Anda di halaman 1dari 25

PENATAAN RUANG

1. Tata Ruang Sebagai Hasil Dari Proses Alam dan Proses Sosial

Secara alamiah, tanpa atau dengan keterlibatan manusia, berlakunya hukum-


hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun sumberdaya
alam dengan suatu keteraturan dinamis yang berpola dan terstruktur secara spasial
maupun waktu. Adanya keteraturan sedemikian rupa sehingga seluruh benda fisik di
alam yang tertata dalam ruang membentuk pola disrtibusi yang disebut sebagai pola
ruang.
Aktivitas manusia sebagai makhluk yang memanfaatkan sumberdaya alam
juga memiliki kecenderungan-kecenderungan yang berpola dan terstruktur secara
spasial. Sebagai hasil naluri alamiah dan hasil pengalaman “belajar” yang panjang,
sehingga terdapat pola-pola spasial yang khas misalnya di dalam mengatur tata letak
rumah tinggal, tempat/ruang publik (tempat berkumpul), pekarangan, ladang, sawah
dan sebagainya. Keteraturan konfigurasi spasial aktivitas-aktivitas sosial ekonomi
masyarakat atau pola pemanfaatan ruang selalu ditemukan di setiap kehidupan
masyarakat di dalam mepertahankan hidupnya, menyesuaikan dengan lingkungannya,
mengoptimalkan interaksi sosial, maupun sebagai bentuk-bentuk ekspresi budaya.
Berbagai bentuk interaksi, baik antara sesama manusia maupun antara manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya yang dikelolanya atau juga keterkaitan antar
sumberdaya-sumberdaya itu sendiri, menuntut manusia untuk menyediakan berbagai
prasarana dan sarana untuk mempermudah mengakses dan mengelola sumberdaya
tersebut. Susunan prasarana yang dibangun manusia di dalam ruang membentuk
jaringan yang terstruktur, sehingga membentuk struktur ruang.
Secara keseluruhan, berbagai bentuk konfigurasi spasial di atas membentuk
suatu “keseimbangan” pola dan struktur spasial yang kita sebut sebagai tata ruang.
Pola dan struktur pemanfaatan sumberdaya pada dasarnya berdimensi “spasial” dan
“waktu” akibat dinamika kehidupan yang terus-menerus berubah dari waktu ke
waktu. Dengan demikian maka tata ruang juga selalu bersifat dinamis dari waktu ke
waktu.

1.1. Pola Ruang


Sebagai alat pendeskripsian, istilah “pola spasial” (ruang) erat kaitannya
dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan
keterkaitan, serta posisi/lokasi dan lain-lain. Istilah pola pemanfaatan ruang (atau pola
ruang) berkaitan dengan aspek-aspek distribusi (sebaran) spasial sumberdaya dan
akrivitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktivitas menyebar dengan luas
yang berbeda-beda dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula. Dalam cara
pandang yang lain, sumberdaya dan aktivitas manusia yang memanfaatkannya pun
terkonsentrasi dengan skala yang berbeda-beda. Seperti pemukiman penduduk

1
terkonsentrasi dengan skala yang berbeda-beda. Dalam dimensi yang lain, kota
sebagai bentuk konsentrasi yang kompleks, memiliki ukuran luas area, jumlah
penduduk, jumlah perputaran beredar, total nilai barang dan jasa (PDRB) juga
berbeda-beda. Pola pemanfaatan ruang dicerminkan dengan gambaran pencampuran
atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Pada kawasan
perdesaan, dicirikan dengan dominasi mixture (pencampuran) antara pola ruang
lanskap alamiah (natural landscape), aktivitas-aktivitas pertanian, dan pengelolaan
sumberdaya alam, penambangan. Sedangkan kawasan perkotaan dicirikan oleh
campuran yang lebih rumit antara aktiviatas jasa komersial dan pemukiman. Di sisi
lain, kawasan suburban dan urban fringe di daerah perbatasan perkotaan dan
pedesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktivitas pemukiman,
industry dan pertanian.
Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan
dengan berbagai bentuk peta. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta
penutupan lahan (land cover map) adalah bentuk deskripsi terbaik di dalam
menggambarkan pola pemanfaatan ruang.

1.2. Struktur Ruang


Kata kunci dalam menggambarkan struktur pemanfaatan ruang adalah
gambaran mengenai hubungan keterkaitan (linkages) antara aspek-aspek aktivitas-
aktivitas pemanfaatan ruang. Salah satu wujud pendeskripsian wilayah sebagai suatu
sistem, adalah aspek struktur hubungan anatar komponen-komponen yang ada di
dalam wilayah tersebut. Diskripsi interaksi antar komponen wilayah yang paling
umum adalah aliran penduduk antar wilayah atau pusat-pusat konsentrasi wilayah,
yang sering digambarkan dengan aliran arus perjalanan (trips) dan migrasi. Aliran
jumlah kendaraan baik dalam bentuk tabel maupun peta, merupakan pendekatan yang
paling umum. Di dalam pendeskripsian interaksi spasial di daratan, secara spasial
aspek keterkaitan digambarkan melalui unsur jaringan prasarananya (jaringan jalan
raya, jaringan rel kereta api, dan lain-lain), sarana angkutan (bis, kendaraan roda
empat, sepeda motor, dan lain-lain), objek yang dialirkan (orang/penumpang, barang,
jasa, informasi, dan lain-lain), besaran aliran (jumlah kendaraan, jumlah
orang/penumpang, volume barang, nilai barang/jasa yang dialirkan, dan lain-lain),
hingga aspek tujuan/maksud dari interaksi yang dituju (tujuan pergi bekerja,
distribusi pemasaran output barang dan/jasa, tujuan-tujuan sosial,
bersekolah/pendidikan, dan lain-lain).
Aspek kedua struktur ruang setelah struktur jaringan prasarana adalah aspek
struktur pusat-pusat aktivitas permukiman.pada akhirnya, gambaran mengenai
kapasitas atau hierarki pusat-pusat dan linkage berimplikasi pada kebutuhan sarana
dan prasarana. Adanya mekanisme pasar menyebabkan terpenuhinya sebagian dari
sarana yang dibutuhkan. Di daerah-daerah tertentu, terutama pada kawasan-kawasan
permukiman yang tidak terjangkau trayek kendaraan umum, kebutuhan sarana
transportasi dipenuhi oleh sektor informal penyedia jasa transportasi seperti ojek

2
kendaraan bermotor roda dua. Fenomena ojek di berbagai lokasi nyaris mendekati
fenomena mekanisme pasar yang sempurna berskala lokal, jumlah ojek (sisi supply)
dan penumpang (sisi demand) berada di dalam keseimbangan yang dinamis sesuai
dengan kompetisi pasar di tingkat lokal, terlihat nyaris tanpa keterlibatan langsung
pemerintah. Sarana angkutan umum roda empat sebagai sektor formal. Pemerintah
daerah terlibat langsung di dalam penyediaan sarana angkutan ini melalui mekanisme
ijin trakyek, kebijakan jalur trayek yang diselenggarakan, dan penetapan tarif
angkutan. Sektor swasta yang memiliki trayek menyediakan sarana angkutan roda
empatnya. Sektor prasarana transportasi berupa pembangunan jalan raya, jembatan
dan terminal umumnya merupakan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah di
dalam penyediaannya.

