Anda di halaman 1dari 9

Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019

Doi http://doi.org/md.v11i1.459

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam


Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah Oleh Masyarakat
Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat

Ihsan Febriadi1, Fajrianto Saeni2


1
Universitas Muhammadiyah Sorong
ihsanfebriadi84@gmail.com
2
Universitas Muhammadiyah Sorong
fajriesaeni1983@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
peladang berpindah Kampung Ibasuf Distrik Aityo Kabupaten Maybrat pada umumnya
melakukan aktifitas perladangan sehubungan dengan aktifitas perladangan yang dilakukan,
terutama pada lahan dengan kondisi kemiringan yang curam. Penelitian ini dilaksanakan di
Kampung Ibasuf Distrik Aityo Kabupaten Maybrat yang berlangsung pada Tahun 2019.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan survey dengan
tehnik wawancara langsung di lapangan.Pemilihan responden untuk wawancara
dilakukan secara purposif (purposive sampling), yang terdiri dari kepala keluarga, dan
informan kunci (kepala desa, sekretaris desa, tokoh adat/masyarakat, dan kaur), dengan
jumlah 10 responden. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: Sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi dilakukannya
perladangan berpindah oleh masyarakat di kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kabupaten
Maybrat. Sistem perladangan berpindah oleh masyarakat di kampung Ibasuf dilakukan
secaran turun menurun, yang dipengaruhi oleh tingkat umur, pendidikan dan tanggungan
keluarga. Dengan luas keseluruhan perladangan berpindah sebesar 16,725 ha.

Kata Kunci: Perladangan Berpindah, Kampung Ibasuf, Kabupaten Maybrat

PENDAHULUAN
Di Indonesia lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan perladangan berpindah diperkirakan
sebesar 9,3 juta Ha, dengan jumlah penduduk yang terlibat di dalamnya diperkirakan sebesar
6 juta orang. Keadaan tersebut yang menunjukkan bahwa perladangan di Indonesia
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sehingga pemerintah Indonesia memberi
proritas utama dalam melakukkan pendekatan dan tindakan untuk mengurangi
masalah-masalah yang timbul karena adanya bentuk-bentuk perladangan berpindah yang
merugikan lingkungan.
Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi dan
kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di
Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun,

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 17
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

dimana deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World
Bank mengakui bahwa taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah.
Dalam mempertahankan kelangsungan ekosistem dari dampak kegiatan perladangan
berpindah yang tidak berkelanjutan, suatu program atau metode dapat dilakukan dengan
pertimbangan berdasarkan karakteristik-karakteristik dalam kegiatan tersebut maupun
kondisi peladang yang terlibat di dalamnya, sehingga dapat dicari dan diputuskan jenis serta
isi dari program tersebut.
Sistem perladangan di berbagai daerah kendatipun pada umumnya memiliki beberapa cirri
kesamaan, namun banyak pula variasi dan perbedaannya. Hal ini tergantung kondisi bio-fisik
wilayahnya dan selain itu tergantung pada budaya masyarakat yang mempraktekkannya
(Iskandar, 1992), terutama pada kondisi sosial dan ekonomi yang berkaitan erat dengan pola
penggunaan lahan.
Pengelolaan lahan pertanian secara terus menerus tanpa adanya usaha rehabilitasi dan
konservasi, terutama pada kondisi lahan yang curam dapat dengan mudah menimbulkan
erosi tanah, selain merosotnya kualitas lahan itu sendiri. Oleh karena itu pengenalan sistem
pertanian yang lebih rasional sebagai pengganti sistem perladangan berpindah bagi
masyarakat sudah harus dipikirkan (Wambrauw, 1996).
Keberhasilan untuk mengubah sistem yang biasa mereka terapkan tergantung dari sesuai
tidaknya sistem atau teknologi baru yang diperkenalkan. Suatu sistem atau teknologi baru
akan lebih mudah diadopsi apabila tidak terlalu banyak mengubah kebiasaan mereka. Dalam
hal ini, pengembangan suatu sistem atau teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri
akan lebih tepat.
Dengan demikian akan menunjang dan memperlancar usaha rehabilitasi dan konservasi
lahan tersebut, dirasa perlu adanya pendekatan program atau metode melalui telaah sosial
ekonomi dan budaya masyarakat peladang, sehingga kemudian dapat dipertimbangkan dan
diterapkan bentuk alternatif rehabilitasi dan konservasi lahan perladangan tersebut.

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan survey
dengan tehnik wawancara langsung di lapangan.

