsul dr.Migi Sp.PD, advice :


- Inf. NaCl 3% 500cc 10 tpm, cek ulang elektrolit setelah selesai korensi
- Apabila natrium masih dibawah 130, koreksi ulang dengan Inf. NaCl 3%
- Cek Ureum creatinine 3 hari kemudian, lapor saat ada hasil
- Belum perlu dilakukan HD
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis Intoksikasi digoksin
2. Penatalaksanaan awal pasien Intoksikasi digoksin
3. Penanganan lanjutan pasien Intoksikasi digoksin
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. Subyektif
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut seluruh lapang sejak 1 minggu yang lalu, memberat 1 hari SMRS. Mual (+) dan muntah (+)
1x, badan terasa tidak nyaman (+), penurunan nafsu makan (+). Sudah berobat belum membaik. Pasien dalam pengobatan CHF dan
Atrial fibrilasi, mengonsumsi obat : Digoksin tab 0.25 mg 1x1.
2. Objektif
- TD : 81/60 mmhg, HR : 69 x/menit -> evaluasi 38 x/menit, RR : 25 x/menit, T : 36,5 C
- Batas jantung kiri bawah melebar, bunyi jantung I-II, tunggal, mur-mur (-), gallop (-)
- Abdomen supel, BU (+) normal, nyeri tekan (+) seluruh lapang, defans muscular (-)
- HB : 10,3 AL : 14,8 Na : 112,4 K : 5,03 Cl :64,8 OT : 18 PT : 8 UR : 131,4 Cr: 5,98
- Rontgent : Cardiomegali ringan
- EKG : Scoop ST Depression dengan junctional rhytm
3. Assesment
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan Intoksikasi Digoksin irama junctional, Elektrolit Imbalance, AKI
4. Plan
- Inf. NaCl 20 tpm
- Inj. Ketorolac 1A
- Inj. Pantoprazole 1 V
Konsul dr Chandra. Sp.JP, advice :
- Dopamine 5 mcg/menit
- Rujuk
Edukasi:.
- Memberitahu keluarga pasien terkait dengan kondisi pasien dan penyakit yang dialaminya
- Memberitahu keluarga jika pasien akan diberikan penanganan awal kemudian dirujuk
- Memberikan informasi kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi

Follow Up 27/3/21
S : Nyeri perut berkurang, badan terasa lebih nyaman, penurunan nafsu makan (+), mual (-), muntah (-)
Tidak mendapatkan tempat rujukan
O : KU : Cukup, CM
TD : 98/31 mmHg, HR : 38 x/menit, T : 37 C, RR : 20 x/menit, SpO2 : 100%
Urine Output (09.00) : 150 cc
Urine Output (17.00) : 300 cc
Urine output (23.00) : 400 cc
Abd : BU (+) normal, supel, NT (+) menurun

A : Juntional Rhytm-Intoksikasi Digitalis, Elektrolit Imbalance, AKI, CHF

P:
Konsul dr. Chandra Sp.JP: Konsul dr. Migi Sp.PD, advice :
• Rawat HCU RSAM • Inf. NaCl 3% 500cc 10 tpm, cek ulang elektrolit
• Inf. NaCl 0,9% 2000cc/24jam setelah selesai korensi
• Inj. Furosemide 2A/6jam. • Apabila natrium masih dibawah 130, koreksi
• Dopamine 7 mcg/menit ulang dengan Inf. NaCl 3%
• Salbutamol tab 3 x 2mg • Cek Ureum creatinine 3 hari kemudian, lapor
• Insulin 15 UI + D40% 2 flash saat ada hasil
• Laporkan urine output
• Konsul SP.PD
- Memberitahukan kepada keluarga bahwa pasien tidak mendapatkan rujukan dan akan dirawat di ruang HCU RSAM
- Menjelaskan kepada keluarga terkait perawatan yang akan diterima oleh pasien

Follow Up 28/3/21
S : Nyeri perut (-), makan belum enak (+), mual (-), muntah (-), lemas (+)
O : KU : Cukup, CM
TD : 100/91 mmHg, HR : 51 x/menit, T : 36 C, RR : 21 x/menit, SpO2 : 100%
Abd : BU (+) normal, supel, NT (-)
Urine Output (05.00) : 350 cc (agak keruh)
Urine Output (13.00) : 750 cc (agak keruh)
Urine Output (19.00) : 1400 cc (agak keruh)
Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan
Natrium 129.4 (L) mmol/L 135-147
Kalium 3.9 mmol/L 3.5-5.0
Klorida 88.9 (L) mmol/L 95-105

A : Juntional Rhytm, Intoksikasi Digitalis, Elektrolit Imbalance, AKI, CHF


P: Konsul dr.Elipta Sp.PD, advice :
• Drip Furosemide 10 mg/jam • Inf. NaCl 3% 500cc 10 tpm
• Terapi lain lanjut • Cek Elektrolit dan ureum-creatinine setelah ko

