Anda di halaman 1dari 9

Memahami dan menguasai aspek-aspek persamaan dan

perbedaan zakat, pajak, dan wakaf.

1. Menemukan persamaan dan perbedaan zakat, pajak,


dan wakaf
2. Menunjukkan hubungan zakat dan pajak
3. Menunjukkan hubungan zakat dan wakaf
Menjelaskan manajemen dan tata kelola zakat

1. Persamaan dan perbedaan zakat, pajak, dan wakaf


2. Hubungan zakat dan pajak
3. Hubungan zakat dan wakaf
4. manajemen dan tata kelola zakat

1
URAIAN MATERI

A. Persamaan dan Perbedaan Zakat, Pajak, dan Wakaf


Zakat adalah ajaran agama sekaligus kewajiban dari Tuhan. Ada aturan
ketentuan tertentu dimana seseorang harus mengeluarkan zakat dari harta-harta
tertentu. Namun, pajak juga merupakan keharusan seseorang untuk mengeluarkan
sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada pemegang otoritas. Lantas, apakah
pajak dapat disamakan dengan zakat? Ataukah, pajak bisa menggantikan kewajiban
zakat? Begitu pula sebaliknya, apakah zakat dapat menggantikan kewajiban pajak?
Abdullah bin Muhammad al-Thayyar mengatakan bahwa zakat adalah kewajib-
an dari Allah swt. yang harus dikeluarkan terkait harta tertentu dan diserahkan kepada
orang-orang tertentu, pada masa tertentu, untuk mendapatkan ridha Allah. Secara
moril, tujuan zakat adalah untuk membersihkan diri dan harta. Berbeda halnya dengan
pajak yang dipahami sebagai beban kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah,
dikumpulkan, dan dipergunakan untuk menutupi anggaran umum. Dana pajak
digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik,
serta tujuan-tujuan negara lainnya. Al-Thayyar melihat perbedaan zakat dan pajak dari
segi pembuatnya. Zakat ditetapkan oleh agama dan pajak ditetapkan oleh negara.
Perbedaan penetapan aturan zakat dan pajak itu, al-Thayyar melihat bahwa zakat
bernilai ibadah (taqarrub) kepada Allah dan pajak tidak bernilai ibadah. Sebab, pajak
hanyalah kewajiban dari negara. Konsekuensi lebih lanjut tampak pada kadar seberapa
besar harus dikeluarkan. Kadar zakat ditentukan oleh syari’at dan karenanya tak ada
peluang bagi hawa nafsu untuk mengubahnya. Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah
sangat terbuka untuk berubah-ubah sesuai kepentingan negara dan maslahat pribadi
dan masyarakat yang ingin dicapai.
Al-Thayyar juga melihat bahwa zakat harus disalurkan kepada golongan-
golongan tertentu, yang disebut mustahiq zakat. Di luar delapan golongan mustahiq
zakat ini tidak berhak menerima harta zakat. Berbeda halnya dengan pajak yang
terkumpul dalam kas negara dan dapat dibelanjakan menurut kepentingan pemerintah.
Zul Ashfi berpendapat bahwa masyarakat sering menyamakan zakat dan pajak.
Cara pandang demikian tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar.
Persamaannya zakat dan pajak sama-sama perintah untuk mengeluarkan sebagian
harta, dijalankan menurut aturan tertentu. Selain itu, besaran pajak dan zakat ditentu-
kan menurut prosentase tertentu dan berlaku untuk orang-orang yang memenuhi syarat
serta sama-sama berguna untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Perbedaannya,
Zul Ashfi mengatakan bahwa zakat dapat dibayarkan kepada amil zakat (lembaga
penyalur dan pengelola zakat) atau dibayarkan langsung kepada 8 golongan orang
yang berhak. Sedangkan pajak harus dibayarkan kepada kantor pelayanan pajak dan
lembaga-lembaga lain yang ditunjuk oleh pemerintah.
Perbedaan lain antara pajak dan zakat adalah waktu pembayarannya. Zakat fitrah
dibayarkan hanya pada bulan Ramadhan dan zakat harta dibayarkan pada saat telah

