Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

a. Definisi

Berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan lahir

kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan

(Proverawati, 2010).

Berat badan lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat

lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan. Berat

lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir

(Depkes RI, 2009).

b. Etiologi

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur.

Faktor ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor

plasenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta

faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.

BBLR dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1) Faktor Ibu

a) Penyakit:

(1) Toksemia gravidarum

(2) Perdarahan antepartum

(3) Trauma fisik dan psikologis


(4) Nefritis akut

(5) Diabetes mellitus

b) Usia Ibu

(1) Usia <16 tahun

(2)  Usia >35 tahun

(3) Multigravida yang jarak kelahirannya terlalu dekat

c) Keadaan sosial

(1) Golongan sosial ekonomi rendah

(2) Perkawinan yang tidak sah

d) Sebab lain :

(1) Ibu yang perokok

(2) Ibu peminum alkohol

(3) Ibu pecandu narkotika

2) Faktor janin

a) Hidramnion

b) Kehamilan ganda

c) Kelainan kromosom

3) Faktor lingkungan

a) Tempat tinggal dataran tinggi

b) Radiasi

c) Zat-zat racun (Pantiawati, 2010).


Adapun faktor predisposisi dari BBLR sebagai berikut :

Faktor-faktor yang mempengaruhi BBLR yaitu: faktor ibu,

faktor uterus dan plasenta, faktor janin, faktor kebiasaan, faktor tidak

diketahui (Manuaba, 2010).

1) Faktor ibu

a) Malnutrisi

Kehamilan menyebabkan meningkatkan metabolisme energi

yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin,

pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan metabolisme

ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat

menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna dan BBLR.

b) Umur

Usia reproduksi sehat bagi wanita adalah usia 20-35 tahun,

karena pada usia tersebut sudah mengalami kamatangan fungsi

organ reproduksi. Ibu hamil dengan usia kurang dari 20 tahun

organ reproduksinya belum matang dan belum berfungsi secara

optimal untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu

maupun pertumbuhan janin. Sedangkan pada usia lebih dari 35

tahun organ-organ tubuh sudah mengalami penurunan fungsi

sehingga ibu hamil pada usia tersebut dapat melahirkan bayi

dengan BBLR. Hasil penelitian mendapatkan 64% peningkatan

kejadian persalinan prematur pada populasi wanita italia berusia 35

tahun atau lebih terutama pada primitua (Krisnadi, 2009).


c) Anemia

Anemia dalam kehamilan akan menyebabkan risiko

keguguran, persalinan prematur, hambatan tumbuh kembang janin

dalam rahim, mudah terjadi infeksi, hiperemesis gravidarum,

perdarahan antepartum, ketuban pecah dini dan pada saat

persalinan dapat mengakibatkan gangguan his-kekuatan mengejan,

partus lama, retensio pasenta, perdarahan post partum primer

maupun sekunder (Wiknjosastro, 2008).

Sedangkan pengaruh anemia terhadap janin dapat terjadi

gangguan seperti: abortus, kematian intrauterin, persalinan

prematuritas tinggi, berat badan lahir rendah, kelahiran dengan

anemia, dapat terjadi cacat bawaan. Sekalipunn tampaknya janin

mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya tetapi dengan

anemia dapat mengurangi kemampuan metabolisme tubuh

sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin

dalam rahim (Wiknjosastro, 2008).

Suplai zat-zat gizi ke janin yang sedang tumbuh tergantung

pada jumlah darah ibu yang mengalir keplasenta dan zat-zat

makanan yang diangkutnya. Efisiensi plasenta dalam

mengkonsentrasikan, mensintesis dan transport zat-zat makanan

menentukan suplai makanan ke janin. Pada ibu hamil yang anemia,

pasikan oksigen, masukan nutrisi berkurang sehingga akan


mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin

(Manuaba, 2010).

d) Jarak kehamilan terlalu dekat

Seorang ibu memerlukan waktu 2-3 tahun antara kehamilan

agar pulih secara fisologik dari persalinan dan mempersiapkan diri

untuk hamil berikutnya. Semakin pendek jarak kehamilan antara

dua kahiran semakin besar risiko melahirkan BBLR akibat

komplikasi dari perdarahan antepartum, dan anemia berat. Jarak

kehamilan panjang berhubungan dengan berkurangnya fungsi

organ reproduksi ibu dan keelastisan otot-otot (Manuaba, 2010).

e) Penyakit menahun ibu

Penyakit menahun ibu seprti hipertensi, hipotensi, pre

eklampsia, gangguan pembuluh darah, toksemia gravidarum,

penyakit ginjal, DM, penyakit paru, gizi buruk, penyakit jantung.