Follow Up 29/3/21
S : Keluhan (-)

O : KU : Cukup, CM
TD : 97/52 mmHg, HR : 92 x/menit, T : 36,5 C, RR : 25 x/menit, SpO2 : 99%
Abd : BU (+) normal, supel, NT (-)
Urine Output (05.00) : 350 cc keruh
Urine Output (13.00) : 1300 cc keruh
Urine Output (19.00) : 1100 cc keruh

Hasil Satuan Nilai Normal


Pemeriksaan
Natrium 137.1 mmol/L 135-147
Kalium 3.03 (L) mmol/L 3.5-5.0
Klorida 95.2 mmol/L 95-105
Ureum 72.8 (H) mg/dL 16.6-48.5
Kreatinin 1.68 (H) mg/dL 0.35-0.93

Pemeriksaan Urinalisa Hasil Nilai Rujukan


Warna Kuning Kuning muda – kuning
Kekeruhan Sangat Keruh Jernih
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Reduksi Positif Negatif
Protein Negatif Negatif
Blood +++ Negatif
pH 6,5 4,5 – 8,0
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit +++ Negatif
Berat Jenis 1,010 1,005 – 1,030
Sedimen
Eritrosit 2+/LPB 1-3
Leukosit 2+/LPB 1-3
Sel Epitel 1+ 0-5
Bakteri 2+ Negatif
Kristal (1+) Ca Oksalat Muda
Silinder Granula (+)

A : Juntional Rhytm, Intoksikasi Digitalis, Elektrolit Imbalance, CHF, AKI, Infeksi Saluran Kemih (ISK)
P:
• Stop Dopamine
• Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam
• Inj. Ondancetron 1 A/12 jam
• Curcuma 3x1
• Pindah Bangsal
• Terapi lain lanjut
Follow Up 30/3/21
S : Nyeri lengan kiri bekas alat tensi
O : KU : Cukup, CM
TD : 90/56 mmHg, HR : 60 x/menit, T : 36,6 C, RR : 24 x/menit
Abd : BU (+) normal, supel, NT (-)
Eks : Jejas (-), edem (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2 S
A : Juntional Rhytm, Intoksikasi Digitalis, Elektrolit Imbalance, CHF, AKI, ISK, Mialgia
P : Tatalaksana Sp.JP lanjut

Follow Up 31/3/21
S : Nyeri lengan kiri
O : KU : Cukup, CM
TD : 88/64 mmHg, HR : 80 x/menit, T : 36 C, RR : 20 x/menit, SpO2 : 97%
A : Juntional Rhytm, Intoksikasi Digitalis, Elektrolit Imbalance, CHF, AKI, ISK, Mialgia

P:
• BLPL
• Cefixime tab 200 mg 2 dd tab 1
• Paracetamol tab 500 mg 3 dd tab 1
• Alpentin caps 100 mg 1 dd caps 1
• Curcuma tab 3 dd tab 1
• Mecobalamin tab 1 dd tab 1

TINJAUAN PUSTAKA

INTOKSIKASI DIGOKSIN

Digoksin merupakan obat yang termasuk dalam kategori glikosida jantung (cardiac glycosides). Glikosida jantung mengandung lima sampai
enam cincin lakton yang melekat pada nukleus steroid. Dari lebih dari 300 senyawa digitalis yang diketahui, dua produk yang sering
digunakan adalah: digoksin dan ouabain. Ouabain berasal dari tanaman Strophanthus gratus, sedangkan digoksin berasal dari daun foxglove
(Digitalis purpurea). Meskipun efisiensi medis dari Digitalis purpurea ditemukan pada tahun 1785 oleh dokter medis Inggris William
Withering, baik digoksin dan Ouabain telah digunakan untuk tujuan pengobatan selama lebih dari 2000 tahun. Sebagai seorang dokter dan
ahli botani, Dr. Withering menyadari pengobatan untuk penyakit retensi cairan yang berlebihan. Dia percaya bahwa digitalis menghasilkan
efek diuretik pada mereka dengan denyut nadi yang tidak teratur, lemah, dan edema (Ibrahim NAM, 2019).