2
mencapai nisab dan dimiliki selama setahun. Artinya, waktu pembayaran zakat lebih
fleksibel dan sepanjang tahun. Sedangkan waktu pembayaran pajak negara adalah satu
tahun pembukuan. Hanya dilakukan pada bulan tertentu yang sudah terhitung satu
tahun sejak pembayaran sebelumnya. Yang menarik dari pendapat Zul Ashfi adalah
perbedaan alat pembayaran pajak dan zakat. Zakat boleh dibayar dengan uang tunai
ataupun bahan pokok makanan. Sedangkan pajak umumnya dibayar menggunakan
uang tunai. Seseorang dapat mengeluarkan zakat dengan membayarkan gandum,
beras, dan bahan pokok lainnya. Tetapi kantor pajak hanya menerima uang tunai.
Namun, ada pendapat lain dari ulama Nahdhatul Ulama. Pemaparan ini disampaikan-
nya di Jakarta pada Seminar Nasional Optimalisasi Peran Zakat di Era Ekonomi
Disruptif yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Syariah
Universitas Indonesia menginisiasi penggabungan institusi zakat dengan pajak.
Inisiatif untuk menggabung pajak dan zakat adalah langkah luar biasa. Yang
terpenting adalah pengelolaan zakat yang perlu ditopang oleh teknologi canggih,
aparatur yang kuat mulai dari aparat administrasi, pengawas, pemeriksa hingga
penegak hukum. Langkah ini lanjutnya bisa dilakukan dengan menginisiasi revisi
undang-undang tentang zakat sebagai bagian penerimaan negara di samping pajak. Ia
berharap undang-undang tentang zakat mampu mengarahkan institusi pengelola zakat
bisa bekerja dengan profesional.
Sekalipun muncul wacana zakat dan pajak memungkinkan untuk dikelola secara
bersamaan, tetapi harta wakaf merupakan perkara lain lagi. Wakaf adalah sejenis
pemberian bernilai sunah, bukan kewajiban dari agama maupun negara. Wakaf adalah
amal sukarela. Tujuan wakaf adalah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak
diwariskan kepada ahli waris, tidak dijual maupun dihibahkan, tidak digadaikan
maupun disewakan.
Apabila pendayagunaan harta zakat tergantung pada mustahiq zakat, harta pajak
sesuai kepentingan negara, maka pendayagunaan wakaf itu sesuai orang yang
memberikan harta wakaf. Jadi, yang memberi harta wakaf punya hak penuh untuk
menentukan tujuan dari hartanya yang sudah diwakaf, dan penerima harta wakaf tidak
boleh menggunakannya untuk kepentingan yang berseberangan dengan pemberi
wakaf (waqif). Hal lain yang membedakan wakaf dari pajak dan zakat adalah soal
takaran/ kadar, serta waktu penyerahan. Apabila zakat dan pajak memiliki kadar-kadar
tertentu, menyangkut barang tertentu, dan waktu yang tertentu, maka harta wakaf tidak
memiliki batas-batasan semacam itu. Wakaf sangat bebas menyangkut barang apapun,
dan boleh dikeluarkan kapanpun, serta dalam kadar berapapun.

B. Hubungan Zakat dan Pajak


Perdebatan ulama tentang persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak
sejatinya mencerminkan hubungan dua kewajiban tersebut. Namun, penting kiranya
mengetahui posisi pajak dalam Islam, sebagaimana pada bab sebelumnya kita telah
mempelajari kedudukan atau posisi zakat dalam ajaran Islam.
Abdurrahman Navis mengatakan bahwa pajak menurut istilah kontemporer
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat

3
dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Negara dapat menam-
pilkan dirinya sebagai penguasa yang bisa mengatur rakyat dan warga negaranya untuk
mengeluarkan pajak. Di sini sudah mulai tegas bahwa pajak dibuat oleh negara,
sedangkan zakat datang dari agama.
Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Penguasa tentu saja tidak berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam artian,
pajak yang ditetapkan oleh penguasa harus mengikuti norma hukum. Sedangkan
hukum negara itu sendiri adalah hasil keputusan bersama para wakil rakyat di dewan
legeslatif.
Dalam ajaran Islam, pajak sering diistilahkan dengan al-dharibah. Kata ini
memiliki bentuk jamak berupa al-dharaib. Sebutan lain dari para ulama untuk pajak
ini adalah al-muks. Namun begitu, jangan sampai dikacaukan dengan konteks lain,
dimana Islam memperkenalkan istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak. Istilah-
istilah ini berbeda satu sama lain, sekalipun pada aspek lahiriah yang kasat mata
hampir serupa. Tetapi, secara substansi berbeda mencolok. Pertama, al-jizyah, yaitu
upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam. Upeti ini sebagai
bentuk ketundukan, jaminan tidak ada perlawanan dan pengkhianatan, komitmen
untuk hidup akur, harmonis, dan bersama-sama. Kedua, al-kharaj yaitu pajak bumi
yang dimiliki oleh negara. Suatu negara pasti memiliki batasan wilayah. Seluruh tanah
yang ada di wilayah tersebut adalah milik negara, sehingga penduduk yang menempa-
tinya wajib membayar kharraj. Dalam bahasa kita, kharraj adalah pajak bumi. Ketiga,
al-usyr yaitu bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam.
Dalam sejarah Islam, ada praktek al-‘usyr yang berarti bea cukai yang diterapkan
penguasa Islam kepada pedagang non-muslim.
Semua jenis pemungutan uang, baik berupa al-usyr, al-kharraj dan al-jizyah
adalah perkara berbeda dibanding dengan zakat. Dalam Islam, zakat adalah pemungu-
tan sebagian harta untuk diserahkan kepada golongan-golongan tertentu yang sudah
ditetapkan. Zakat hanya diwajibkan kepada umat muslim, tetapi jizyah dan usyr
diwajibkan kepada non muslim dengan catatan tertentu; jizyah bagi non-muslim seba-
gai bentuk ketundukan, sedangkan usyr sebagai bayaran dalam konteks perdagangan.
Penting kiranya kita belajar tentang beberapa perbedaan ulama berikut ini.
Sebab, tidak semua ulama sepakat pajak diwajibkan kepada umat muslim. Sebagian
ulama mengatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum
muslimin karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.
Apa yang dikemukakan oleh sebagian ulama ini memiliki landasan syariat.
Sebuah hadis diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah
saw. bersabda yang artinya “Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat” (HR Ibnu
Majah, No 1779).
Perbuatan menarik pajak hampir serupa dengan perbuatan zina. Jika seorang
perempuan berhenti berzina disebut bertaubat, maka seorang penarik pajak yang
berhenti dari pekerjaannya juga disebut bertaubat. Dengan kata lain, pemungutan pajak

4
dan zina hampir serupa. Dari sini ulama berpendapat, pajak tidak wajib bagi umat
muslim karena sudah dibebani zakat.
Ada juga hadis dari Uqbah bin ‘Amir yang berkata: saya mendengar Rasul
saw. bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak. (HR Abu Daud,
No: 2548)
Semua dalil di atas adalah landasan syariat ulama yang menolak pajak. Dari
beberapa dalil di atas, banyak ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada
kaum muslim secara zalim sebagai perbuatan dosa besar. Sebab, satu-satunya
kewajiban umat muslim berkaitan dengan harta adalah zakat, bukan pajak.
Pandangan bahwa pajak tidak bisa disepadankan dengan zakat, pandangan
bahwa pajak bukan zakat, dan bahwa pajak haram sedangkan zakat adalah wajib,
didukung oleh Imam Dzahabi dalam Al-Kabair.
Kedua, para ulama menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum
muslimin. Tentu saja kebolehan umat muslim dibebani pajak jika negara dalam situasi
sangat membutuhkan dana. Sangat mungkin suatu saat nanti negara dalam kondisi
sangat terpuruk karena salah kelola maka menerapkan pajak pada umat muslim
diperbolehkan.
Untuk menerapkan kebijakan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Di
antara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum
muslimin adalah Imam Ghazali, Imam Syatibi, dan Imam Ibnu Hazm. Hal ini sesuai
dengan hadis yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga bahwa dia mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk
dikeluarkan) selain zakat.” (HR Tirmidzi, No: 595 dan Darimi, No : 1581, di dalamnya
ada rawi Abu Hamzah (Maimun). Menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dhaif hadis
dan menurut Imam Bukhari dia tidak cerdas).
Berikut ini beberapa syarat yang harus dipenuhi. Apabila syarat-syarat berikut
dipenuhi maka pajak boleh diterapkan kepada umat muslim:
1. Harta Sangat Dibutuhkan dan Tak Ada Sumber Lain
Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy mengatakan, pajak itu boleh dipungut
apabila negara memang benar-benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak
diperoleh.
2. Baitul Mal Tidak Cukup
Baitul Mal atau kas negara adalah syarat yang harus perhatikan. Apabila Baitul
Mal benar-benar kosong dan tidak ada anggaran yang cukup maka memungut pajak
dari umat muslim dapat dibenarkan.
3. Pemungutan Pajak Dilakukan dengan Adil
Pajak yang dibebankan kepada umat muslim dalam keadaan negara sangat butuh
dana tambahan untuk pengelolaannya tidak boleh berlebihan, dan tidak memberatkan
rakyat. Pemungutan pajak yang dibolehkan oleh ulama harus didasarkan kepada
pertimbangan ekonomi yang matang, mendesak, dan demi kebutuhan rakyat dan
pembangunan yang lebih besar.