Penyakit tersebut bisa mengakibatkan BBLR karena fungsi

jaringan plasenta sering mengalami gangguan dan hambatan

sehingga aliran darah ke spatium intervillosum akan berkurang.

Akibatnya suplai gizi untuk kebutuhab janin akan terhambat dan

terjadilah janin tumbuh lambat. Pada pre eklampsia dan eklampsia

spasmus pembuluh darah yang mnyuplai ke uterus menyebabkan

menurunnya aliran darah dan oksigenasi ke plasenta

mengakibatkan gangguan fungsi plasenta dan pertumbuhan janin


terganggu sehingga memudahkan terjadinya partus prematur

(Wiknjosastro, 2007).

f) Pendarahan antepartum

Kurangnya suplai darah dari ibu ke janin meenyebabkan

kebutuhan oksigen dan nutrisi janin tidak terpengaruhi. Oleh

karena itu janin yang dilahirkan akan mengalami berat badan

rendah (Wiknjosastro, 2007).

g) Pre eklampsia-eklampsia

Salah satu perubahan fisiologi-patologi pada kehamilan

dengan pre eklampsia-eklampsia adaah spasmus pembuluh darah

yang meyuplai ke uterus. Ini menyebabkan menurunnya aliran

darah ke plasenta mengakibatkan pertumbuhan janin terganggu.

Kepekaan terhadap perangsangan pada pre eklampsia dan

eklampsia, memudahkan terjadinya partus prematur (Wiknjosastro,

2007).

2) Faktor janin

Faktor dari janin yang dapat mempengaruhi terjadinya BBLR

yaitu: cacat bawaan, kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah

dini, kelainan kromosom.

a) Cacat bawaan

Bayi dengan keainan congenital yang berat sering mengalami

retardasi pertumbuhan sehingga berat badan lahirnya rendah.

Kelainan congenital lebih sering terjadi di antara bayi-bayi yang


tumbuh lambat dan pada bayi yang tumbuh sesuai umur kehamilan

(Wiknjosastro, 2007).

b) Kehamilan ganda

Berat badan janin pada kehamilan kembar lebih ringan dari

pada janin pada kehamilan tunggal pada umur kehamilan yang

sama. Sampai kehamilan 30 minggu kenaikan berat badan janin

kembar sama dengan janin kehamilan tunggal. Setelah itu kenaikan

berat badan lebih kecil, mungkin karena regangan yang berebihan

menyebabkan peredaran darah pasenta kurang. Umumnya berat

badan bayi yang baru lahir pada kehamilan kembar kurang dari

2500 gram (Wiknjosastro, 2007).

c) Ketuban pecah dini

Ketuban pecah dini yaitu ketuban pecah sebelum dalam

persalinan yaitu pembukaan 3 cm pada primipara dan 5 cm pada

multipara, walaupun ibu belum menunjukan gejala infeksi

intrauterine lebih dulu terjadi (amnionitis, vaskilitis) sehingga

gejala ibu baru dirasakan. Janin yang terinfeksi akan lahir tidak

sempurna dengan berat bayi lahir rendah (Wiknjosastro, 2007).

d) Kelainan kromosom

Kelainan kromosom akan menyebabkan gangguan pada

muskulus arterioli sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi darah

retroplasenter dan janin tumbuh dalam bentuk kcil masa kehamilan

(KMK) (Manuaba, 2010).


3) Faktor uterus dan plasenta

Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor lain yang dapat terjadi

pada kondisi tersebut seperti kecenderungan untuk hamil pada usia

muda, tidak menikah, mengaami lebih banyak stress, nutrisi yang

kurang, tidak dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan, merokok atau

pemakaian obat-obatan dan kekerasan fisik. (Manuaba, 2010).

a) Kelainan pembuluh darah

Kelainan pembuuh darah menyebabkan terjadi gangguan

sirkuasi retroplasenter shingga menimbulkan kekurangan nutrisi,

oksigen dan lainnya. Akibatnya dapat menimbulkan tumbuh

kembang terhambat dan terjadi BBLR (Manuaba, 2010).

b) Insersi tali pusat tidak normal

Insersi tali pusat berada di luar pasenta, dan hubungan plasnta

melalui selaput janin disebut insersi velamentosa. Jika tali pusat

berinsensi di luar plasenta, setiap gerakan janin intrauterin dapat

menimbulkan gangguan aliran darah menuju janin. Sehingga

plasenta tidak bisa mengusahakan janin tumbuh dengan baik, dan

berdampak bayi BBLR (Manuaba, 2010).

c) Uterus bikornus

Ibu yang mempunyai kelainan uterus bikornus akan

menyebabkan pertumbuhan janin tidak maksimal di rahim,

dikarenakan uterus yang kecil sehingga pertumbuhan janin

terganggu dan mnyebabkan BBLR (Wiknjosastro, 2007).