2. Penataan Ruang
Tata ruang sebagai wujud pola dan struktur ruang terbentuk secara alamiah
dan juga sebagai wujud dari hasil proses-proses alam maupun dari hasil proses sosial
akibat adanya pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Dengan demikian
tata ruang dan upaya perubahan-perubahannya sebenarnya sudah terwujud sebelum
kita secara formal melakukan upaya-upaya mengubah tata ruang yang terstruktur
yang kita sebut sebagai perencanaan tata ruang. Proses “pembelajaran” yang
berkelanjutan adalah buah pengalaman manusia yang di dalam kehidupannya berada
dalam siklus tanpa akhir berupa: pemanfaatan – monitoring (mengamati) – evaluasi
(pembelajaran) – tindakan pengendalian – perencanaan (upaya memperbaiki,
mengantisipasi masa depan dan memutuskan tindakan) – pemanfaatan – dan
seterusnya (Rustiadi dan Wafda, 2007).
Rangkaian siklus kegiatan di atas merupakan kegiatan penataan ruang.
Dengan demikian penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola
dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan menuju kepada
keseimbangan baru yang “lebih baik”. Penataan ruang, pada dasarnya merupakan
perubahan yang disengaja. Sebagai proses perubahan kearah kehidupan yang lebih
baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses pembangunan,
khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan.
Manusia merupakan mahkluk berbudaya karena mempunyai akal (rasio).
Setiap individu manusia mempunyai keinginan yang kadang-kadang tidak sama
bahkan bertentangan dengan keinginan masyarakat. Pertentangan tersebut
menimbulkan suatu pemikiran tentang suatu perencanaan dan pengaturan, agar dalam
pengembangan kualitas kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi
tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan
suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan
dan pengembangannya.
Beberapa alasan yang menyebabkan makin terasa pentingnya arti dari suatu
penataan ruang adalah:

3
(i) Yang optimal bagi suatu individu tidak selalu optimal bagi masyarakat, karena itu
perencanaan tata ruang dianggap perlu.
(ii) Salah satu faktor dari ruang yaitu atmosfer merupakan suatu sumberdaya yang
bersifat public goods.
(iii) Ruang merupakan komponen ekosistem dimana fungsi-fungsi ekologis dari
ruang dalam suatu ekosistem mempengaruhi kesinambungan dan kontinuitas dari
suatu sistem.
Urgensi atas penataan ruang timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran
akan pentingnya intervensi publik atau collective action terhadap kegagalan
mekanisme pasar (market failure) dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang
sesuai dengan tujuan bersama. Dengan kata lain penataan ruang merupakan bentuk
intervensi positif atas kehidupan sosial dan lingkungan guna meningkatkan
kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, penataan ruang dilakukan
sebagai: (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan
sumberdaya) guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan,
serta (3) menjaga keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Di luar tiga tujuan di
atas beberapa pihak lainnya menambahkan dua tujuan lain dari penataan ruang yakni
sebagai upaya: (4) menciptakan rasa aman dan (5) kenyamanan ruang.
Dalam proses penataan ruang terdapat landasan-landasan penting yang harus
diperhatikan sebagai falsafah, yakni: (1) Sebagai bagian dari upaya memenuhi
kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah
terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) Menciptakan keseimbangan
pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang
(pembangunan berkelanjutan), (3) Disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan
masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) Upaya
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara terencana, (5) sebagai suatu
sistem yang meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian
pemanfaatan ruang, dan (6) Dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur
dan pola pemanfaatan ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak.

3. Proses Penataan Ruang


Sebagai suatu proses, penataan ruang disusun oleh berbagai sub-sistem
pembentuknya, di mana proses tersebut secara utuh akan bersifat siklikal. Sub –
sistem penataan ruang meliputi perencanaan, implementasi, dan pengendalian, yang
secara sistemik saling mempengaruhi. Secara struktural, penataan ruang
diselenggarakan secara proporsional oleh pemerintah dan masyarakat. Gambaran
mengenai proses penataan ruang dan struktur penyelenggaraannya disajikan pada
Gambar 1 dan Gambar 2.

4
Gambar.1. Proses Penataan Ruang

5
Gambar 2. Struktur Penyelenggaraan Penataan Ruang
3.1. Unsur-unsur Penataan Ruang
Sebagai suatu proses setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang. Pertama,
menyangkut unsur kelembagaan/institusional (institutional arrangement) penataan
ruang, dan kedua, menyangkut proses penataan fisik ruang (physical arrangement).
Berdasarkan pandangan bahwa penataan ruang adalah wujud pengaturan-pengaturan
yang menyangkut manusia dan ruang kehidupan, maka pada gambar 14.3 ditunjukkan
adanya empat dimensi yang harus dipahami dan dipertimbangkan dalam penataan
ruang. Dimensi AA adalah gambaran mengenai hubungan antara unsur-unsur
lingkungan alamiah. Di dalam dimensi AA ini berlaku hukum-hukum alam seperti
hukum gravitasi yang menyebabkan aliran air dari atmosfir jatuh ke bumi dan di
bumi bergerak ke dalam tanah maupun di atas permukaan tanah, berlaku juga hukum-
hukum fisika, biologi dan kimia yang menyebabkan tumbuhnya makhluk-makhluk di
dalam ekosistemnya masing-masing. Kemudian pada dimensi AM memperlihatkan
hubungan pengaruh alam yang mempengaruhi kehidupan manusia sesuai dengan
hukum-hukum alam di dalam ekosistem. Pada dimensi MM memperlihatkan
hubungan antar sesama manusia sebagai bentuk sistem sosial, dan dimensi MA
merupakan dimensi dimana manusia memanfaatkan dan mempengaruhi ruang,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penataan ruang hanya terbatas pada domain
AM, MM, dan MA. Pada dimensi AM, penataan ruang dimaksudkan sebagai upaya

6
menyesuaikan diri dengan alam. Sedangkan pada dimensi MA, manusia melakukan
berbagai upaya memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan, dan pada domain
MM, terjadi berbagai pengaturan terhadap manusia melalui pembentukan norma,
aturan, hokum formal, penegakan hukum, dan lain-lain.

Gambar 3. Empat dimensi hubungan antara komponen manusia dengan ruang dan
sumberdayanya dalam penataan ruang

Kemudian pada Gambar .4 memperlihatkan hubungan antara ekosistem dan


sosio-antroposistem dengan kegiatan pengaturan-pengaturan di dalam penataan ruang
yang terdiri dari penataan kelembagaan (institutional arrangement) dan penataan
fisik (physical arrangement). Walaupun tidak selalu dapat dipisahkan secara tegas,
namun unsur-unsur penataan ruang secara umum dapat dipisahkan antara penataan
kelembagaan (non-fisik/spasial) dan penataan fisik/spasial.
Unsur non-fisik/kelembagaan (institutional arrangement) dalam penataan
ruang mencakup aspek-aspek mengenai penyusunan aturan-aturan (rule) dan aspek-
aspek pengorganisasian atau pembagian peran (role) dalam rangka
mengimplementasikan aturan-aturan penataan ruang. Unsur pengaturan atau tata
pengaturan kelembagaan adalah pengaturan yang tidak bersifat fisik (tidak terlihat),
akan tetapi sering dianggap sebagai hal yang terpenting di dalam penataan ruang.
Karena inti dari unsur yang pertama ini adalah mengatur hubungan-hubungan antar
manusia di dalam penataan ruang dan mengatur cara manusia memanfaatkan atau
mengelola ruang beserta sumberdaya di dalamnya. Dengan demikian, selama
manusia dianggap sebagai pihak yang paling menentukan dalam dinamika tata ruang,
maka sangat penting untuk dapat mengarahkan cara pandang (sistem nilai) manusia
tentang dirinya, masyarakat dan sumberdaya di dalam ruang serta mangatur perilaku

7
manusia terhadap ruang dan sumberdayanya. Pengaturan yang baik atas unsur-unsur
kelembagaan (institutional arrangement) akan menjamin penataan ruang yang
berkelanjutan.

Gambar 4. Hubungan antara dimensi-dimensi ruang dengan unsur-unsur


pengaturan/penataan di dalam penataan ruang.