5
4. Pajak Demi Membiayai Kepentingan Umat
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi,
kemewahan, keluarga, pejabat, dan orang-orang dekatnya. Sebaliknya, pajak yang
digunakan untuk kepentingan kelompok/partai atau individu korup maka umat muslim
wajib menolaknya.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, “Demi
Allah, aku tidak tahu, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda.
Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memu-
ngut sesuatu kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada
orang yang demikian, sedangkan raja (dhalim) akan berbuat sekehendaknya”. Maka
Umar pun diam.
5. Persetujuan Para Ahli/Cendikiawan yang Berakhlak
Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak
sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawa-
rahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan yang mewakili
masyarakat.
Semua pandangan di atas disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi, ulama yang
konsen dalam membaca persoalan umat kontemporer, progresif dan visioner. Apapun
perbedaan pendapat dari para ulama di atas, kita telah belajar hubungan zakat dan
pajak, serta posisi pajak dalam pandangan ulama muslim.

C. Hubungan Zakat dan Wakaf


Setelah mempelajari pengertian zakat dan pajak, berikut ini pengertian
wakaf dalam hubungannya dengan zakat. Apabila pajak tidak bisa dipadankan dengan
zakat, maka bagaimana dengan wakaf? Apakah seseorang yang sudah mewakafkan
hartanya dapat dianggap telah mengeluarkan zakatnya?
Pengertian wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaaatnya dengan
tetap kekalnya zat harta itu sendiri dan memanfaatkan kegunaannya di jalan kebaikan
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. Wakaf adalah amalan sunah,
berbeda dengan zakat yang wajib hukumnya. Harta wakaf dijalankan dengan suka rela
tetapi zakat harus dipaksa bagi orang yang enggan dan malas-malasan. Dalam kitab
Kifayah al-Akhyar diterangkan sebagai berikut; “Definisi wakaf menurut syara’ adalah
menahan harta-benda yang memungkinkan untuk mengambil manfaatnya beserta
kekalnya zat harta-benda itu sendiri, dilarang untuk mentasaharrufkan zatnya. Sedang
mentasharrufkan kemanfaatannya itu dalam hal kebaikan dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah swt”
Berbeda dengan harta zakat yang benda fisiknya dapat digunakan sesuai
keinginan mustahiq yang sudah mendapatkannya. Harta wakaf hanya bisa dimanfaat-
kan sesuai arahan dan pengarahan dari waqif atau pemberi harta wakaf. Jelas beda
sekali dengan zakat maupun pajak. Dengan berkembangkan zaman, muncul persoalan
baru, yaitu tentang seseorang yang mewakafkan uangnya. Dalam kasus wakaf uang
ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf uang