d)      Infark plasenta

Kematian jaringan pada plasenta menyebabkan sirkulasi sari-

sari makanan ke janin terganggu. Oleh karena itu pertumbuhan

janin tidak sempurna (Wiknjosastro, 2007).

c. Klasifikasi

1) Berdasarkan berat badan (BB) lahir

a) BBLR      : BB < 2500gr

b) BBLSR    : BB 1000-1500gr

c) BBLER : BB <1000 gr

2) Berdasarkan umur kehamilan

a) Prematur : Adalah bayi lahir dengan umur kehamilan kurang

dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan

berat badan untuk masa kehamilan atau disebut Neonatus

Kurang Bulan – Sesuai Masa Kehamilan ( NKB- SMK).

b) Dismaturitas : Adalah bayi lahir dengan berat badan kurang

dari berat badan seharusnya untuk masa kehamilan, dismatur

dapat terjadi dalam preterm, aterm, dan posterm. Dismatur ini

dapat juga Neonatus Kurang Bulan – Kecil untuk Masa

Kehamilan (NKB- KMK), Neonatus Cukup Bulan-Kecil Masa

Kehamilan ( NCB-KMK ), Neonatus Lebih Bulan-Kecil Masa

Kehamilan ( NLB- KMK ) (Proverawati, 2010).


d. Tanda dan Gejala

1) Prematuritas murni

a) Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari

45 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang

dari 30 cm.

b) Masa gestasi kurang dari 37 minggu

c) Kulit tipis dan transparan, tampak mengkilat dan licin.

d) Kepala lebih besar dari badan

e) Lanugo banyak terutama pada dahi, pelipis, telinga, dan lengan

f) Lemak subkutan kurang

g) Ubun-ubun dan sutura lebar

h) Rambut tipis, halus

i) Tulang rawan dan daun telinga imatur

j) Putting susu belum terbentuk dengan baik

k) Pembuluh darah kulit banyak terlihat peristaltik usus dapat

terlihat

l) Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh

labia mayora (pada laki-laki)

m) Bayi masih posisi fetal

n) Pergerakan kurang dan lemah

o) Otot masih hipotonik

p) Banyak tidur, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering

mengalami serangan apnea.


q) Refleks tonic neck lemah

r) Refleks menghisap dan menelan belum sempurna.

2) Dismatur

Preterm : sama dengan bayi prematur murni

Posterm:

a) Kulit pucat/ bernod, mekonium kering keriput, tipis

b) Vernix caseosa tipis/ tak ada

c) Jaringan lemak dibawah kulit tipis

d) Bayi tampak gesit, aktif dan kuat

e) Tali pusat berwarna kuning kehijauan (Pantiawati, 2010).

e. Komplikasi BBLR

1) Hipotermi

Dalam kandungan, bayi berada dalam suhu lingkungan

yang normal dan stabil yaitu 360C sampai dengan 370C. Segera

setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu yang umumnya lebih

rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan

panas tubuh bayi. Selain itu, hipotermi dapat terjadi karena

kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan

menambah produksi panas sangat terbatas karena pertumbuhan

otot-otot yang belum cukup memadai, lemak subkutan yang

sedikit, belum matangnya sistem saraf pengatur tubuh, luas

permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding dengan berat badan

sehingga mudah kehilangan panas.


Tanda klinis hipotermi :

a. Suhu tubuh dibawah normal

b. Kulit dingin

c. Akral dingin

d. Sianosis (Pantiawati, 2010).

2) Hipoglikemia

Penyelidikan kadar gula darah pada 12 jam pertama

menunjukkan bahwa hipoglikemi dapat terjadi sebanyak 50% pada

bayi matur. Glukosa merupakan sumber utama energi selama masa

janin. Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar

gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin

menyebabkan terhentinya pemberian glukosa. Bayi aterm dapat

mempertahankan kadar gula darah 50-60 mg/dL selama 72 jam

pertama, sedangkan bayi berat badan lahir rendah dalam kadar 40

mg/dL. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum

mencukupi. Hipoglikemi bila kadar gula darah sama dengan atau

kurang dari 20 mg/dL.

Tanda klinis hipoglikemi :

a. Gemetar atau tremor

b. Sianosis

c. Apatis

d. Kejang

e. Apnea intermitten
f. Tangisan lemah atau melengking

g. Kelumpuhan atau letargi

h. Kesulitan minum

i. Terdapat gerakan putar mata

j. Keringat dingin

k. Hipotermi

l. Gagal jantung dan henti jantung (Proverawati, 2010).

3) Perdarahan intrakranial

Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena trauma lahir,

disseminated intravascular coagulopathy atau trombositopenia

idiopatik. Matriks germinal epedimal yang kaya pembuluh darah

merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap perdarahan selama

seminggu pertama kehidupan.

