Apendisitis adalah peradangan yang disebabkan infeksi pada usus buntu, yang dimana gejala
umumnya nyeri perut bagian bawah kanan, mual, muntah dan nafsu makan berkurang. Penyebab
terjadinya peradangan pada apendiks (umbai cacing) dan sering disebut Apendisitis adalah ketika
ada sisa makanan yang tidak dapat keluar dari apendiks dan jika tidak dilakukan tindakan pada
peradangan tersebut dapat mengakibatkan Apendiks pecah dan dapat mengakibatkan kematian
dikarenakan shock dan peritonitis (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendisitis merupakan infeksi yang terjadi pada apendiks karena tersumbantnya lumen sehingga
terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Apendisitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri, penyebab obstruksi karena fekalit (batu feses), hiperplasi jaringan
limfoid, dan parasit (Sprit, 2010).
Klasifikasi Apendisitis
Apendisitis Akut. Terbagi atas 3 klasifikasi yaitu :
1. Apendisitis akut sederhana (cataral appendicitis). Terjadi proses peradangan baru disebabkan
oleh obstruksi terjadiidi mukosa dan sub mukosa. dalam lumen apendiks terjadi penumpukan
pada sekresi mukosa mengakibatkan mukosa apendiks menjadi menebal, terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang menggangu aliran limfe, edema dan kemerahan. Gejala biasanya di
tandai dengan mual, muntah, rasa nyeri pada daerah umbilikus, demam ringan, malaise dan
anoreksia
2. Apendisitis akut purulenta (supurative appendicitis). terjadi trombosis yang ditimbulkan oleh
tekanan dalam lumen yang terus bertambah diserta edema mengakibatkan terhambatnya aliran
vena pada dinding apendiks.Keadaan seperti ini memperberat edema dan iskemia pada apendiks.
3. Apendisitis akut gangrenosa terjadi infark dan ganggren bila tekanan dalam
lumen terus bertambah sehingga aliran darah arteri mulai terganggu.terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen pada apendisitis akut gangnerosa.
Etiologi
Penyakit apendisitis pada umumnya disebabkan oleh bakteri. selain itu Apendisitis
kemungkinan disebabkan oleh obstruksi luminal yang disebabkan oleh feses yang terkena
dampak atau faecolith. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologis bahwa radang
usus buntu lebih sering terjadi dengan asupan serat yang rendah.
Faktor yang mendominasi terjadinya apendisitis akut dikarenakan adanya sumbatan lumen
apendiks (Brunicardi, 2010). Fekalit merupakan penyabab umum dari obstruksi. Fekalit
ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, di 65% kasus apendisitis gangrene tanpa
ruptur, dan hampir 90% dari kasus apendisitis genggren dngan ruptur. Selain itu terdapat
penyebab lain yang lebih jarang seperti hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium yang mengental
dari pemeriksaan x-ray sebelumnya, tumor, dan parasit usus (seperti cacing askaris) (Brunicardi,
2010). Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa (Sjamsuhidajat, 2010)
Apendisitis dapat memiliki lebih dari satu penyebab, dan dalam banyak kasus penyebabnya tidak
jelas. Kemungkinan penyebab termasuk:
1. Tersumbatnya lubang di dalam apendiks
2. jaringan membesar di dinding usus buntu, yang disebabkan oleh infeksi pada saluran
pencernaan (GI) atau di tempat lain di dalam tubuh
3. penyakit radang usus
4. kotoran, parasit, atau pertumbuhan yang dapat menyumbat lumen usus buntu
5. trauma pada perut (Griffin, 2014)
Epidemiologi Apendisitis
Distribusi dan frekuensi.
Menurut orang. Kejadian penyakit apendisitis lebih sering terjadi pada pasien laki-laki
dibandingkan dengan wanita dengan perandingan rata-rata 1,4 : 1. Dengan kelompok usia
terbanyak rata-rata 10-30 tahun (Amalia, 2018).
Menurut tempat. Menurut statistik di Amerika terdapat 20 juta hingga 30 juta kasus yang
dimana 7% menjalani apendiktomi dengan insiden 1,1/1000 penduduk pertahun. Di Asia dan
Afrika insidennya lebih rendah namun cenderung meningkat karena semakin rendah
mengonsumsi makanan tinggi serat. Insiden penyakit Apendisitis lebih banyak ditemukan pada
negara-negara maju dibandingkan dengan negara berkembang. Namun, akhir ini kejadiannya
menurun diduga di sebabkan karena meningkatnya konsumsi makanan berserat ( Depkes RI,
2008).
Menurut waktu. Angka kejadian apendisitis di Amerika Serikat meningkat dari tahun 1993
hingga 2008 yaitu dari 7,62 menjadi 9,38 per 10.000 (Buckius, 2011). Pada Negara Spanyol pada
tahun 1998-2003 terjadi peningkatan kasus dari 11,7 menjadi 13,2 per 10.000 penduduk.