Digoksin merupakan salah satu obat yang digunakan untuk mengobati gagal jantung saat gejala menetap meskipun telah digunakan obat lain.
Obat ini juga digunakan saat terjadi atrial fibrilasi untuk mengurangi denyut ventrikel (Pincus M, 2016). Untuk gagal jantung, kisaran yang
direkomendasikan untuk konsentrasi digoksin serum telah dikurangi dari 0,8–2,0 nanogram/mL menjadi 0,5–0,9 nanogram/mL (Yancy CW et
al., 2013). Hal ini disebabkan karena terdapat bukti jika hasil lebih baik didapatkan pada konsentrasi yang lebih rendah. Meskipun begitu,
apakah dosis ini dapat diterapkan pada pasien atrium fibrilasi tanpa gagal jantung masih belum diketahui. Toksisitas digoksin dapat muncul
selama terapi jangka panjang maupun setelah overdosis. Toksisitas dapat terjadi bahkan ketika konsentrasi digoksin serum berada dalam
kisaran terapeutik (Pincus M, 2016).

Epidemiologi

Penggunaan digoksin telah menurun sejak tahun 1990-an. Meskipun insiden toksisitas digoksin per populasi telah menurun, namun insiden
perpasien yang mendapatkan pengobatan dengan digoksin sangat mungkin tidak berubah (Pincus M, 2016). Australian Institute of Health and
Welfare melaporkan bahwa toksisitas glikosida jantung sebagai diagnosis di rumah sakit berjumlah 280, 233 dan 139 pasien masing-masing
pada 1993–94, 2003–04 dan 2011–12. Toksisitas kronis jauh lebih umum terjadi daripada toksisitas akut (Lapostolle F et al., 2008)

Farmakologi Digoksin
Digoksin terdiri dari gugus gula (glikon) dan cardenolide (aglikon); rumus molekulnya adalah C 41H64O14, dengan berat molekul 780,95 Da.
Digoksin dianggap sebagai salah satu racun teratas di dunia karena: i) Ketersediaan yang luas, dan, ii) Jendela terapi yang sempit (Rocco TP
et al., 2006).

Bioavailabilitas digoksin bervariasi tergantung pada dosisnya. Dalam bentuk tablet, bioavailabilitas berkisar antara 60% hingga 80%; nilai
70% sering digunakan sebagai standar, dalam bentuk kapsul soft-gelatin, digoksin tampaknya terserap sepenuhnya (bioavailabilitas = 100%).
Sementara saat diberikan secara intravena, diketahui bioavailabilitas digoksin sebesar 100%. Obat-obatan seperti klaritromisin, eritromisin,
dan itrakonazol dapat meningkatkan bioavailabilitas digoksin sementara produk seperti arang, kolestiramin, dan St. John's wort dapat
mengurangi bioavailabilitas digoksin. Berdasarkan berat badan ideal, volume rata-rata distribusi digoksin adalah sekitar 7,3 l/kg (Ibrahim
NAM, 2019).

Meskipun konsentrasi digoksin serum dapat memprediksi terjadinya toksisitas, terdapat beberapa kondisi yang meningkatkan sensitivitas
terhadap digoksin. Hal inilah yang menjelaskan terjadinya toksisitas pada beberapa pasien ketika konsentrasi digoksin serum dalam kisaran
terapeutik (Pincus M, 2016). Kondisi tersebut termasuk hipokalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia, iskemia miokard, hipoksemia dan
gangguan asam-basa (Yang EH et al., 2012). Tingkat terapeutik digoksin mungkin lebih rendah pada orang yang menderita gagal jantung
dibandingkan dengan orang pada umumnya (0,5-2 ng/ml). Namun, efek digoksin untuk mengontrol denyut jantung pada atrial fibrilasi
mungkin memerlukan level yang lebih tinggi dari kisaran tersebut. Dengan demikian, pengukuran konsentrasi serum digoksin diperlukan saat
memantau obat ini untuk memastikan penggunaannya yang aman dan efektif. Pengukuran rutin kadar digoksin harus dilakukan setelah
keadaan stabil tercapai. Keadaan stabil diasumsikan terjadi setelah 3-5 waktu paruh dari rejimen dosis yang konsisten. Pada pasien dengan
fungsi ginjal normal, kondisi stabil pasien yang menerima terapi digoksin dicapai setidaknya setelah 7-10 hari pengobatan, sementara pada
pasien penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), kondisi stabil akan tercapai dalam 15-20 hari. Akan tetapi, jika seseorang harus menggambar
level serum lebih cepat untuk masalah praktis, pengukuran 4 jam setelah dosis intravena atau 6 jam setelah dosis oral dapat dilakukan
(Ibrahim NAM, 2019).
Setelah mengonsumsi digoksin, distribusi obat tersebut ke jaringan membutuhkan waktu beberapa jam. Hal tersebut membuat konsentrasi
digoksin serum tidak akurat kecuali diminum setidaknya enam jam setelah dosis terakhir. Hanya pengukuran pasca-distribusi yang
mencerminkan tingkat keparahan intoksikasi dan pengukuran tersebut yang dapat membantu saat menghitung dosis antibodi spesifik digoksin
(Kanji S & MacLean, 2012).

