Anda di halaman 1dari 33

FARINGITIS

No. ICD-10 : J02.9 Acute pharyngitis, unspecified, J31.2 Chronic pharyngitis


No. ICPC-2 : R74.Upper respiratory infection acute
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Prevalensi infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di Indonesia menurut RISKESDAS 2018
adalah 9,3%. Kira-kira sepertiga ISPA memiliki keluhan utama nyeri tenggorok. Faringitis akut
adalah salah satu penyebab umum kunjungan ke dokter atau pelayanan kesehatan dengan lebih
dari 15 juta kunjungan per tahun untuk faringitis streptokokus. Banyaknya jaringan limfoid di
faring dan adanya hubungan dengan dunia luar secara terus menerus selama respirasi
menyebabkan tingginya frekuensi faringitis.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit faringitis

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk mengurangi frekuensi penyakit, dan akibat yang
ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
faringitis yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.

DEFINISI
Faringitis merupakan peradangan pada mukosa faring, jaringan limfoid, otot, dan jaringan
lemak dan fasia sekitar. Faringitis dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%),
alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Faringitis bisa infeksius atau tidak infeksius, dan dapat juga
disebabkan oleh penyakit sistemik seperti penyakit autoimun atau gangguan kekebalan human
immunodeficiency virus (HIV).
ETIOLOGI
A. FARINGITIS AKUT
Pasien faringitis biasanya datang dengan keluhan nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagi,
disertai dengan demam, suara serak, hidung tersumbat, batuk, halitosis, dan malaise, tergantung
pada etiologinya. Meskipun ada berbagai kemungkinan diagnosis, penilaian yang akurat
terhadap perjalanan waktu, gejala, dan temuan fisik yang terkait akan mempersempit diagnosis
banding (Tabel 1 dan 2). Infeksi virus adalah penyebab paling umum faringitis anak dan
dewasa, tetapi pasien anak memiliki tingkat kejadian infeksi bakteri yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dewasa (30-40% dan 5-15%, masing-masing).

Tabel 1. Penyebab Infeksi Faringitis


Virus
Rhinovirus
Coronavirus
Adenovirus
Parainfluenza virus
Influenza virus types A and B
Measles virus
Respiratory syncytial virus
Coxsackie virus
Epstein-Barr Virus (EBV)
Cytomegalovirus (CMV)
Herpes Simplex Virus (HSV)
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Bakteri
GABHS (S. pyogenes)
Groups C and G Beta-Hemolytic Streptococcus
Corynebacterium diphtheriae
Neisseria gonorrhea
Arcanobacterium haemolyticum
Staphylococcus aureus
Treponema pallidum (Syphilis)
Fusobacterium
Francisella tularensis
Yersinia enterocolitica
Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium leprae
Chlamydia trachomatis
Mycoplasma pneumonia
Fungal
Candida albicans
Protozoa
Toxoplasma gondii
Sumber: Hoff & Chang, 2014
Tabel 2. Penyebab Non Infeksi Faringitis
Autoimun / Inflamasi
Penyakit Kawasaki
Pemphigus
Pemphigoid
Epidermolysis Bullosa
Erythema Multiforme/sindrom Stevens-Johnson
Penyakit Crohn
Sarcoidosis
Sindrom Behcet
Reactive arthritis (sindrom Reiter)
Lainnya
Benda asing
Trauma
Postnasl drip (PND)
Refluks laringofaring (LPR)
Neoplasma (karsinoma sel skuamosa, limfoma, leukemia)
Trauma konsumsi kaustik/termal
Merokok/paparan lingkungan
Sumber: Hoff & Chang, 2014

B. FARINGITIS KRONIK
Merupakan keadaan inflamasi kronik pada faring.
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Faringitis kronik hiperplastik ditandai secara patologis dengan hipertrofi mukosa, kelenjar
seromusin, folikel limfoid subepitel dan bahkan lapisan otot faring. Memiliki 2 bentuk, yaitu:
faringitis kataral kronik dan faringitis hipertrofi (granular).
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi, udara
pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring. Mukosa faring dengan kelenjar mukus tampak atrofi. Produksi mukus oleh
kelenjar yang sedikit menyebabkan pembentukan krusta yang jika terinfeksi menyebabkan bau
busuk.
Berbagai faktor yang berperan pada faringitis kronik yaitu:
1. Infeksi persisten sekitar. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, discharge purulen terus menerus
menetes ke faring dan menjadi sumber infeksi. Hal ini menyebabkan hipertrofi pita faring
lateral.
2. Pernafasan mulut. Bernafas melalui mulut menyebabkan faring terpapar ke udara yang tidak
disaring, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga lebih rentan terhadap
infeksi. Pernafasan mulut bisa disebabkan oleh:
a. Sumbatan hidung, contoh: polip hidung, rhinitis alergi atau vasomotor, hipertrofi konka,
deviasi septum atau tumor.
b. Sumbatan nasofaring, contoh: adenoid dan tumor
c. Gigi menonjol yang mencegah menutupnya bibir
d. Kebiasaan, tanpa penyebab organik
3. Iritan kronik. Perokok berlebihan, pengunyah tembakau, peminum berat atau pemakan
pedas dapat memicu faringitis kronik.
4. Polusi lingkungan. Lingkungan berasap atau berdebu atau asap industri iritan dapat
menyebabkan faringitis kronik.
5. Produksi suara yang salah. Penggunaan suara berlebihan atau produksi suara yang salah
pada profesi tertentu atau “pharyngeal neurosis” di mana orang sering berdehem, berdahak
atau mendengus, dapat menyebabkan faringitis kronik, terutama tipe hipertrofi.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. FARINGITIS AKUT
Faringitis dapat terjadi pada berbagai derajat keparahan. Infeksi ringan muncul dengan keluhan
rasa tidak nyaman di tenggorok, malaise dan demam suhu rendah. Faring tampak kongesti
tetapi tidak ada limfadenopati. Infeksi sedang dan berat muncul dengan keluhan nyeri di
tenggorok, disfagi, sakit kepala, malaise dan demam tinggi. Tampak eritema pada faring,
eksudat dan pembesaran tonsil dan folikel limfoid di dinding faring posterior. Pada kasus berat
tampak edema palatum mole dan uvula dengan pembesaran nodus servikal.
Tidak mungkin membedakan penyebab virus atau bakteri dari pemeriksaan fisik, tetapi infeksi
virus umumnya ringan dan disertai rinore dan suara serak, sedangkan infeksi bakteri lebih berat.
Faringitis gonokokus ringan dan dapat asimptomatik.
Yang terpenting adalah membedakan infeksi akut faringitis dengan pembentukan abses
peritonsil, retrofaring, dan parafaring yang membutuhkan tatalaksana lebih agresif. Juga harus
diwaspadai kemungkinan gejala keganasan faring yang menyerupai gambaran klinis faringitis,
dengan pemeriksaan biopsi dan histologi.
Kultur hapusan tenggorok membantu dalam diagnosis faringitis bakterial. Kultur dapat
mendeteksi 90% streptokokus grup A. Difteri dikultur di media khusus. Hapusan dari dugaan
kasus faringitis gonokokus harus segera dikultur. Tidak adanya pertumbuhan bakteri
menunjukkan kemungkinan etiologi virus.

1. Faringitis Viral
a. Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan berapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis. Didapatkan demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan.
Pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
b. Herpangina disebabkan oleh virus coxsackie virus dan terutama mengenai anak-anak.
Manifestasi klinis meliputi demam, nyeri tenggorok, dan erupsi vesikuler pada palatum
mole dan pilar. Vesikel kecil dan dikelilingi daerah eritema. Di kulit tampak ruam
maculopapular.
c. Faringitis limfonoduler akut juga biasanya disebabkan oleh virus coxsackie dan ditandai
dengan demam, malaise dan nyeri tenggorok. Nodul padat putih-kuning tampak pada
dinding faring posterior pada tipe faringitis ini.
d. Demam faringokonjungtiva disebabkan oleh adenovirus dan ditandai dengan nyeri
tenggorok, demam, dan konjungtivitis. Dapat disertai nyeri perut, menyerupai
apendisitis.
e. Mononukleosis infeksiosa disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Mengenai anak lebih tua
dan dewasa muda, ditandai oleh demam, nyeri tenggorok, faringitis eksudatif,
limfadenopati, splenomegali, dan hepatitis. Sitomegalovirus terutama mengenai pasien
transplant imunosupresif. Secara klinis, menyerupai mononukleosis infeksiosa tetapi tes
antibodi heterofil negatif.
f. Measles dan chickenpox juga menyebabkan faringitis. Measles ditandai oleh munculnya
bercak Koplik (bercak putih dikelilingi areola merah) pada mukosa bukal yang bersisian
dengan gigi molar. Bercak tampak 3-4 hari sebelum munculnya ruam.
g. Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan,
mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.