Tanda klinis perdarahan intrakranial :

a. Kegagalan umum untuk bergerak normal

b. Refleks moro menurun atau tidak ada

c. Tonus otot menurun

d. Letargi

e. Pucat atau sianosis

f. Apnea

g. Kegagalan menetek dengan baik

h. Muntah yang kuat

i. Tangisan bernada tinggi dan tajam


j. Kejang

k. Kelumpuhan

l. Fontanela mayor mungkin tegang dan cembung

m. Pada sebagian kecil penderita mungkin tidak ditemukan

manifestasi klinik satu pun (Pantiawati, 2010).

f. Masalah-masalah BBLR

1) Asfiksia

BBLR kurang, cukup atau lebih bulan, semuanya berdampak

pada proses adaptasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami

asfiksia lahir. BBLR membutuhkan kecepatan dan keterampilan

resusitasi (Proverawati, 2010).

2) Gangguan napas

Gangguan napas yang sering terjadi pada BBLR kurang

bulan adalah penyakit membran hialin, sedangkan pada BBLR

lebih bulan adalah aspirasi mekonium. BBLR yang mengalami

gangguan napas harus segera dirujuk ke fasilitas rujukan yang

lebih tinggi (Proverawati, 2010).

3) Hipotermi

Terjadi karena hanya sedikitnya lemak tubuh dan sistem

pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum matang. Metode

kanguru dengan “kontak kulit dengan kulit” membantu BBLR

tetap hangat (Proverawati, 2010).


4) Hipoglikemi

Karena hanya sedikitnya simpanan energi pada bayi baru

lahir dengan BBLR. BBLR membutuhkan ASI sesegera mungkin

setelah lahir dan minum sangat sering ( setiap 2 jam ) pada minggu

pertama (Proverawati, 2010).

5) Masalah pemberian ASI

Karena ukuran tubuh BBLR sangat kecil, kurang energi,

lemah, lambungnya kecil dan tidak dapat mengisap. BBLR sering

mendapatkan ASI dengan bantuan, membutuhkan pemberian ASI

dalam jumlah yang lebih sedikit tapi sering. BBLR dengan

kehamilan > 35 minggu dan berat lahir > 2000 gram umumnya

bisa langsung menetek (Proverawati, 2010).

6) Infeksi

Karena sistem kekebalan tubuh BBLR belum matang.

Keluarga dan tenaga kesehatan yang merawat BBLR harus

melakukan tindakan pencegahan infeksi antara lain dengan

mencuci tangan dengan baik (Pantiawati, 2010).

7) Ikterus (kadar bilirubin yang tinggi)

Berat badan lahir yang kurang dari normal dapat

mengakibatkan berbagai kelainan yang timbul dari dirinya, salah

satunya bayi akan rentan terhadap infeksi yang nantinya dapat

menimbulkan ikterus neonatorum. Banyak bayi lahir, terutama bayi

kecil (bayi dengan berat badan < 2500 gram) mengalami ikterus
pada minggu pertama hidupnya. Karena kurang sempurna nya alat-

alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisikologik maka

mudah timbul beberapa kelainan diantaranya imatur hati.

Imatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum, hal ini

dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya

enzim glukorinil tranferase sehingga konjugasi bilirubin indirek

menjadi bilirubin direk belum sempurna dan kadar albumin darah

yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar

kurang (Sulistyorini, 2010).

Pada BBLR, pembentukan hepar belum sempurna

(imaturitas hepar) sehingga menyebabkan konjugasi bilirubin

indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna. Berat

badan lahir < 2500 gram mempunyai presentase tertinggi terhadap

kecenderungan timbulnya ikterus neonatorum (Pantiawati, 2010).

8) Masalah perdarahan

Berhubungan dengan belum matangnya sistem pembekuan

darah saat lahir. Pemberian injeksi vitamin K 1 dengan dosis 1 mg

intramuskular segera sesudah lahir (dalam 6 jam pertama) untuk

semua bayi baru lahir dapat mencegah kejadian perdarahan ini.

9) Masalah jangka panjang :

a) Gangguan perkembangan

b) Gangguan pertumbuhan

c) Gangguan penglihatan (Retinopati)


d) Gangguan pendengaran

e) Penyakit paru kronis

f) Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

g) Kenaikan frekuensi kelainan bawaan (Pantiawati, 2010).

g. Penatalaksanaan

1) Medikamentosa

Pemberian Vitamin K1 :

a. Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau

b. Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian

(saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur 4-6 minggu)

2) Diatetik

Pemberian nutrisi yang adekuat

a. Apabila daya isap belum baik, bayi dicoba untuk menetek

sedikit demi sedikit

b. Apabila bayi belum bisa meneteki pemberian ASI diberikan

melalui sendok atau pipet

c. Apabila bayi belum ada refleks mengisap dan menelan harus

dipasang siang penduga/ sonde fooding.

Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah menyusui

karena refleks menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian

sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperas dan

diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau pipet. Dengan

memegang kepala dan menahan dagu, bayi dapat dilatih untuk


menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan

dengan pipet atau selang kecil yang menempel pada putting. ASI

merupakan pilihan utama :

a. Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah

yang cukup dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian

ASI dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang

sehari sekali.

b. Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya

naik 20 gram/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2

kali seminggu (Pantiawati, 2010).

2. Ikterus

a. Definisi

Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan

mukosa oleh karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat

peningkatan kadar bilirubin dalam darah (Lissauer, 2012).

Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain

akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin

dalam darah lebih dari 5 mg/dL dalam 24 jam, yang menandakan

terjadinya gangguan fungsional liver, sistem billiari atau sistem

hematologi (Muslihatun, 2010).

b. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi

baru lahir, karena :


a) Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih

banyak dan berumur lebih pendek.

b) Produksi bilirubin serum yang berlebihan. Hal ini melebihi

kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada

hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0,

golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase,

perdarahan tertutup dan sepsis.

c) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan

fungsi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin,

gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau

tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-

Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam

hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.

d) Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat

bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian

diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat

dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi

albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek

yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

e) Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver

(karena infeksi atau kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat

terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan

diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi


dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh

penyebab lain (Hidayat, 2008).

c. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum :

1. Faktor Maternal

a) Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native American,

Yunani)

b) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

c) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik

2. Faktor Perinatal

a) Trauma lahir (sefal hematoma, ekimosis)

b) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus

a) Prematuritas

b) Faktor genetik

c) Polisitemia

d) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

e) Rendahnya asupan ASI

f) Hipoglikemia

g) Hipoalbumenia (Mitayani, 2010).


d. Klasifikasi

1) Ikterus fisiologis :

Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh

bayi baru lahir, tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak

berpotensi menjadi kern ikterus.Ikterus ini memiliki tanda-tanda

berikut :

a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga setelah bayi lahir

b. Kadar biliburin Indirek tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus

cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan

c. Kecepatan peningkatan kadar biliburin tidak lebih dari 5 mg%

per hari

d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama

e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan

patologis

f. Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg%

Ikterus dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah

pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidak ditemukan dasar

patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern

ikterus. Kern iketrus adalah suatu kerusakan otak akibat

perlengketan bilirubin indirek pada otak (Fraser, 2012).

2) Ikterus patologis

Ikterus patologis adalah suatu keadaan kadar bilirubin

dalam darah suatu nilai yang mempunyai potensi untuk


menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik,

atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown

menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12

mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan.

a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama

b. Kadar bilirubin melebihi 10mg% pada neonatus cukup bulan

atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan

c. Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg per hari

d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama

e. Kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg %

f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik (Mitayani,

2010).

e. Tanda dan Gejala

Gejala utamanya adalah kuning pada kulit, sklera dan mukosa.

Disamping itu ada pula disertai gejala-gejala :

a) Dehidrasi, asupan kalori yang tidak adekuat

b) Pucat, sering berkaitan dengan anemia hemolitik (misalnya

ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defesiensi G6PD)

atau kehilangan darah ekstravaskular

c) Trauma lahir, bruising, cefal hematoma

d) Pletorik (penumpukkan darah). Polisitemia yang dapat disebabkan

oleh keterlambatan memotong tali pusat

e) Letargi dan gejala sepsis lainnya


f) Petekiae (bintik merah pada kulit). Sering dikaitkan kepada infeksi

kongenital (Hidayat, 2008).

Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dalam cahaya

matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk

menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa

cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko

terjadinya kern ikterus.

Gambar 2.1. Pembagian ikterus menurut Kramer (Dewi, 2012)

Tabel 2.1. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterus menurut
Kramer

Daerah Kadar bilirubin(mg/dL)


Luas ikterus
ikterus Prematur Aterm

1 Kepala dan leher 4–8 4–8

2 Dada sampai pusat 5 – 12 5 – 12

3 Pusat bagian bawah sampai 7 – 15 8 – 16


lutut

4 Lutut sampai pergelangan 9 – 18 11 – 18


kaki dan bahu sampai
pergelangan tangan

5 Kaki dan tangan termasuk > 10 >15


telapak kakidan telapak
tangan
f. Penatalaksanaan

Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin terjadi, maka

bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini bermacam-

macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada.

a) Terapi sinar (fototerapi)

Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya

sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas

normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat

dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah

dulu  oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar

bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko

yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari

sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu

yang digunakan sekitar 10 buah dan disusun secara paralel. Pada

bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flaxy

glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga

intensitasnya lebih efektif.

Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan

pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan

alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa.

Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang berlebihan dari

lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi

belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian


retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi

risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan.

Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh

bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam, terlentang lalu

telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Jika sudah turun

dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa

dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah

boleh dibawa pulang.

Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak

fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi

sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara,

proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan

pengeluaran cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan

peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak

semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus  tertentu saja.

Untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti

tetap memberikan ASI pada bayi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

terapi sinar ialah :

1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 100

jam, untuk menghindarkan turunnya energi yang dihasilkan

oleh lampu yang digunakan


2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin

terkena sinar

3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan

cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata

dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk

memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantauan

iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup

mata

4) Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari

cahaya fototerapi

5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi,

untuk mendapatkan energi yang optimal

6) Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran

seluas mungkin

7) Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila

perlu

8) Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urin, feses

dan muntah diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda

dehidrasi

9) Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan

ditingkatkan

10) Lamanya terapi sinar dicatat.


Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang

batas normal, terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih

tetap atau tidak banyak berubah, perlu dipikirkan adanya beberapa

kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif atau bayi yang

menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme dan

lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan kolaboratif

dengan tim medis.

Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping.

Namun, efek samping tersebut bersifat sementara yang dapat

dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara

penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan

bayi secara berkelanjutan.

Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang

mendapat terapi sinar adalah :

1) Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible

water loss)

Energi fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan

dan menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit,

terutama bayi prematur atau berat lahir sangat rendah.

Keadaan ini dapat diantisipasi dengan pemberian cairan

tambahan.
2) Frekuensi defekasi meningkat

Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan

meningkatkan pembentukan enzim laktase yang dapat

meningkatkan peristaltik usus. Pemberian susu dengan kadar

laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.

3) Timbul kelainan  kulit “flea bite rash” di daerah muka badan

dan ekstrimitas

Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi

dihentikan. Dilaporkan pada beberapa terjadi “Bronze baby

syndrom” hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu

mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan

warna kulit ini bersifat sementara dan tidak mempengaruhi

proses tumbuh kembang bayi.

4) Peningkatan suhu

Beberapa neonatus yang  mendapat terapi sinar,

menunjukkan kenaikan suhu lingkungan yang meningkat atau

gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi prematur

fungsi termostat atau yang belum matang. Pada keadaan ini

fototerapi dapat dilanjutkan dengan mematikan sebagian

lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh

neonatus dengan jangka waktu (interval) yang lebih singkat.

5) Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, letargi,

dan iritabilitas.
Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang dengan

sendirinya.

6) Gangguan pada mata dan pertumbuhan

Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan

pada binatang percobaan. Pada neonatus yang mendapat terapi

sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya

serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan

belum ditemukan, walupun demikian diperlukan kewaspadaan

perawat tentang kemungkinan timbulnya keadaan tersebut

(Dewi, 2012).

b) Terapi Transfusi

Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar

bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka

perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan

bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).

Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami

beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental,

cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan

penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah

teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.

Penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah dari donor

dengan cara mengeluarkan darah neonatus dan masukkan darah donor

scara berulang dan bergantian melalui suatu prosedur. Jumlah darah


yang diganti sama dengan yang dikeluarkan. Pergantian darah bisa

mencapai 75-85% dari jumlah darah neonatus.

Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar

bilirubin indirek, mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis,

membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi

anemia.

Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada neonatus

dengan kadar bilirubin indirek sama dengan atau lebih tinggi dari 20

mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Pada neonatus

dengan kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg% dan kadar

hemoglobin tali pusat kurang dari 10 mg%, peningkatan kadar

bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah yang digunakan sebagai darah

pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab

hiperbilirubinemia.

Transfusi tukar dilakukan,  tetapi sebelumnya label darah

harus diperiksa apakah sudah sesuai dengan permintaan dan tujuan

transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus kurang dari 27

jam. Darah yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam

sebelum transfusi tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa

nasogastrik, lalu bayi dibawa ke ruang aseptik untuk menjalani

prosedur transfusi tukar.

Prosedur transfusi tukar : Bayi ditidurkan di atas meja dengan

fiksasi longgar, pasang monitor jantung dengan alarm jantung diatur


di luar batas 100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke dalam vena

umbilikalis, melalui kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu

dikeluarkan, kemudian darah pengganti sebanyak 200 cc dimasukkan

ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi

diambil lagi sebanyak 200 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukan

darah pengganti dengan jumlah yang sama. Demikian siklus

penggantian tersebut diulangi sampai selesai. Kecepatan menghisap

dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc

BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar berkisar 140-180

bergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum transfusi

tukar.