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanaan di Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat, Propinsi
Papua Barat. Pengumpulan data dilapangan direncankan berlangsung selama satu bulan,
mulai bulan Juli sampai Agustus 2016.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan dalam penelitian ini adalah masyarakat penduduk Kampung Ibasuf yang masih
melakukan aktifitas perladangan dengan system ladang berpindah. Sedangkan alat yang

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 18
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

digunakan antara lain daftar pertanyaan(kuisioner) alat tulis, menulis, kalkulator, roll meter,
alat dokumentasi.

Prosedur Penelitian
1. Orientasi Lapangan
Orientasi lapangan dilaksanakan untuk mengetahui gambaran dan keadaan umum lokasi
penelitian yang kaitannya dengan penetapan metode-metode dan studi yang disiapkan dan
ditetapkan.
2. Penentuan Jumlah Responden
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kampung Ibasuf. Adapun
responden sebagai sampel dalam penelitian ini adalah hanya masyarakat yang melakukan
perladangan berpindah.
Pemilihan responden untuk wawancara dilakukan secara purposif (purposive sampling),
yang terdiri dari kepala keluarga, dan informan kunci (kepala desa, sekretaris desa, tokoh
adat/masyarakat, dan kaur), dengan jumlah 10 responden.
3. Pengambilan data
Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui wawancara langsung pada responden dengan bantuan daftar pertanyaan yang sudah
dipersiapkan. Data primer meliputi umur, tingkat pendidikan, kepercayaan/agama,
pendapatan rumah tangga, tanggungan keluarga, fasilitas ibadah, adat/norma, hak ulayat,
pelapisan masyarakat, sistem perladangan berpindah, aktivitas perekonomian. Data sekunder
diperoleh dari instansi terkait meliputi data demografi, struktur penduduk dan pertambahan
penduduk.
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Telaah kepustakaan terkait dilakukan guna memperkaya hasil-hasil
penelitian yang dibahas.
Penelitian di lapangan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Observasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung di lapangan terhadap objek yang
diteliti guna memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian berdasarkan kuisioner
yang disebarkan.
2. Wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan cara tanya jawab langsung kepada
responden atau informan.
3. Kuisioner, yaitu mengumpulkan data dengan memberikan daftar pertanyaan kepada
responden untuk diisi.

Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Sosial ekonomi (umur, pendidikan, tanggungan keluarga, pendapatan keluarga).
b. Sistem perladangan berpindah.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 19
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

Analisis Data
Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif serta
disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Sosial Ekonomi
Umur Responden
Berdasarkan hasil data yang diambil yaitu umur responden di bagi menjadi 2 kelompok
yang didasarkan umur produktif dan non produktif. Umur produktif dibagi lagi menjadi umur
produktif muda dan umur produktif tua. Kelompok umur produktif muda adalah umur 28-32
tahun. Kelompok umur produktif tua adalah umur 38-45 tahun. Kelompok umur non
produktif adalah umur 55 tahun ke atas.
Tabel 1. Distribusi Responden Masyarakat Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kambupaten
Maibrat Berdasarkan Kelompok Umur
No. Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Responden (KK) Persentase %
1 28-32 3 30
2 33-45 5 50
3 ≥ 46 2 20
Jumlah 10 100
Berdasarkan hasil surfei pengambilan data bahwa tingkat umur masyarakat di
Kampung Ibasuf, semakin tua usia maka semakin kurang produktif. Sehingga pemanfaatan
aktifitas perladangannya untuk menunjang kehidupan ekonomi sangat berkurang. Usia
masyarakat untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan sehari-hari sebagian besar
berada pada usia produktif. Bakri dan Maning dalam Girsang (2006) mengemukakan bahwa
usia produktif untuk bekerja di negara-negara luar yang berkembang, pada umumnya adalah
28-32 tahun.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa masyarakat responden di sekitar
Kampung Ibasuf oleh kelompok masyarakat yang berusia antara 38=3-45 tahun yaitu sebesar
5 KK. Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa masyarakat yang memanfaatkan hutan
sebagai tempat untuk melakukan pengolahan kebun untuk peningkatan kebutuhan ekonomi
oleh kelompok usia produktif.