2. Faringitis Bakterial
Infeksi grup A Streptokokus β hemolitikus (GABHS) merupakan penyebab faringitis akut
pada orang dewasa dan pada anak. Infeksi GABHS dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan
demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang
anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan
infeksi melalui sekret hidung dan ludah (droplet infection). Didapatkan gejala nyeri kepala
yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai
batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum
dan faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.

3. Faringitis Jamur
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Infeksi candida di orofaring
dapat terjadi sebagai perluasan dari sariawan di rongga mulut (oral trush). Hal ini terlihat
pada pasien yang imunosupresif, lemah atau menggunakan antimikroba dosis tinggi.
Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
Sabouroud dextrosa.

4. Penyebab lain faringitis


a. Faringitis gonorea hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
b. Infeksi Chlamydia trachomatis menyebabkan faringitis akut dan dapat diterapi dengan
eritromisin atau sulfonamide. Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii,
parasite intraseluler obligat. Infeksi ini sangat jarang.
c. Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga penyakit
lues di organ lain. Gambaran klinik faringitis luetika tergantung pada stadium penyakit
primer, sekunder atau tersier. Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum
mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus
berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak
nyeri, juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan. Stadium
sekunder jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah
laring. Pada stadium tersier terdapat guma dengan predileksi pada tonsil dan palatum.
Jarang pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas
ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di
palatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi palatum secara permanen. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
serologik.
d. Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi
kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer Cara infeksi
eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman
melalui udara Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis
miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi
dan lesi sering ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding
lateral hipofaring, palatum mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher
membengkak (penyebaran secara limfogen). Keadaan umum pasien buruk karena
anoreksi dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga
atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal. Untuk menegakkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan sputum basil tahan asam, foto toraks untuk melihat adanya
tuberkulosis paru dan biopsi jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses
keganasan serta cari kuman basil tahan asam di jaringan.

B. FARINGITIS KRONIK
Keparahan gejala pada faringitis kronik bermacam-macam yaitu:
1. Tidak nyaman atau nyeri di tenggorok. Terutama pada pagi hari
2. Sensasi benda asing di tenggorok. Pasien memiliki keinginan untuk menelan atau berdehem
terus menerus untuk menyingkirkan “benda asing”.
3. Kelelahan bersuara. Pasien tidak dapat berbicara lama dan harus melakukan usaha untuk
berbicara saat tenggorok mulai sakit. Suara juga dapat kehilangan kualitasnya dan dapat
pecah.
4. Batuk. Tenggorok mudah dan cenderung batuk. Membuka mulut saja dapat memicu muntah
atau tersedak.
5. Rasa kering dan tidak nyaman di tenggorok adalah keluhan utama pada faringitis kronik
atrofi. Berdahak dan batuk kering dapat disebabkan oleh pembentukan krusta.
Tanda yang didapatkan
1. Faringitis kataral kronik. Terdapat kongesti dinding faring posterior dengan pembengkakan
pembuluh darah, faucial pillar dapat menebal. Terdapat peningkatan sekresi mukus yang
dapat melapisi mukosa faring.
2. Faringitis hipertrofik (granular)
(a) Dinding faring dapat tampak tebal dan udem dengan mukosa kongesti dan pembuluh
darah dilatasi.
(b)Dinding faring posterior dapat bertabur nodul kemerahan (faringitis granular). Nodul ini
disebabkan oleh hipertrofi dari folikel limfoid subepitel yang normal tampak di faring
(gambar)
(c) Lateral band faring hipertrofi
(d)Uvula dapat memanjang dan tampak udem.
3. Faringitis kronik atrofi. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang:
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
KOMPLIKASI
Tonsilitis, abses peritonsil, abses retrofaring, gangguan fungsi tuba eustachius, otitis media
akut, sinusitis, laringitis, epiglottitis, meningitis, glomerulonephritis akut, demam rematik akut,
septikemia.

PENATALAKSANAAN
A. FARINGITIS AKUT
Umumnya, sebagian besar pasien dirawat secara suportif untuk gejala nyeri dan disfagia, tetapi
antibiotik digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri, atau adanya infeksi oportunistik pada
pejamu yang kekebalannya terganggu.
1. Umum.
Tirah baring, banyak cairan, kumur salin hangat atau irigasi faring dan analgetik merupakan
terapi utama
2. Khusus.
a. Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan
dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada
anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
b. Antibiotik diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini GABHS. Penisilin
G benzathine 50.000 U/kgBB IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis
dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau
eritromisin 4 x 500 mg/hari.
c. Difteri diterapi dengan antitoksin difteri dan penisilin atau eritromisin.
d. Faringitis gonorea diterapi dengan sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IV.
e. Nystasin 100.000 - 400.000 2 kali/hari diberikan pada faringitis jamur
f. Terapi penisilin dalam dosis tinggi merupakan obat pilihan utama faringitis luetika.
g. Terapi faringitis tuberkulosis sesuai dengan terapi tuberkulosis paru.

B. FARINGITIS KRONIK
1. Pada setiap kasus faringitis kronik, faktor penyebab harus dicari dan dihilangkan. Penyakit
di hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi, pengobatan
ditujukan pada rinitis atrofinya.
2. Isitrahat bicara dan terapi wicara penting untuk mereka dengan produksi suara yang salah.
Kebiasaan berdehem atau lainnya harus dihentikan
3. Kumur salin hangat, terutama di pagi hari, akan meredakan rasa tidak nyaman.
4. Kaustik granule limfoid disarankan. Tenggorok disemprot anestesi lokal dan granule diolesi
dengan perak nitrat 10-25%. Elektrokauter atau diatermi nodul mungkin memerlukan
anestesi umum.
5. Krusta pada faringitis kronik atrofi dapat dilepas dengan menyemprot tenggorok dengan
larutan alkali atau irigasi faring. Pada faringitis kronik atrofi, obat kumur akan membantu
melepas krusta dan meningkatkan sekresi. Mandl’s paint diberikan di mukosa faring
memiliki efek menyegarkan rongga mulut. Solusio kalium iodida sebanyak 10 tetes, tiga
kali sehari, diberikan per oral bersama makanan selama beberapa hari untuk meningkatkan
sekresi dan mencegah krusta.

CATATAN: Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran

KONSELING DAN EDUKASI


1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit, sifat
penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), jenis dan mekanisme
kerja obat-obatan dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter
2. Pola hidup sehat. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi dan olahraga
teratur.
3. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan menghindari faktor pencetus
seperti rokok dan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
4. Selalu menjaga hygiene mulut dan tangan

KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Pasien dengan komplikasi seperti abses peritonsil, abses retrofaring, epiglottitis, meningitis,
glomerulonephritis akut, demam rematik akut, septicemia.
2. Pasien tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan pemeriksaan penunjang khusus
seperti pemeriksaan biopsi dan histologi.

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

PERALATAN
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi kapas

DAFTAR PUSTAKA

1. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018. Diakses: 1 Desember 2020 dari
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf
2. Hoff SR, Chang KW. Pharyngitis. In: Johnson JT, Rosen CA, editor. Bailey's Head & Neck
Surgery: Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p.
757-769.
3. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018. p. 287-289.
4. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p. 195-203.
5. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. In: Adams GL, Boies Jr. LR,
Higlerr PA, editors. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 320-355.
LARINGITIS
No. ICD-10 : J04.0 Acute laryngitis, J 37.0 Chronic laryngitis
No. ICPC-2 : R77. Acute laryngitis
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis (common
cold). Pada anak laringitis akut ini dapat menimbulkan sumbatan jalan napas, sedangkan
pada orang dewasa tidak secepat pada anak.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit laringitis

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk mengurangi frekuensi penyakit, dan akibat yang
ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
laringitis yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.

DEFINISI
A. LARINGITIS AKUT
Laringitis akut merupakan peradangan akut pada laring, dapat infeksius atau non infeksius.
Jenis infeksius lebih umum dijumpai dan biasanya terjadi setelah infeksi saluran pernapasan
atas. Diawali oleh infeksi virus (Parainfluenza, Influenza, Herpes Simplex Virus), tetapi
segera diikuti oleh invasi bakteri Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis dan Streptokokus hemolitikus atau Stafilokokus aureus. Penyebab
jamur adalah Candida albicans.
Jenis non infeksius disebabkan oleh penyalahgunaan vokal, alergi, luka bakar termal atau
kimiawi pada laring karena menghirup atau menelan berbagai zat, atau trauma laring seperti
intubasi endotrakeal. Berteriak dan bicara keras membutuhkan penutupan plika vokalis yang
kuat yang berisiko menyebabkan edema interaritenoid
Laryngitis akut dibagi kedalam beberapa jenis, yaitu:
1. Laringitis Supraglotis (Epiglottitis Akut)
Merupakan kondisi peradangan akut yang terbatas pada supraglotis, yaitu epiglotis, plika
ariepiglotika dan aritenoid. Didapatkan edema bermakna pada struktur ini yang dapat
menyumbat jalan napas.
2. Laringo-Trakeo-Bronkitis Akut (CROUP)
Merupakan kondisi peradangan pada laring, trakea dan bronkus. Kejadian lebih sering
daripada epiglotitis akut
3. Laringitis Difteri
Sebagian besar merupakan sekunder dari tonsilitis difteri yang menyerang anak berusia
difteri kurang dari 10 tahun. Insiden difteri secara umum menurun karena meluasnya
pemberian imunisasi.
Komplikasi difteri laring disebabkan oleh:
a. Pembentukan pseudomembran yang keras menutupi laring dan trakea yang dapat
menyumbat jalan napas secara total.
b. Eksotoksin yang dilepaskan bakteri yang menyebabkan miokarditis dan berbagai
komplikasi neurologis.