Saat transfusi tukar, darah donor dihangatkan sesuai suhu

temperatur ruang. Pemanasan darah dapat merusak eritrosit yang akan

menghemolisis dan menghasilkan bilirubin. Pemanasan tidak boleh

dilakukan secara langsung dan tidak boleh menggunakan microwave.

Darah dihangatkan dengan koil penghangat yang dirancang untuk

tujuan tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar

berlangsung, perawat bertanggung jawab membantu dan mencatat

tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium dan glukosa

darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi tukar

selesai, dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit,

dan bilirubin, kemudian diulangi tiap 4-8 jam atau sesuai anjuran
dokter. Selama dan sesudah transfusi tukar dapat terjadi komplikasi

emboli udara dan trombosis udara dan trombosis, aritmia,

hipervolemia, henti jantung, hipernatremia, hiperkalemia,

hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis post transfusi tukar,

trombositopenia, perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti

hepatitis virus B.

Mengingat banyaknya masalah yang dapat timbul, perawat

harus memantau kondisi neonatus dengan cermat dan mencatat setiap

temuan. Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium diperlukan untuk

menilai bahwa proses hemolitik sudah menurun, anemia mulai

membaik dan kadar bilirubin dapat dijaga di bawah kadar yang dapat

membahayakan neonates (Lissaeur, 2012).

c) Terapi Obat-obatan

Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya

phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di

sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirek berubah menjadi

direk. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin

yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut

bilirubin bebas ke organ hati.

Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain,

seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan, maka terapi obat-

obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah

mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum
ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam

darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu,

terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani

hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa

ditangani (Suriadi, 2010).

d) Menyusui Bayi dengan ASI

Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan

feses dan urin, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti

diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat

memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi,

pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada

beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast

milk jaundice).

Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua

setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk

sementara ibu tidak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin

bayi normal, baru boleh disusui lagi (Lissaeur, 2012).

e) Terapi Sinar Matahari

Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi

tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah

sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang

berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang,

misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam


07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif

mengurangi kadar bilirubin. Di bawah  jam tujuh, sinar ultraviolet

belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya

sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.

Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke

matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di

sekeliling, keadaan udara harus bersih (Dewi, 2012).

g. Komplikasi

1) Kernikterus

2) Kerusakan hepar

3) Gagal Ginjal (Lissaeur, 2012).

h. Metabolisme billirubin pada janin dan neonatus

Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang

merupakan produk utama pemecahan sel darah merah oleh sistem

retikuloendotelial. Reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi pada

metabolisme pemecahan heme dan pembentukan bilirubin sangat

kompleks. Mula – mula sel darah merah mengalami hemolisis dan

mengeluarkan hemoglobin, hemoglobin ini akan terurai menjadi heme,

globin dan hemoprotein lainnya. Selanjutnya, heme akan didegradasi

oleh enzim pertama yaitu enzim heme oksigenase, dimana proses ini

melibatkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH)

dan oksigen. Hasil dari proses ini adalah air, karbon monoksida yang

diekskresikan kedalam paru, ion feri yang akan digunakan kembali


untuk sintesis heme, dan biliverdin. Di dalam sitosol biliverdin akan

direduksi menjadi bilirubin tak terkonjugasi dengan bantuan enzim

biliverdin reduktase. Di jaringan perifer bilirubin tak terkonjugasi akan

diikat oleh albumin, diangkut oleh plasma ke dalam hati. Sel hepatosit

mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi

dengan menambahkan molekul asam glukuronat, dan dikatalisis oleh

enzim glukuronil transferase.

Tahap selanjutnya adalah mensekresikan bilirubin

terkonjugasi ke dalam empedu melalui mekanisme transpor aktif.

Setelah itu, bilirubin terkonjugasi di salurkan ke usus, sewaktu

bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, bakteri

usus mengeluarkan enzim glukuronida, dan mereduksi pigmen tersebut

menjadi urobilinogen. Sebagian kecil urobilinogen direabsorpsi dan

diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen

enterohepatik, dan sebagian besar yang lain di oksidasi oleh flora usus

menjadi urobilin dan diekskresikan di tinja (Hidayat, 2008).


HEMOGLOBIN

Globin Heme

Biliverdin Fe co

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/gangguan


transport bilirubin/peningkatan siklus enterohepatik) Hb dan eritrosit normal

Pemecahan bilirubin berlebih/bilirubin yang tidak diberikan dalam


albumin meningkat

Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah penegluaran


mekonium terlambat/obstruksi usus tinja berwarna pucat

Ikterus pada sklera, leher dan badan,


peningkatan bilirubin indirek≥12 mg/dl

Skema 2.1 Metabolisme Bilirubin

3. Hubungan BBLR dengan Ikterus

Berat badan lahir yang kurang dari normal dapat mengakibatkan

berbagai kelainan yang timbul dari dirinya, salah satunya bayi akan rentan

terhadap infeksi yang nantinya dapat menimbulkan ikterus neonatorum.