Secara keseluruhan, metabolic clearance digoksin rata-rata sekitar 0,8 ml/kg/menit. Renal clearance dari digoksin umumnya setara dengan
creatinine clearance (Ibrahim NAM, 2019). Transportasi oleh P-glikoprotein juga berkontribusi pada eliminasi (Bauman JL et al., 2006).
Akibatnya, konsentrasi digoksin serum akan lebih tinggi pada pasien dengan gangguan ginjal, orang yang memiliki berat badan lebih rendah,
dan pada mereka yang memakai amiodaron, verapamil, makrolide, antijamur azol dan siklosporin, yang menghambat transportasi P-
glikoprotein (Yang EH, 2012). Karena proses eliminasi digoksin utamanya terjadi pada renal clearance, maka proses tersebut berlangsung
lama pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, t1/2 digoksin berkisar 36-48 jam. Sementara pada mereka
dengan insufisiensi ginjal, t1/2 dapat meningkat menjadi 6 hari (Ibrahim NAM, 2019).

Digoksin secara tidak langsung meningkatkan kalsium intraseluler pada sel miokard, dengan cara menghambat pompa natrium-kalium di
membran sel. Peningkatan kalsium intraseluler meningkatkan kontraktilitas jantung, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya takiaritmia
(Bauman JL et al., 2006). Penghambatan pompa natrium-kalium menyebabkan hiperkalemia yang biasa terlihat saat terjadi toksisitas. Selain
itu, digoksin juga menyebabkan peningkatan aktivitas vagal, mengurangi aktivitas di nodus sinus dan memperpanjang konduksi di nodus
atrioventricular (Pincus M, 2016).

Mekanisme Kerja Digoksin


Mekanisme kerja digoksin meliputi efek pada denyut dan ritme jantung, serta kekuatan kontraksi jantung. Perlambatan denyut dan ritme
jantung berkaitan dengan dampak digoksin pada sistem saraf pusat (SSP) yang menyebabkan peningkatan aktivitas vagal sehingga
memperlambat konduksi di nodus atrioventrikular (AV). Peningkatan kekuatan kontraksi jantung dikaitkan dengan ikatan digoksin ke pompa
Na+/K+-ATPase. Dengan mengikat tempat pengikatan pompa K +, digoksin menyebabkan penghambatan pompa tersebut. Akibatnya terjadi
kenaikan konsentrasi Na+ yang menyebabkan perlambatan effluks Ca+2 melalui Na+/Ca+2 dan peningkatan relatif Ca+2 intraseluler. Kenaikan
Ca+2 meningkatkan potensi aksi sel jantung dengan lebih banyak aktivasi mesin kontraktil (Rang HP et al., 2006).

Kontrol laju ventrikel dalam atrial fibrilasi telah lama dilakukan dengan digoksin. Sayangnya, digoksin tidak efektif saat mengontrol laju
ventrikel pada atrial fibrilasi selama olahraga. Meskipun demikian, digoksin masih umum digunakan pada atrial fibrilasi. Digoksin merupakan
pilihan terapeutik pada pasien lanjut usia dengan atrial fibrilasi karena tidak seperti obat alternatif lain (misalnya, Ca +2 channel blockers dan β
blockers), digoksin tidak menyebabkan hipotensi atau memiliki efek inotropik negatif. Namun, kehati-hatian disarankan karena mungkin
terdapat interaksi obat potensial dengan digoksin pada orang tua. Dalam uji klinis yang mengevaluasi pasien lansia dengan toksisitas,
toksisitas 12 kali lebih mungkin terjadi pada lansia yang menggunakan klaritromisin pada minggu sebelumnya. Akan tetapi, asalkan dosisnya
disesuaikan dengan fungsi ginjal pada pasien usia lanjut, digoksin bisa menjadi terapi yang murah dan dapat ditoleransi dengan baik. Digoksin
juga dapat diberikan pada pasien dalam pengobatan gagal jantung. Digoksin telah terbukti bermanfaat untuk mengontrol irama sinus pada
pasien dengan gagal jantung ringan sampai sedang. Terapi digoksin memperbaiki gejala klinis, seperti fraksi ejeksi, detak jantung, dan
kapasitas latihan sedangkan penghentian digoksin mengakibatkan perburukan secara klinis seperti penurunan fungsi sistolik dan
memburuknya kapasitas latihan. Pedoman praktik terbaru untuk pengobatan gagal jantung merekomendasikan untuk mempertimbangkan
penambahan digoksin pada pasien dengan gejala persisten selama terapi dengan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI), β blocker,
dan diuretik. Digoksin juga dapat ditambahkan ke rejimen awal pada pasien dengan gejala berat yang tidak berespon dengan pengobatan
diuretik, ACEI, atau β blocker (Ibrahim NAM, 2019).
Konsentrasi serum digoksin yang lebih tinggi dari 1,2 ng/ml menyebabkan peningkatan risiko mortalitas pada pasien gagal jantung. Dengan
demikian, kisaran terapeutik konsentrasi serum digoksin yang saat ini direkomendasikan untuk pengobatan gagal jantung adalah 0,5-0,9
ng/ml. Meskipun digoksin secara historis digunakan dalam pengobatan gagal jantung untuk efek inotropik positifnya, efek neurohormonal
digoksin mungkin sama atau lebih penting. Digoksin memiliki efek pada sistem saraf otonom dengan memperbaiki disfungsi otonom pada
gagal jantung, yang ditunjukkan dengan penurunan kadar norepinefrin plasma hingga 42%. Efek digoksin telah terbukti pada pasien gagal
jantung, bahkan ketika pasien tetap dalam irama sinus, menunjukkan bahwa efek menguntungkan tidak berhubungan dengan pengobatan
aritmia (Ibrahim NAM, 2019).