Unsur-unsur fisik penataan ruang menyangkut pengaturan-pengaturan fisik


(physical arrangement) dan sekaligus merupakan produk fisik dari suatu penataan
ruang itu sendiri. Unsur-unsur fisik penataan ruang meliputi: pengaturan pemanfaatan
fisik ruang, penataan struktur/hierarki pusat-pusat aktivitas sosial-ekonomi, penataan
jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas, dan pengembangan sistem prasaran
dan sarana.

14.3.2. Unsur Non-Fisik/Kelembagaan Penataan Ruang


Kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang semakin tidak terkendali, baik
itu sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan adalah masalah klasik di dalam
penataan ruang. Permasalahan yang dihadapi terutama berkaitan dengan sumberdaya-
sumberdaya yang karena karakteristiknya tidak dapat dimiliki secara individual
(sumberdaya bersama) atau juga menyangkut pemanfaatan sumberdaya lainnya

8
termasuk sumberdaya yang dikuasai secara privat namun terkait dengan kepentingan
bersama. Kurang tertatanya aturan mengenai pemanfaatan berbagai bentuk
sumberdaya bersama dan kepentingan bersama (the commons) mengakibatkan
terjadinya berbagai permasalahan seperti terjadinya degredasi dan penggunaan
sumberdaya secara berlebihan (overuse), congestion (kemacetan akibat waktu
penggunaan sumberdaya secara bersamaan), timbulnya pelaku-pelaku free rider
(penunggang gelap) dalam pemanfaatan sumberdaya, dan perilaku korupsi atau
perilaku rent-seeking. Terjadinya degradasi terhadap sumberdaya tersebut sangat
dipengaruhi oleh sistem pengelolaan (tata kota) dalam memanfaatkannya. Oleh
karena itu keberadaan dan pengelolaan sumberdaya telah menempatkan betapa
pentingnya teori-teori dan konsep kelembagaan yang mengelola sumberdaya bersama
dan kepentingan bersama.
Degradasi lingkungan banyak terkait dengan karakteristik manusia yang
memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Degradasi lingkungan juga banyak
terkait dengan karakteristik dari hubungan antara sesama manusia (social system).
Banyak fakta dari hasil studi yang menunjukkan bahwa terjadinya degradasi
lingkungan sering berkaitan dengan adanya kesenjangan pendapatan, tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidakseimbangan distribusi kekuatan politik (Torras
dan Boyce, 1998). Pendidikan yang lebih tinggi dan distribusi kekuatan (power
distribution) yang lebih luas atau merata akan membawa pengaruh positif terhadap
kualitas lingkungan. Dengan demikian, penelitian sebagaimana dilakukan Torras dan
Boyce (1998) serta banyak penelitian-penelitian lainnya (Katharina, 2007) menjadi
penegas bahwa degradasi sumberdaya dan lingkungan bukan semata masalah fisik
dan ekonomi, namun lebih pada masalah kelembagaan. Pretty dan Ward (2001)
menunjukkan berbagai contoh yang mengindikasikan bagaimana ikatan-ikatan dan
perilaku sosial yang tercermin dalam suatu kegiatan bersama, mempengaruhi kinerja
lingkungan.
Dampak kelembagaan dalam berbagai degradasi sumberdaya jelas terlihat
terutama pada sumberdaya yang memiliki karakteriktik common pool resources
(sumberdaya yang dimiliki secara bersama) (Rustiadi dan Utari, 2006). Karakteristik
tersebut menyebabkan mekanisme pasar gagal menciptakan insentif untuk
menghasilkan harga yang baik. Masalah-masalah kelembagaan yang berkaitan
dengan karakteristik common pool resources meliputi ketiadaan hak kepemilikan
(property right) secara privat, adanya free rider, perilaku korupsi maupun perilaku
rent-seeking.

14.3.3. Unsur Fisik Penataan Ruang


Sebagaimana telah disinggung pada bagian terdahulu, penataan ruang
ditunjukkan untuk: (1) memenuhi efisiensi dan produktivitas, (2) mewujudkan
distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan
keadilan, dan (3) menjaga keberlanjutan (sustainability). Dalam kaitan dengan tujuan

9
tersebut, maka unsur fisik penataan ruang memiliki peran penting, yang dapat
dinyatakan paling tidak dalam tiga hal.
Pertama, efisiensi dan produktivitas dapat dipenuhi dengan adanya alokasi
sumberdaya fisik wilayah dilakukan secara tepat, sehingga peruntukan berbagai
kawasan dapat sesuai dengan kemampuan dan kesesuaiannya. Oleh karena itu,
peruntukan kawasan budidaya pertanian misalnya, haruslah dilakukan pada lokasi
yang tepat (sebagaimana digambarkan dalam teori lokasi); serta harus ditunjang oleh
kemampuan dan kesesuaian fisik lahan yang cukup.
Kedua, unsur fisik dapat memenuhi tujuan keadilan dan keberimbangan hanya
jika alokasi sumberdaya fisik dapat bermanfaat bagi wilayah yang bersangkutan dan
memberikan dampak positif bagi wilayah di sekitarnya. Dalam hal ini, disparitas
antar wilayah dapat dikurangi bila sumberdaya yang terdapat pada wilayah yang
tertinggal dapat dialokasikan dan memberikan manfaat pada wilayah yang
bersangkutan. Dengan demikian fenomena seperti backwash effect dan lingkaran
perangkap kemiskinan (the vicious circles) dapat dihindari oleh wilayah yang
tertinggal.
Ketiga, tujuan untuk menjaga keberlanjutan (sustainability), hanya mungkin
dicapai bila alokasi sumberdaya fisik wilayah dilakukan dengan cara bijaksana sesuai
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, unsur fisik
penataan ruang harus diperlakukan sesuai dengan daya dukung, daya tampung, dan
potensi wilayah.
Berdasarkan pertimbangan ketiga tujuan penataaan ruang di atas, jelas bahwa
pengaturan unsur fisik penataan ruang memiliki nilai penting. Terkait dengan hal
tersebut, maka evaluasi sumberdaya fisik wilayah dalam penataan ruang harus
dilakukan secara tepat.

(1) Pengaturan Unsur Fisik Penataan Ruang


Penyelenggaraan penataan ruang direncanakan antara lain berdasarkan pada
unsur fisik yang meliputi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan kondisi fisik
lingkungan. Pada dasarnya unsur fisik merupakan pertimbangan dalam penataan
ruang untuk perumusan kebijakan bagi: (1) pengaturan pemanfaatan ruang; (2)
penataan struktur/hierarki pusat-pusat aktivitas sosial-ekonomi; (3) pengembangan
jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur.
Informasi mengenai unsur fisik didapatkan dari evaluasi sumberdaya fisik wilayah,
yang merupakan salah satu informasi dasar dalam penataan ruang.
Melalui evaluasi sumberdaya fisik wilayah, dapat dibangun suatu data base
(pangkalan data), yang sangat diperlukan dalam analisis dan perancangan
kebijaksanaan penataan ruang. Pangkalan data unsur fisik penataan ruang akan
mengandung berbagai data dan informasi sumberdaya alam, antara lain yang utama
adalah: unsur-unsur lahan, hutan, air, iklim, barang tambang, plasma nutfah, dan
perikanan.