B. LARINGITIS KRONIK
Laringitis kronis terjadi ketika radang pita suara terjadi lebih dari tiga minggu sejak gejawal
awal ditemukan. Umumnya, gejala laringitis yang paling mudah terdeteksi adalah
pembengkakan di area pita suara. Selain itu, perubahan suara seperti suara berubah menjadi
lebih serak juga bisa jadi tanda awal.
Laryngitis kornik dibari ke beberapa jenis, yaitu:
1. Laryngitis Kronis tanpa Hiperplasia (Laringitis Kronis Hiperemis)
Merupakan kondisi peradangan yang menyebar secara simetris melibatkan seluruh laring,
yaitu plika vokalis, plika ventrikularis, daerah interaritenoid dan pangkal epiglotis.
2. Laryngitis Kronis Hiperplasia (laryngitis Kronis Hipertrofik)
Dapat berupa proses difus dan simetris atau terlokalisasir (tampak seperti tumor laring).
Variasi lokal muncul sebagai disfonia plika ventrikularis, nodul pita suara, polip pita
suara, edema Reinke dan ulkus kontak
3. Refluks Laringofaring
Refluks laringofaring adalah peradangan mukosa laring faring disebabkan oleh naiknya
isi lambung melewati sfingter esofagus bagian atas.
Disebabkan oleh disfungsi sfingter esofagus bagian atas, memburuk dengan aktivitas
fisik dan meningkatnya tekanan intraabdominal.
4. Laringitis Tuberkulosis
Hampir selalu sekunder dari tuberkulosis paru, kebanyakan mempengaruhi laki-laki
dalam kelompok usia pertengahan (36-55 tahun). Sering kali setelah diberi pengobatan,
tuberkulosis parunya sembuh setapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi
karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang
tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih
lama.
ETIOLOGI
Penyebab tersering dan paling umum dari laringitis adalah akibat terlalu banyak
menggunakan suara dan infeksi virus. Beberapa penyebab lainnya, antara lain:
1. Trauma atau kerusakan pada pita suara
2. Reaksi alergi.
3. Pneumonia.
4. Penggunaan obat kortikosteroid hirup.
5. Mengering dan teriritasinya laring.
6. Infeksi saluran pernapasan atas akut.
7. Infeksi bakteri, atau jamur.
8. Bronkitis.
9. Gastroesophageal reflux disease (GERD), atau naiknya asam lambung ke tenggorokan
lewat kerongkongan
10. Bahan kimia dan stimulator.

Selain itu, penyebab dari laryngitis bisa dilihat dari jenis penyakit laringitisnya, seperti
dibawah ini:
1. Laringitis Supraglotis (Epiglottitis Akut)
Merupakan kondisi serius yang menyerang anak-anak berusia 2–7 tahun, tetapi juga
dapat menyerang usia dewasa. H. influenzae B adalah organisme penyebab utama pada
anak. Kejadian berkurang dengan dilakukannya vaksinasi rutin pada anak
2. Laringo-Trakeo-Bronkitis Akut (CROUP)
Sebagian besar adalah infeksi virus (parainfluenza tipe I dan II), menyerang anak-anak
usia 6 bulan-3 tahun. Anak laki-laki lebih sering terkena. Dapat diikuti infeksi sekunder
bakteri kokus gram positif.
Ditambah dengan sekret dan krusta yang lengket dan tebal, jalan napas menjadi tertutup.
3. Laryngitis Kronis tanpa Hiperplasia (Laringitis Kronis Hiperemis)
a. Kelanjutan laringitis akut sederhana yang tidak tuntas atau serangan berulangnya.
b. Adanya infeksi kronis di sinus paranasal, gigi, tonsil, dan dada memiliki peran penting.
c. Faktor pekerjaan, mis. paparan debu dan asap, seperti di buruh tambang, pengrajin
emas atau besi dan pekerja di industri kimia.
d. Merokok dan alkohol.
e. Trauma batuk yang menetap seperti pada penyakit paru-paru kronis.
f. Penyalahgunaan vokal.
4. Laryngitis Kronis Hiperplasia (laryngitis Kronis Hipertrofik)
a. Kelanjutan laringitis akut sederhana yang tidak tuntas atau serangan berulangnya.
b. Adanya infeksi kronis di sinus paranasal, gigi, tonsil, dan dada memiliki peran penting.
c. Faktor pekerjaan, mis. paparan debu dan asap, seperti di buruh tambang, pengrajin
emas atau besi dan pekerja di industri kimia.
d. Merokok dan alkohol.
e. Trauma batuk yang menetap seperti pada penyakit paru-paru kronis.
f. Penyalahgunaan vokal.
PATOFISIOLOGI
A. LARINGITIS AKUT
1. Laringo-Trakeo-Bronkitis Akut (CROUP)
Jaringan areolar longgar di daerah subglotis membengkak dan menyebabkan sumbatan
jalan napas dan stridor. Ditambah dengan sekret dan krusta yang lengket dan tebal, jalan
napas menjadi tertutup.

B. LARINGITIS KRONIK
1. Laryngitis Kronis Hiperplasia (laryngitis Kronis Hipertrofik)
Perubahan patologis dimulai di daerah glotis dan kemudian dapat meluas ke plika
ventrikularis, pangkal epiglotis dan bahkan subglotis. Mukosa, submukosa, dan kelenjar
mukus, dan pada stadium lanjut otot laring intrinsik dan sendi dapat terpengaruh.
Awalnya, terjadi hiperemi, edema, dan infiltrasi sel di submukosa. Epitel berlapis semu
bersilia dari mukosa pernapasan berubah menjadi epitel skuamosa, dan epitel skuamosa
di plika vokalis mengalami hiperplasi dan keratinisasi. Kelenjar mukus mengalami
hipertrofi pada awalnya tetapi lama kelamaan mengalami atrofi dengan berkurangnya
sekresi dan laring menjadi kering
2. Laringitis Tuberkulosis
Lebih sering menyerang laring bagian posterior laring daripada anterior. Bagian yang
diserang secara berurutan adalah: (i) lipatan interaritenoid, (ii) plika ventrikularis, (iii)
plika vokalis dan (iv) epiglotis.
Basil tuberkel mencapai laring melalui jalur bronkogenik atau hematogen. Basil tuberkel,
terbawa sputum dari bronkus, mengendap dan menembus partikel mukosa laring yang
intak terutama di daerah interaritenoid (penyebaran bronkogenik). Hal ini menyebabkan
pembentukan tuberkel submukosa yang selanjutnya mengalami kaseosa dan ulserasi.
Mukosa laring tampak merah dan bengkak karena infiltrasi seluler (pseudoedema).
Tahapan perikondritis dan nekrosis kartilago jarang terlihat saat ini.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. LARINGITIS AKUT
Gejala biasanya muncul tiba-tiba dan terdiri dari:
1. Suara serak yang dapat menyebabkan hilangnya suara sama sekali (afoni).
2. Ketidaknyamanan atau nyeri di tenggorok, terutama setelah berbicara.
3. Batuk kering dan mengiritasi yang biasanya memburuk pada malam hari.
4. Gejala umum seperti flu, tenggorok terasa nyeri dan kering, malaise dan demam jika
laringitis terjadi setelah infeksi virus di saluran pernapasan bagian atas.
5. Tidak didapatkan sesak napas (adanya sesak napas harus dicurigai diagnosis lain)
Untuk menegakkan diagnosis harus didapatkan juga riwayat faktor pencetus
(penyalahgunaan vokal, ISPA, refluks asam). Refluks asam pada laring belum tentu disertai
gejala GERD (heartburn, dll). Refluks asam dicurigai jika suara serak muncul setelah pasien
tidur segera setelah makan banyak, atau setelah minum alkohol. Rasa tidak enak di mulut
saat bangun tidur adalah tanda lain refluks nokturnal.
Penampakan laring bervariasi sesuai tingkat keparahan penyakit. Pada stadium awal,
terdapat eritema dan edema epiglotis, plika ariepiglotika, aritenoid dan ventrikularis, tetapi
plika vokalis tampak putih seperti normal, sangat berbeda dengan mukosa sekitarnya, dan
tidak sesuai dengan tingkat suara serak yang dikeluhkan pasien. Selanjutnya, hiperemi dan
pembengkakan memberat. Plika vokalis juga menjadi merah dan bengkak. Daerah subglotis
juga terlibat. Sekret lengket terlihat di antara antara plika vokalis dan daerah interaritenoid.
Pada kasus penyalahgunaan vokal, perdarahan submukosa dapat terlihat di plika vokalis.
Harus dicari juga adanya tanda ISPA, sinusitis, dan tonsilitis.

1. Laringitis Supraglotis (Epiglottitis Akut)


Gejala:
a. Timbulnya gejala mendadak dengan perkembangan yang cepat.
b. Nyeri tenggorok dan disfagia adalah gejala yang umum terjadi pada orang dewasa.
c. Dispnea dan stridor adalah gejala yang umum terjadi pada anak-anak. Memburuk
cepat dan dapat berakibat fatal jika tidak diatasi.
d. Demam dapat mencapai 40°C. disebabkan oleh septikemia dan kondisi pasien dapat
memburuk dengan cepat.
Tanda:
a. Pemeriksaan lidah dengan menekannya dengan spatula lidah mungkin menunjukkan
epiglotis merah dan bengkak. Laringoskopi tidak langsung mungkin menunjukkan
struktur supraglotis edema dan kongestif. Tetapi pemeriksaan ini harus dihindari
karena risiko memicu sumbatan total sehingga sebaiknya dilakukan di ruang operasi
di mana peralatan intubasi tersedia.
b. Rontgen jaringan lunak lateral pada leher mungkin menunjukkan epiglotis yang
bengkak (thumb sign). Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan jika didapatkan sesak
napas yang ringan.

2. Laringo-Trakeo-Bronkitis Akut (CROUP)


Penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas dengan suara serak dan batuk
menggongong (barking cough). Demam mencapai 39–40°C. Diikuti kesulitan bernafas
dan stridor inspirasi. Kesulitan bernapas dapat meningkat bertahap dengan tanda-tanda
sumbatan jalan napas bagian atas, mis. retraksi suprasternal dan interkostal. Agitasi dan
meningkatnya nadi merupakan tanda hiperkarbia. Pucat sekitar mulut (circumoral pallor)
dan sianosis adalah tanda lanjut. Perbedaan antara epiglotitis akut dan
laringotrakeobronkitis akut tercantum di tabel berikut.
Epiglotitis Akut Laringo-Trakeo-Bronkitis
Akut
Organisme penyebab Haemophilus influenzae tipe B Parainfluenza virus tipe I dan II
Usia 2-7 tahun 3 bulan - 3 tahun
Patologi Laring supraglotis Subglotis
Gejala prodromal Tidak ada Ada
Onset Mendadak Lambat
Demam Tinggi Rendah atau tidak ada
Penampakan pasien Toksik Tidak toksik
Batuk Biasanya tidak ada Ada (seperti menggonggong)
Stridor Ada dan dapat jelas Ada
Odinofagi Ada, dengan drooling Biasanya tidak ada
Radiologi Thumb sign pada foto lateral Steeple sign pada foto
anteroposterior leher
Terapi Oksigen humidifikasi, Sungkup oksigen humidifikasi,
sefalosporin generasi III steroid
(seftriakson) atau amoksisilin

3. Laringitias Difteri
Gejala dan tanda:
1. Gejala umum. Onset lambat tetapi mematikan dengan demam suhu rendah dengan
(37,8-38,3°C), nyeri tenggorok dan malaise tapi pasien tampak sangat toksik dengan
takikardia dan denyut nadi lemah dan cepat.
2. Gejala laring. Suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dispnea
meningkat dengan tanda sumbatan jalan nafas atas yang jelas.
3. Membran. Membran berwarna putih keabu-abuan terlihat pada tonsil, faring dan
langit-langit lunak. Melekat dan bila dilepas meninggalkan permukaan yang
berdarah. Membran serupa dapat terlihat di atas laring dan trakea.
4. Limfadenopati servikal. Karakteristik "bullneck ”mungkin terlihat.
Difteri laring sebagian besar disebabkan oleh difteri tonsil. Diagnosis selalu klinis tetapi
dikonfirmasi oleh apusan dan kultur Corynebacterium diphtheriae. Terapi dimulai
berdasarkan kecurigaan klinis

B. LARINGITIS KRONIK
1. Laryngitis Kronis tanpa Hiperplasia (Laringitis Kronis Hiperemis)
Gejala:
a. Suara serak. Merupakan keluhan paling umum. Lelah berbicara dan pasien menjadi
afonia di penghujung hari.
b. Rasa berlendir terus menerus. Rasa kering dan gatal di tenggorok membuat pasien
sering berdehem untuk membersihkan tenggorok.
c. Tidak nyaman di tenggorok.
d. Batuk. Kering dan mengganggu
Pemeriksaan laring. Tampak hiperemi struktur laring. Plika vokalis tampak merah
kusam dan tumpul. Bintik-bintik lendir kental terlihat di pita suara dan daerah
interaritenoid
2. Laryngitis Kronis Hiperplasia (laryngitis Kronis Hipertrofik)
Kebanyakan menyerang laki-laki (8: 1) dalam kelompok umur 30–50 tahun. Suara serak,
keinginan terus menerus untuk membersihkan tenggorok, batuk kering, kelelahan
berbicara dan rasa tidak nyaman di tenggorok saat bersuara untuk waktu yang lama
adalah gejala yang paling umum.
Pada pemeriksaan laring, perubahan sering difus dan simetris.
a. Mukosa laring, secara umum berwarna merah kehitaman dan menebal.
b. Plika vokalis tampak merah dan bengkak. Tepinya yang tajam menjadi tumpul. Pada
tahap akhir, plika vokalis menjadi tampak besar dan tidak teratur memberikan
penampakan nodular.
c. Plika ventrikularis tampak merah dan bengkak dan mungkin saja disalahartikan
sebagai prolaps atau eversi ventrikel.
d. Mobilitas plika terganggu karena edema dan infiltrasi, dan selanjutnya karena atrofi
otot atau artritis pada sendi krikoaritenoid.
Perubahan lokal dapat berupa:
a. Nodul pita suara. Nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil, berwarna
keputihan. Predileksi nodul terletak di sepertiga anterior pita suara dan sepertiga
medial)
b. Polip pita suara. Biasanya bertangkai. Lesi bisa terletak di sepertiga anterior, sepertiga
tengah bahkan seluruh pita suara. Lesi biasanya unilateral. Terdapat 2 jenis polip yaitu
mukoid dan angiomatosa. Polip mukoid berwarna keabu-abuan dan jernih sedangkan
polip angiomatosa berwarna merah tua karena perbedaan tingkat vaskularisasinya.
c. Edema reinke (degenerasi polipoid pita suara). Edema ruang subepitel plika vokalis
(reinke space). Plika vokalis tampak bengkak bilateral simetris (fusiform, translusen
pucat). Plika ventrikularis mungkin tampak hiperemi dan hipertofi menutupi plika
vokalis.
d. Ulkus kontak (pachydermia laryngis). Jaringan granulasi (merah/abu-abu) di daerah
interaritenoid dan sepertiga posterior plika vokalis, bilateral simetris. Kadang tampak
ulserasi di sepertiga posterior plika vokalis karena benturan prosesus vokalis secara
konstan saat berbicara (ulkus kontak). Tidak menuju keganasan.

3. Refluks Laringofaring
Gejala antara lain: disfoni (kronis/intermiten), kelelahan berbicara, suara pecah, sering
berdehem kronis, lendir tenggorok berlebihan, “post nasal drip”, batuk kronis, disfagi,
globus, sumbatan jalan napas (intermiten/kronis). Hanya 25-30% memiliki keluhan
heartburn.
Reflux Symptom Index (RSI) digunakan untuk menilai keluhan pasien dan evaluasi
efikasi pengobatan. Terdapat 9 item pertanyaan dengan skala penilaian per item 0-5 (0:
tidak ada masalah, 5: masalah berat), selama sebulan terakhir apakah didapatkan gejala
berikut:
a. Suara serak/masalah suara
b. Sering berdehem
c. Post nasal drip/lendir tenggorok berlebih
d. Sulit menelan (makanan, cairan, atau pil)
e. Batuk setelah makan/berbaring
f. Sulit bernapas/tersedak
g. Batuk mengganggu
h. Sensasi rasa lengket di tenggorok atau mengganjal (lump) di tenggorok
i. Heartburn, nyeri dada, gangguan pencernaan, atau asam lambung naikTotal skor >13
menunjukkan adanya refluks laringofaring.

Pemeriksaan laring:
Tanda pada laring bervariasi dari edema ringan setempat, dan/atau eritema daerah
kartilago aritenoid hingga edema dan hiperemi laring difus dengan pembentukan
granuloma dan sumbatan laring.
Reflux Finding Score (RFS) dikembangkan untuk menilai derajat peradangan laring dan
evaluasi pengobatan. Item yang dinilai antara lain:
a. edema subglotis (ada/tidak);
b. obliterasi ventrikuler (parsial/komplit);
c. Eritema/hiperemi (aritenoid saja/difus);
d. Edema plika vokalis (ringan/sedang/berat/polipoid);
e. edema laring difus (ringan/sedang/berat/obstruktif);
f. Hipertrofi komisura posterior (ringan/sedang/berat/obstruktif);
g. Granuloma/granulasi (ada/tidak);
h. Mukus endolaring kental (ada/tidak).
Tanda yang nyata adalah pseudosulkus vokalis (pembengkakan subglotis yang
menyerupai sulkus) dan obliterasi ventrikuler (akibat pembengkakan plika vokalis dan
plika ventrikularis). Diagnosis baku dengan evaluasi pH dengan double probe (esofagus
dan faring) selama 24 jam (pH-metri).

4. Laringitis Tuberkulosis
Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu :
a. Stadium infiltrasi
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis ialah mukosa laring
bagian posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa
laring berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga
mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin
membesar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di
atasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan
timbul ulkus.
b. Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. UIkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi oleh perkejuan, dirasakan nyeri oleh pasien. Ulserasi plika vokalis
memberikan tanda seperti gigitan tikus (mouse-nibbled appearance).
c. Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring, dan yang paling sering
terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan
tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut, dan
terbentuk sekuester (squester). Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk
dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut
dan masuk dalam stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
d. Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara dan
subglotik.
Tergantung pada stadiumnya, terdapat gejala sebagai berikut :
a. Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.
b. Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan pada stadium lanjut dapat
timbul afoni.
c. Hemoptisis.
d. Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas.
e. Keadaan umum buruk.
f. Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik) terdapat proses aktif (biasanya
pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne)
Selain pemeriksaan rontgen dada dan sputum, biopsi lesi laring penting untuk
menyingkirkan karsinoma dan membedakannya dari kondisi lain.

DIAGNOSIS BANDING

Laringitis tuberkulosis
1. Laringitis luetika (sifilis laring). Kondisi langka sekarang. Hanya gumma tahap tersier
terkadang terlihat. Kadang-kadang menyerupai keganasan laring. Apabila guma pecah,
maka timbul ulkus yang sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah
tua serta mengeluarkan eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus tidak nyeri dan
menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis. Gejala: suara parau dan batuk kronis, disfagia jika guma di dekat introitus
esofagus. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Bila terjadi
penyembuhan spontan dapat terjadi stenosis laring, karena terbentuk jaringan parut.
Terapi dengan penisilin dengan dosis tinggi, pengangkatan sekuester, trakeostomi jika
ada sumbatan laring karena stenosis, dilakukan trakeostomi
2. Lupus vulgaris laring. Merupakan infeksi tuberkular lambat yang berhubungan dengan
lupus hidung dan faring. Melibatkan bagian anterior laring. Epiglotis diserang pertama
kali dan mungkin hancur total oleh penyakit. Lesi menyebar ke lipatan ariepiglotika dan
kadang-kadang ke plika ventrikularis. Lupus laring tidak menimbulkan rasa sakit dan
seringkali asimtomatik. Ditemukan dalam pemeriksaan rutin laring pada kasus lupus
hidung. Terapi adalah obat antituberkulosis. Prognosis baik.
3. Karsinoma laring. Merupakan karsinoma sel skuamosa yang umumnya terletak di glottis
dengan keluhan utama suara serak dan sensasi globus. Jika terletak di supraglotis
memberikan gejala odinofagi ringan, disfagi dan otalgi karena nyeri alih. Jika terletak di
subglotis (jarang) memberikan gejala sumbatan jalan napas, stridor dan dyspnea.
Metastase ke nodus servikal lebih sering didapatkan pada kanker supraglotis daripada
glottis dan subglotis. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi laring. Terapi dan prognosis
tergantung stadium kanker.
4. Aktinomikosis laring. Penyakit granulomatosa laring disebabkan bakteri anaerob
Actinomyces bovis atau Actinomyces israelli. Awalnya melibatkan daerah servikal dan
mandibula dan selanjutnya ke paralaring dan laring. Manifestasi klinis awal adalah nyeri,
kemudian suara serak, batuk, dan akhirnya sumbatan jalan napas. Laring tampak eritema
dan bengkak difus dengan sinus mengalir, konsistensi padat keras. Diagnosis dengan
identifikasi “granul sulfur” pada materi biopsi dan kultur mikroorganisme. Terapi jangka
panjang dengan penisilin atau tetrasiklin. Komplikasi berupa stenosis dan fiksasi laring
karena ulserasi dalam dan kondritis jika tidak diobati.

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
A. LARINGITIS AKUT
Umumnya sembuh spontan dalam 1-2 minggu, tetapi dapat pula berlanjut menjadi laringitis
kronik jika ada faktor pencetus yang berkepanjangan seperti refluks gastroesofageal atau
penyalahgunaan vokal.
1. Istirahat berbicara dan bersuara. Ini adalah faktor terpenting. Penggunaan suara selama
laringitis akut akan menyebabkan pemulihan lama atau tidak tuntas.
2. Hidrasi cukup.
3. Menghindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas atau
minum es, dan alkohol.
4. Menghirup uap. Dapat dilakukan dengan minyak kayu putih atau pinus yang
menyegarkan dan mengencerkan sekret yang kental.
5. Obat pereda batuk. Untuk menekan batuk yang mengganggu.
6. Mukolitik. Hindari antihistamin (yang memiliki efek mengeringkan)
7. Antibiotik. Bila ada infeksi sekunder dengan demam dan toksemia atau dahak purulen.
8. Analgesik. Untuk meredakan rasa sakit dan tidak enak setempat.
9. Steroid. Hanya digunakan jika penggunaan suara dibutuhkan segera (penyanyi,
profesional). Steroid berguna pada radang tenggorok setelah luka bakar termal atau
kimiawi.
10. H2 blocker atau proton pump inhibitor (PPI) jika dicurigai refluks asam.

Secara khusus penatalaksanaan laringitis berdasarkan jenisnya adalah:


1. Laringitis Supraglotis (Epiglottitis Akut)
a. Amankan jalan napas, jika ada sumbatan jalan napas. Dilakukan di ruang operasi,
dengan Intubasi endotrakea atau trakeostomi. Pada dewasa dengan gejala tanpa
stridor berat selama 8 jam setelah onset mungkin tidak memerlukan intubasi
endotrakea atau trakeostomi, cukup observasi ketat dan medikamentosa.
b. Rawat inap. Penting karena bahaya sumbatan jalan napas
c. Antibiotik. Ampisilin atau sefalosporin generasi ketiga efektif melawan H.
influenzae dan diberikan dengan rute parenteral (i.m. atau i.v.) tanpa menunggu hasil
usap tenggorok dan kultur darah.
d. Steroid. Hidrokortison atau deksametason diberikan dalam dosis yang tepat i.m. atau
i.v. untuk mengatasi edema dan mungkin menghindarkan pasien dari kebutuhan
trakeostomi.
e. Hidrasi yang cukup. Pasien mungkin membutuhkan cairan parenteral.
f. Humidifikasi dan oksigen. Pasien mungkin membutuhkan mist tent atau croupette

2. Laringo-Trakeo-Bronkitis Akut (CROUP)


a. Rawat inap seringkali dibutuhkan karena meningkatnya kesulitan bernapas.
Manipulasi apapun pada pasien dapat memicu distres pernapasan akut. Berikan
anestesi inhalasi (sevoflurane) dan oksigen ke pasien, amankan jalur i.v. dan
kemudian lakukan laringoskopi untuk menegakkan diagnosis. Lakukan apusan
laring untuk uji kultur dan sensitivitas dan intubasi pasien. Sebagian besar pasien
sembuh dengan antibiotik, steroid dan intubasi dalam 48 jam.
b. Antibiotik seperti ampisilin 50 mg / kg / hari dalam dosis terbagi efektif melawan
infeksi sekunder akibat kokus gram positif dan H. influenzae.
c. Humidifikasi membantu melunakkan kerak dan sekret lengket yang menyumbat
saluran trakeobronkial.
d. Cairan parenteral penting untuk mengatasi dehidrasi.
e. Steroid, misalnya hidrokortison 100 mg i.v. dapat mengatasi edema.
f. Adrenalin, adrenalin racemic yang diberikan melalui respirator adalah bronkodilator
dan dapat mengatasi dispnea dan mencegah trakeostomi.
g. Dilakukan intubasi / trakeostomi jika sumbatan meningkat walau sudah dilakukan
tindakan di atas. Trakeostomi dilakukan jika intubasi diperlukan setelah 72 jam.
Bantuan ventilasi mungkin diperlukan.

3. Laringitis Difteri
a. Antitoksin difteri. Dosis tergantung pada keparahan klinis dan durasi penyakit. Dosis
bervariasi dari 20.000 hingga 100.000 unit melalui rute i.v. rute dengan cairan infus
salin, setelah tes dosis. Bertujuan menetralkan toksin bebas yang beredar di dalam
darah.
b. Antibakteri. Benzylpenicillin, 500.000 unit i.m., setiap 6 jam selama 6 hari, efektif
melawan basil difteri. Eritromisin dapat diberikan kepada mereka yang alergi
terhadap penisilin.
c. Pertahankan jalan napas. Trakeostomi dapat diperlukan. Laringoskopi langsung,
pengangkatan membran difteri dan intubasi dapat dilakukan. Intubasi mengatasi
sumbatan jalan napas dan memudahkan trakeostomi selanjutnya.
d. Istirahat total di tempat tidur. Istirahat total selama 2–4 minggu adalah penting untuk
mencegah efek miokarditis.

B. LARINGITIS KRONIK
1. Laryngitis Kronis tanpa Hiperplasia (Laringitis Kronis Hiperemis)
a. Mengatasi infeksi saluran pernapasan atas atau bawah. Infeksi pada sinus, tonsil,
gigi, atau infeksi kronis pada dada (bronkitis, bronkiektasis, tuberkulosis, dll.) harus
diobati.
b. Menghindari faktor pemicu. Misalnya. rokok, alkohol atau polutan lingkungan, debu
dan asap.
c. Istirahat suara dan terapi wicara. Istirahat suara harus dilakukan berkepanjangan
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pasien harus menerima latihan
penggunaan suara yang benar.
d. Inhalasi uap. Membantu mengencerkan sekret dan melegakan tenggorok.
e. Ekspektoran. Membantu mengencerkan sekret dan melegakan rasa berlendir di
tenggorok.

2. Laryngitis Kronis Hiperplasia (laryngitis Kronis Hipertrofik)


a. Konservatif. Sama seperti untuk laringitis kronis tanpa hiperplasia.
b. Pembedahan (bedah mikro laring) untuk mengangkat massa nodul/polip/granulasi.
Pada kasus edema reinke dapat dilakukan dekortikasi plika vokalis (penipisan epitel,
dilakukan satu per satu sisi pita suara dengan jarak 3-4 minggu. Kerusakan pada
ligamen vokal harus dihindari.

3. Refluks Laringofaring
a. Modifikasi diet: tidak makan/minum dalam 3 jam sebelum tidur, hindari makan
berlebihan atau tidur setelah makan, tidak makan gorengan, diet rendah lemak,
hindari kopi, teh, coklat, mint, dan soda, hindari makanan/minuman yang
mengandung kafein, hindari alkohol (terutama sore hari).
b. Modifikasi gaya hidup: elevasi kepala 4-6 inch, hindari pakaian ketat/ikat pinggang,
hindari merokok.
c. Regimen terapi: proton pump inhibitor 2 kali sehari, 30 menit sebelum makan pagi
dan malam. Dapat ditambahkan H2 blocker malam hari. Durasi terapi awal adalah
6 bulan. Terapi agresif dengan PPI 2 kali sehari diberikan hingga resolusi komplit
dan penurunan dosis dilakukan jika pasien sudah bisa mengubah gaya hidup.
Dianjurkan pemberian dosis PPI 2 kali sehari selama 2 bulan dilanjutkan 1 kali sehari
selama 4 bulan. Jika keluhan pasien menetap setelah 2 bulan atau kelainan laring
menetap setelah 6 bulan, harus dilakukan tes pH untuk memastikan efikasi
pengobatan
d. Pembedahan: fundoplikasi (Nissen) untuk pasien yang membutuhkan terapi
antirefluks seumur hidup atau gagal terapi medikamentosa

5. Laringitis Tuberkulosis
Penatalaksanaannya sama dengan tuberkulosis paru. Istirahat bicara penting.
Prognosis tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta
ketekunan berobat. Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini maka prognosisnya
baik.
KONSELING DAN EDUKASI
1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit,
sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), jenis dan
mekanisme kerja obat-obatan dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter
2. Pola hidup sehat. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi dan olahraga
teratur.
3. Menjelaskan pentingnya cukup minum dan istirahat bicara/bersuara atau tidak
berteriak/menjerit dan jika perlu menyarankan terapi wicara.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan menghindari faktor pencetus
seperti rokok, asap, debu, dan polutan lingkungan lainnya serta minum es, alkohol,
makanan pedas, dan makanan lain yang dapat mengiritasi tenggorok dan meningkatkan
asam lambung.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Pasien dengan komplikasi sumbatan jalan nafas atas.
2. Usia pasien di bawah 3 tahun.
3. Pasien tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan pemeriksaan penunjang
khusus seperti pemeriksaan biopsi laring.

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

PERALATAN
1. Lampu kepala
2. Kaca laring
3. Kasa steril
4. Lampu spiritus

DAFTAR PUSTAKA
1. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018. p. 287-289.
2. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p. 209-220.
3. Lee KJ. K.J. Lee's Essential Otolaryngology, Eleventh Edition. McGraw-Hill Education;
2015; p. 777-790.
4. Altman KW, Koufman JA. Laryngopharyngeal Reflux and Laryngeal Infection and
Manifestations of Systemic Diseases. In: Snow J WP, editor. Ballenger's
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 17th ed. Connecticut: BC Decker Inc;
2009. p. 885-897.
5. Banovetz JD. Gangguan laring jinak. In: Adams GL, Boies Jr. LR, Higlerr PA, editors.
BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 378-396.
TONSILITIS
No. ICD-10 : J03. Acute tonsillitis, J.35 Chronic tonsillitis
No. ICPC-2 : R76. Acute tonsillitis
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai jumlah kasus
tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak di bawah 15 tahun mengalami
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi, 248.000 anak (86,4%) mengalami
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit tonsilitis

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk mengurangi frekuensi penyakit, dan akibat yang
ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
tonsillitis yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.

DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
Idah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring / Gerlach's tonsil).
Pada dasarnya, tonsil terdiri dari (i) epitel permukaan yang berkelanjutan dengan lapisan
orofaringeal, (ii) kripta yang merupakan invaginasi seperti tabung dari epitel permukaan dan
(iii) jaringan limfoid. Infeksi akut tonsil dapat melibatkan komponen-komponen ini
sehingga diklasifikasikan sebagai:
1. Tonsilitis kataral akut atau superfisial. Tonsilitis sebagai bagian dari faringitis umum dan
sebagian besar terlihat pada infeksi virus.
2. Tonsilitis folikuler akut. Infeksi menyebar ke kripta yang diisi oleh materi purulen,
tampak di bukaan kripta sebagai bintik-bintik kekuningan.
3. Tonsilitis parenkim akut. Substansi tonsil terpengaruh dan tonsil membesar dan merah.
4. Tonsilitis membranosa akut. Merupakan tahap lanjut dari tonsilitis folikuler akut saat
eksudasi dari kripta bergabung membentuk membran di permukaan tonsil.

ETIOLOGI
A. TONSILITIS AKUT
Tonsilitis akut sering menyerang anak-anak usia sekolah, tetapi juga orang dewasa. Jarang
terjadi pada bayi dan orang berusia di atas 50 tahun. Sekitar 15-30% kasus tonsilofaringitis
bakterial akut disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus grup A. Penyebab infeksi lainnya
adalah Streptokokus β hemolitikus grup C, Neisseria. gonorrhea, Corynebacterium
diphtheria, Chlamydia pneumoniae, and Mycoplasma pneumoniae. Bakteri ini dapat secara
primer menginfeksi tonsil atau sekunder akibat infeksi virus.

B. TONSILITIS DIFTERI
Merupakan infeksi akut spesifik yang disebabkan Corynebacterium diphteriae, kuman yang
termasuk gram positif dan hidup di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Menyebar melalui infeksi droplet. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Beberapa orang menjadi “karier” penyakit, yaitu mereka membawa
organisme tersebut di tenggorok tetapi tidak memiliki gejala. Keadaan ini tergantung pada
titer antitoksin dalam darah seseorang. Titer antitoksin sebesar 0.03 satuan per cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai dalam tes Schick.
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita
penyakit ini.