Tingkat Pendidikan Responden


Berdasarkan hasil penelitian tingkat pendidikan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
kelompok yaitu : Pendidikan Rendah yakni mereka yang belum pernah mengikuti proses
pendidikan atau sekolah sampai mereka yang hanya tapat pada tingkat Sekolah Dasar (SD).
Pendidikan Menengah yaitu mereka tamat pada tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) dan mereka yang juga tamat pada Sekolah Menengah Atas
(SMA).Untuk lebih jelasnya data tingkat pendidikan dapat dilihat pada table 2.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 20
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

Tabel 2. Distribusi Responden Masyarakat Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kmbupaten


Maibrat berdasarkan Tingkat Pendidikan.
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (KK) Persentase %
1 Tidak Sekolah 3 30
2 SD 2 20
3 SMP dan SMA 5 50
Jumlah 10 100

Berdasarkan hasil data yang diketahui dari tingkat pendidikan masyarakat di Kampung
Ibasuf pada umumnya masih tergolong rendah. Terlihat tabel bahwa yang tidak sekolah 3
orang KK menempuh jenjang pendidikan SD 2 orang KK dan SMP/SMA sebanyak 5 orang
KK. Kondisi ini tentunya mengakibatkan ketergantungan antara satu sama lain. Rendahnya
tingkat pendidikan tentunya akan berdampak terhadap sempitnya peluang mereka untuk
memperoleh lapangan pekerjaan yang layak dan memadai. Akhirnya di suatu kampung
tersebut mempunyai taraf pengangguran yang semakin banyak dan juga Rendahnya tingkat
pendidikan, ketrampilan dan informasi yang di miliki oleh masyarakat juga menyebebkan
sulit untuk bersaing dan memasuki pasar lapangan kerja secara umumn.

Jumlah Tanggungan Keluarga


Berdasarkan hasil penelitian jumlah tanggungan keluarga dapat di kelompokkan
menjadi 3 kelompok yang di dasarkan pada konsep catur warga yaitu keluarga kecil 1-5
orang anggita keluarga sedang 6-7 orang dan keluarga besar 8 orang atau lebih. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Responden Masyarakat Sekitar Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo
Kambupaten Maybrat Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
No. Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Responden (KK) Persentase %
1 Kecil (1-5) orang 2 20
2 Sedang (6-7) orang 6 60
3 ≥ 8 orang 2 20
Jumlah 10 100

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keluarga responden di sekitar Kampung


Ibasuf, rata-rata mempunyai jumlah anggota keluarga 6 orang. Kondisi ini dapat berdampak
pada meningkatkanya indepitasi ketergantungan hidupnya. Besarnya jumlah tanggungan
keluarga akan berpengaruh terhadap pembiayaan yang semakin meningkat. Hal ini terkait
dengan besarnya biaya yang harus di keluarkan untuk biaya komsumsi rumah tangga dan
pendidikan. Tidak hanya itu saja, semakin bayak angota keluarga, maka semakin banyak
pula kebutuhan yang harus di penuhi.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 21
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

Tingkat Pendapatan
Kampung Ibasuf merupakan daerah yang terletak di dataran rendah yang tanahnya
cocok untuk dijadikan lahan perkebunan. Dengan demikian sebagian besar masyarakat
kampung ibasuf memanfaatkan lahan atau tanah tersebut sebagai lahan perkebunan kacang
tanah dan singkong yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat setempat. Untuk
mengetahui pendapatan masyarakat di kampung ibasuf di lihat pada tabel 4.
Tabel 4. Tingkat Pendapatan Responden di Kampung ibasuf.
Tingkat Pendapatan
No. Jumlah Responden (KK) Persentase %
(Rp/bulan)
1 <1.000.000 3 30
2 1.000.000 – 2.500.000 4 40
3 2.500.000 – 5.000.000 3 30
Jumlah 10 100

Dilihat dari tabel diatas yang mempunyai penghasilan paling tinggi yaitu petani Rp
2.500.000-5000.000/bulan sebanyak 3 KK, pendapatan Rp. 1.000.000-2.500.000 sebanyak 4
KK dan yang paling rendah adalah kurang dari Rp. 1.000.000/bulan sebanyak 3 KK. Dengan
demikian bahwa tingkat pendapatan masyarakat dalam kampung Ibasuf sudah cukup baik.