Indonesia merupakan insiden apendisitis tertinggi di Asia Tenggara (Ballester, 2009). Angka
kejadian apendisitis pada Negara Amerika 11,3 % lebih tinggi di musim panas daripada musim
dingin. Pada penelitian di Korea Selatan dilaporkan bahwa puncak operasi apendektomi dan
insidensi apendisitis adalah pada musim panas (Lee, 2010). Adanya variasi musim
Memungkinkan adanya peranan faktor-faktor ekstrinsik yang heterogen, seperti alergen,
kelembaban, radiasi sinar matahari serta infeksi virus dan bakteri dalam etiopatogenesis
apendisitis. Infeksi bakteri dan virus menyebabkan hiperplasia jaringan limfoid sehingga terjadi
obtruksi lumen apendiks (Jangra, 2013).
Patofisiologi
Kejadian primer pada sebagian besar pasien apendisitis diyakini karena obstruksi lumen. Ini
mugkin disebabkan oleh berbagai penyebab, yang meliputi fekalit, hiperplasia limfoid, benda
asing, parasit, dan oleh tumor primer (karsinoma, adenokarsinoma dan limfoma) dan metastasis
(usus besar dan payudara). Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada
bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang
dapat menyebabkan terjadinya distensi pada kantung apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang di produksi mukosa mengalami bendungan. Elastisitas apendiks mempunyai
keterbatasan, jika mukus yang di produksi mukosa makin banyak menyebabkan peningkatan di
intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitari 0,1 ml (Sjamsuhidajat, 2010).
Apendiks mengalami hipoksia, terjadi hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa dan invasi bakteri
dikarenakan peningkatan intralumen apendiks. Ulserasi mukosa mengawali infeksi, yang terjadi
pembengkakan yang bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi thrombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks), kemudian terjadi apedisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri dapat
menembus dinding menyebabkan peningkatan intramural dikarenakan sekresi mukus yang
berlanjut. Timbulnya nyeri di daerah kanan bawah dikarenakan peradangan meluas dan adanya
gesekan mengenai peritoneum parietal. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24 higga 36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan
banyak faktor. Apabila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Terjadinya infiltrate apendikularis bila omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks dan mencegah terjadinya perforasi sehingga timbulnya suatu massa, peradangan ini
dapat menjadi abses atau menghilang. (Sjamsuhidajat, Brunicardi, 2010 ). Terbentuknya massa
apendikular dikarenakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan
menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa. Di dalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
massa apendikular ini akan mengurangi diri secara lambat dan apendisitis akan sembuh.
Terjadinya perforasi berpengaruh terhadap daya tahan tubuh, bila daya tahan tubuh yang lemah
maka resiko terjadinya apendisitis perforasi lebih tinggi, anak- anak dan orang tua memilik
resiko tinggi terjadinya apendisitis perforasi. Pasien dengan apedisitis non-perforasi dilaporkan
bahwa rata-rata memiliki durasi 22 jam sebelum gejala muncul, sedangkan pada pasien
apendisitis perforasi rata-rata memiliki durasi 57 jam sebelum terjadinya gejala perforasi.
Terbentuknya massa apendikular untuk melokalisir bila tidak selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitisApendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlenketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada
suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan megalami eksaserbasi akut
(Sjamsuhidajat, Brunicardi, 2010)
Gejala
Gejala apendisitis yang paling umum adalah rasa nyeri atau sakit di perut ketika diberi tekana
pada daerah abdomen kuadran kiri bawah dan juga ketika bersin atau batuk. Gejala usus buntu
lainnya termasuk :
- kehilangan selera makan : timbulnya rasa nyeri dibagian abdomen menimbulkan rasa kurang
nyaman yang terkadang mengurangi rasa ingin makan
- mual & muntah : pusat muntah pada formasio retikularis lateralis yang distimulasi adanya
rangsangan oleh iritasi pada mukosa appendiks pada serabut saraf afferen simpatik usus
- pembengkakan di perut
- sembelit atau diare
- demam ringan :
- sering buang air kecil
(Griffin, 2014)
SKDI
Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini
sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi
komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi
apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer et al, 2000).
Diagnosis Banding
Kesalahan diagnosis tersering adalah apendisitis didiagnosis sebagai gastroenteritis.(Saucier A,
Eunice Y, Huang, et al.2013) Apendisitis jarang pada bayi. Jika ditemukan apendisitis pada
bayi, maka dugaan adanya penyakit Hirschprung juga harus dipertimbangkan.
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding apendisitis akut pada anak:
▪ Konstipasi
▪ Sindroma Hemolitik Uremik
▪ Divertikulum Meckel
▪ Kista ovarium
▪ Gastroenteritis
▪ Intususepsi
▪ Infeksi saluran kemih dan pyelonefritis
▪ Pelvic Inflamatory Disease
Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis, nyeri pada epigastrium atau region umbilical merupakan keluhan utama
apendisitis, nyeri ini kamudian dapat menyebar dan diraskan ke seluruh perut. Nyeri akan
berpindah kebagian region perut kanan bawah yang tepatnya pada titik McBurney’s. selain
nyeri yang berpindah juga biasanya pasien didapatkan dengan keluhan mual, muntah,
anoreksia, onstipasi, dan febris. Posisi ujung apendiks menentukan keluhan yang diderita
oleh pasien. (Petroianu, 2012).