Interaksi Obat Digoksin

Digoksin berinteraksi dengan berbagai macam obat. Salah satu mekanisme interaksi obat dengan digoksin adalah perubahan absorpsi akibat
peningkatan waktu kontak di usus halus. Hal ini dapat terjadi dengan penggunaan digoksin bersamaan dengan agen antikolinergik seperti
atropin, diphenhydramine, fenotiazin, skopolamin, dan benztropin, yang memperlambat motilitas gastrointestinal. Dua mekanisme lain yang
diyakini menyebabkan interaksi obat dengan digoksin adalah inhibisi P-glikoprotein, yang terletak di brush border tubulus proksimal, dan
penghambatan metabolisme digoksin karena kekurangan Eubacterium lentum di traktus gastrointestinal. Antibiotik seperti klaritromisin,
eritromisin, dan tetrasiklin mengubah flora usus sehingga menurunkan metabolisme digoksin yang meningkatkan kadar digoksin. Antiaritmia
seperti amiodarone, quinidine, dan verapamil menghambat P-glikoprotein di ginjal yang menyebabkan penurunan renal clearance ginjal.
Digoksin dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam jiwa, yang mana menyebabkan interaksi dengan obat-obatan yang
mempengaruhi homeostasis kalium, seperti ACEI, angiotensin II receptor blockers (ARB), spironolakton, eplerenon, dan suplemen kalium
(Ibrahim NAM, 2019).
Faktor Risiko Intoksikasi Digoksin

Pasien yang memiliki risiko tertinggi intoksikasi digoksin adalah mereka yang mengalami gagal ginjal, gagal jantung, dan dehidrasi. Selain
itu, pasien dengan hipokalemia, hipomagnesemia, dan hiperkalsemia juga terbukti meningkatkan risiko terjadinya aritmia yang diinduksi oleh
digoksin. Mekanisme peningkatan risiko terjadinya toksisitas digoksin akibat hipokalemia diakibatkan karena ketika K + rendah, lebih banyak
tempat pengikatan K+ terbuka untuk berikatan dengan digoksin, meningkatkan konsentrasi efektif digoksin di dalam jantung (Ibrahim NAM,
2019).

Selain itu, usia lanjut juga dapat menjadi salah satu factor risiko terjadinya intoksikasi. Menurut penelitian, ketika digoksin (0,5 mg) diberikan
secara intravena kepada sekelompok pria lanjut usia (usia rata-rata 77 tahun) dan pria muda (usia rata-rata 27 tahun), kreatinin serum orang
tua dan muda tidak berbeda. Namun, creatinine clearance pada kelompok yang lebih tua hanya sekitar setengah dari kelompok yang lebih
muda, dan konsentrasi digoksin dalam darah secara signifikan lebih tinggi pada orang tua (P <0,05). Pada orang tua, dosis digoksin yang sama
menghasilkan konsentrasi darah yang lebih tinggi dan waktu paruh darah lebih lama. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh yang lebih kecil
dan ekskresi digoksin urin yang lebih sedikit pada orang tua (Ewy GA, 2015).

Penegakan Diagnosis

Manifestasi klinis dari toksisitas seringkali tidak spesifik. Beberapa gejala yang dapat terjadi antara lain letargis, bingung, dan gejala
gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, diare, dan nyeri perut) (Yang EH et al., 2012). Efek visual (penglihatan kabur, gangguan warna,
halo dan skotoma) jarang terjadi. Aritmia jantung menyebabkan sebagian besar kematian (Pincus M, 2016).

Aritmia dapat terjadi meskipun pasien tidak menunjukkan gejala. Hampir semua aritmia dapat terjadi, kecuali atrial takiaritmia dengan
respons ventrikel yang cepat, karena hal tersebut biasanya memerlukan konduksi utuh di nodus atrioventrikular. Aritmia khas adalah aritmia
di mana takiaritmia terjadi bersamaan dengan supresi nodus sinus atau atrioventrikular, seperti atrial dan takikardia junctional dengan blok
atrioventrikular. Dengan toksisitas yang parah, ventricular takikardia (yang mungkin terjadi dua arah) dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi.
Namun, sinus bradikardia, blok atrioventrikel dan ektopi ventrikel lebih sering terjadi. 'Reverse tick' Inversi gelombang-T bukanlah tanda
toksisitas (Pincus M, 2016).

Bradikardia dan AV blok merupakan kondisi yang diperkirakan karena mekanisme kerja digoksin. Penghambatan pompa Na +/K+ -ATPase
oleh digoksin menyebabkan peningkatan Ca+2 intraseluler. Peningkatan Ca+2 menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi atau inotropi. Pada
toksisitas berat, terjadi hiperkalemia parah dan bradikardia ekstrem. Hiperkalemia terjadi akibat dari penghambatan digoksin dari aktivitas
Na+/K+ -ATPase di otot rangka. Ketika kadar digoksin dalam tubuh meningkat, efek samping akibat penumpukan di system saraf pusat dapat
terjadi. Beberapa dari efek samping ini termasuk penglihatan kabur, xanthopsia (gangguan penglihatan warna), dan neuritis optik retrobulbar.
Efek tambahan yang mungkin terlihat karena mediasi SSP oleh digoksin termasuk mual, muntah, takipnea (peningkatan laju pernapasan),
eksitasi, nyeri kepala, malaise, mengantuk, pusing, sakit perut, kebingungan, halusinasi, dan apatis (Ibrahim NAM, 2019). Gejala toksisitas
jantung mungkin muncul sebelum gejala non-jantung (Hirata S, et al., 2016).

Kadar digoksin plasma dapat digunakan untuk memonitor toksisitas dan sebagai petunjuk dosis pengobatan yang tepat. Kadar terapi
bervariasi antara 0,6-1,3 ng/mL. Pengukuran konsentrasi glikosida dalam plasma atau serum, bersamaan dengan perkiraan konsentrasi kalium
dalam plasma akan sangat membantu penegakan diagnosis. Apabila konsentrasi kalium normal, sangat tidak mungkin terjadi intoksikasi
digoksin dengan konsentrasi digoksin di bawah 2 ng/ml, sedangkan intoksikasi sangat mungkin terjadi bila kadar digoksin dalam serum di
atas 4 ng/ ml. Meskipun begitu pada pasien dengan kadar kalium di bawah normal, kadar glikosida antara di bawah 2 ng/ml mungkin masih
dapat dikaitkan dengan intoksikasi. Cara yang terbaik adalah dengan memantau kadar digoksin dan menghubungkannya dengan kadar kalium
dan manifestasi klinis dan gambaran EKG. Kadar digoksin yang diukur sebelum 6-8 jam setelah proses cerna mencerminkan distribusi awal
obat akan tetapi bukan kadar dalam jaringan yang sebenarnya dan tidak bisa menjadi prediktor adanya intoksikasi. Waktu paruh dalam plasma
memendek menjadi 10-25 jam pada pencernaan secara akut dan masif, dibandingkan dengan pada proses cerna yang tidak toksik yaitu 36 jam
(Suprobo DH et al., 2011).
Tatalaksana

Tidak ada pedoman berbasis bukti untuk tatalaksana intoksikasi digoksi ringan hingga sedang, sehingga terdapat variasi yang luas dalam
pengobatan. Sementara Toksisitas berat memerlukan perawatan di rumah sakit dan pertimbangan kebutuhan akan fragmen antibodi spesifik
digoksin (Digoxin immune Fab) (Pincus M, 2016).

Arang aktif (activated charcoal-AC) dapat digunakan dalam pengobatan intoksikasi digoksin dan dapat menyebabkan penurunan kadar
digoksin 30-40% dalam waktu 12-18 jam. Berbeda dengan penggunaan antibodi digoksin, penurunan kadar digoksin yang dihasilkan oleh
arang aktif tidak sepenuhnya membalikkan efek terapeutik digoksin pada pasien dengan penyakit jantung. Hal tersebut membuat arang aktif
mungkin merupakan salah satu obat pilihan yang menguntungkan pada pasien dengan konsentrasi digoksin tidak melebihi kisaran terapeutik
secara signifikan dan pada pasien yang memperoleh manfaat dari perawatan medis konservatif. Selain itu, perawatan suportif seperti
pemberian kalium, penghentian terapi digoksin, serta penilaian kadar magnesium dan kalsium harus dilakukan sesuai kondisi klinis pasien
(Fee WH, 2008).

Digoxin immune Fab diperkenalkan pada 1970-an dan digunakan untuk pengobatan toksisitas atau overdosis digoksin yang mengancam jiwa.
Dua produk yang saat ini tersedia adalah DigiBind dan DigiFab. Produk ini berasal dari telur, dikumpulkan dan dimurnikan dari domba dan
diimunisasi menggunakan albumin manusia yang dikonjugasikan dengan digoksin. Molekul digoksin mengikat fragmen antibodi,
membuatnya tidak mungkin berikatan dengan reseptornya. Kompleks antibodi digoksin kemudian dieliminasi melalui renal. Indikasi
pemberian digoxin immune Fab antara lain;

a. konsumsi akut digoksin >10 mg pada orang dewasa atau >4 mg pada anak-anak,
b. konsumsi kronis digoksin yang menyebabkan kadar serum >6 ng/ml pada orang dewasa atau >4 ng/ml pada anak-anak,
c. manifestasi intoksikasi digoksin yang mengancam jiwa, seperti aritmia ventrikel berat, bradikardia progresif, blok jantung derajat dua
atau tiga yang tidak responsif terhadap atropin,
d. kadar K+ serum melebihi 5 mEq/L pada orang dewasa atau 6 mEq/L pada anak-anak (hiperkalemia yang signifikan merupakan
indikasi kuat untuk pengobatan karena hubungannya dengan a prognosis buruk jika fragmen antibodi spesifik digoksin tidak
diberikan)
e. henti jantung
f. terdapat bukti adanya disfungsi organ akhir
g. gejala gastrointestinal sedang hingga berat
h. terdapat gambaran klinis yang signifikan dari intoksikasi digoksin dengan konsentrasi digoksin serum> 1,6 nanogram/mL (Pincus M,
2016; Ibrahim NAM, 2019).

Satu vial digoxin immune Fab akan mengikat sekitar 0,5 mg digoksin. Oleh karena itu, dosis digoxin immune Fab didasarkan pada jumlah
kelebihan digoksin yang diyakini pada pasien. Dalam beberapa kasus, jumlah kelebihan digoksin dapat diketahui, seperti dalam kasus
percobaan bunuh diri atau tertelan secara tidak sengaja oleh seorang anak. Namun, dalam kasus konsumsi kronis, jumlahnya mungkin lebih
sulit untuk dipastikan, terutama karena toksisitas mungkin telah berkembang seiring dengan perubahan fungsi ginjal. Untuk menghitung dosis
digoxin immune Fab pada pasien yang mengalami konsumsi digoksin akut, seseorang harus terlebih dahulu menentukan total body load
digoksin. Hal tersebut dapat dihitung dengan mengalikan jumlah digoksin yang tertelan (dalam mg) dengan bioavailabilitas produk yang
tertelan (0,7 untuk tablet). Sementara untuk menentukan total body load digoksin (dalam mg) pada pasien yang mengalami keracunan akibat
konsumsi digoksin kronis, seseorang harus mengalikan kadar digoksin serum (dalam ng/ml) dengan volume distribusi digoksin (7,3 l/kg)
dengan berat badan ideal pasien (dalam kg) dan dibagi 1.000. Setelah body load digoksin ditentukan, jumlahnya harus dibagi 0,5, untuk
memperhitungkan perkiraan jumlah digoksin yang dinetralkan oleh satu vial digoxin immune Fab, agar dapat menentukan jumlah vial digoxin
immune Fab yang harus diberikan (Ibrahim NAM, 2019). Apabila konsentrasi digoksin serum pasca-distribusi atau jumlah yang tertelan tidak
diketahui, gunakan dosis empiris. Ulangi dalam 30 menit jika responsnya tidak adekuat. Dosisnya untuk orang dewasa dan anak-anak dengan
berat lebih dari 20 kg adalah lima vial (saat hemodinamik stabil) atau 10 vial (apabila hemodinamik tidak stabil), untuk anak-anak kurang dari
20 kg, berikan satu vial (Pincus M, 2016).

Volume distribusi digoxin immune Fab sekitar 0,35 l/kg, menunjukkan penetrasinya ke dalam ruang ekstraseluler. T 1/2 digoxin immune Fab
dilaporkan berkisar antara 15-30 jam (Ibrahim NAM, 2019). Parameter farmakokinetik ini penting karena jika seluruh dosis digoxin immune
Fab diberikan pada satu waktu, zat tersebut dapat tereliminasi dari tubuh sebelum digoksin mengalami re-ekuilibrasi dari jaringan yang lebih
dalam, dan tingkat kompleks antibody-digoksin yang optimal terjadi. Untuk alasan ini, telah direkomendasikan bahwa setengah dari dosis
digoxin immune Fab yang telah dihitung perlu diberikan saat awal pemberian, baik dalam situasi intoksikasi akut maupun kronis, diikuti
dengan dosis tambahan yang diberikan dalam 1-2 jam jika tidak terdapat respons klinis atau dalam 6 -12 jam jika toksisitas berulang
(Bateman DN, 2004).