Sistem Perladangan Berpindah di Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kabupaten


Maybrat
Sistem perladangan berpindah pada Kampung Ibasuf sudah dilakukan sejak turun
menurun dari nenek moyang mereka. Dimana masyarakat memandang bahwa hutan adalah
milik mereka untuk diolah sebagai kebun dalam menyediakan kebutuhan sehari-hari, yang
selama ini masih dilakukan secara berpindah-pindah.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dari 10 responden bahwa luas keseluruhan
perladangan berpindah dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Luas Perladangan Berpindah Pada Kampung Ibasuf
No. Responden Panjang (m2) Lebar (m2) Luas/Ha
1 500 30 1,5
2 600 40 2,4
3 350 50 1,75
4 400 40 1,6
5 550 30 1,65
6 600 25 1,5
7 500 20 1
8 550 35 1,925
9 700 30 2,1
10 650 20 1,3
Jumlah 16,725
Sumber : Data Primer 2016.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 22
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

Berdasarkan tabel di atas bahwa luas keseluruhan perladangan berpindah dari 10


responden sebesar 16,725 ha. Dengan luas paling tinggi yaitu 2,4 ha dan luas terendah yaitu 1
ha. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat umur responden, tingkat pendidikan dan jumlah
tanggungan keluarga tiap-tiap responden, dimana umur seseorang semakin tua maka orang
tersebut kurang produktif untuk melakukan perladangan berpindah. Sedangkan tingkat
pendidikan yang rendah membuat tingkat keterampilan dan informasi yang dimiliki oleh
masyarakat sekitar hutan, juga rendah hal ini menyebabkan masyarakat sulit untuk bersaing
dan memasuki pasar lapangan kerja secara umum.
Oleh karena itu tentunya berdampak pada semakin sempitnya peluang mereka untuk
memperoleh lapangan pekerjaan yang layak dan memadai. Pilihan pekerjaan sebagai
perladangan berpindah merupakan satu-satunya alternatif yang dipilih karena profesi sebagai
petani tidak mensyaratkan tingkat pendidikan maupun keterampilan tertentu. Serta
tanggungan keluarga yang cukup besar juga menpengaruhi perladangan berpindah karena
semakin besar tanggungan keluarga maka semakin luas pula membuka lahan hutan untuk
pertanian subsistem (perladangan berpindah).
Sistem perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat kampung Ibasuf adalah
sebagai berikut:
1. Pemeliharaan Tempat
Dalam menentukan lahan atau tempat biasanya merupakan hutan yang masih belum
dikelola. Bisa saja di tempat yang belum pernah diambil sebagai ladang beberapa tahun
silam. Lahan seperti ini dalam bahasa orang Suku Maybrat disebut dengan bebas ini juga
tidak selalu orang tua atau orang lain bisa jadi dimiliki orang lain dalam berladang.
2. Pembersihan / Menebas Tumbuhan Bawah
Proses dengan membuka lahan tersebut dengan cara menebas dan membuka lahan itu
sendiri. Menebas dapat diartikan yaitu untuk membersihkan lahan yang akan diambil
sebagai ladang.
3. Penebangan Pohon
Proses penebangan biasanya dilakukan sesudah pembersihan didalam satu letak lahan
kebun sudah selesai dan setelah itu dilakukan penebangan jadi kita sudah mempunyai
batas areal lahan yang sudah diambil dan di kelola dalam proses ini biasanya juga
menentukan beberapa besar ladang yang akan dibuat. Alat yang biasanya digunakan
biasanya adalah parang, kampak, sabit.
4. Pembakaran dan Pembersihan
Proses dalam pembakaran yaitu untuk membakar sisa dari kotoran daun dan pohon semak
belukar yang sudah dipotong sebelum itu dikumpulkan dan dibakar. Setelah selesai
proses pembakaran pemilik dari ladang tersebut dapat melakukan pembersihan
di sekeliling areal tersebut untuk 1 minggu kemudian dilakukan proses penanaman.
5. Pemeliharaan
Dalam proses pemeliharaan kebun yaitu kondisi hutan kabupaten Maybrat yang dikenal
dengan Babi hutan atau Babi liar, maka itu dibuat pagar dengan Bahasa Suku Maybrat
yaitu Ana’ supaya menjaga ladang dari Babi liar dan juga penyangga yang dilakukan
dengan membersihkan rumput liar yang merayap ditanah kebun.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 23
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

6. Hasil Pemanen dan Meninggalkan Ladang


Proses pemanen adalah tahapan akhir dari pemeriharaan tempat atau lokasi ladang. Masa
pemanenan dari beberapa jenis tanaman yang ada di ladang itu mempunyai tahapan panen
yang sangat berbeda pertumbuhannya. Jadi cara pemanenan di suatu lahan kebun paling
tinggi 3 bulan baru pindah ke ladang yang lain. Setelah meninggalkan lahan tersebut ada
juga yang melakukan rehabilitasi/ penanaman kembali ladang dengan tanaman jangka
panjang untuk mengembalikan unsur hara yang sudah hilang baru pindah ke tempat
yang lain. Kemudia setelah 5-10 tahun masyarakat yang berladang di tempat tersebut
akan kembali lagi ke tempat semula (Gilir balik).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi dilakukannya perladangan berpindah oleh
masyarakat di kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat.
2. Sistem perladangan berpindah oleh masyarakat di kampung Ibasuf dilakukan secaran
turun menurun, yang dipengaruhi oleh tingkat umur, pendidikan dan tanggungan
keluarga. Dengan luas keseluruhan perladangan berpindah sebesar 16,725 ha.