C. TONSILITIS KRONIK
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis
akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.
Kebanyakan menyerang anak-anak dan dewasa muda. Jarang terjadi setelah usia 50 tahun.
Infeksi kronis pada sinus atau gigi dapat menjadi faktor predisposisi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak
diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula. Berikut jenis tonlisitis kronik :
1. Tonsilitis Folikuler Kronis. Kripta tonsil penuh dengan bahan infeksi pengkejuan yang
tampak di permukaan tonsil sebagai bercak kekuningan.
2. Tonsilitis Parenkim Kronis. Didapatkan hiperplasia jaringan limfoid. Tonsil sangat besar
dan mengganggu fungsi berbicara, menelan, dan pernafasan. Serangan apnea saat tidur
dapat terjadi. Kasus yang berlangsung lama dapat menyebabkan kor pulmonale.
3. Tonsilitis Fibroid Kronis. Tonsil kecil tetapi terinfeksi, dengan riwayat sakit tenggorokan
berulang.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
A. TONSILITIS AKUT
Gejala bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan infeksi.
Gejala yang dominan adalah:
1. Nyeri tenggorok.
2. Kesulitan menelan. Anak mungkin menolak makan apa pun karena rasa sakit setempat.
3. Demam. Dapat bervariasi dari 38 hingga 40 ° C dan berkaitan dengan rasa panas dingin
menggigil. Kadang, anak hanya memiliki gejala demam dan dari pemeriksaan ditemukan
tonsilitis akut.
4. Nyeri telinga. Ini adalah nyeri alih dari tonsil atau akibat otitis media akut yang mungkin
terjadi sebagai komplikasi.
5. Gejala konstitusional. Biasanya lebih jelas terlihat daripada faringitis dan meliputi sakit
kepala, nyeri badan, malaise dan konstipasi. Bisa juga didapatkan nyeri perut karena
limfadenitis mesenterik yang menyerupai gambaran klinis dari apendisitis akut.

Tanda yang dominan dari tonsilitis akut adalah:


1. Seringkali nafas berbau dan lidah tertutup lapisan keputihan.
2. Hiperemia pada pilar, palatum molle dan uvula.
3. Tonsil merah dan bengkak dengan bercak kekuningan dari bahan purulen yang tampak
di bukaan kripta (tonsilitis folikuler akut) atau mungkin tampak membran keputihan di
permukaan medial tonsil yang bisa dengan mudah dibersihkan dengan hapusan (tonsilitis
membranosa akut). Tonsil dapat membesar dan kongesti sehingga hampir bertemu di
garis tengah dengan edema uvula dan palatum molle (tonsilitis parenkim akut).
4. Kelenjar getah bening jugulodigastrik membesar dan lunak.

B. TONSILITIS DIFTERI
Masa inkubasi adalah 2–6 hari. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala
umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
1. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan.
2. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals
3. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung menyebabkan miokarditis, aritmia jantung
dan kegagalan sirkulasi akut dan pada saraf, biasanya muncul beberapa minggu setelah
infeksi, menyebabkan paralisis palatum mole, diafragma dan otot okuler. Pada ginjal
menimbulkan albuminuria.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik pemeriksaan preparat
langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae. Sediaan hapusan nasofaring dan tonsila diletakkan dalam
medium transport yang kemudian dibiakkan pada agar MacConkey atau media Loeffler.
Strain yang diduga kemudian diuji untuk toksigenitas.

C. TONSILITIS KRONIK
Gejala tonsilitis kronik:
1. Serangan nyeri tenggorok atau tonsilitis akut berulang.
2. Iritasi kronis di tenggorokan dengan batuk.
3. Rasa tidak enak di mulut dan bau mulut (halitosis) akibat pus di kripta.
4. Susah berbicara, sulit menelan dan tersedak di malam hari (jika tonsil besar dan
obstruktif).

Tanda tonsilitis kronik:


1. Tonsil dapat menunjukkan berbagai derajat pembesaran (gambar 1). Kadang tonsil
bertemu di garis tengah (tipe parenkim kronis).
2. Mungkin ada bercak pus kekuningan di permukaan medial tonsil (tipe folikuler kronis).
3. Tonsil berukuran kecil tetapi jika pilar anterior ditekan keluar pus atau bahan pengkejuan
(tipe fibroid kronis).
4. Kemerahan pada pilar anterior tonsil dibandingkan mukosa faring sekitarnya merupakan
tanda penting infeksi tonsil kronis.
5. Pembesaran kelenjar getah bening jugulodigastrik merupakan tanda tonsilitis kronis yang
nyata. Selama serangan akut, kelenjar getah bening semakin membesar dan lunak.

Gambar 1. Derajat pembesaran tonsil berdasarkan perbandingan tonsil dengan orofaring,


mengukur jarak di antara kedua pilar anterior tonsil. 0, tonsil dalam fossa tonsil; +1, <25%
tonsil mengisi orofaring; +2, 25-50%; +3, 50-75%; +4, >75%.
DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk membran tonsil adalah sebagai berikut:


1. Tonsilitis membranosa. Terjadi karena organisme piogenik. Membran eksudatif
terbentuk di permukaan medial amandel, bersama dengan ciri-ciri tonsilitis akut.
2. Difteri. Berbeda dengan tonsilitis akut yang onsetnya mendadak, onset difteri lebih
lambat dengan rasa tidak enak di tenggorok lebih ringan, selaput pada difteri meluas
melampaui tonsil, ke palatum molle dan berwarna abu-abu kotor. Membran melekat
dan pengangkatannya menyebabkan perdarahan. Urine mungkin menunjukkan
albumin. Hapusan dan kultur usap tenggorok akan menunjukkan Corynebacterium
diphtheriae.
3. Angina Vincent. Onset lambat tetapi mematikan dengan demam dan rasa tidak enak di
tenggorok lebih ringan. Membran, yang biasanya hanya menutupi salah satu tonsil,
lebih mudah diangkat dan di bawahnya akan tampak ulkus tidak teratur pada tonsil.
Usap tenggorokan akan menunjukkan dua organisme yang khas untuk penyakit ini yaitu
fusiform bacilli dan spirochaeta.
4. Mononukleosis infeksiosa. Sering menyerang dewasa muda. Kedua tonsil membesar,
kongesti, dan tertutup membran. Tenggorok terasa sangat tidak enak. Kelenjar getah
bening membesar di segitiga posterior leher bersamaan dengan splenomegali. Terdapat
kecurigaan penyakit ini jika terjadi kegagalan pengobatan antibiotik. Hapusan darah
mungkin menunjukkan lebih dari 50% limfosit, di mana sekitar 10% atipikal. Jumlah
sel darah putih mungkin normal di minggu pertama tetapi meningkat di minggu kedua.
Tes Paul – Bunnell (tes mono) akan menunjukkan titer tinggi antibodi heterofil.
5. Agranulositosis. Muncul dengan lesi nekrotik ulseratif tidak hanya pada tonsil tetapi
juga di tempat lain di orofaring. Pasien tampak sakit parah. Pada bentuk akut fulminan
, jumlah leukosit total menurun menjadi < 2000/cu mm atau bahkan serendah 50/cu mm
dan neutrofil polimorf dapat berkurang menjadi 5% atau kurang. Pada bentuk kronis
atau rekuren, jumlah leukosit total berkurang menjadi 2000/cu mm dengan
granulositopenia bermakna lebih jarang.
6. Leukemia. Pada anak-anak, 75% leukemia adalah limfoblastik akut dan 25%
myelogenous akut atau kronis, sedangkan pada 20% leukemia akut adalah limfositik
dan 80% non-limfositik. Darah tepi menunjukkan TLC > 100,000 / cu mm. Mungkin
normal atau kurang dari normal. Anemia selalu ada dan mungkin progresif. Sel blast
terlihat pada pemeriksaan sumsum tulang.
7. Ulkus aftosa. Mungkin melibatkan bagian manapun dari kavum oris atau orofaring.
Kadang soliter dan mungkin melibatkan tonsil dan pilar. Mungkin kecil atau cukup
besar dan mengkhawatirkan. Terasa sangat nyeri.
8. Keganasan tonsil
9. Ulkus traumatik. Setiap cedera pada orofaring dapat sembuh dengan pembentukan
membran. Trauma tonsil dapat terjadi secara tidak sengaja karena terkena sikat gigi,
pensil yang ditahan di mulut atau tercolok jari di tenggorok. Selaput muncul dalam 24
jam.
10. Infeksi kandida tonsil.
Diagnosis lesi ulseromembranosa tenggorok membutuhkan:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik.
3. Jumlah leukosit total dan hitung leukosit (untuk agranulositosis, leukemia, neutropenia,
mononukleosis infeksiosa).
4. Hapusan darah (untuk sel atipikal).
5. Usap tenggorok dan kultur (untuk bakteri piogenik, angina vincent, difteri dan infeksi
Candida).
6. Aspirasi sumsum tulang atau biopsi jarum halus.
7. Tes lainnya. Paul – Bunnell atau tes mono spot dan biopsi lesi.

PENATALAKSANAAN
A. TONSILITIS AKUT
1. Pasien tirah baring dan diminta banyak minum.
2. Analgesik (aspirin atau parasetamol) diberikan sesuai kebutuhan sesuai usia pasien untuk
menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam. Analgesik oral efektif dalam
mengendalikan rasa tidak enak.
3. Obat kumur. Efektivitas obat kumur masih dipertanyakan karena berkumur tidak
membawa banyak cairan berkontak dengan dinding faring, tidak mengenai lebih dari
tonsila palatina. Walaupun, pengalaman klinis menunjukkan bahwa berkumur yang
dilakukan dengan rutin menambah rasa nyaman pada penderita dan mungkin
mempengaruhi beberapa tingkat perjalanan penyakit.
4. Penderita sebaiknya diberi petunjuk untuk menggunakan tiga gelas penuh cairan obat
kumur setiap kali. Gelas pertama sebaiknya hangat sehingga penderita dapat menahan
cairan dengan rasa enak. Gelas kedua dan ketiga dapat lebih hangat. Dianjurkan untuk
menggunakan cairan obat kumur setiap dua jam.
5. Antibiotik. Sebagian besar infeksi disebabkan oleh Streptokokus dan penisilin adalah
obat pilihan. Pasien yang alergi terhadap penisilin dapat diobati dengan eritromisin.
Antibiotik harus dilanjutkan selama 7-10 hari untuk menurunkan kemungkinan dari
komplikasi non supuratif seperti penyakit jantung rematik dan nefritis.

B. TONSILITIS DIFTERI
Pengobatan difteri dimulai berdasarkan kecurigaan klinis tanpa menunggu hasil kultur.
Tujuannya adalah untuk menetralisir eksotoksin bebas yang masih beredar di dalam darah
dan membunuh organisme yang menghasilkan eksotoksin ini. Dosis antitoksin berdasarkan
pada lokasi yang terlibat dan durasi dan keparahan penyakit. Dosis sebesar 20.000–40.000
unit untuk difteri dalam waktu kurang dari 48 jam, atau bila membran hanya menutupi tonsil;
dan 80.000–120.000 unit, jika penyakit telah berlangsung lebih dari 48 jam, atau membran
lebih luas. Antitoksin diberikan secara infus intravena dalam larutan salin sekitar 60 menit
Sensitivitas terhadap serum kuda harus diuji dengan tes konjungtiva atau intrakutan dengan
antitoksin dan adrenalin harus dipersiapkan untuk hipersensitivitas cepat. Pada kejadian
reaksi hipersensitivitas, desensitisasi harus dilakukan. Antibiotik yang digunakan adalah
benzyl penicillin 600 mg setiap 6 jam selama 7 hari. Eritromisin digunakan pada penisilin
individu sensitif penisilin (500 mg tiap 6 jam per oral).
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama
2-3 minggu.

C. TONSILITIS KRONIK
1. Perawatan konservatif terdiri dari perhatian pada kesehatan secara umum, diet,
pengobatan infeksi penyerta pada gigi, hidung dan sinus. Terapi lokal ditujukan pada
higiene mulut dengan berkumur atau obat isap
2. Tonsilektomi (biasanya disertai adenoidektomi) diindikasikan pada infeksi rekuren dan
gangguan bernafas saat tidur (sleep-disordered breathing) (tabel 1 dan 2). Saat ini
gangguan bernafas saat tidur merupakan indikasi tonsilektomi dan adenoidektomi yang
paling sering. Tonsilektomi dan adenoidektomi adakan menurunkan insiden infeksi,
mengatasi gangguan bernafas saat tidur dan sekuelnya dan meningkatkan kualitas hidup.
Tabel 1. Indikasi Tonsilektomi
Absolut
1. Infeksi tenggorok berulang. Merupakan indikasi paling umum dengan kriteria infeksi
berulangi:
a. Tujuh episode atau lebih dalam 1 tahun, atau
b. Lima episode per tahun selama 2 tahun, atau
c. Tiga episode per tahun selama 3 tahun, atau
d. Dua minggu atau lebih absen sekolah atau pekerjaan dalam 1 tahun.
2. Abses peritonsil. Pada anak-anak, tonsilektomi dilakukan 4–6 minggu setelah abses diobati.
Pada dewasa, serangan kedua dari abses peritonsil merupakan indikasi mutlak.
3. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam.
4. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
a. obstruksi jalan nafas (sleep apnea)
b. kesulitan menelan
c. gangguan bicara.
5. Kecurigaan keganasan. Pembesaran tonsil unilateral mungkin limfoma pada anak-anak dan
karsinoma epidermoid pada dewasa. Dilakukan biopsi eksisional.
Relatif
1. Karier difteri, yang tidak berespon terhadap antibiotik.
2. Karier streptokokus, yang mungkin menjadi sumber infeksi untuk orang lain.
3. Tonsilitis kronis dengan rasa yang tidak enak atau halitosis yang tidak responsif terhadap
perawatan medis.
4. Tonsilitis streptokokus rekuren pada pasien dengan penyakit katub jantung.
Sebagai bagian dari operasi lain
1. Palatopharyngoplasty yang dilakukan untuk sindrom sleep apnea sindroma.
2. Neurektomi glosofaring. Tonsil dikeluarkan dulu kemudian saraf IX dipotong di dasar tonsil.
3. Pengangkatan prosesus styloid.
Sumber: Dhingra, et al. 2018
Tabel 2. Kontraindikasi Tonsilektomi
1. Kadar hemoglobin kurang dari 10 g%.
2. Adanya infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas, termasuk tonsilitis akut. Pendarahan
lebih sering terjadi infeksi akut.
3. Anak di bawah usia 3 tahun. Mereka memiliki risiko bedah yang berat.
4. Celah langit-langit terbuka atau submukosa.
5. Penyakit von Willebrand. Gangguan perdarahan, mis. leukaemia, purpura, anemia aplastik,
hemofilia atau penyakit sickle cell.
6. Saat wabah polio.
7. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol, mis. diabetes, penyakit jantung, hipertensi atau asma.
8. Tonsilektomi dihindari selama periode menstruasi.
Sumber: Dhingra, et al. 2018

KOMPLIKASI
A. TONSILITIS AKUT
1. Tonsilitis kronis dengan serangan akut berulang. Disebabkan oleh resolusi infeksi akut
yang tidak lengkap. Infeksi kronis dapat menetap pada folikel limfoid tonsil berupa
mikroabses.
2. Abses peritonsil.
3. Abses parafaring.
4. Abses servikal akibat supurasi kelenjar getah bening jugulodigastrik .
5. Otitis media akut. Serangan berulang dari otitis media mungkin berkaitan dengan
tonsilitis berulang.
6. Demam rematik. Sering terlihat berhubungan dengan tonsilitis karena Streptokokus β
hemolitikus grup A.
7. Glomerulonefritis akut. Jarang.
8. Endokarditis bakterial subakut. Tonsilitis akut pada pasien dengan penyakit katup
jantung mungkin menyebabkan endokarditis. Biasanya karena infeksi Streptococcus
viridans.

B. TONSILITIS DIFTERI
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis. Kelumpuhan
otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot faring sehingga
menimbulkan kesulitan menelan. suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.

C. TONSILITIS KRONIK
1. Abses peritonsil
2. Abses parafaring
3. Abses intratonsil. Adalah akumulasi pus di dalam tonsil. Biasanya disebabkan
tersumbatnya bukaan kripta di tonsilitis folikuler akut. Ditandai dengan nyeri lokal dan
disfagia. Tonsil tampak bengkak dan merah. Pengobatannya dengan pemberian antibiotik
dan drainase abses jika diperlukan, diikuti tonsilektomi.
4. Tonsillolith. Lebih sering pada dewasa dan menimbulkan rasa tidak enak setempat atau
sensasi benda asing. Mudah didiagnosis dengan palpasi atau rasa berpasir saat diraba.
Terapi dengan pengangkatan batu secara sederhana atau dengan tonsilektomi,
diindikasikan jika ada sepsis atau untuk batu dalam yang tidak dengan mudah diangkat.
5. Kista tonsil. Terjadi karena tersumbatnya kripta tonsil dan tampak sebagai
pembengkakan kekuningan di tonsil. Sering tanpa gejala dan dengan mudah dapat
didrainase.
6. Fokus infeksi pada demam rematik, glomerulonefritis akut, gangguan mata dan kulit.

KONSELING DAN EDUKASI


1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit,
sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), jenis dan
mekanisme kerja obat-obatan dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter
2. Pola hidup sehat. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi dan olahraga
teratur.
3. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan menghindari faktor pencetus
seperti rokok dan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
4. Selalu menjaga hygiene mulut dan tangan
5. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup tinggi

KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Pasien dengan komplikasi seperti abses peritonsil, meningitis, glomerulonephritis akut,
demam rematik akut, septicemia.
2. Adanya indikasi tonsilektomi
3. Pasien dengan tonsillitis difteri

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

PERALATAN
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi kapas

DAFTAR PUSTAKA
1. Jeyakumar A, Miller S, Mitchell RB. Adenotonsillar disease. In: Johnson JT, Rosen CA,
editor. Bailey's Head & Neck Surgery: Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2014. p. 1430-1444.
2. Dhingra P, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 7th ed. New Delhi: Elsevier; 2018. p. 291-295.
3. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. In: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p. 195-203.
4. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. In: Adams GL, Boies Jr. LR,
Higlerr PA, editors. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 320-
355.
5. Lee KJ. K.J. Lee's Essential Otolaryngology, Eleventh Edition. McGraw-Hill Education;
2015; p. 1056.

Anda mungkin juga menyukai