6
(waqf al-nuqud) secara mutlak tidak diperbolehkan. Seseorang harus mewakafkan
selain uang, khususnya benda-benda yang fisiknya tidak berubah. Rujukan tentang
dilarangnya wakaf uang ini adalah sebagai berikut: “Adapun wakaf sesuatu yang tidak
bisa diambil manfaatnya kecuali dengan melenyapkannya seperti emas, perak,
makanan, dan minuman maka tidak boleh menurut mayoritas fukaha. Yang dimaksud
dengan emas dan perak adalah dinar dan dirham dan yang bukan dijadikan perhiasan”.
Mewakafkan sesuatu yang benda fisiknya bisa rusak atau lenyap karena diguna-
kan maka hukumnya tidak boleh. Ulama kelompok ini menganjurkan agar wakaf
hanya dilakukan dengan memberikan benda yang fisiknya tidak berubah tetapi
manfaatnya bisa diambil. Berbeda halnya dengan golongan ulama kedua, mereka ini
menyatakan bahwa wakaf uang tetap diperbolehkan. Ibnu Syihab al-Zuhri juga
memperbolehkan wakaf dinar sebagaimana dinukil al- Bukhari. Telah dinisbatkan
pendapat yang mensahkan wakaf dinar kepada Ibnu Syihab al-Zuhri dalam riwayat
yang telah dinukil Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.
Ia berkata, Ibnu Syihab al-Zuhri berkata mengenai seseorang yang menjadikan seribu
dinar di jalan Allah (mewakafkan). Ia pun memberikan uang tersebut kepada budak
laki-lakinya yang menjadi pedagang. Maka si budak pun mengelola uang tersebut
untuk berdagang dan menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang
miskin dan kerabat dekatnya. Lantas, apakah lelaki tersebut boleh memakan dari
keuntungan seribu dinar tersebut jika ia tidak menjadikan keuntungannya sebagai
sedekah kepada orang-orang miksin? Ibnu Syihab al-Zuhri berkata, ia tidak boleh
memakan keuntungan dari seribu dinar tersebut,”
Para ulama kontemporer pun mulai berpikir kreatif. Dengan berpijak pada pen-
dapat Ibnu Syihab al-Zuhri, solusi untuk menerima wakaf uang adalah dengan
menjadikannya sebagai modal usaha. Modal usaha dapat ditumbuh kembangkan,
dimana modalnya tetap tidak berkurang, tetapi keuntungannya bisa bertambah.
Keuntungan di sini dapat digunakan untuk tujuan bersama.
Untuk itulah, seseorang yang sudah mengeluarkan harta wakaf tidak bisa
dianggap telah mengeluarkan zakat dari hartanya. Sebab, harta zakat boleh digunakan
sampai habis oleh penerimanya. Sedangkan harta wakaf tidak boleh dihabiskan oleh
penerimanya. Si penerima hanya boleh mengambil manfaat dari harta wakaf tanpa
boleh merusak bentuk fisiknya.

D. Manajemen dan Tata Kelola Zakat


Kita tidak sedang bicara tentang pajak dan wakaf karena dua hal itu berbeda dari
zakat. Untuk itulah, sekarang kita lanjut pembahasan tentang manajemen dan tata
kelola dana zakat. Salah satu instrument yang tak bisa lepas dari zakat adalah seorang
amil atau penyalur zakat. Secara harfiah, kata amil berarti pekerja. Tetapi, dalam
pembahasan tentang zakat, amil lebih cenderung dipahami sebagai individu yang
bekerja untuk memungut, mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat
kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.