10
(i) Pengaturan pemanfaatan ruang
Pengaturan pemanfaatan ruang yang paling dikenal selama ini adalah berupa
pengaturan pengaturan penggunaan lahan yang didahului oleh penyusunan
perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Rencana penggunaan lahan
dianggap perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataaan ruang,
bahkan sebagian kalangan berpendapat proses ini merupakan proses perencanaan
minimal daari suatu perencanaan tata ruang. Namun dewasa ini semakin disadari
bahwa penataan penggunaan lahan (tata guna tanah) tanpa kelengkapan penataan
unsur-unsur esensial lainnya tidak akan pernah efektif, karena penggunaan lahan
tidak bersifat independent dari perencanaan struktur hierarki pusat-pusat
pelayanan, struktur jaringan jalan dan perencanaan infrastruktur lainnya, serta
unsur-unsur kelembagaannya.
(ii) Penataan struktur/hierarki pusat-pusat aktivitas sosial-ekonomi
Struktur hierarki pusat pelayanan umumnya didasarkan atas dua bentuk hierarki,
yakni: hierarki sosial- politis dan hierarki ekonomi. Hirarki sosial politis
umumnya sangat terkait dengan aspek historis dari struktur pemusatan politik
masyarakat yang dilegalkan sebagai struktur administrasi pemerintah di suatu
wilayah. Namun berbagai pertimbangan sosial khususnya hal-hal yang
menyangkut upaya pemerataan/keadilan pembangunan mengarah orientasi pusat-
pusat administrasi pemerintahan walaupun secara jangka pendek menciptakan
berbagai bentuk inefisiensi.
Struktur pemusatan/hierarki ekonomi lebih ditentukan oleh mekanisme pasar.
Tingginya economic rent dari lokasi-lokasi tertentu menyebabkan suatu pusat
pelayanan wilayah lebih berkembang dibandingkan pusat-pusat lainnya. Dengan
demikian struktur pusat-pusat ekonomi relatif berkembang secara alamiah.
Penataan struktur hierarki pusat-pusat ekonomi diperlukan sebagai upaya
meningkatkan fungsi dan peran pusat-pusat pertumbuhan agar lebih berkembang
sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan memberikan kemanfaatan sosial
(social benefit) yang optimal. Prinsip-prinsip efisiensi dan produktivitas wilayah
secara keseluruhan menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun pola hierarki
pemusatan.
Konsentrasi spasial (aglomerasi) secara berlebihan di suatu pusat pelayanan
ekonomi yang tidak diimbangi dengan perencanaan yang baik sering mengarah
kepada bentuk-bentuk inefisiensi, oleh karenanya upaya-upaya melakukan
dekonsentrasi aktivitas ekonomi dengan memacu pusat-pusat pertumbuhan
lainnya dapat dijadikan pemecahan kesimbangan struktur hierarki pusat-pusat
pembangunan.
(iii) Pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas
Sistem-sistem jaringan di dalam wilayah mencakup berbagai sistem yang
memfasilitasi “aliran” barang, jasa dan informasi antar pusat-pusat aktivitas di
dalam ruang agar aktivitas-aktivitas sosial dan ekonomi memberikan tingkat
efisiensi dan produktivitas yang optimal. Bentuk atau pola keterkaitan atau

11
hubungan antar pusat-pusat aktivitas yang dibutuhkan di dalam suatu
perencanaan akan menentukan struktur jaringan yang dikembangkan.
Sebaliknya struktur jaringan yang terbentuk akan mempengaruhi perkembangan
masing-masing pusat-pusat aktivitas dan bentuk keterkaitan (linkage) antar
pusat-pusat aktivitas yang pada akhirnya dapat mengubah struktur hierarki
pusat-pusat yang ada. Secara keseluruhan, sistem jaringan dikembangkan untuk
memfasilitasi interaksi dan keterkaitan antar pusar-pusat aktivitas yang paling
optimal.
Dalam wilayah yang dipandang sebagai suatu sistem ekonomi, infrastruktur
dikembangkan untuk memfasilitasi sistem aliran sumberdaya (informasi, barang dan
jasa) yang efisien, meningkatkan produktivitas, dan mendorong interaksi spasial yang
saling memperkuat (reinforcing each other). Untuk itu sistem-sistem jaringan yang
perlu dikembangkan diantaranya seperti sistem transportasi (jalan raya, kereta api,
lintas udara, perairan, dan lain-lain) guna menciptakan aliran input-output
(sumberdaya manusia, energy, modal, serta barang-barang dan jasa lainnya) secara
lintas sektor industri antar wilayah. Jaringan informasi-komunikasi di dalam sistem
pasar yang antar wilayah atau pusat aktivitas.
Sedangkan di dalam wilayah yang dipandang dalam kacamata sistem sosial,
sistem-sistem jaringan dikembangkan untuk memfasilitasi sistem aliran sumberdaya
antar pusat atau antar-subwilayah secara berimbang () dan memaksimalkan interaksi
sosial. Di dalam mekanisme sosial, pengembangan berbagai sistem jaringan
transportasi dan informasi-komunikasi yang memfasilitasi berbagai bentuk interaksi
sosial secara berimbang merupakan sistem jaringan terpenting. Sedangkan dalam
kerangka sistem ekologi, pengembangan jaringan diarahkan untuk menjaga dan
meningkatkan fungsi-fungsi komponen ekosistem secara berkelanjutan.
(iv) Pengembangan Infrastruktur
Pengembangan infrastruktur akan meliputi prasarana dan sarana wilayah yang
akan menunjang aktivitas ekonomi, sosial, administrasi pemerintahan, budaya, dan
lain-lain. Infrastruktur akan menunjang pengembangan, baik di dalam suatu wilayah
maupun keterkaitan (linkages) antar wilayah. Pengembangan infrastruktur sangat
terkait dan sebagian pertimbangannya didasarkan pada unsur-unsur fisik penataan
ruang.
Infrastruktur yang utama antara lain adalah trnsportasi (trasportasi darat, laut
dan udara), dan tenaga listrik. Pengembangan infrastruktur transportasi meliputi: (a)
jalan raya kelas 1,2,3, dan 4; (b) kereta api, (c) transportasi udara, (d) pelabuhan laut,
(e) pelabuhan penyeberangan, dan (f) terminal. Pengembangan tenaga listrik meliputi
pengembangan pembangkit (power generation) dan jaringan transmisi.
Pengembangan infrastruktur penting lainnya adalah meliputi: sarana
pendidikan (dari berbagai jenjang/tingkatan, fasilitas olahraga, dan labolatorium),
sarana kesehatan (balai pengobatan, puskesmas, rumah sakit kecamatan, rumah sakit
wilayah, dan rumah sakit pusat), sarana keamanan, sarana peribadatan (mesjid,
langgar, gereja, pura, dan vihara).

12
(2) Evaluasi Sumberdaya Fisik Wilayah
Informasi lengkap mengenai sumberdaya fisik wilayah sangat diperlukan
untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang dengan baik. Evaluasi
sumberdaya fisik wilayah meliputi sumberdaya alam seperti lahan, hutan, mineral,
perairan, pesisir dan laut, potensi bencana alam, dan lain-lain. Evaluasi sumberdaya
wilayah akan sangat terkait dengan daya dukung dan sumberdaya yang terkandung
dalam ruang.

(i) Daya Dukung Sumberdaya dan Lingkungan

Konsep daya dukung (carrying capacity) berkembang seiring dengan


bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh
aktivitas manusia (anthropogenic). Dalam perspektif biofisik wilayah, daya dukung
dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi yang didukung oleh suatu
wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder and Lopez, 2000).
Pada dasarnya terdapat banyak komponen yang akan menentukan daya dukung suatu
wilayah, antara lain adalah daya lenting ekosistem (ecosystem resilience), tingkat
teknologi, preferensi konsumen, permintaan sumberdaya, serta isu-isu distribusi dan
pemerataan.
Dalam pengertian luas, daya dukung (carrying capacity) dapat dikatakan
sebagai kemampuan dari suatu sistem untuk mendukung (support) suatu aktivitas
sampai pada level tertentu. Oleh karena itu, terminologi daya dukung (carrying
capacity) sulit untuk dapat didefinisikan secara tunggal dan sederhana, melainkan
bermakna sebagai suatu terminologi yang luas dan melingkupi berbagai konsep.
Secara umum telah banyak dikembangkan beberapa konsep daya dukung, seperti
daya dukung fisik (physical), daya dukung ekologis (ecological), daya dukung sosial
(social), dan daya dukung ekonomi (economic). Dalam perspektif lingkungan, daya
dukung meliputi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan
kapasitas tampung (assimilative capacity).
Di Indonesia, secara formal, konsep daya dukung telah didefinisikan dalam
undang-undang No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam kedua undang-undang tersebut didefinisikan
beberapa konsep yang berkaitan dengan daya dukung sebagai berikut:
1. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (UU No.23/1997).
2. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energy, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan
kedalam (UU No.23/1997).
3. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur
dan sumberdaya untuk menunjang perikehidupan manusia serta mahkluk lain
yang berkelanjutan (UU No. 10/1992).