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1990. Konsep Daerah Penyangga Taman Nasional Baluran Presiding Seminar
Nasional Pengelolaan Kawasan Penyangga. Departemen Kehutanan Propinsi Irian
Jaya dan WWF Program Irian Jaya.
Brunig, E. F. 1999. Social Forertry, Environment and Society The Course, State and Trend of
Sustainability in The Tropical Rainforest. New Challenges to Education. Indonesia
Forestry Curriculum Forum. British Ecological Society (tidak diterbitkan).
Colfer, C.J.P. dan R.G. Dudley 1997 Pefcdaag Berpindah di Indonesia. Perusak Atau
Pengelola Hutan? Proyek Pengembangan Sistem Manajemen Hutan Lestari di
Kalimantan Timur Samarinda.
Goldsworthy, P.R. dan N. M. Fisher. 1994. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Studi Kasus Dan Daerah Baduy Banten
Selatan, Jawa Barat Djambatan. Jakarta.
Noor, A R. dan Kim Young-Cheol 1993. Suksesi Areal Bekas Ladang Berpindah di Desa
Sungai Buluh Kalimantan Tengah. Media Persaki edisi I/MP-8/1993 Pengurus Pusat
Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia.
Pratiwi. 1998. Pengaruh Deforestasi Terhadap Kelestarian Lingkugan di Indonesia. Buletin
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat dan Pembangunan Hutan dan
Konservasi Alam Bogor.
Imelda Kristi Irjayani, 2000, Tinjauan beberapa Aspek sosial ekonomi dan budaya
masyarakat dalam kegiatan pertanian tradisional di desa Kabuena kecamatan
Angkrisera Kabupaten Yapen Waropen, Skripsi. Uncen, 2000.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 24
Median Volume 11 Nomor 1 Bulan Februari 2019
Doi http://doi.org/md.v11i1.459

Renyaan, B.R. 1990. Prediksi Dampak Pola Perladangan Suku Arfak Terhadap Degradasi
Hutan di Kawasan Hutan Pelestarian Pegunungan Arfak Desa Warmare, Manokwari.
Skripsi Sarjana Kehutanan Faperta Uncen. Manokwari (tidak diterbitkan).
Rosyani dan Ginto. 1998. Studi Pengelolaan Lahan Kritis. Kasus di Sekitar Taman Nasional
Kerinci Seblat, Jambi. Jurnal Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh
Indonesia. Vol. 18 No. 3/1998. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Rumaropen, D. 1990. Interaksi Masyarakat Dalam Kawasan Penyangga di Irian Jaya.
Presiding Seminar Nasional Pengelolaan Kawasan Penyangga. Departemen
Kehutanan Propinsi Irian Jaya dan WWF Program Irian Jaya.
Soeharjo, A. dan D. Patong. 1991. Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi. IPB. Bogor.
Wambrauw, A. I. 1996. Identifikasi Sistem Perladangan Berpindah Suku Sough (Arfak) di
Kecamatan Anggi Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Faperta Uncen.
Manokwari (tidak diterbitkan).
Wanggai, F. 1994. Peranan Sumberdaya Hutan Dalam Pembangunan Berwawasan
Lingkungan. Kursus Lingkungan Hidup Bagi Petugas Dinas Kehutanan di Irian Jaya.
PSLH - Uncen Manokwari (tidak diterbitkan).
Wanggai, F., M.J Tokede , M.N Thaib dan Patria Hadi. 1995. Managenen Hutan Secara
Berkelanjutan Dalam Rangka Penerapan Ekolabel Pada Hutan Produksi di Tahan 2000.
Simposium Nasional Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi (tidak diterbitkan).
Waruwu, F.A. 1984. Kesadaran Hukum Masyarakat Membantu Usaha Pelestarian
Lingkungan. Duta Rimba No. 56. Perum Perhutani.
Yuniati. S. 1990. Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Melalui
Pembinaan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Kawasan Penyangga. Departemen
Kehutanan Propinsi Irian Jaya dan WWF Program Irian Jaya.

Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah 25

Anda mungkin juga menyukai