Pemeriksaan fisik
Posisi anatomis apendiks yang meradang berpengaruh pada hasil pemeriksaan fisik yang di
dapat, serta oleh apakah organ tersebut telah mengalami perforasi ketika pasien pertama
diperiksa (Brunicardi, 2010). Pemeriksaan fisik yang umum ditemukan yaitu rangsangan
nyeri tekan pada titik McBurney’s, nyeri lepas dan defansmuskuler. (Sjamsuhidajat, 2010).
1. Saat melakukan palpasi tekanan pada perut kiri bawah dan timbul adanya nyeri perut
kanan bawah – Rovsing’s sign
2. Saat melakukan palpasi tekanan pada perut kanan bawah dan dilepaskan secara tiba-tiba
dan timbul adanya nyeri perut kanan bawah – Blumberg’s sign
3. Nyeri timbul pada perutkanan bawah bila pasien bergerak , berjalan, batuk, dan mengedan.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut,
terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan laboratorium yang rutin
dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Nilai hitung leukosit terbukti bahwa sekitar 90 persen
pasien apendisitis akut menderita leukositosis lebih dari 10.000 per mikroliter dan kebanyakan
juga hasilnya shift to the left dalam hitung jenis (Sabiston, 2012). Leukositosis ringan (10.000
hingga 18.000 sel/mm3) biasanya didapatkan pada pasien dengan akut apendisitis tanpa
komplikasi, dan sering disertai dengan dominasi polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih di atas
18.000 sel/mm3 meningkatkan kemungkinan apendiks perforasi dengan atau tanpa abses
(Brunicardi, 2010). Kurang dari 4 persen pasien apendisitis akut mempunyai hitung jenis normal
dan hitung leukosit total normal. Pemeriksaan urin bermanfaat dalam menyingkirkan sebab lain
nyeri kuadran kanan bawah. Adanya bakteri atau hematuria bermakna menggambarkan etiologi
urin umum untuk nyeri (Sabiston, 2012
USG
Pemeriksaan radiologi sebaiknya hanya dilakukan pada pasien yang secara pemeriksaan fisik dan
laboratorium rendah untuk memastikan diagnosis apendisitis (Petroianu, 2012). Peradangan
apendiks ditunjukkan dengan pembesaran diameter terluar lebih dari 6 mm, tidak tertekan,
berkurangnya peristaltik ataupun akumulasi cairan disekitar periapendikal. Apendiks yang
meradang dapat ditunjukkan secara tepat pada 86% kasus, sehingga dapat menurunkan
apendiktomi yang tidak perlu sekitar 7% dan penundaan operasi yang lebih dari 6 jam, sebanyak
2%. USG menunjukkan sensitifitas 75-90%, spesifitas 86-95% (Petroianu, 2012).
CT scan
Dapat digunakan untuk diagnosis apendisitis. Pada CT scan apendiks yang mengalami inflamasi
tampak berdilatasi (lebih besar dari 5 cm) dan dindingnya lebih tipis. Fekalit dapat mudah
dilihat, tetapi kehadirannya tidak patognomis pada diagnosis apendisitis (Brunicardi, 2010).
Diagnosis appendicitis
Skor Alvarado ≤ 3, kemungkinan bukan apendisitis (unlikely appendicitis).
Skor Alvarado 4-6, mungkin apendisitis (possible appendicitis).
Skor Alvarado 6-8, kemungkinan besar apendisitis (probable/likely appendicitis).
Skor Alvarado 9-10, pasti apendisitis (definite appendicitis).
Akurasi diagnosis
Dalam menyingkirkan diagnosis apendisitis (skor ≤ 3), skor Alvarado memiliki sensitivitas 96%.
Dalam menegakan diagnosis apendisitis (skor ≥ 6), skor Alvarado memiliki sensitivitas 58-88%.
Penggunaan CT scan
Untuk skor Alvarado ≤ 3, tidak perlu memerlukan CT scan untuk mendiagnosis apendisitis.
Untuk skor Alvarado 4-8, dianjurkan menggunakan CT scan untuk mendiagnosis apendisitis
lebih lanjut.
Untuk skor Alvarado ≥ 9, langsung konsultasi dengan dokter bedah untuk rencana operasi.
Daftar Pustaka
Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg Med.
1986 May;15(5):557-64. PubMed PMID: 3963537.
McKay R, Shepherd J. The use of the clinical scoring system by Alvarado in the decision to
perform computed tomography for acute appendicitis in the ED. Am J Emerg Med. 2007
Jun;25(5):489-93. PubMed PMID: 17543650.
Baidya N. et al. Evaluation Of Alvarado Score In Acute Appendicitis: A Prospective Study. The
Internet Journal of Surgery.
Sjamsuhidajat, R dan Jong, Wim De. 1997. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta 10042