Orang yang alergi terhadap produk domba atau ovine berisiko mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap digoxin immune Fab. Selain itu,
karena papain digunakan dalam proses produksi digoxin immune Fab, pasien dengan hipersensitivitas terhadap papain, chymopapain, atau
ekstrak pepaya lain, mungkin berisiko mengalami suatu reaksi. Manfaat menggunakan produk ini pada pasien-pasien tersebut harus
dipertimbangkan terhadap risikonya (Ibrahim NAM, 2019).

Tatalaksana lain untuk intoksikasi berat harus dipertimbangkan sebagai tindakan sementara atau tindakan tambahan, dibandingkan sebagai
alternatif untuk fragmen antibodi spesifik digoksin. Hiperkalemia akan membaik dengan pemberian fragmen antibodi spesifik digoksin, dan
pengobatan konvensional seperti kalsium umumnya tidak diperlukan atau berbahaya. Jika pasien mengalami hipokalemia berat dan intoksikas
digoksin, penting untuk mengoreksi kalium serum. Lignokain dapat digunakan untuk takiaritmia ventrikel dan atropin untuk bradiaritmia.
Kardioversi, yang dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel, harus dihindari. Pada kondisi henti jantung, upaya resusitasi harus dilanjutkan
minimal 30 menit setelah pemberian fragmen antibodi spesifik digoksin (Pincus M, 2016).
Terapi ulang Digoksin

Saat mempertimbangkan untuk memulai kembali terapi dengan digoksin, pertama-tama tentukan apakah indikasi pasien untuk penggunaan
dan target konsentrasi digoksin serum konsisten dengan pedoman saat ini. Digoksin dapat dilanjutkan setelah menyesuaikan dosis untuk
perubahan target konsentrasi serum, fungsi ginjal dan berat badan jika diperlukan. Pemberiannya harus ditunda sampai semua fragmen
antibodi spesifik digoksin telah dibersihkan, yang akan memakan waktu hingga seminggu, namun dapat jauh lebih lama dengan adanya
disfungsi ginjal (Pincus M, 2016).
Daftar Pustaka

Australian Institute of Health and Welfare. Principal diagnosis data cubes. 2013. www.aihw.gov.au/hospitals-data/principal-diagnosis-data-
cubes.
Bateman DN. Digoxin-specific antibody fragments: How much and when? Toxicological Reviews. 2004; 22:135 -143.
Bauman JL, Didomenico RJ, Galanter WL. Mechanisms, manifestations, and management of intoksikasi digoksin in the modern era. Am J
Cardiovasc Drugs. 2006; 6:77-86.
Ewy GA. Digoxin: The Art and Science. The American Journal of Medicine. 2015;128:1272-1274.
Fee WH. Activated charcoal safe and effective for intoksikasi digoksin. American Journal of Medicine. 2008; 116 :430.
Hirata S, Izumi S, Furukubo T, et al. Interactions between clarithromycin and digoxin in patients with end-stage renal disease. International
Journal of Clinical Pharmacology and Therapeutics. 2016; 43:30- 36.
Kanji S, MacLean RD. Cardiac glycoside toxicity: more than 200 years and counting. Crit Care Clin. 2012; 28:527-35.
Lapostolle F, Borron SW, Verdier C, Arnaud F, Couvreur J, Mégarbane B, et al. Assessment of digoxin antibody use in patients with elevated
serum digoxin following chronic or acute exposure. Intensive Care Med. 2008; 34:1448-53.
Pincus P. Management of intoksikasi digoksin, Aust Prescr. 2016; 39(1): 18–20.
Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Gardner P. Pharmacology. New York: Churchill Livingstone, 2006.
Rocco TP, Fang JC, Roden DM. Cardiac glycosides. In L. L. Brunton, J. S. Lazo & K. L. Parker KL (Eds.), Goodman & Gilman's the
pharmacological basis of therapeutics (11th ed). New York: McGraw-Hill, 2006, 886-889, 921-923.
Suprobo DH, Siswanto BB, Yuniadi Y, Harimurti GM. Intoksikasi Digoksin: Bagaimana Cara Mengenali Dan Penatalaksanaannya. Jurnal
Kardiologi Indonesia. 2011;32(1):36-41.
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Jr, Drazner MH, et al. American College of Cardiology Foundation. American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. 2013 ACCF/AHA guideline for the management of heart failure: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013;
62:e147-239.
Yang EH, Shah S, Criley JM. Digitalis toxicity: a fading but crucial complication to recognize. Am J Med. 2012; 125:337-43.

Anda mungkin juga menyukai