13
4. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan
manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk (UU No. 10/1992).
5. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan kelompok
penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama sebagai satu
masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun,tertib, dan aman (UU
No.10/1992).
Seperti disinggung di atas bahwa daya dukung meliputi dua komponen yaitu
kapasitas penyediaan dan kapasitas tampung. Oleh karena itu daya dukung
lingkungan dalam menunjang prikehidupan manusia, dapat dijabarkan sebagai
kemampuan lingkungan hidup untuk menyediakan kebutuhan bagi manusia dan
kemampuan untuk menerima limbah manusia. Terkait dengan penataan ruang, maka
daya dukung lingkungan harus diperhitungkan untuk dapat memberikan suatu
penataan ruang yang baik. Pendekatan perhitungan daya dukung lingkungan harus
dilakukan dari sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (suppy) sumberdaya dan
jasa lingkungan.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007) telah mengupayakan
penyusunan pedoman Perhitungan Daya Dukung Lingkungan, yang dimaksudkan
untuk menunjang penataan ruang. Perhitungan daya dukung lingkungan tersebut
didasarkan pada kebutuhan manusia terhadap dua faktor alam yang paling mendasar,
yaitu lahan dan air. Metode perhitungan dilakukan secara berjenjang mulai dari level
1 (perkiraan awal) sampai level 3 (perhitungan detail). Dengan berpedoman pada
perhitungan tersebut, maka dapat diprediksi daya dukung suatu kawasan, sehingga
penetapan fungsinya secara berkelanjutan dapat dilakukan secara mendasar dan
terarah dalam menunjang penataan ruang.
Langkah perhitungan dalam pedoman Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (2007) tersebut adalah sebagai berikut:
 Daya dukung lahan ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan
(supply). Kebutuhan lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi
tiap penduduk. Ketersediaan lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat
konsumsi tiap penduduk. Ketersediaan lahan ditentukan oleh tingkat produksi dan
produktivitas lahan. Terakhir daya dukung lahan diperoleh dari perbandingan
antara ketersediaan lahan dan kebutuhan air.
 Daya dukung air ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply).
Kebutuhan air ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi tiap
penduduk. Ketersediaan air ditentukan oleh luas wilayah dan aliran air yang
tergantung pada berbagai faktor seperti curah hujan, retensi air, luas dan tipe
penggunaan lahan. Terakhir daya dukung air diperoleh dari perbandingan antara
ketersediaan air dan kebutuhan air.

(ii) Evaluasi Daya Dukung Wilayah

14
Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya
dukung kawasan, sehingga dalam suatu wilayah dapat ditentukan kawasan yang
mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungsi
lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan
evaluasi sumberdaya lahan, dimana satuan lahan yang memiliki hambatan tinggi akan
sesuai untuk menjadi kawasan lindung, dan sebaliknya dapat menjadi kawasan
budidaya. Tersedia banyak pendekatan untuk melakukan evaluasi daya dukung
wilayah, yang tujuannya untuk mencari kesesuaian penggunaan ruang yang potensial
bagi pengembangan wilayah. Dalam evaluasi ini dilakukan pengelompokan fisik
kawasan berdasarkan kriteria-kriteria untuk kawasan lindung , dimana kawasan yang
memenuhi kriteria akan digolongkan sebagai kawasan berdaya dukung rendah atau
sensitif dan harus digolongkan sebagai kawasan lindung. Kawasan lindung adalah
kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Adapun kawasan yang
lolos dari kriteria tersebut digolongkan sebagai kawasan yang memiliki daya dukung
tinggi dan dapat dikembangkan untuk mendukung aktivitas budaya.
Di Indonesia, kriteria formal yang tersedia untuk evaluasi daya dukung
wilayah adalah kriteria kawasan lindung yang termuat dalam Keppres 32 tahun 1990.
Dalam kriteria ini, kawasan lindung yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam
empat kategori, yaitu: kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di
bawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya,
dan kawasan rawan bencana.

(iii) Evaluasi Sumberdaya Lahan Untuk Pertanian dan Lingkungan

Unsur sumberdaya fisik wilayah yang paling mendasar untuk dievaluasi bagi
kepentingan penataan ruang adalah sumberdaya lahan, karena di dalamnya juga telah
mencakup sumberdaya air, iklim , hutan, dan unsur-unsur lahan lainnya. Evaluasi
lahan merupakan proses yang komprehensif membutuhkan informasi lingkungan
yang luas yang dapat dikumpulkan baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang akan menghasilkan klarifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Evaluasi
lahan dikembangkan dari klarifikasi awal dari lahan berdasarkan sifat fisiknya,
dimana lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik termasuk tanah, iklim, relief,
hidrologi dan vegetasi.
Terdapat banayak pendekatan yang telah dikembangkan untuk evaluasi lahan,
antara lain pendekatan genetik, pendekatan landscape (bentang lahan),dan
pendekatan parametik. Pada pendekatan genetik, lahan dibagi menjadi natural region
(wilayah alami) dengan dasar faktor-faktor lingkungan, terutama iklim dan struktur.
Pendekatan parametrik mengusahakan pembangunan tipe lahan/land types dengan
memetakan atribut kunci dengan cara kuantitatif. Pendekatan genetik dilakukan
dengan pengelompokan genesis dari fenomena alami. Pendekatan bentang lahan

15
menggunakan satuan lahan sebagai komponen yang mempunyai kesamaan landforms
(bentuk lahan), tanah dan vegetasi. Pendekatan bentang lahan (landscape approach)
memberikan peluang survei cepat dengan baiya rendah.
Evaluasi kemampuan lahan (land capability) adalah merangking lahan dalam
kategori yang mencerminkan pembatas yang bertambah terhadap penggunaan. Lahan
dengan kemampuan paling tinggi adalah yang memungkinkan penggunaan yang
intensif dari tujuan yang sangat luas. Lahan dimasukkan ke dalam kategori dengan
perbandingan nilai dari pilihan cirri tanah dan tapak dengan kriteria yang berlaku bagi
tiap kategori.
Klarifikasi kemampuan merupakan pengelompokan satuan tanah/lahan
sesuai dengan kemampuannya untuk memproduksi tanpa mengalami kerusakan
dalam waktu yang lama. Terdapat 8 kelas dalam sistem kemampuan lahan, dari kelas
I yang mencakup tanah dengan sedikit hambatan penggunaannya sampai kelas VIII,
yang mencakup tanah dan bentang lahan dengan hambatan yang menghalangi
penggunaan untuk pertanian tanaman komersil dan membatasi penggunaannya untuk
rekreasi, cadangan air, dan sebagainya. (Catatan : akan lebih jelas pada bhn kuliah
Bpk Prof. Dr. Moehansyah)

(iv) Evaluasi Pemanfaatan Ruang Aktual (Land Use dan Land Cover)

Evaluasi pemanfaatan ruang actual (eksisting) yang meliputi penggunaan


lahan dan penutupan lahan (land use dan land cover), diperlukan untuk
menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Informasi pemanfaatan ruang
actual akan sangat membantu dalam analisis potensi fisik suatu wilayah secara utuh.
Pada wilayah perencanaan yang luas (misalnya suatu wilayah kabupaten, provinsi,
Negara atau global), aktivitas evaluasi ini memerlukan alat bantu yang mampu
memberikan gambaran tutupan (coverage) wilayah secara luas, cepat, konsisten dan
tekini (up to date). Sumber informasi yang memiliki kemampuan tersebut adalah citra
satelit, oleh karena itu evaluasi pemanfaatan ruang aktual (existing land use and land
cover) biasanya dilakukan dengan bantuan analisis citra satelit dan Sistem Informasi
Geografis (SIG).
Citra satelit dapat berasal dari berbagai sumber. Interpretasi citra satelit dapat
dilakukan secara manual/visual dan digital. Interpretasi secara manual/visual
dilakukan dengan delineasi citra hardcopy (citra yang tercetak) atau delineasi secara
langsung kenampakan citra yang ada di monitor komputer (screen digitizing).
Sedangkan interpretasi secara digital dilakukan dengan klasifikasi citra digital
berdasarkan kecerahan nilai pixel. Interpretasi dilakukan guna mendapatkan peta
tentatif yang memberikan berbagai informasi mengenai batas wilayah perencanaan,
penggunaan lahan, ekosistem perairan (seperti mangrove, terumbu karang, padang
lamun, dan lainnya), serta kondisi fisik perairan (seperti temperature, salinitas,
sindimen, kekeruhan dan lainnya).

16
Hasil interpretasi citra satelit digunakan sebagai media dalam penentuan
lokasi survey dan ground check, yang ditunjukkan untuk mendapatkan gambaran
mengenai kondisi riil atau merupakan pengujian kebenaran informasi hasil
interpretasi. Dari hasil survey dan ground check maka dilakukan reinterpretasi untuk
menghasilkan peta-peta tematik, dan selanjutnya dengan menggunakan SIG
dilakukan pemaduan antara data atribut dan data spasial. Dari hasil analisis SIG akan
ditampilkan hubungan antara data spasial dan data atribut secara bersamaan, sehingga
memudahkan evaluasi pemanfaatan ruang aktual. Hasil analisis citra satelit dan SIG,
akan memberikan beragam informasi spasial seperti sebaran sumberdaya hutan,
kawasan terbangun (built up area), perairan umum, kondisi pencemaran, kawasan
kritis, dan sebagainya. Berdasarkan hasil evaluasi, maka dapat dilakukan berbagai
analisis untuk perencanaan wilayah dan analisis kebijakan pengembangan.

4. Evaluasi Sosial Ekonomi Wilayah

Pada dasarnya penataan ruang merupakan bagian integral dari pembangunan


dan pengembangan wilayah, yang tujuan utamanya (ultimate end) adalah proses
perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial
secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi. Oleh
karena itu, unsur sosial ekonomi merupakan bagian penting dan utama dalam
penataan ruang. Dengan demikian evaluasi sosial ekonomi mutlak harus dilakukan
dalam proses penataan ruang. Evaluasi sosial ekonomi harus meliputi aspek
perekonomian, sosial, dan sumberdaya manusia.
Data informasi ekonomi yang paling utama untuk evaluasi adalah: (1)
Distribusi penduduk (menurut pekerjaan, pendapatan pada masing-masing kategori,
pengeluarannya pada masing-masing kategori dan tingkat keterampilan); (2) Pasar,
dari kategori yang paling rendah sampai tinggi, data yang diperlukan adalah
jumlahnya, luasan dan kapasitasnya, konsepnya, berapa budget dan perputaran uang
pada pasar tersebut; kelembagaan ekonomi, KUD, koperasi, bank, simpan pinjam dan
rentenir; (3) produk-produk utama yang dihasilkan, data yang diperlukan mengenai
luasan, jumlah serapan tenaga kerja, tingkat produksi dan tingkat penerimaan; dan (4)
Perusahaan-perusahaan terutama perusahaan besar yang menjual jasa.
Data dan informasi sosial yang paling utama untuk evaluasi adalah: Distribusi
dari etnik grup; lembaga-lembaga formal dan informal dari sistem etnik grup;
kecenderungan sosial yang dominan; dan data kelembagaan formal dan informal.
Data dan informasi sumberdaya manusia yang paling utama untuk evaluasi
adalah: jumlah dan penyebaran penduduk; vital statistik yang terdiri dari tingkat
kesuburan atau jumlah wanita/1.000 jumlah penduduk, tingkat kematian/mortality
rate, tingkat kelahiran/natality rate dan migrasi (tetap, musiman, kumoter); kualitas
penduduk yang dilihat berdasarkan pendidikannya dan keterampilannya; dan sifat-
sifat keluarga, yaitu besarnya keluarga dan dependency ratio/ rasio ketergantungan.

17
Data dan informasi lain yang terkait dengan sosial ekonomi wilayah antara
lain adalah manufaktural dan jasa. Data manufaktural dan jasa yang diperlukan
terutama mengenai jumlah jenisnya. Di Indonesia industri terbagi menjadi tiga tipe
yaitu tipe industri kecil, aneka industri dan industri besar; yang terbagi menjadi
industri logam dasar dan kimia dasar. Hal-hal yang diperlukan adalah mengenai
kapasitas (volume) produksi, jenis produksi, dan nilai produksi.
Dari hasil evaluasi sosial ekonomi, dapat disajikan berbagai alternatif untuk
mencapai tujuan. Pemilihan alternatif yang paling efisien misalnya dengan penilaian
ekonomi. Tiga unsur penggerak aktivitas perekonomian adalah rumah tangga,
perusahaan swasta dan pemerintah. Rumah tangga dalam hubungannnya dengan
tenaga kerja dan konsumsi barang dan jasa, tujuannya dalam hal ini adalah
bagaimana memaksimumkan utility barang dan jasa. Sedangkan perusahaan swasta di
dalam hubungannya dengan pengumpul bahan input, proses produksi dan distribusi,
dan pemerintah dalam hal ini adalah sebagai institusi yang berusaha melayani dan
perusahaan swasta.
Di dalam analisis tata ruang, ketiga faktor ekonomi tersebut lokasinya
ditentukan, kemudian jarak dan lokasi dari masing-masing aktor ekonomi tersebut
diketahui dan terakhir adanya konfigurasi ruang dari masing-masing aktor ekonomi
sehingga aktor ekonomi dapat berhubungan satu sama lain.
Dalam analisis ekonomi terdapat empat faktor yang harus diperhatikan yaitu:
1. Local Input/bahan baku lokal, adalah bagian bahan baku yang sulit untuk
dipindah-pindahkan misalnya lahan dan atmosfer.
2. Local demand/permintaan lokal, berkaitan dengan populasi setempat yang
meminta sesuatu output tertentu.
3. Transferred input, berkaitan dengan bahan baku yang bisa dipindahkan lokasinya.
4. Outside demand/permintaan dari luar, yaitu ouput yang bisa diangkut keluar
sesuai dengan permintaan yang ada.

5. Perencanaan Tata Ruang

Di dalam istilah akademik, istilah land use planning mewadahi pengertian


yang sangat luas, mencakup perencanan penggunaan lahan atau tata guna tanah (yang
bisa juga diterjemahkan sebagai penataan penggunaan lahan, perencanaan
penggunaan lahan) dan juga tata ruang. Namun demikian, di dalam dunia scientific
sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, terdapat juga istilah ,land use, dan
land status, yang dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, namun
sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Istilah land cover lebih bernuasa
fisik, menyangkut aspek penutupan lahan dan banyak digunakan di dalam kajian-
kajian fisik (earth- atau geo-sciences) (Turner II, 1991;Yoshino, 1992). Sedangkan
istilah land use menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan/penggunaan lahan oleh
manusia dan sering digunakan di bidang ilmu sosial di samping ilmu-ilmu fisik
(Vink, 1975; davis, 1976; Yoshino, 1992). Kemudian istilah land status mengandung

18
pengertian aspek pemilikan dan peruntukan. Di dalam bahasa Indonesia, dalam
perencanaan wilayah, di samping istilah tata guna tanah terdapat istilah-istilah
peruntukan lahan dan arahan penggunaan lahan.
Namun, sebenarnya perencanaan tata ruang tidak sekedar menyangkut land
use planning karena di samping perencanaan tata guna lahan juga menyangkut
perencanaan tata guna air, ruang bawah tanah (perut bumi) dan tata guna udara.
Secara normatif, penataan ruang harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan
sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (UU 5/1960 Pasal 2 ayat 3). Dengan demikian perencanaan Tata Ruang adalah
bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara keseluruhan.
Dalam kenyataannya banyak kritik yang memandang bahwa penyusunan
rencana tata ruang sering berpijak dari asumsi bahwa “ruang” yang rencanakan
seolah-olah adalah ruang “tanpa penghuni”, sehingga dapat dengan mudah dibuat
garis-garis batas berupa zoning yang menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan
tertentu yang berketetapan hukum. Di atas kertas, penetapan tata ruang dipandang
seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land suitability dan land
capability) dan aspek-aspek kelesterian lingkungan. Di dalam pelaksanaannya
perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli oleh kepentingan pihak-pihak
tertentu yang tidak berorientasi pada kepentingan public (masyarakat luas).
Ketetapan penetapan ruang tersebut berakibat mengikat masyarakat penghuni yang
ada di dalamnya, dimana aktivitas pemanfaatan sumber daya yang dilakukan
masyarakat tersebut dinilai bertentangan dengan penetepan peruntukannya. Oleh
karenanya bagi sebagian orang, perencanaan tata ruang selalu dipandang sebagai alas
an untuk melakukan “penggusuran”, bukan sebagai alat untuk meningkatkan
kemakmuran masyarakat. Pada sisi ekstrim yang lain, terdapat pandangan untuk
mengesampingkan terlebih dahulu pertimbangan fisik-lingkungan, karena
kepentingan masyarakat pengguna harus diutamakan. Perencanaan tata guna tanah
atau tata guna ruang sering dinilai tidak memiliki nilai operasional sama sekali dan
hanya cocok sebagai model-model academic exercise saja.
Perencanaan Tata Ruang sering disalah artikan sebagai suatu proses dimana
perencana (pemerintah) mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya (top-
down process). Oleh karena itu dalam paradigm perencanaan tata ruang yang modern,
perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari
aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan
ruang dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan.
Lahirnya pandangan seperti di atas sebenarnya terutama sebagai akibat dari
proses pendekatan perencanaan yang dilakukan selama ini pada umumnya bersifat
top-down. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana
pihak pemerintah dianggap memiliki kewenangan secara legal karena memegang
amanat yang legitimate. Padahal dibalik amanat yang terimanya, pemerintah juga
berkewajiban berkomunikasi dengan masyarakat yang berkepentingan secara

19
langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya ruang yang ada. Dengan demikian,
proses penataan ruang pada dasarnya merupakan upaya menciptakan berbagai
keseimbangan. Pertama proses penataan ruang memerlukan adanya keseimbangan
partisipatif antar berbagai pihak yang mengarah pada terbentuknya keadilan antar
pihak.
Dari sudut pandang pembangunan berskala jangka panjang, aspek-aspek
kesesuaian fisik, land capability serta aspek-aspek kelestarian lingkungan merupakan
bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan jangka panjang yang
berkesinambungan. Namun demikian, suatu proses perencanaan, di samping
menuntut adanya peran serta (keterlibatan) masyarakat harus memenuhi kesimbangan
kedua, yakni mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan yang bersifat
jangka panjang dan jangka pendek. Upaya meningkatkan kesejahteraan jangka
pendek seharusnya tidak mengorbankan kepentingan jangka panjang, dan juga
sebaliknya, kepentingan jangka panjang tidak boleh mengorbankan kepentingan
jangka pendek masyarakat, khususnya masyarakat yang lemah yang memiliki
kapasitas adaptasi yang rendah. Di lain pihak, dari sudut pandang pembangunan
berskala luas (makro), aspek-aspek kesesuaian fisik, land capability serta aspek-
aspek kelesterian lingkungan juga merupakan bagian dari menjaga keselarasan
pembangunan berskala lokal/regional dan pembangunan makro. Eksternalitas negatif
dari aktivitas-aktivitas lokal diminimumkan dengan pembatasan-pembatasan tertentu
bagi aktivitas-aktivitas lokal. Dengan demikian, diperlukan suatu bentuk
keseimbangan yang ketiga, yakni antara kepentingan lokalitas, regional dan makro.
Ketiga sisi kepentingan perlu diupayakan tanpa harus ada pengorbanan yang tidak
adil dan tidak perlu. Dengan demikian penyusunan perencanaan wilayah pada
dasarnya bukan merupakan suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya
kebutuhan. Secara individual maupun kelompok, masyarakat secara sendiri-sendiri
melakukan pengaturan-pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dikuasainya.
Namun cakupan istilah perencanaan wilayah adalah suatu perencanaan yang
berorientasi pada kepentingan publik secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan
perseorangan/kelompok ataupun perusahaan/badan usaha.
Awal dari proses perencanaan tata ruang adalah beranjak dari adanya
kebutuhan untuk melakukan perubahan sabagai akibat dari perubahan pengelolaan
maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana
alam, perkembangan sosial,dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi
yang harus dipenuhi di dalam perencanaan tata ruang:
(1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah
terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan
(2) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan
yang disusun.
Sasaran utama dari perencanaan tata ruang adalah untuk menghasilkan
penggunaan yang terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran
umum: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3)

20
berkelanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam
konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan
melibatkan partispasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus
dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada
keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan
kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).
Mengingat sasaran yang ingin dicapai, maka pihak perencana harus memiliki
akses dan kapasitas kepada pihak-pihak : (1) pengguna lahan, (2) lembaga legislasi,
(3) eksekutif/pengambil keputusan, serta (4) badan-badan pelaksana pembangunan
(sectoral agencies).

5.1. Perencanaan Pola Pemanfaatan Ruang

Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk funsi
budidaya. Konsep pola pemanfaatan ruang wilayah menunjukkan bentuk hubungan
antar berbagai aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan,
sosial- budaya, ekonomi, teknologi, informasi, administrasi, pertahanan keamanan,
fungsi lindung, budidaya dan estetika lingkungan, dimensi ruang dan waktu yang
dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang.
Adapun yang menjadi dasar dalam pertimbangan perencanaan pola pemanfaatan
ruang wilayah adalah dinamika perkembangan wilayah, kebijakan pembangunan,
potensi unggulan, optimalisasi ruang untuk kegiatan, kapasitas serta daya dukung
sumberdaya. Pola pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan
lindung, arahan pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan
serta kawasan prioritas.
Rencana pengelolaan kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan di bawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka
alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana. Salah satu kawasan lindung
utama adalah hutan lindung, yang merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat
khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan di bawahnya.
Pengelolaan kawasan hutan lindung bertujuan untuk mencegah terjadinya erosi,
bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrolik tanah untuk menjamin
kelestarian unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan.
Langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung di antaranya adalah: (1)
optimalisasi peruntukan dan pengendalian kawasan lindung, (2) pengembalian fungsi
kawasan lindung bila terganggau fungsinya, dan (3) mengendalikan fungsi kawasan
lindung agar terhindar dari kegiatan budidaya.
Peruntukan ruang kawasan budidaya merupakan pola pemanfaatan ruang
untuk aktivitas budidaya baik pertanian maupun non-pertanian. Peruntukan ruang
kawasan budidaya antara lain meliputi:

21
1) Kawasan hutan produksi, yang terdiri dari hutan produksi tetap (HP), hutan
produksi terbatas (HPT), dan hutan produksi dapat dikonversi (HPK).
2) Kawasan pertanian: kawasan pertanian pangan lahan kering (KPLK), kawasan
pertanian pangan lahan basah (KPLB) kawasan perkebunan, kawasan perikanan,
dan kawasan peternakan.
3) Kawasan pertambangan: meliputi pertambangan dan penggalian baik golongan
C,B, maupun A.
4) Kawasan industri, adalah kawasan yang diperuntukkan bagi industri berupa
tempat pemusatan kegiatan industri.
5) Kawasan pariwisata, merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi pemenuhan
kegiatan wisata, baik yang akan dibangun atau sudah dibangun.
6) Kawasan pemukiman, meliputi kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian
dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal. Sebaran kegiatan permukiman
terdapat di semua wilayah baik perkotaan maupun perdesaan.
7) Kawasan perkotaan, kawasan yang mempunyai fungsi sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial-ekonomi-budaya, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan
hidup.
8) Kawasan perdesaan, merupakan kawasan yang mempunyai fungsi kawasan
tempat permukiman perdesaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial-ekonomi-budaya, dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
9) Kawasan prioritas, merupakan kawasan budidaya atau lindung yang diberikan
prioritas pengelolaannya. Kawasan ini dapat terdiri dari: Kawasan Cepat Tumbuh,
Kawasan Kritis, Kawasan Tertinggal, dan Kawasan Tertentu.

5.2. Perencanaan Struktur Ruang


Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Konsep struktur tata ruang meliputi susunan dan tata komponen lingkungan alam
hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial yang
secara hierarki dan fungsional berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang.
Rencana struktur ruang akan meliputi:
1) Rencana pengembangan sistem pusat-pusat permukiman perkotaan dan
perdesaan.
2) Rencana pengembangan sistem prasarana dan sarana transportasi wilayah.
3) Rencana pengembangan sistem prasarana dan sarana umum wilayah.
4) Rencana pengembangan sistem prasarana dan sarana listrik.
5) Rencana pengembangan sistem prasarana dan sarana air bersih.
6) Rencana pengembangan sistem prasaraa dan sarana telekomunikasi.
Pengembangan sistem perkotaan secara hierarki dapat meliputi kota-kota
Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat Kegiatan

22
Lokal (PKL). Sistem kota-kota berfungsi sebagai pusat kegiatan dan pelayanan
pemerintahan, jasa dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, yang
melayani wilayah sesuai dengan hirarkinya.
Pengembangan kawasan pedesaan dapat diprioritaskan berdasarkan desa cepat
berkembang dan dapat meningkatkan perkembangan desa sekitarnya yang dikenal
dengan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP).
Rencana pengembangan sistem prasarana dan sarana transportasi wilayah
yang utama adalah pengembangan jaringan jalan dan transportasi perairan.
Pengembangan jaringan jalan darat terdiri dari jaringan arteri primer dan jaringan
jalan kolektor primer, dimana fungsi jalan harus sesuai dengan fungsi kota, outlet dan
kawasan yang dihubungkan. Pengembangan jaringan jalan harus diikuti dengan
penyediaan prasaran penunjang lalu lintas jalan berupa terminal.
Pengembangan transportasi darat yang juga penting adalah pengembangan
jalur kereta api, yang dapat memberikan efisiensi transportasi antar wilayah secara
massif. Angkutan kereta api selain dapat mengangkut penumpang, juga dapat
mengangkut bahan baku dan hasil produksi dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Prasarana transportasi lain yang perlu dikembangkan adalah pelabuhan, untuk
melayani transportasi laut, penyeberangan, sungai dan danau. Selain itu, struktur
ruang juga perlu ditunjang dengan penyediaan prasarana transportasi udara, sesuai
dengan sistem hierarki kota-kota.
Pengembangan perencanaan struktur ruang juga perlu ditunjang dengan
penyediaan prasarana wilayah lainnya yang meliputi penyediaan tenaga listrik, air
bersih, telekomunikasi, pengelolaan limbah dan sampah, serta fasilitas pelayanan
ekonomi dan sosial lainnya.

6. Penataan Ruang di Indonesia

Bagi sebagian pihak, seperti I Made Sandy (1978) tata guna tanah dan tata
ruang adalah dua hal yang sama, karena dalam hal ini “tanah” diartikan dalam
kerangka definisi yang sangat luas. Undang-undang Pokok Agraria (UU No.5) tahun
1960 pasal 4 ayat 1, “tanah” diartikan sebagai muka bumi yang dapat dikuasai oleh
seseorang, orang-orang atau badan hokum, dengan jenis hak tertentu dapat
dilaksanakan untuk melaksanakan hajat hidup. Pada awalnya, UUPA diarahkan
untuk mengatur seluruh permasalahan keagrariaan yang mencakup bumi, air dan
ruang angkasa sebagai implementasi dari pasal 33 ayat 3 UUD 45 (Parlindungan,
1993). Di dalam perkembangannya, di luar UUPA, terdapat berbagai undang-undang
yang sering disebut sebagai bentuk “perceraian” UUPA di dalam mengatur
pemanfaatan sumberdaya, yaitu:
1) UU 5/1967 (Kehutanan)
2) UU 11/1967 (Pertambangan)
3) UU 5/1985 (Industri)
4) UU 5/1990 (Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya)

23
5) UU 23/1997 (Pengelolaan Lingkungan Hidup)
6) UU 22/2001 (Minyak dan Gas Bumi)
7) UU 27/2003 (Panas Bumi)
8) UU 7/2004 (Sumberdaya Air)
9) UU 31/2004 (perikanan)
Setelah melalui proses yang panjang, melalui lebih dari 20 konsep RUU
akhirnya dihasilkan UU 24/1992 tentang Penataan Ruang; dan telah direvisi dengan
UU 26/2007. Di dalamnya dijelaskan pengertian tentang ruang meliputi ruangan
daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumberdaya yang terkandung di
dalamnya. Dengan demikian perencanaan tata ruang mencakup struktur dan pola
pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan
tata guna sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu, pengertian tata guna tanah di
dalam UUTR tidak mengandung pengertian seluas yang pernah dikemukakan oleh I
Made Sandy tersebut. Namun keracuan istilah tata ruang dan tata guna tanah masih
terus berlangsung hingga sekarang.
Diberlakukannya UU 22/1999 yang diperbaharui dengan UU 32/2004
mengenai Pemerintah Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan
pembangunan di wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya
pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan
sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang
pentingnya keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku
pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program
pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Namun
demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga muncul ke
permukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah (PAD) sebesar-
besarnya cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam.
Sikap ego antar pemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin
memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Sedangkan secara parsial, satuan sistem ekologis (ekosistem) dan sistem
kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tradisional tersebar
secara lintas wilayah administrasi. Oleh karenanya diperlukan penanganan secara
terkoordinasi antara wilayah administratif. Pada masa orde baru, koordinasi
permasalahan pengelolaan sumberdaya dan pembangunan antar wilayah ditangani
oleh administrasi pemerintahan yang tinggi. Namun di era otonomi daerah, hubungan
antara pemerintahan daerah (kota/kabupaten) dengan pemerintah pusat tidak lagi
dalam kerangka hubungan vertikal yang hirarkis. Penyelesaian pembangunan lintas
wilayah akan lebih diserahkan pada mekanisme hubungan horizontal. Sehingga
kekosongan berbagai standar serta norma-norma yang dapat dijadikan rujukan
kerjasama dan penyelesaian konflik antar wilayah merupakan ancaman serius di
dalam penanganan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan. Karena itulah, tantangan perencanaan wilayah dan tata ruang untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan sosial, sumberdaya alam dan lingkungan

24
dalam konteks wilayah atau tata cara ruang di era otonomi menjadi semakin
kompleks.
Selain aspek lingkungan, permasalahan yang menyangkut dimensi sosial
ekonomi dalam konteks tata ruang adalah upaya menciptakan keseimbangan spasial.
Penataan ruang harus menjadi bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar
wilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan . Oleh karenanya perlu
dibangun struktur keterkaitan antar wilayah yang seimbang dan berkeadilan, serta
mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai
konflik.

25

Anda mungkin juga menyukai