7
Dalam ajaran Islam, seorang amil zakat, baik individu maupun lembaga juga
mempunyai hak bagian atas zakat. Hak mendapat zakat ini sudah tercantum dalam ayat
suci al-Qur’an. Bagaimana tidak bisa dipungkiri bahwa amil zakat berjasa besar dalam
pengumpulan maupun pendistribusian zakat pada para mustahiq.
Pada masa Rasulullah, pengelolaan zakat diamanatkan pada Baitul Mal. Pada
zaman itu, Baitul Mal tidak saja berfungsi sebagai pengelola keuangan Negara, tetapi
juga tempat menampung dana zakat umat muslim. Zakat dimasukkan ke dalam
instrument fiskal Negara di samping sudah ada jizyah, ghanimah, dan lain-lain. Belajar
dari sejarah ini, sangat masuk akal apa bila sebagian ulama menganjurkan agar zakat
diatur oleh negara sepenuhnya, tidak saja dilakukan secara tradisional dimana muzakki
menyerahkan zakat langsung kepada mustahiq.
Di jaman lampau, pengelolaan zakat pun menjadi lebih tertata rapi setelah masa
Khalifah Umar bin Khattab berkuasa. Sang Khalifah membentuk Diwan, yaitu
departemen khusus mengatur tentang zakat. Dari kata diwan ini kemudian kita
mengenal istilah dewan. Dalam konteks keindonesiaan kita, diwan seperti yang
dibentuk pada jaman khalifah Umar ini menjadi Badan Zakat Nasional (BAZNAS).
Diwan pada masa khalifah Umar bin Khattab sudah terbilang modern. Karena Diwan
bertugas untuk mengelola zakat dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengordinasi-
an dalam pengumpulan, pendistribusian dan pe,ndayagunaan zakat. Ini bisa dibilang
sebagai kontribusi besar Khalifah Umar dalam menatata sistem pemerintahan Islam
pada jamannya, serta sebagai hikmah besar untuk diambil pelajaran oleh umat muslim
sekarang.
Pada perkembangan kontemporer, dalam rangka memenuhi kebutuhan pengelo-
laan zakat yang optimal, maksimal, dan profesional, banyak instansi yang menamakan
dirinya sebagai organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Sejatinya, semua ini adalah
penerjemahan dari diwan yang sudah ada pada jaman Khalifah Umar bin Khattab.
Berikut ini beberapa lembaga organisasi yang berfokus pada pengelolaan zakat, di
antaranya:
1. BAZ (Badan Amil Zakat)
Badan Amil Zakat (BAZ) adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah. BAZ ini beranggotakan beberapa orang yang terdiri dari unsur masyarakat
dan pemerintah. Tugas utama BAZ adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
BAZ di Indonesia mempunyai beberapa tingkatan:
a. BAZ Pusat atau Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Aturan tentang BAZNAS
diatur dalam Keputusan Presiden No.8 Tahun 2001. Berdasarkan aturan presiden
ini, BAZNAS harus terdiri dari Badan Pelaksana, Komisi Pengawas, dan Dewan
Pertimbangan. Badan Pelaksana bertugas melaksanakan kebijakan BAZ. Komisi
Pengawas bertugas melaksanakan pengawasan internal atas operasional kegiatan
badan pelaksana. Sedangkan Dewan Pertimbangan bertugas memberikan pertim-
bangan fatwa, saran, rekomendasi tentang pengembangan hukum.
b. BAZNAS Provinsi. Pembentukan BAZ Provinsi diatur dalam keputusan Menteri
Agama no.118 tahun 2014.

8
c. BAZNAS Kabupaten/Kota. Dasar hukum pembentukannya adalah keputusan
Direktorat Jenderal Bimbigan Masyarakat Islam no. DJ.II/568 tahun 2014.
2. LAZ (Lembaga Amil Zakat)
Selain BAZ, ada juga Lembaga Amil Zakat (LAZ). Lembaga ini adalah institusi
pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang
dakwah, pendidikan, sosial atau kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan
dilindungi oleh pemerintah.
LAZ sejatinya adalah badan pembantu BAZNAS. Dasar hukum pembentukan
LAZ adalah UU RI No. 23 Tahun 2011. Berdasarkan undang-undang ini, LAZ akan
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan mengelola zakat. Apabila BAZNAS dikelola
oleh unsur masyarakat dan pemerintah maka LAZ dikelolah sepenuhnya oleh unsur
masyarakat.
Sebelum terbitnya UU RI No. 23 tahun 2011, yaitu dengan hanya merujuk pada
UU No. 38 tahun 1999, butir-butir payung hukum tentang LAZ hanya ada dua pasal
saja. Tetapi, semenjak ada amandemen dan muncul UU RI No. 23 Tahun 2011,
pembentukan LAZ mendapat sorotan lebih tajam dan terperinci. Ketentuan yang
tertulis dalam undang-undang semakin ketat. Pemerintah tampak lebih serius
mengatur LAZ dengan adanya pasal 17 s/d 20.
Salah satu hal yang penting dari undang-undang baru itu adalah bahwa LAZ
harus mendapat izin dari pemerintah, harus berbentuk lembaga hukum, dan terdaftar
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah
dan sosial. Pemerintah ingin memastikan bahwa tidak boleh ada lembaga yang dikelola
masyarakat tanpa tingkat profesionalitas yang tinggi. Harapannya pengelolaan zakat
lebih transparan, profesional, dan lebih bermutu.
3. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Unit Pengumpul Zakat (UPZ) adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh
Badan Amil Zakat di semua tingkatan dengan tugas mengumpulkan zakat untuk
melayani muzakki, yang berada pada desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah dan
swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri. UPZ ini dapat membantu BAZ, dan
oleh karenanya, ia tetap berada di bawah naungan hukum yang berlaku. UPZ adalah
kordinator lapangan.

Anda mungkin juga menyukai