Banyak bayi lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat badan < 2500

gram) mengalami ikterus pada minggu pertama hidupnya. Karena kurang

sempurna nya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisikologik

maka mudah timbul beberapa kelainan diantaranya imatur hati.

Imatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum, hal ini dapat

terjadi karena belum maturnya fungsi hepar (Proverawati, 2010).

Ikterus sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada

BBLR. Banyak sekali penyebab hiperbilirubinemia ini. Yang sering terjadi

adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses

eritrosit (sel darah merah). Kurangnya enzim glukorinil transferase

sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna, dan

kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari

jaringan ke hepar kurang. Bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada

bayi dan apabila jumlah bilirubin semakin menumpuk ditubuhnya maka,

bilirubin dapat membuat kulit dan jaringan tubuh lain tampak kekuningan

(Suriadi, 2010). Ikterus merupakan salah satu kegawatan yang sering

terjadi pada bayi baru lahir, sebanyak 25%-50% pada bayi cukup bulan

dan 80% pada bayi BBLR (Dewi, 2012).

Bayi BBLR sering menderita hiperbilirubinemia dibanding bayi

yang beratnya normal. Berat hati bayi BBLR kurang dibandingkan bayi

biasa, mungkin disebabkan gangguan pertumbuhan hati. Ikterus dapat

terjadi karena belum maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil

transferase sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk


belum sempurna, kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi

bilirubin dari jaringan ke hepar kurang. Kadar bilirubin pada bayi BBLR

10 mg/dL (Pantiawati, 2010).

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa

keadaan. Kejadian sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan

beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat

ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,

memendeknya umur eritrosit bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber

lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan lain

yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila

ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukorinil

transferase). Hal tersebutlah yang sering terjadi pada bayi BBLR,

sehingga BBLR termasuk salah satu faktor penyebab terjadinya ikterus

pada bayi (Sulistyorini, 2010).

Dari hasil penelitian Septiani pada tahun 2011, Berat badan lahir

yang kurang dari normal dapat mengakibatkan berbagai kelainan yang

timbul dari dirinya, salah satunya bayi akan rentan terhadap infeksi yang

nantinya dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Banyak bayi lahir,

terutama bayi kecil (bayi dengan berat badan <2500 gram) mengalami

ikterus pada minggu pertama hidupnya. Karena kurang sempurna nya alat-

alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisikologik maka mudah

timbul beberapa kelainan diantaranya imatur hati.


4. Penelitian Terkait

Berdasarkan hasil penelitian Dahlena dengan judul penelitian

hubungan berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kejadian ikterus di

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2010. Tujuan penelitian ini untuk

mengetahui hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan

kejadian Ikterus dengan desain penelitian cross sectional dengan

pengumpulan data secara observasional yang menggunakan data sekunder.

Dengan sampel penelitan 225. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi

dengan BBLR yang mengalami Ikterus sebanyak 12 (4,74%) bayi. Dari

hasil uji statistik yang telah dilakukan x2 hitung lebih besar dari x2 tabel

(17,96 > 3,481). Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa BBLR

merupakan salah satu penyebab terjadinya ikterus.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tutiek Herlina, dkk di

RSUD Dr. Harjono Ponorogo pada tahun 2012 tentang hubungan antara

berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir, menyatakan bahwa

dari 88 berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar

bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai kadar bilirubin

normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%) mempunyai

kadar bilirubin normal, dan 7 bayi (14,9%) mempunyai kadar bilirubin

tidak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa berat bayi lahir

berhubungan dengan kadar bilirubin.


B. Kerangka Teori

FAKTOR PREDISPOSISI:
1. Faktor ibu
a) Malnutrisi
b) Umur
c) Anemia
d) Jarak kehamilan terlalu dekat
e) Penyakit menahun ibu
f) Pendarahan antepartum BBLR Ikterus
g) Pre eklampsia- eklampsia
2. Faktor janin
a) Cacat bawaan
b) Kehamilan ganda
c) Ketuban pecah dini
d) Kelainan kromosom
3. Faktor uterus dan plasenta
a) Kelainan pembuluh darah
b) Insersi tali pusat tidak normal
c) Uterus bikornus
d) Infark plasenta

Keterangan :

: Diteliti

Skema 2.2 Kerangka Teori

C. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

BBLR Ikterus

Skema 2.3 Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) dengan kejadian ikterus pada bayi yang tercatat di rekam

medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai