Anda di halaman 1dari 52

Bab I

Pendahuluan

Life is gift,
life is a precious journey

A. LATAR BELAKANG

"The World is a book, and those who do not travel read only a page," sebuah
pernyataan dari Saint Agustine yang dikutip oleh Trinity1 dalam bukunya, The Naked
Traveler 2 (2010). Buku adalah jendela dunia, perumpaan ini klise dan rasanya sudah
terlalu usang namun selalu menjadi ungkapan yang tepat untuk mendiskripsikan buku.
Sebagai jendela dunia, buku telah membantu kita dalam menginterpretasikan dunia.
Dengan buku, kita bisa melihat, memahami dan menyerap apa saja yang ada di
sekitar kita. Kita pun bisa mengetahui sesuatu hal yang sebelumnya tidak kita ketahui.
Buku pula yang mencatat serta merekam setiap gerak peristiwa dan pengetahuan yang
terjadi di muka bumi.2 Buku membantu kita untuk melihat dunia bahkan memberikan
gambaran cukup jelas tentang dunia hingga memandu kita dalam menjelajah dunia
secara nyata.
Menurut Puthut EA (Sigit Susanto, 2005: xvi), di dalam buku terdapat perpaduan
antara dua jenis perjalanan penting. Pertama, perjalanan imajinasi. Buku adalah
sebuah peta, sebuah kendaraan sekaligus sebuah perjalanan. Seorang pembaca akan
dibawa jauh mengembara, dengan tubuh yang tidak bergeser sedikit pun dari tempat
duduknya. Sementara jenis perjalanan kedua adalah perjalalanan tubuh. Sebuah
pengelanaan menuju tempat-tempat yang baru, mendapati hal-hal yang baru, kota
asing, aroma tanah yang juga asing. Berdasarkan pandangan Puthut EA, maka buku
1
Seorang traveler yang bergaya independent traveler dan kini berprofesi sebagai fulltime traveler
dan freelance tavel writer, penulis buku catatan perjalanan national bestseller The Naked Traveler
2
Terarsip dalam Imam Cahyono, "Buku, Ilmu, dan Peradaban 'Kacang Goreng'", Sinar Harapan, 13
September 2003

1
apa pun termasuk buku perjalanan mampu membujuk pembacanya untuk melakukan
tindakan berupa pengelanaan secara nyata. Pada saat inilah buku mampu menyentuh
khalayak. Ketika buku mulai menyentuh khalayak, maka buku menjadi sebuah media
massa.3 Buku sebagai media mampu menjadi panduan maupun tuntunan bagi kita
sebagai stimulan untuk memahami suatu gagasan ataupun pemikiran, pembentuk
identitas, pengonstruk gaya hidup, representator fenomena, bahkan menjadi
penggerak yang memotivasi kita untuk melakukan beragam aktivitas, termasuk
didalamnya adalah aktivitas travelling ala backpacker. Buku bertema travelling
tersebut dikenal dengan istilah travel writing
Travel writing sebenarnya bukanlah tema yang baru dalam industri buku di
Indonesia. Travel writing adalah sebuah upaya untuk mendokumentasikan perjalanan
dalam bentuk yang lebih detail, yaitu foto dan reportase.4 Para pelakunya dikenal
dengan sebutan travel writer.5 Di Indonesia sendiri, travel writing sebetulnya sudah
mulai digemari di era tahun 1980-an dengan tokoh-tokohnya seperti HOK Tanzil,
seorang profesor di bidang medis dan Norman Edwin, seorang pendaki gunung,
6
pecinta alam legendaris, dan wartawan. Kisah perjalanan HOK Tanzil
dipublikasikan dalam majalah Intisari.7 Norman Edwin sebagai seorang wartawan,
mempublikasikan kisah perjalanannya di surat kabar Kompas.8 Kemudian pada akhir
tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, Balada si Roy, novel serial besutan Gol A
Gong berhasil merebut perhatian khalayak hingga menjadi novel serial best seller
pada masa itu.
Pada masa itu, profesi penulis perjalanan yang tidak banyak dikenal orang.
Hampir tidak ada orang Indonesia yang melakukan perjalanan sambil menulis,
kecuali bila pelaku perjalanan tersebut adalah seorang wartawan yang difasilitasi

3
Samuel L. Becker and Churchill L. Roberts. 1992. Discovering Mass Communication (3rd edition).
New York: Harper Collins Publisher. Hal. 79
4
Yudasmoro. 2012. Travel Writer. Solo: Metagraf, Creative Imprint of Tiga Serangkai, hal. x
5
Ibid. hal. xi
6
Ibid. hal. xi
7
Gol A Gong. 2012. Te-We (Travel Writer). Jakarta: KPG, hal. 11
8
Ibid. hal. 13

2
perusahaan atau lembaganya untuk melakukan ekspedisi dan menulis catatan
perjalanan secara bersambung di majalah atau korannya. Gol A Gong (2012: 13)
menyebutkan beberapa diantaranya adalah Emji Alif (Gadis), Daniel Chaniago
(Kartini), Gerson Poyk (Sarinah), dan Norman Edwin (Kompas).
Pada tahun 1980-an, belum banyak orang yang melakukan aktivitas perjalanan
secara backpacking. Backpacking adalah cara untuk “menjelajah” dunia. Sebuah
perjalanan mandiri yang diurus oleh diri sendiri, tidak bergantung pada event
organizer atau travel agent. 9 Selain itu dari segi pembiayaan, backpacking
merupakan upaya untuk menghemat semua lini pengeluaran selama perjalanan, baik
biaya transpor, akomodasi, kalau bisa cari gratisan melalui berbagai komunitas
backpacker di seluruh dunia yang membuka rumahnya untuk diinapi backpacker lain
secara gratis, bahkan untuk konsumsi pun apa adanya saja. Dengan demikian biaya
bisa dihemat agar bisa berjalan sejauh mungkin.10
Pelaku backpacking disebut backpacker. Backpacker adalah istilah untuk
menyebut traveller dengan budget minim demi misi menjelajahi tempat-tempat
menarik di dunia. Tas punggung atau backpack menjadi ciri khas yang menemani
mereka.11 Pembawa ransel diasosiasikan sebagai orang yang "miskin, muda, dan
kuat." Asosiasi ini membuat backpackers rentan dilecehkan saat masuk ke hotel
bagus dan restoran mahal.12
Bila dirunut ke belakang, cikal-bakal perjalanan ala backpacker ini berkaitan
dengan gerakan Hippie tahun 70-an yang mulai berkembang dari Boston sampai
Seattle, Detroit sampai New Orleans. Ada juga kaum Hippie di Paris dan London,

9
Lihat Majalah Digital Info-Backpacker Edisi 7 terarsip dalam
http://www.infobackpacker.com/makna-backpacking-dimata-elok-dyah-messawati.htm/feed diakses 19
Juli 2011
10
Ibid
11
Lihat http://newspaper.pikiran rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=43686 terarsip dalam
http://artsons.wordpress.com/impian-keliling-dunia/balada-backpacker-bag-2/feed/ diakses 15 Juni
2011.
12
Trinity. 2007. The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia.
Yogyakarta: C | publishing. Hal. 156

3
New Delhi, dan Khatmandu di mana kaum Hippie Amerika melakukan trekking dan
membuat jalur di Amsterdam sampai ke Bali, Kabul, Kashmir, dan Kathmandu untuk
mencari hallucinogens drugs yang murah dan ajaran cinta kasih Buddha. Jalur ini
dikenal dengan nama "Hippie trail" atau "hashish trail" (Dadang Rusbiantoro, 2008:
9). Beberapa backpackers saat ini mulai menghidupkan kembali jalur hippie tahun
1960-an dan 1970-an yang mengikuti bagian-bagian dari jalan sutera tua (jalur sutra
kuno), meskipun dengan cara yang lebih nyaman, dengan tujuan mengkampanyekan
gerakan "Go Green". Melihat jauh ke dalam sejarah, Giovanni Francesco Gemelli
Careri oleh beberapa pengamat disebut sebagai salah satu backpackers pertama di
dunia.13
Mayoritas kaum Hippie didominasi orang kulit putih yang berasal dari kelas
menengah, remaja yang berpendidikan, berusia antara 17 sampai 25 tahun (meskipun
ada juga yang berumur 50 tahun). Mereka ingin memberontak dari kehidupan
sehari-hari yang hanya berorientasi pada kerja, pencapaian status sosial dan
kekuasaan yang tiada henti. Mereka menghujat uang sebagai sumber segala sumber
kejahatan serta menciptakan dunia utopia dengan membangun masyarakat di luar
masyarakat dan melarikan diri dari komersialisasi kota.14 Konon gaya hidup ini
sebagai bentuk ekspresi resistensi kaum Hippie terhadap kemapanan. Alih-alih
memilih kemapanan dalam hidup, kaum Hippie memilih untuk hidup bebas secara
nomaden alias berpindah-pindah dengan kelompoknya. Kaum Hippie sering pula
disebut sebagai Flower Generation dan mereka inilah nenek moyang para
backpackers.
Perkembangan selanjutnya para pelaku perjalanan (traveler) dan penulis
perjalanan (travel writer) didominasi oleh lelaki entah karena memang tidak ada
perempuan yang menjadi petualang atau karena perempuan tidak tertarik membuat
tulisan perjalanan. Hal ini membuat petualang dan penulis perjalanan identik dengan

13
Lihat http://idiotraveler.blogspot.com/2012/02/definisi-sejarah-dan-jenis-backpacker.html diakses
12 Maret 2012
14
Dadang Rusbiantoro. 2008. Generasi MTV. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 10

4
sosok lelaki dengan segala identitas maskulinnya yang cenderung kuat dan keras.
Yudasmoro15 (2012) bahkan menyebut HOK Tanzil (Intisari) dan Norman Edwin
(Kompas) sebagai Bapak Travel Writer Indonesia di era tahun 1980-an. Hal ini
mempertegas bahwa aktivitas perjalanan dan penulis perjalanan identik sebagai
aktivitas maskulin.
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, di luar negeri para pelaku perjalanan
sekaligus penulis perjalanan juga didominasi oleh para lelaki seperti Marcopolo dan
Ibnu Batuta. Cerita backpacker tentunya tak lepas dari penggambaran petualang
sepanjang masa Ernest Hemingway yang menginspirasi perjalanan para penduduk
dunia. Inspirasi pelaku perjalanan lain diantaranya adalah Jack Kerouac, Nicolas
Bouvier, Paul Theroux, dan Michael Palin dengan gaya perjalanan dan gaya penulisan
perjalanan masing-masing.16
Menurut penuturan Gol A Gong (2012) dalam bukunya TE-WE (Travel Writer),
pada era 80-an, petualang lelaki biasanya merasa semakin tertantang ketika sebuah
kota yang dikunjunginya semakin asing. Justru semakin asing sebuah tempat,
semakin seru perjalanannya. Wanita, sebaliknya, sering dianggap selalu mengeluh
tersesat, "Di mana kita sekarang?" Hal ini menyiratkan sekaligus menegaskan bahwa
aktivitas perjalanan terutama perjalanan bergaya backpacker merupakan aktivitas
maskulin yang identik dengan sifat pemberani, percaya diri juga mandiri untuk
menghadapi sebuah tempat yang asing. Di sisi lain, perempuan yang kerap
distereotipkan inferior dengan sifat femininnya seperti lemah lembut, pemalu,
penakut, menyukai rasa aman, menyukai kenyamanan, dan selalu bergantung hanya
menjadi sosok pengeluh yang tidak menyukai suatu hal yang asing.
Kemudian di tahun 2000-an, buku bertema travelling kembali populer. Adalah
Trinity, The Naked Traveler, seorang perempuan pekerja kantoran biasa yang telah

15
Lelaki yang berprofesi freelance travel writer dan aktif menulis untuk beberapa media cetak papan
atas seperti Garuda Inflight, Garuda Inflight-middle east, Jalan-Jalan dan Applaus the Lifestyle
16
http://www.mytravelnotes.web.id/2011/06/25/are-you-a-backpacker-flashpacker-tourist-traveler/feed
diakses 12 Maret 2012

5
menjadi pelopor sekaligus fenomena kembali booming-nya travel writing serta turut
mempopulerkan aktivitas perjalanan bergaya backpacker di Indonesia. Awalnya The
Naked Traveler adalah travel blog di http://naked-traveler.com yang dibuat oleh
Trinity pada tahun 2005. Trinity yang sedari kecil sudah senang jalan-jalan mulai
menekuni hobi jalan-jalannya semenjak remaja. Dia juga mulai rajin menuliskan
kisah perjalanannya meski hanya dalam bentuk catatan harian. Kemudian salah
seorang temannya, mengusulkan agar tulisan Trinity dipublikasikan secara online
melalui blog. Maka dibuatlah blog The Naked Traveler yang berisi tulisan merupakan
pengalaman pribadi Trinity selama menjelajah berbagai pelosok baik dalam negeri
maupun luar negeri dengan gaya bahasa ringan serta spontan alias ceplas-ceplos,
"...seperti seorang teman yang baru pulang dari bepergian menceritakan kisahnya
kepada kita," ungkap seorang pembaca blog The Naked Traveler. 17 The Naked
Traveler kemudian menjadi finalis Indonesia’s Best Blog Award 2007 dalam “Pesta
Blogger” pada tanggal 27 Oktober 2007 di Jakarta.18 Hingga pertengahan bulan
Februari 2014, travel blog The Naked Traveler yang mulai aktif sejak tahun 2007 ini,
telah mendapat pengunjung sebanyak 5.432.525.
Trinity tak pernah menyangka bahwa blognya akan dikunjungi banyak orang dan
mempunyai banyak penggemar bahkan menjadi hit. Kemudian sebuah penerbit yaitu
Bentang Pustaka yang menyarankan Trinity membuat buku. Maka pada bulan Juni
2007 terbitlah The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia
Keliling Dunia melalui C|publishing Bentang Pustaka, yang ternyata banyak disukai.
Belum genap dua tahun terbit, The Naked Traveler telah terjual sekitar 40.000 kopi.19
Dan kini di tahun 2014, The Naked Traveler telah memasuki edisi cetak ke-25. The
Naked Traveler pun menjadi national bestseller begitupun dengan The Naked
Traveler 2 yang terbit tahun 2010 dan telah memasuki edisi cetak ke-10. Sampai kini,

17
http://www.bukukita.com/Non-Fiksi-Lainnya/Non-Fiksi-Umum/55105-The-Naked-Traveler---Catata
n-Perjalanan-Seorang-Backpacker.html diakses 23 Oktober 2012
18
'http://naked-traveler.com/about diakses 17 Oktober 2012
19
Terarsip dalam
http://travel.kompas.com/read/2009/05/16/11570172/Perucha.Hutagaol.Jelajahi.37.Negara

6
Trinity telah menulis 8 buku yang bercerita mengenai perjalanannya baik keliling
nusantara maupun keliling dunia.
Semenjak buku The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita
Indonesia Keliling Dunia terbit tahun 2007 dan populer di kalangan pembaca maupun
pelaku perjalanan, mulai muncul buku-buku yang bertema serupa. Tak dapat
dipungkiri kemunculan Trinity sebagai perempuan penulis kisah perjalanan di
Indonesia pun menjadi fenomena baru di dunia kepenulisan di Indonesia. Sosok
Trinity pun menjadi populer bahkan menjadi role model sebagai perempuan petualang.
Munculnya perempuan sebagai travel writer sekaligus traveler, memunculkan
penulis-penulis dan traveler perempuan lainnya. Sebut saja Marina Silvia K. dengan
Keliling Eropa 6 Bulan Hanya dengan 1.000 Dolar Lewat Jalur Pertemanan (2008),
Matatita dengan Tales From The Road: Mencicipi Keunikan Budaya dari Yogyakarta
hingga Nepal (2009), Claudia Kaunang dengan Rp 2 Juta Keliling Thailand,
Malaysia, & Singapura (2009), Elok Dyah Messawati dengan Backpacking Hemat ke
Australia (2009), dan masih banyak lagi penulis perempuan lainnya yang
meramaikan dunia penulisan buku bertema travelling sekaligus menjadi penggiat
aktivitas perjalanan ala backpacker tersebut.
Beberapa penulis perempuan tadi, selain menjadi backpacker atau independent
traveler sekaligus travel writer mereka juga menjadi penggiat aktivitas dan
komunitas perjalanan bergaya backpacker. Seperti Matatita menjadi penggiat aktivitas
perjalanan bergaya backpacker melalui Matatours sebagai agen wisata perjalanan.
Begitu pula dengan Claudia Kaunang yang kerap mengadakan perjalanan bergaya
backpacker sembari wisata belanja bersama pembaca bukunya. Lain lagi dengan
Marina Silvia K. yang mempopulerkan jaringan silaturahim Hospitality Exchange
dalam perjalanannya selama 6 bulan di Eropa. Ada pula Nancy Margarita yang akrab
dikenal dengan nama NoneSee adalah penulis sekaligus duta jaringan silaturahmi
dunia couchsurfing. Couchsurfing merupakan komunitas backpacker terbesar di dunia
yang memiliki situs di couchsurfing.com yang telah beranggota sekitar 2 juta

7
backpacker. Setelah hampir lima tahun Nancy berkampanye secara sukarela sejak
2005, tahun 2010 anggota couchsurfing di Indonesia mencapai 10 ribu orang dengan
akun aktif 6.700. Mereka tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Ada pula Elok
Dyah Messawati yang mendirikan Komunitas Backpacker Dunia melalui milis pada
tanggal 5 September 2009 untuk datang saat launching. Kemudian komunitas ini
terus berkembang di jejaring sosial Facebook hingga memiliki lebih dari 12.000
anggota yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2013.
Dapat dikatakan maraknya aktivitas perjalanan bergaya backpacker turut pula
mempopulerkan pula aktivitas maupun profesi travel writing sebagai sesuatu yang
didambakan atau prestige bagi pelakunya. Maraknya aktivitas perjalanan saat ini turut
didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Teknologi
komunikasi memberi kemudahan untuk mengakses informasi sedangkan teknologi
transportasi memberi kemudahan untuk mengakses tempat-tempat wisata di berbagai
belahan dunia.
Maraknya buku bertema travelling yang banyak digemari menunjukkan buku
masih memiliki tempat di hati khalayak. Buku masih mampu menjadi media yang
menyebarkan gagasan secara massif dan memiliki peran penting dalam
mempopulerkan budaya, gaya hidup ataupun identitas melalui wacana didalamnya.
Industri buku sebagai bagian dari industri media menjadi bagian penting dalam
industri budaya, terutama budaya populer. Ketika buku menjadi media populer, buku
pun menjadi komoditi. Buku tidak dapat pula lepas dari proses perkembangan budaya,
ilmu, teknologi, dan sebagainya yang sering kali menciptakan segmen manusia sesuai
dengan bidang atau spesialisasi.20 Lahirnya buku-buku populer pun sering kali tidak
bisa dipisahkan dari ketersediaan buku-buku segmented tertentu, seperti booming-nya
buku bergenre travel writing. Maka tidak hanya buku melahirkan pasar buku
melainkan pasar buku melahirkan buku.21

20
Adhe. 2007. Declare Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007) Yogyakarta: Komunitas Penerbit
Jogja. hal. xxxii
21
Ibid. hal. xxxiii

8
Fenomena travel writing yang dipelopori oleh Trinity telah membuat para
perempuan mulai berani menjelajah dunia. Hadirnya buku kisah perjalanan The
Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia yang
ditulis perempuan telah menjadi angin segar di dunia kepenulisan perjalanan. Di sisi
lain buku ini mengungkapkan bahwa perempuan pun dapat menjadi petualang alias
traveler bergaya backpacker sekaligus mampu menuliskan kisah perjalanannya
sebagai travel writer. Padahal selama ini perempuan kerap distereotipkan dengan
tampilan sebagai sosok inferior dengan segala sifat femininnya yang cenderung lemah
lembut, jauh dari gambaran sosok petualang yang pemberani sebagai traveler apalagi
independent traveler dan pecinta kisah-kisah roman seperti chicklit. Erica Carter
mengatakan, bahwa wanita marjinal dan subordinat di dalam bidang 'budaya kerja
maskulin' (kelas pekerja) akan tetapi, mereka dibentuk oleh ideologi masyarakat
patriarki untuk menjadi dominan di bidang subordinat, yaitu sebagai objek konsumsi
atau objek tontonan dan sebagai 'subjek konsumsi' (konsumer). Pria identik dengan
'produksi' (pabrik, teknologi, manajemen), sedangkan wanita identik dengan
'konsumsi' (belanja, Mal, dapur). 22 Maka menarik untuk mengkaji bagaimana
seorang perempuan "bernama" Trinity membingkai, mengkomunikasikan maupun
merepresentasikan identitas dirinya berdasarkan pengalamannya selama perjalanan
dalam buku The Naked Traveler: Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia
Keliling Dunia sebagai media populer.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana representasi identitas perempuan sebagai penulis perjalanan dan pelaku


perjalanan ala backpacker dalam buku The Naked Traveler: Catatan Seorang
Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia.?

22
Yasraf Amir Piliang. 1998 dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (editor). Wanita dan
Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
hal. xiii

9
C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui representasi identitas perempuan yang berkembang saat ini


melalui buku bertema travelling ala backpacker yang tengah populer.

D. MANFAAT PENELITIAN
Mengetahui perkembangan representasi identitas perempuan melalui buku bertema
travelling ala backpacker yang tengah populer saat ini.

E. KERANGKA PEMIKIRAN

1. Buku sebagai Produk Budaya Populer dan Media Representasi Identitas


McQuail, salah seorang ilmuwan komunikasi terkemuka, dalam
bukunya berjudul McQuail's Mass Communication Theory (edisi kelima,
2005) mengungkapkan bahwa buku merupakan sebuah media. Sebagai
media, menurut McQuail, buku mempunyai beberapa karakter, yaitu:
technology of movable type, bound pages, codex form, multiple copies,
commodity form, multiple (secular) content, individual in use, claim to
freedom of publication, and individual authorship.23 Buku juga merupakan
rekaman budaya dan produk intelektual yang memiliki kemampuan kultural
kuat.24 Hal ini dikarenakan beberapa alasan, yakni:
Buku adalah agen perubahan sosial dan budaya.
Buku adalah tempat penyimpanan kultural yang penting.
Buku adalah jendela masa lalu. Buku mampu merepresentasikan sejarah
dengan lebih baik dibandingkan media elektronik.
Buku menjadi sumber penting dalam pembangunan diri.
Buku adalah sumber hiburan, pelarian, dan refleksi personal yang luar
23
Iwan Awaluddin dkk. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan
Berekspresi. Wendratama (editor) (Yogyakarta:PR2Media, 2010). hlm. 15
24
Stanley J. Baran. 2003. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. New
York: Mc Graw-Hill. Hal. 73

10
biasa.
Membaca buku merupakan aktivitas yang lebih individual dan personal
dibanding mengakses media massa lainnya.
Buku adalah cermin kebudayaan. Bersama dengan media massa lainnya,
ia merefleksikan budaya di mana ia diproduksi dan dikonsumsi.
Buku pun menjadi kebanggan dan acuan dalam pengembangan budaya
dan pengetahuan bangsa yang perlu dimasyarakatkan. Buku yang
dimasyarakatkan tentu menyesuaikan dengan selera pasar alih-alih selera
masyarakat. Maka tidak dapat dipungkiri buku pun menjadi komoditas
seperti yang diungkapkan oleh McQuail dalam McQuail's Mass
Communication Theory (2005), bahwa salah satu karakteristik buku sebagai
media adalah berupa komoditi. Buku menjadi komoditas industri yang
diperjualbelikan.
Jika buku diterbitkan demi kepentingan pasar, maka wajah jagat
perbukuan beralih rupa menjadi industri. Buku yang semula berwajah
pendidikan dan pengetahuan beralih rupa menjadi wajah industri.25 Selain
itu, buku sebagai komoditi mengungkapkan bahwa pasar buku mempunyai
potensi untuk menganekaragamkan buku tapi juga mempunyai bahaya untuk
menyeragamkan buku.26 Buku dapat pula melahirkan pasar buku dan pasar
buku melahirkan buku.
Buku sebagai produk budaya populer lekat dengan budaya populer. Ida
(2011: 10) mengungkapkan, kata populer yang sering disingkat “pop”,
mengandung arti “dikenal dan disukai orang banyak (umum)”, “sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, mudah dipahami orang
banyak, disukai dan dikagumi orang banyak”. Menurut Raymond William
dalam Storey (2004: 10), istilah populer ini memiliki 4 makna: “banyak
disukai orang”, “jenis kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk

25
Imam Cahyono, "Buku, Ilmu, dan Peradaban 'Kacang Goreng'", Sinar Harapan, 13 September 2003
26
Adhe. Op. Cit., hlm. xxxiii

11
menyenangkan orang”, “budaya yang memang dibuat oleh orang untuk
dirinya sendiri”. St Sunardi (dalam Adhe, 2007:xxxii) mengungkapkan
bahwa buku populer merupakan buku yang dapat membawa kepuasan
puncak (baca: menguntungkan) pada semua pihak yaitu penulis, penerbit dan
pemilik toko buku juga pembaca tentunya. Memang buku sebagai produk
budaya populer tidak dapat menghindar dari komoditi.
Adhe (2007:257) mengungkapkan hakikat buku yang di pasar adalah
juga produk dagangan, membuat buku sebisa mungkin menarik minat calon
pembelinya. Buku sebagai media populer lekat dengan istilah bestseller.
Bestseller merupakan istilah untuk mengukur tingkat penjualan buku terbesar.
Sebagai komoditi, besaran pangsa pasar buku di Indonesia adalah 225 juta
lebih dan 87 persen sudah melek baca, sementara buku hanya dicetak
rata-rata antara 1.000 hingga 5.000 eksemplar per judul (di luar buku
pelajaran). Akibatnya di Indonesia, buku yang terjual 10.000 eksemplar saja
sudah masuk kategori bestseller (Adhe, 2007:133). Di sisi lain, pemakaian
istilah best seller bagi para penerbit adalah semacam pancingan untuk
meraup pembeli buku lebih banyak padahal tidak sebanding dengan oplah
yang dicetak dan jumlah buku yang sudah terjual.
Buku sebagai produk tidak dapat lepas dari selera pasar alih-alih selera
masyarakat. Selera pasar yang seringkali berubah membuat buku tidak bisa
menghindar dari tren. Tren buku pula yang mendorong lahirnya genre-genre
baru atau ulangan dalam tema-tema buku seperti politik beraliran kiri, sastra
wangi, genre chicklit, hingga tema travel writing yang kembali populer saat
ini. Buku yang pada mulanya menjadi sumber pengetahuan tidak lagi dapat
menghindar sebagai bagian dari produk budaya populer. Ketika buku
merupakan produk industri yang menjadikan buku sebagai komoditas, maka
buku pun sangat berkaitan dengan kebutuhan konsumen, ketepatan, dan
kecepatan distribusi, efektivitas promosi, serta penentuan harga (Adhe,

12
2007:282). Buku sebagai produk budaya populer tak dipungkiri menjadi
komoditas dengan potensi pasar yang menggiurkan.
Media dalam hal ini adalah buku, merupakan cermin yang memiliki
bingkai untuk menampilkan suatu gagasan maupun identitas. Media terkait
dengan konten, memiliki peran dalam ranah produksi baik mengenai budaya
maupun makna. Media membuat budaya sebagai upaya untuk membantu
menciptakan pengalaman-pengalaman kebudayaan yang menjadi bagian dari
aktivitas atau praktik sosial kita (Graeme Burton, 2008: 96). Sebagai contoh,
media memaparkan beragam aktivitas untuk mengisi waktu luang juga
memaparkan beragam objek wisata yang dapat dikunjungi untuk berekreasi
dalam memanfaatkan waktu luang hingga bermunculan rubrik mengenai
perjalanan di berbagai media. Misalnya, industri buku dapat pula
merepresentasikan apa yang tengah digemari atau populer di tengah
masyarakat seperti travel writing yang tengah marak.
Dalam produksi, media juga membuat makna-makna tentang kehidupan
kita, kepercayaan kita, hubungan kita dan seterusnya yang kerap diistilahkan
sebagai representasi (Graeme Burton. 2008: 97). Media merepresentasikan
makna yang dikaitkan dengan penampilan yang dikonstruksi. Representasi
menyangkut pembuatan makna. Apa yang direpresentasikan kepada kita
melalui media adalah makna-makna tentang dunia, cara memahami dunia.
Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau
realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to
image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai
apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.27
Buku tak hanya merupakan wadah untuk menampilkan gagasan
mengenai budaya, gaya hidup maupun identitas tetapi juga sarana
komunikasi. Apa yang ditampilkan oleh buku dapat dikomunikasikan

27
Lihat http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21260/5/Chapter%20I.pdf.

13
sekaligus disebarkan pada khalayak pembaca, tidak terbatas ruang dan waktu.
Buku sebagai media populer tentunya memiliki peran penting dalam
merepresentasikan budaya populer. Misal maraknya buku bertema travel
writing tentu turut merepresentasikan budaya maupun gaya hidup travelling
sekaligus sosok traveler-nya. Buku pun dapat merepresentasikan identitas
juga subjektivitas perempuan sebagai traveler dalam budaya populer
backpacking yang tengah marak dalam industri buku saat ini.

2. Subjektivitas dan Identitas


Subjektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan
tidak abadi. Subjektivitas sebagai proses menjadi seorang pribadi di mana
seorang pribadi merupakan 'seluruh aspek' sosial dan kultural. Maka identitas
sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin 'eksis' di luar
representasi kultural dan akulturasi. Identitas diekspresikan melalui berbagai
bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri sendiri.
Identitas dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap dan
gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan
menandai bahwa diri sama atau berbeda dengan orang lain dengan
bentuk-bentuk representasi (Chris Baker, 2004:174).
Identitas merupakan hasil konstruksi diskursif, produk diskursus atau
cara bertutur yang terarah tentang dunia ini (Chris Baker, 2004:12). Dengan
kata lain identitas cenderung dibentuk, diciptakan daripada ditemukan, oleh
representasi, terutama oleh bahasa. Diskursus membentuk, mendefinisikan
dan memproduksi objek pengetahuan dengan cara yang dapat dipahami
sambil pada saat yang sama memandang cara penalaran lain sebagai sesuatu
yang tak dapat dipahami. Bagi Foucault, diskursus berkaitan dengan bahasa
maupun praktik dan mengacu pada produksi pengetahuan yang tertata
melalui bahasa yang memberikan makna pada objek materi dan praktik

14
sosial. Foucault merumuskan bahwa kekuasaan tersebar pada semua level
formasi sosial, artinya kekuasaan memproduksi relasi-relasi sosial dan
identitas (Chris Baker, 2004:21). Melalui bahasa pula identitas 'diciptakan'
daripada 'ditemukan'. Identitas bukanlah benda melainkan suatu deskripsi
dalam bahasa. Identitas adalah konstruksi diskursif yang berubah maknanya
menurut ruang, waktu dan pemakaian.28
Argumen antiesensialisme mengungkapkan bahwa seorang individu
atau subjek bukanlah entitas universal yang tetap, namun merupakan efek
bahasa yang mengonstruksi 'Saya' dalam tata bahasa. Subjek yang bertutur
tergantung pada eksistensi posisi subjek diskursif yang telah ada sebelumnya,
ruang hampa atau fungsi dalam diskursus yang digunakan untuk memahami
dunia. Pribadi yang hidup diharuskan 'memainkan' posisi subjek dalam
diskursus agar dapat memahami dunia dan tampak koheren bagi orang lain
(Chris Baker, 2004:22). Subjek diskursus, bagi Foucault adalah mengenai
bagaimana subjek 'diarahkan untuk memusatkan perhatian kepada dirinya,
menjelaskan, mengenali dan mengakui dirinya sendiri sebagai subjek hasrat'
(1985:5) 29 ; artinya, bagaimana orang mengakui dirinya sendiri sebagai
subjek bagi dirinya yang terlibat di dalam praktik pembentukan diri,
pengakuan dan refleksi. Perhatian terhadap produksi diri sebagai suatu
praktik diskursif ini terpusat pada pertanyaan tentang etika sebagai suatu cara
untuk 'menyayangi diri sendiri' (Chris Baker, 2004:86).
Subjek didefinisikan berkaitan dengan apakah subjek tersebut dan
apakah yang bukan subjek tersebut, berkaitan dengan bagaimana subjek
berbeda dengan contoh-contoh lain (Graeme Burton, 2008: 135). Subjek
merujuk pada identitas sebagai pemahaman tentang citra-diri dan
kepemilikan kelompok yang dianut oleh anggota budaya. Identitas datang

28
Dikutip dari Chris Baker. 2004. CULTURAL STUDIES Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi
Wacana. hal. 175
29
Ibid. hal. 86

15
melalui representasi yang kebanyakan diwacanakan melalui media.
Chris Baker (2004:12) mengungkapkan bahwa momen konsumsi
menandai salah satu proses di mana kita dibentuk sebagai pribadi-pribadi,
salah satunya adalah konsumsi media. Konsep menjadi pribadi tersebut
dibentuk melalui subjektivitas dan identitas. Subjektivitas dan identitas
terkait erat dan tak dapat dipisahkan. Subjektivitas mengenai apa artinya
menjadi satu pribadi sedangkan identitas mengenai bagaimana kita
mendeskripsikan diri kita kepada orang lain. Kedua konsep tersebut
berupaya menjelaskan bagaimana kita diproduksi sebagai subjek dan
bagaimana kita mengidentifikasi diri kita (atau secara emosional
menanamkan diri kita) dengan deskripsi-deskripsi sebagai laki-laki atau
perempuan, hitam atau putih, tua atau muda. Konsepsi yang kita yakini
tentang diri kita bisa disebut dengan identitas-diri, sementara itu harapan dan
pendapat orang lain membentuk identitas sosial (Chris Baker, 2004:173).
Representasi dalam media, memberi seperangkat pertimbangan tentang
nilai. Representasi dapat memperkukuh nilai-nilai tersebut. Representasi
menyiratkan bahwa apa yang direpresentasikan didukung oleh alam, oleh
tatanan alami terhadap berbagai hal. Tindakan ini mendukung berbagai
ketidaksetaraan kekuasaan dalam hal gender, kelas sosial, dan seterusnya.
Ketidaksetaraan kekuasaan dalam hal gender, salah satunya menyatakan
bahwa perempuan 'secara alami' lebih baik daripada laki-laki dalam merawat
anak. Representasi turut mendukung pula ide-ide tentang (Graeme Burton,
2008: 139):
perempuan-perempuan itu emosional (lebih daripada laki-laki)
emosi dipertentangkan dengan logika (laki-laki logis)
keberlebihan emosi tidak diharapkan (apa pun tingkat keberlebihan
tersebut)
emosi adalah kelemahan (perempuan lemah, laki-laki tidak)

16
Representasi merujuk pada pengkategorian orang-orang dan
pengkategorian ide-ide tentang mereka. Representasi dikonstruksi melalui
cara bagaimana media digunakan, dan melalui cara kita melihat subjek
tersebut. Media mengorganisasikan pemahaman kita tentang berbagai
kategori orang lain dan tentang mengapa orang-orang tertentu hendaknya
dimasukkan ke dalam kategori-kategori tertentu.
Sebagai produk kultural, Hall (Chris Backer, 2004:185) berpendapat
bahwa identitas kultural dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal
yang tetap dan alamiah, melainkan sebagai proses menjadi. Identitas kultural
terus-menerus diproduksi di dalam vektor kemiripan dan perbedaan di mana
posisinya terus-menerus berubah dengan titik perbedaan yang dapat
menyebabkannya jadi beragam dan berkembang. Titik perbedaan itu
beberapa diantaranya adalah identifikasi kelas, gender, seksualitas, umur,
etnisitas, kebangsaan, agama, dan lain-lain. Masing-masing posisi diskursif
tersebut dengan sendirinya tidak stabil. Makna feminitas, maskulinitas,
laki-laki, perempuan, tua, muda, dan lain-lain, terikat kepada perubahan yang
terus berlanjut karena makna tidak pernah berhenti atau selesai.30

3. Identitas dan Subjektivitas Perempuan


Kenneth J. Gergen, penulis buku The Saturated Self: Dillemas of
Identity in Contemporary Life (1991) mengungkapkan, "Kita memperoleh
pandangan dan nilai-nilai dari seluruh sudut dunia. Kita juga mengambil
banyak isyarat dari media. Sehingga identitas kita kini tengah terus berubah
dan kembali diarahkan, sebagaimana kita bergerak mengarungi lautan
hubungan atau relasi yang terus berubah. Manusia hanyalah sekadar satu unit
yang sangat sederhana dari sebuah relasi atau hubungan. Kita menyadari apa
dan siapa pun kita bukanlah merupakan hasil dari esensi kepribadian,

30
Ibid. hal. 186

17
melainkan bagaimana kita dikonstruksi di dalam masyarakat."31 Salah satu
konsep identitas yang diungkapkan oleh Stuart Hall adalah subjek
posmodern justru subjek yang terfragmentasi dan terdiri dari beberapa
identitas yang kadangkala kontradiktif dan belum selesai (Hall, 1992:276).
Subjek posmodern dapat dikatakan sebagai subjek yang tidak memiliki
identitas yang tetap, esensial ataupun permanen. Identitas menjadi sebuah
permainan yang dibentuk dan diubah terus menerus dalam hubungannya
dengan cara subjek direpresentasikan dalam sistem budaya yang
melingkupinya (Hall, 1992:277).
Sedangkan dalam disiplin ilmu kajian budaya, identitas didefinisikan
sebagai berikut:
A temporary stabilization of meaning, a becoming rather than a fixed
entity. The suturing or stitching together of the discursive 'outside' with the
'internal' processes of subjectivity. Points of temporary attachment to the
subject position which discursive practices constructs for us (Barker,
2000:386).
Identitas di sini dilihat sebagai sebuah proses becoming daripada momen
being. Untuk dapat 'menangkap' identitas maka diperlukan wacana yang
mengkonstruksi identitas untuk kita. Oleh karena itu identitas dimaknai
sebagai momen stabilisasi makna sementara yang dikonstruksikan melalui
wacana. Begitupula identitas perempuan yang digambarkan sebagai proses
becoming seperti yang diungkapkan oleh Simone de Beauvoir dalam
bukunya The Second Sex bahwa "One is not born, but rather becomes, a
woman". Menjadi perempuan bukanlah suatu keajegan melainkan suatu
"proses menjadi" (becoming) yang tidak pernah selesai. Julia Kristeva
menyebut proses menjadi subjek ini kurang lebih sebagai subject-in-process

31
Terlampir dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.). 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung:Mizan. Hal. xv

18
(Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2006:74). Identitas juga berarti bagaimana
manusia memposisikan dirinya dan bagaimana manusia diposisikan oleh
orang lain. Lebih singkatnya, identitas adalah masalah posisi, bukannya
esensi, dan posisi ini dipengaruhi oleh faktor kesadaran diri (yaitu
subjektivitas) dan interaksi sosial budaya dengan orang lain.32 Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa identitas seseorang bersifat cair.
Perempuan sebagai identitas kerap dikaitkan dengan konsep gender
maupun seksual. Istilah identitas gender (gender identity) merujuk kepada
persepsi diri individu sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Walaupun
demikian, identitas gender seseorang mungkin sesuai atau mungkin juga
tidak sesuai dengan keadaan (assigned) atau jenis kelamin biologis
(biological sex) sebagaimana tertulis dalam surat keterangan lahir.33 Konsep
gender dalam Kamus Oxford diartikan sebagai fakta menjadi laki-laki dan
perempuan serta isu-isu yang berhubungan dengan perbedaan relasi dan
peranan gender. Mary Wollstonecraft, teoritisi feminis yang dianggap
sebagai pendiri feminisme modern, diakui sebagai orang pertama (1792)
yang menyatakan gender sebagai suatu karakteristik sosial. 34 Gender
diperoleh individu melalui proses interaksi dalam dunia sosial. Menurut
Judith Butler (1990), 'gender is always doing'. Maskulinitas dan feminitas
ditentukan oleh perbuatan, termasuk bagaimana seorang individu mengolah
tubuhnya dalam penampilan. Perubahan tubuh berpengaruh kepada
subjektivitas seseorang.35

32
Lihat Putri Ayuningtyas. 2009. Tesis Identitas Diri yang Dinamis: Analisis Identitas Gender Dalam
Novel Breakfast On Pluto Karya Patrick Mccabe. Depok: Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia terarsip dalam digital_20251276-RB00P38i-Identitas
diri.pdf diakses 15 Mei 2013
33
Terarsip dalam
http://dytofloreste.blogspot.com/2012/04/identitas-gender.html?zx=ce168945d47ae84
34
Lihat:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB%20II%20PENDEKATAN%
20TEORITIS.pdf?sequence=7 diakses 15 Mei 2013
35
Lihat Putri Ayuningtyas. 2009. Tesis Identitas Diri yang Dinamis: Analisis Identitas Gender Dalam
Novel Breakfast On Pluto Karya Patrick Mccabe. Depok: Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu

19
Selain identitas gender, identitas perempuan terkait pula dengan ekspresi
gender, seks biologis, dan orientasi seksual. Ekspresi gender merupakan
tentang bagaimana kita menunjukkan gender kita melalui cara bertindak,
berpakaian, tingkah laku, berinteraksi secara disengaja atau tidak disengaja.36
Ekspresi gender biasanya diinterpretasikan oleh orang lain terutama
masyarakat berdasarkan peran-peran gender tradisional yang diharapkan
berkesesuaian dengan identitas seksual (misalnya laki-laki memakai jas,
perempuan memakai gaun). Ekspresi gender merupakan sesuatu yang bisa
berubah dari hari ke hari, kesempatan dan waktu-waktu tertentu. Karena
ekspresi gender terkait dengan bagaimana kita mengekspresikan diri, apakah
sejalan dengan ekspresi gender tradisional. Dan sama seperti identitas gender,
ekspresi gender juga sangat fleksibel atau tidak kaku.
Seks biologis sebagai identitas seksual perempuan identik dengan ciri
biologis yang melekat pada tubuh perempuan yaitu mencakup keberadaan
vagina, payudara, susunan kromosom XX, dominan hormon estrogen, dan
memiliki rahim serta terjadinya menstruasi. Selain itu, perempuan pun lekat
dengan pengagung-agungan stereotip keperawanan yang harus dijaga oleh
perempuan untuk dinikmati laki-laki. Sedangkan laki-laki memiliki testis,
penis, susunan kromosom XY, dan dominan hormon testosterone.
Orientasi seksual menggambarkan tentang kepada siapa kamu tertarik
secara fisik, spiritual, dan emosional. Jika kamu laki-laki dan tertarik pada
perempuan maka kamu heteroseksual. Jika kamu laki-laki dan tertarik pada
perempuan dan laki-laki maka kamu biseksual. Dan jika kamu laki-laki dan
tertarik pada laki-laki maka kamu homoseksual, yakni gay. Berdasarkan
penelitian Dr. Alfred Kinsey pada tahun 1920-an, pada kenyataannya, tidak
ada yang benar-benar hereteroseksual eksklusif ataupun homoseksual

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia terarsip dalam digital_20251276-RB00P38i-Identitas


diri.pdf diakses 15 Mei 2013
36
Lihat:http://fitaru.tumblr.com/post/16966677864/mendobrak-kebineran-gender-melalui-manusia-gen
derbread diakses 15 Mei 2013

20
eksklusif.37
Sandra Bem dalam Mugniesyah (2005) mengidentifikasikan identitas
gender, diantaranya mencakup identitas maskulin, feminin, dan androgini.
Sandra Bem (1974) mempopulerkan suatu konsep psychology androginy
yang beranggapan bahwa seseorang dapat mengombinasikan atau
'melumatkan' kedua identitas psikologis yang maskulin dan feminin. 38
Androgini adalah istilah dalam identitas gender dimana seseorang tidak
termasuk dengan jelas ke dalam peran maskulin dan feminin yang ada di
masyarakat, contohnya seseorang yang mempunyai sifat-sifat asertif, mandiri
serta juga memiliki sifat hangat dan lemah-lembut. Berdasarkan Sandra Bem,
individu androgini lebih fleksibel dan lebih sehat secara mental daripada
individu maskulin atau feminin. Dalam sebuah hubungan, gender feminin
dan androgini lebih diinginkan karena mereka lebih ekspresif dalam sebuah
hubungan. Sedangkan, individu dengan peran maskulin dan androgini lebih
diinginkan dalam bidang akademik dan pekerjaan karena mereka memiliki
tuntutan untuk bertindak dan asertif.39
Selanjutnya Bem mengidentifikasi adanya empat orientasi psikologis
individu, tiga diantaranya yang dominan berada pada psikologis seseorang:40
(a) Androgynous, berarti seseorang berasosiasi tinggi dengan kedua
karakteristik stereotipe, maskulin dan feminin, seperti seseorang yang
mempunyai kepemimpinan tinggi tapi dia juga sensitif terhadap kebutuhan
orang lain.
(b) Masculine, seseorang berasosiasi tinggi terhadap karakteristik stereotipe
maskulin dan berasosiasi rendah terhadap karakteristik stereotipe

37
Ibid
38
Lihat:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB%20II%20PENDEKATAN%
20TEORITIS.pdf?sequence=7 diakses 15 Mei 2013
39
Terarsip dalam http://ruangpsikologi.com/identitas-gender-androgini/
40
Lihat:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB%20II%20PENDEKATAN%
20TEORITIS.pdf?sequence=7 diakses 15 Mei 2013

21
feminin; seperti orang yang mempunyai kepribadian tinggi dan tidak
memiliki sifat iba atau kasihan pada orang lain.
(c) Feminine, seseorang berasosiasi tinggi terhadap karakteristik stereotipe
feminin dan berasosiasi rendah terhadap karakteristik stereotipe
maskulin; seperti seseorang yang sangat penolong tetapi tidak
mandiri.
Skala peran gender dari Bem Sex Role Inventory (BSRI) disusun
berdasarkan empat klasifikasi kepribadian menurut Sandra L. Bem pada
tahun 1974 yang mencakup maskulin, feminin, androgini, dan tidak
terklasifikasikan. Skala ini terdiri dari 60 kata sifat yang disusun berdsarkan
tiga komponen karakteristik peran gender, yaitu :
a. Karakteristik Maskulin, yang terdiri dari:
1) percaya diri
2) mempertahankan pendapat/keyakinan sendiri
3) berjiwa bebas/tidak terganggu pendapat orang
4) gemar berolahraga
5) tegas/berani bilang tidak jika memang tidak
6) berkepribadian kuat/teguh
7) bersemangat
8) berpikir analisis/melihat hubungan sebab-akibat
9) mampu memimpin, punya jiwa kepemimpinan
10) berani mengambil resiko
11) mudah membuat keputusan
12) dapat berdiri sendiri/mandiri
13) suka mendominasi/menguasai
14) maskulin, bersifat kelaki-lakian
15) punya pendirian, berani mengambil sikap
16) agresif

22
17) bersikap/bertindak sebagai pemimpin
18) bersifat individual/perorangan
19) kompetitif, siap untuk bersaing
20) berambisi, memiliki ambisi
b. Karakteristik Feminin, yang terdiri dari :
1) mengalah
2) periang ceria
3) malu
4) penuh kasih sayang
5) merasa senang jika dirayu
6) hangat dalam pergaulan
7) setia
8) feminin, bersifat kewanitaan
9) menaruh simpati/perhatian pada orang lain
10) peka terhadap kebutuhan orang lain
11) penuh pengertian
12) mudah iba hati/kasihan
13) suka menentramkan hati orang lain
14) bertutur kata halus
15) berhati lembut
16) mudah terpengaruh
17) polos, naif
18) tidak menggunakan kata-kata kasar/tutur bahasa tidak kasar
19) senang pada anak-anak
20) lemah lembut
c. Karkteristik Netral. Yang terdiri dari :
1) senang menolong
2) berhati murung/pemurung

23
3) berhati-hati/teliti
4) bertingkah laku yang dibuat-buat
5) bahagia
6) isi hati sukar ditebak oleh orang lain
7) dapat dipercaya
8) iri/cemburu
9) jujur
10) suka menyembunyikan perasaan/pikiran
11) berhati tulus
12) angkuh/merasa tinggi hati
13) menyenangkan, mudah disukai orang lain
14) serius
15) ramah, bersahabat/mudah berteman
16) tidak efisien, boros
17) mudah/dapat menyesuaikan diri
18) tidak sistematis, asal-asalan
19) bijaksana
20) berpikiran kuno
Dari ke 60 kata sifat tersebut, 20 diantaranya menunjukkan karakteristik
maskulinitas (instrumental), 20 berikutnya menunjukkan karakteristik
feminitas (ekspresif) dan sisanya menunjukkan karakteristik netral yang tidak
berkaitan dengan peran gender namun diharapkan oleh masyarakat untuk
dimiliki oleh tiap individu.
Bagi Judith Butler41, seorang teoretikus postfeminisme, subyek selalu
dalam proses yang dibentuk oleh tindakan performative. Subyek dalam
pikiran Butler adalah sebagai aktor yang memainkan perannya (perform their
identity) di atas panggung. Sedangkan identitas itu sendiri merupakan suatu

41
Lihat Paramitha Wardhani. The Unnatural Sexual Orientation: LGBT dan Queer Theory Judith
Butler dalam http://www.academia.edu/3812962/teori_queer_judith_butler diakses 17 November 2014

24
rangkaian proses yang tidak akan pernah berakhir. Identitas subyek dilihat
dari setiap tindakan performatifnya, namun tidak dapat dikatakan bahwa
tindakan ini mengikuti pendahulunya, atau selalu ada pelaku di setiap
tindakan, tidak seperti itu. Melainkan, menurut Butler, tindakan ini
membentuk pelaku. Bagi Butler, satu-satunya dasar bagi identitas, gender,
dan seksualitas adalah tindakan. Karena tindakan selalu berubah, maka
identitas selalu berubah.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, subjektivitas merupakan
kesadaran diri sebagai subjek yang berdiri sendiri di antara masyarakat atau
golongan. Pembicaraan mengenai subjektivitas menyentuh makna manusia
sebagai subjek independen, akan tetapi Giles dan Middleton dalam Studying
Culture: A Pratical Introduction (1999) 42 juga menyebutkan bahwa
subjektivitas menyentuh isu 'a sense of being subject to, under the control of,
something external to ourself...'. Maka kondisi eksternal seperti lingkungan
sosial dan kultural turut pula mempengaruhi kesadaran diri manusia akan
dirinya. Pemikiran terbaru mengungkapkan sisi lain dari subjektivitas, yaitu
kaitan subjektivitas dengan tubuh. Tubuh tidak lagi dilihat sebagai entitas
yang terpisah dari pikiran dan perasaan, melainkan sebagai bagian yang turut
berperan dalam pembentukan identitas manusia. Tubuh menjadi sarana bagi
manusia untuk merefleksikan subjektivitasnya, dan manusia mengolah
tubuhnya sebagai bagian dari identitas diri.
Identitas dan juga subjektivitas berkaitan dengan konsep representasi,
seperti diungkapkan Hall (1996) dalam Question Cultural Identity bahwa
identitas adalah perkara merepresentasikan diri. Melalui representasi,
misalnya otobiografi, seseorang berusaha menampilkan siapa dirinya melalui
sebuah narasi. Giles dan Middleton mengatakan bahwa otobiografi adalah
42
Lihat Putri Ayuningtyas. 2009. Tesis Identitas Diri yang Dinamis: Analisis Identitas Gender Dalam
Novel Breakfast On Pluto Karya Patrick Mccabe. Depok: Program Studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia terarsip dalam digital_20251276-RB00P38i-Identitas
diri.pdf diakses 15 Mei 2013

25
salah satu cara untuk merepresentasikan jati diri (1999), dan oleh karena itu
otobiografi dapat dibaca sebagai sebuah usaha untuk mengkonstruksi dan
menyajikan identitas diri.43 Salah satunya berupa travelogue yang berisi
catatan perjalanan tentang pengalaman penulis dalam suatu perjalanan
seperti The Naked Traveler yang ditulis oleh Trinity.

4. Travelogue sebagai Sastra Populer dalam Budaya Populer

Travelogue merupakan buku bergenre perjalanan. Menurut Wikipedia,


tulisan-tulisan tentang travel (travel writing) setidaknya dibagi menjadi
beberapa jenis: (1) guide book; (2) travel book; (3) travel literature; dan (4)
travel journal. Namun buku bertema perjalanan yang banyak beredar di
Indonesia kebanyakan berupa guide book dan travel literature, yang kini lebih
populer disebut travelogue. Buku panduan perjalanan tentu saja berisi
panduan untuk melakukan perjalanan yang akan membimbing pembaca
secara lebih detail. Buku jenis ini biasanya mencantumkan alamat lokasi objek
wisata secara lengkap, disertai detail anggaran yang harus disiapkan dalam
perjalanan untuk menginap, transportas, makanan maupun membeli oleh-oleh.
Buku panduan perjalanan internasional yang terkenal adalah Lonely Planet
Series. Buku panduan ini Buku terbitan Lonely Planet sangat detail, termasuk
denah dan peta. Data-data dan informasi di dalamnya juga diperbarui (kalau
tak salah) setiap dua tahun: apakah restoran dan hotelnya sudah pindah atau
bangkrut, apakah tarif transportasinya masih sama atau sudah naik, apakah
rute kereta apinya sudah dihapus atau masih ada, dan sebagainya. Sedangkan
buku panduan perjalanan lokal cukup detail dan cukup fantastis dalam
melabelkan anggaran yang perlu disiapkan seperti Rp 2 Juta Keliling
Thailand, Malaysia, & Singapura namun jarang sekali diperbarui. Buku
bergenre perjalanan berupa memoar penulisnya adalah travel literature yang
43
Ibid

26
sering pula disebut travelogue. Buku ini lebih menceritakan pengalaman
personal yang dialami penulisnya dengan beragam gaya penulisan, dari
penulisan bergaya sastra seperti Selimut Debu hingga penulisan bergaya pop
seperti The Naked Traveler. Buku perjalanan jenis travelogue ini memiliki
beberapa definisi seperti berikut ini:

The guidebook developed from the published personal experiences of


aristocrats who traveled through Europe on the Grand Tour
(http://en.wikipedia.org/wiki/Guide_book)
A film or piece of writing that describes travel in a particular country, or
a particular person's travels
(http://www.ldoceonline.com/dictionary/travelogue)
A description of someone's travels, given in the form of narrative, public
lecture, slide show or motion picture.
(http://en.wiktionary.org/wiki/travelogue)

Sastra populer merupakan salah satu produk budaya populer atau pop
culture, dalam Pengantar Menuju Budaya Populer, St. Sunarti (2003)
mengatakan bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak
media. Alan O'Connor (Idi Subandy Ibrahim, 1997:xix), salah seorang
pengkaji budaya, saat menyoroti topik "popular culture," menjelaskan bahwa
terma ini mengacu pada "proses budaya yang berlangung di antara
masyarakat umumnya (general public). "Popular culture, especially, is
organized around the contradiction: the popular forces versus the
power-bloc," demikian peringatan Stuart Hall (Idi Subandy Ibrahim,
1997:xxxi). Lebih jauh dalam Note on Deconstructing the Popular (1981)
menurut Hall, "The cultural industries do have the power constantly to
rework and reshape what they represent; and by repetition and selection, to
impose and implant such definitions of ourselves as fit more easily into the

27
descriptions of the dominant or preferred culture"44. Secara singkat, Stuart
Hall menyatakan bahwa budaya populer merupakan medan pergulatan yang
mencakup muncul dan bertahannya hegemoni. Sedangkan Fiske
mengungkapkan budaya populer merupakan sebuah wujud alat perlawanan
terhadap budaya dominan, menempatkan budaya populer sebagai budaya
perjuangan.45
Budaya populer yang identik dengan budaya massa berupaya
menyeragamkan produk budaya sebagai "proyek penyeragaman selera dan
cita rasa" (homogenization of state). Salah satu wujud kebudayaan yang
dihasilkan dengan adanya keterlibatan media massa adalah kebudayaan
massa atau mass culture dan kebudayaan popular atau pop culture. Berbagai
wujud pop culture ada disekitar kita seperti gaya berbusana, makanan, music,
film, dan buku berupa sastra populer. Menurut Herbert J. Gans yang dikutip
oleh Ashadi Siregar (dalam Idi Subandy Ibrahim, 1997:13-14) hiburan massa
seperti sastra populer tidak dapat dilepaskan dari pola rekreasi masyarakat
sebagai media rekreasi yang memfasilitasi warga masyarakat mendapatkan
produk budaya massa yang memiliki fungsi kepuasan (satisfaction) dengan
konsumen yang menggunakan produk kebudayaan untuk tujuan psikologis
atau sosial dan produsen media rekreasi sebagai individu atau institusi yang
menciptakan atau sebagai fasilitator yang melakukan pendistribusian produk
budaya. Secara sederhana produk budaya populer dan budaya massa seperti
sastra populer berfungsi untuk menghibur dan didukung sistem massal dalam
pendistribusiannya. Bila sastra populer seperti chicklit menawarkan
pengalaman imajinatif namun travelogue mewarkan pengalaman
kemanfaatan sosial seperti petunjuk (guidance). Pada dasarnya media

44
Idi Subandy Ibrahim. 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komidtas
Indonesia. Bandung: Mizan. Hal. 345
45
Terarsip dalam http://derrymayendra.blogspot.com/2011/10/budaya-populer.html

28
rekreasi membawa khalayak ke dunia subjektif dalam pengalaman imajinatif,
dunia dalam (inner world) dari konsumennya sebagai pembaca sastra
populer.
Menurut Umar Kayam (dalam Idi Subandy Ibrahim, 1997:42) sastra
populer muncul dalam pusat-pusat urban Indonesia sebagai litratur massa.
Sebagaimana sastra populer maka travelogue pun dapat menjadi literatur
kaum muda di kota, dalam arti bahwa jenis sastra ini bersifat populer,
eksperimental, komersial, menyelidik dan tanpa henti. Kebudayaan massa di
Indonesia berada dalam kondisi dan posisi yang sangat cair. Sifat mudah
berubah ini erat sekali hubungannya dengan pusat urban yang senantiasa
tumbuh selaku garis penerimaan migrasi pedesaan yang bergerak
terus-menerus. Ia juga erat sekali hubungannya dengan pergerakan dunia
kebudayaan pada umumnya, dalam mana pencarian solidaritas kebudayaan
Indonesia yang baru, berada di tengah-tengah proses 'menerima dan
memberi' antara nilai-nilai masyarakat zaman dahulu dan sistem nilai yang
baru, politik ekonomi liberal pemerintah, di mana negara ditempatkan pada
posisi yang terbuka untuk merangkul produk komersial kebudayaan dunia,
telah mempercepat cara hidup baru di dalam negeri (khususnya di kalangan
generasi muda) dan telah mempercepat pergerakan kebudayaan massa di
pusat-pusat urban.
Bila kita amati berbagai wujud pop culture yang ada disekitar kita
memang tidak lepas dari peran media massa dalam mentransmisikan
informasi mengenai pop culture tersebut dan juga adanya trendsetter atau
orang atau kelompok sosial tertentu yang memopulerkan wujud budaya
popular tersebut. Seperti budaya populer sekaligus gaya hidup yang tengah
populer saat ini yaitu travelling tengah marak ditampilkan dalam media
populer melalui sastra populer berupa catatan perjalanan yang disebut
travelogue. Aktivitas travelling dan travel writer ini didukung pula oleh

29
komunitas yang concern didalamnya seperti Komunitas Backpacker Dunia
maupun Travel Book Lovers, keduanya merupakan grup Facebook yang
dibuat saat buku bertema perjalanan mulai populer dan booming di tahun
2009 hingga 2012.

5. Identitas dan Subjektivitas Perempuan sebagai Backpacker


Identitas dan subjektivitas perempuan yang ditampilkan dalam buku
catatan perjalanan seperti travelogue The Naked Traveler: Catatan Seorang
Backpacker Wanita Keliling Dunia tentu dipengaruhi pula gaya dan identitas
seorang backpacker. Menurut Matatita:46
Backpacker itu merupakan salah satu style atau pilihan cara
melakukan perjalanan. Style ini dimungkinkan jika kita melakukan
perjalanan secara independent, bukan dikelola oleh travel agent. Mulai
dari ngurus tiket, mencari tempat menginap, hingga itinerary semua
dilakukan sendiri oleh si pejalan. Para pejalan yang mengelola sendiri
perjalanannya biasanya sangat mencermati budget. Semakin ngirit biaya
yang dikeluarkan, semakin menyenangkan perjalanan yang bakal
dilakukan. Perjalanan ngirit (on shoestring) dengan berbagai
keterbatasan akan memberikan pengalaman dan petualangan yang sangat
mengesan. Itu sebabnya kenapa para backpacker punya semboyan “it’s
not the destination, but the journey”. Para pejalan yang menggunakan
style ini biasanya memiliki simbol-simbol tertentu yang melekat pada
dirinya, yang paling menonjol adalah ransel di gendongan.47

Philip Pearce adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah


backpacker ke dalam ranah ilmiah, yaitu tahun 1990. Dalam studinya tentang
48
fenomenan backpacking di Australia, Pearce mengatakan bahwa
backpacking lebih baik didefinisikan secara sosial daripada secara ekonomos

46
Matatita merupakan internet nickname dari Suluh Pratitasari. Seorang Antropolog dan juga penulis
buku “Tales from the road” Buku yang sarat pengalaman berharga sang penulis saat berada di beberapa
sudut belahan dunia.
47
http://www.infobackpacker.com/arti-backpaker-menurut-matatita.htm
48
Seperti yang dikutip oleh Sarani Pitor Pakan. 2013. BACKPACKING DAN BACKPACKER DI
INDONESIA Studi mengenai Gaya Hidup dan Budaya Massa. Depok: Program Studi Sosiologi FISIP
UI terarsip dalam http://digital_20347832-S47722-Sarani Pitor Pakan.pdf

30
atau demografis. Menurut Pearce, menjadi backpacker adalah sebuah
pendekatan untuk melakukan perjalanan dan liburan daripada sebuah
kategorisasi yang berdasar pada uang yang dikeluarkan atau usia seseorang.
Maoz dalam Backpacker's motivations: The role of culture and
nationality (2007) mendefinisikan backpacker sebagai wisatawan mandiri
yang berkunjung ke banyak tempat tujuan wisata dan mempunyai rencana
perjalanan yang fleksibel.49 Mereka pencari pengalaman dengan mengikuti
cara hidup penduduk lokal, berusaha terlihat lokal, dan kunci motivasi
mereka adalah bertemu banyak orang. Kegiatan rekreasi backpacker terfokus
pada kegiatan alam, budaya, dan petualangan untuk mencari pengalaman
yang autentik. Singkatnya, istilah backpacker oposisi biner dari turis
sedangkan backpacking kontra dari turisme arus utama. Turisme berorientasi
pada liburan untuk penyegaran dari rutinitas, sedangkan perjalanan
backpacker berorientasi pada eksploratif.
Penolakan secara simbolik terhadap turis membuat backpacker
mengenal sekumpulan nilai dan ideal yang tidak tertulis yang mengikat
backpacker. Kelima pilar ideologi backpacker tersebut, antara lain:
berpergian dengan anggaran rendah; bertemu dengan orang-orang yang
berbeda; menjadi (atau merasa) bebas, independen, dan berpikiran terbuka;
mengatur perjalanan secara individual dan independen; dan berpergian
selama mungkin.50
Karakteristik backpacker seperti yang dijelaskan di atas, tentunya
berseberangan dengan strereotip maupun identitas gender perempuan yang
kerap ditampilkan dalam media populer pada umumnya. Karekteristik
backpacker cenderung aktif sedangkan identitas dan subjektivitas perempuan
kerap direduksi sekadar menjadi objek pemanis. Perempuan kerap menjadi
objek baik dalam tulisan maupun tontonan. Perempuan dilekatkan pula

49
Ibid
50
Ibid

31
dengan gender stereotip yang membuat mereka tampak lemah, bergantung,
pasif, penakut, dan inferior bahkan subordinat dari lelaki. Perempuan pun
dianggap 'liyan' dan tak dianggap sebagai subjek yang esensial.

6. Penulis Perempuan
Akhir-akhir ini para penulis perempuan mulai bermunculan. Kalau
selama ini perempuan menjadi objek representasi penulis laki-laki dengan
berbagai biasnya, kini saatnya para penulis perempuan menulis tentang
dirinya, tentang laki-laki, tentang hubungan perempuan-laki-laki, dan tentang
dunia dari perspektifnya sendiri. Munculnya para penulis perempuan ini
harus diakui sebagai babak baru dalam dunia kepenulisan di Indonesia
terutama di bidang sastra. St, Sunardi51 mengungkapkan, dalam kaitannya
dengan gerakan perempuan atau feminisme, gerakan perempuan di Indonesia
jangan berbangga diri sebelum memasuki wilayah sastra. Masalah
diskriminasi bukan hanya masalah sosial dan hukum, melainkan juga
masalah kesadaran dan imajinasi. Penulis perempuan ini menggunakan novel
untuk mendobrak cara bicara tentang berbagai tabu seperti seks yang paling
mengemuka hingga muncul istilah "sastrawangi" 52 bukan hanya sebagai
identitas para pengarang perempuan tetapi juga menandai karya mereka yang
cenderung "berbau seks" bahkan ada yang menyebutnya sebagai "sastra
selakangan"53 karena berkutat di sekitar organ intim di daerah selakangan.

51
Terlampir dalam Katrin Bandel. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. xi
52
Disebut sebagai sastra wangi karena merujuk pada karya sastra yang diciptakan kaum perempuan
(Lampung Post, Soroso). Tetapi hal yang lebih dasar lagi dari sastra wangi adalah seringnya diwarnai
tema seks yang bahkan sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar
belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi
dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. Seperti yang pernah ditulis oleh Saut
Situmorang dalam ”Politik Kanoniasi Sastra 3” sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu
dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban
Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Terarsip
dalam http://reyyudhistira.blogspot.com/2010/09/sastra-wangi-aroma-selangkangan.html
53
Taufik Ismail menyebut karya mereka sebagai sastra selakangan, karena banyak mengungkap
bagian ”jeroan” (organ intim) begitu vulgar—tanpa dinding pembatas. Seperti menyebutkan alat

32
Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa
tahun terakhir ini, dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang
luar biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah
buku yang terjual. Dua diantaranya yang fenomenal adalah Ayu Utami dan
Dewi Lestari. Novel Saman (1998) karya Ayu Utami memenangkan
penghargaan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998 dan berhasil terjual
sebanyak 55.000 eksemplar dalam waktu tiga tahun54. Sebuah capaian luar
biasa untuk ukuran novel sastra saat itu. Novel Saman karya Ayu Utami
(1998) menjadi titik awal trend sensasi seputar pengarang perempuan yang
berlangsung sampai sekarang. Bila Ayu Utami dengan Saman-nya
menceritakan keempat tokoh perempuan, Shakuntala, Laila, Yasmin, dan
Cok dengan seks menjadi tema utama. Maka menurut Bandel (2006: 78)
Dewi Lestari melalui novel pertamanya yaitu Supernova: Ksatria, Putri dan
Bintang Jatuh berupaya mengemukakan filsafat hidup atau pengalaman
spiritual dalam bentuk fakta yang merujuk kepada berbagai macam teori
fisika dan diterjemahkan ke dalam "kemasan yang populis supaya bisa
dibaca banyak orang". Novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh
telah terjual sebanyak 12.000 dalam waktu 35 hari55 dan telah difilmkan
pada akhir tahun 2014. Fenomena perempuan yang menulis ini pun terus
berlanjut hingga kini terutama dalam media populer yang memunculkan
beragam genre seperti novel populer berupa chicklit maupun teenlit juga
yang akhir-akhir ini muncul adalah kembali maraknya genre travel writing
berupa travelogue yang ditulis oleh perempuan.

7. Subjektivitas dalam Sastra Perjalanan Travelogue


Aktivitas membaca dan menulis seringkali menjadi kegiatan yang

kelamin bahkan menjelaskannya secara detil


54
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami
55
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Lestari

33
mewah bagi seorang perempuan, terlebih aktivitas berlibur mengunjungi
tempat-tempat menarik dengan gaya berlibur ala backpacker. Namun hal itu
seakan sirna ketika buku-buku berisi catatan perjalanan yang bercerita
mengenai pengalaman perjalanan perempuan semakin marak beredar.
Bermula dari terbitnya The Naked Traveler yang booming dan menjadi
national best seller hingga terbitnya beragam jenis buku bertema serupa
sampai saat ini.
Bagi Aquarini, seorang feminis, mengungkapkan bahwa perempuan
berhak mengeksplorasi pengalamannya. Salah satu bentuknya adalah melalui
penulisan catatan perjalanan yang memaparkan pengalaman perjalanan
perempuan. Upaya perempuan untuk mengeksplorasi pengalamannya ini
mampu memposisikan diri perempuan sebagai subjek hingga mereka dapat
mengembangkan tidak hanya identitas namun juga subjektivitas diri mereka.
Maka buku mengenai catatan perjalanan yang ditulis oleh perempuan
dipandang mampu merepresentasikan identitas dan subjektivitas perempuan.
Sastra perjalanan selayaknya juga penuh dengan narasi dan percakapan.
Inilah yang kemudian menjadikan sumber penulisan sastra perjalanan yang
orisinil dan berbeda dengan laporan ilmiah antropologi. Penulis Jan Morris56,
yang sudah menulis sekitar 40 buku mengenai sejarah dan perjalanan, dalam
tulisannya di situs Smithsonian Magazine, mengatakan bahwa eksplorasi
kreativitas bernarasi tak mesti menempatkan penulis dalam ide yang fiksi.
Menurutnya, subjektivitas narasi dalam sastra perjalanan adalah gabungan
antara ilmu pengetahuan dan sensasi, kealamiahan dan intelektualitas,
pandangan dan interpretasi, insting dan logika. “Ini lebih nyata dari fiksi dan
juga lebih otentik dari fakta yang umum,” tulis Morris.

56
http://cabiklunik.blogspot.com/2009/10/oase-budaya-subjektivitas-sastra.html Mei 2014

34
F. METODOLOGI PENELITIAN
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis terhadap konstruksi wacana identitas
perempuan yang terepresentasikan dalam buku catatan perjalanan The Naked
Traveler. Penulis menggunakan analisis wacana untuk hubungan antara teks
dalam media cetak yaitu buku berupa feature, sebagai proses produksi dan
reproduksi makna melalui bahasa, dengan wacana dan konteks sosialnya. Bahasa
dalam penelitian ini dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk
subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya. Oleh
karena itu, analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam
setiap proses bahasa, terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan
representasi yang terdapat dalam masyarakat57. Analisis wacana juga melihat
hubungan yang penting antara teks dengan praktek wacana dan praktek
sosio-kultural (discourse and sociocultural practice)58.
Teks berupa kumpulan feature dalam buku catatan perjalanan The Naked
Traveler dianggap sebagai sebuah wacana yang dibangun di atas sebuah struktur
atau dimensi tertentu yang terdiri dari berbagai tingkatan dan harus dianalisis di
semua tingkatan tersebut dari mulai kata, proposisi dan kalimat hingga
keseluruhan teks. Sebuah teks tidak hanya dilihat dari isi teks tersebut tetapi
bagaimana cara teks itu disusun dalam struktur tertentu, diproduksi melalui
perangkat-perangkat wacana tertentu, dengan tujuan-tujuan tertentu pula.
Analisis wacana merupakan satu cara untuk mempelajari makna pesan yang
tersembunyi atau laten. Analisis semacam ini dibutuhkan karena pesan tidak
hanya cukup dari apa yang terlihat atau tertulis, akan tetapi lebih penting untuk
mengetahui maksud utama dari komunikator yang justru tidak dikatakan dengan

57
Disarikan dai Eriyanto, hal. 6
58
Sebagaimana dinyatakan oleh Norman Fairclough dalam Norman Fairclough, Media DiscourseI,
Edward Arnold, London, 1995, hal. 5 yang dikutip oleh Rosalina Agustin Avianti dalam skripsi Analsis
Wacana Media tentang Wanita Indonesia Modern, hal. 62

35
nyata. Dalam menganalisis suatu teks, analisis wacana juga melihat "bagaimana"
(how) dari pesan suatu teks, tidak hanya "apa" (what) dari teks tersebut. Proses
analisis ini melalui kata, frasa, kalimat, metafora mengenai bagaimana teks
tersebut disampaikan, dan dengan melihat bagaimana bangunan struktur
kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi
dari suatu teks.
Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis dengan menganalisa sebuah
wacana menggunakan analisa kritis untuk mengetahui bagaimana konstruksi
identitas yang terepresentasikan. Berikut adalah karakteristik analisis wacana
kritis menurut Teun A. Van Dijk, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto, 2009:8):
a. Tindakan, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman
semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana
dipandang sebagia suatu tindakan yang bertujuan, terkontrol, dan dilakukan
dengan kesadaran.
b. Konteks, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana,
seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi.
c. Historis, wacana ditempatkan dalam konteks tertentu agar dapat dipahami.
Salah satu konteks yang penting dan mudah dipahami adalah konteks historisnya.
d. Kekuasaan, setiap wacana yang muncul tidak dipandang secara alamiah.
Namun, selalu ada asumsi bahwa terdapat campur tangan kekuasaan di balik
pesan tersebut.
e. Ideologi, produk media adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan
dari ideologi tertentu.

2. Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan dikaji berupa buku berisi catatan perjalanan yang
populer dengan istilah travelogue, berjudul The Naked Traveler: Catatan
Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia karya Trinity yang

36
bernama asli Soraya Perucha Hutagaol. Travelogue ini merupakan buku catatan
perjalanan pertama terbitan Bentang Pustaka yang menjadi pioneer maraknya
buku bertema catatan perjalanan. Dalam buku ini, terdapat 68 cerita perjalanan
berupa feature yang ditulis oleh Trinity dalam blognya The Naked Traveler
periode 2005-2007. The Naked Traveler kemudian menjadi salah satu serial buku
perjalanan terlaris di Indonesia. Buku pertamanya laku sebanyak 30.000
eksemplar hanya dalam kurun waktu empat bulan setelah terbit. Buku
pertamanya telah cetak ulang hingga belasan kali dan menjadikannya sebagai
national bestseller. Dan kini buku pertama bersama keempat seri The Naked
Traveler lainnya telah diterbitkan ulang dengan cover yang berbeda untuk
menyegarkan kembali para pembaca.
Buku catatan perjalanan sebenarnya bukan hal baru di Indonesia namun
kini buku tersebut seakan menemukan kembali momen yang tepat untuk kembali
populer. Daya tarik buku The Naked Traveler terletak pada kepopulerannya
sekaligus kontennya sebagai buku catatan perjalanan yang berisi artikel berupa
feature. Hal inilah yang membuat buku tersebut begitu ringan dan renyah hingga
The Naked Traveler menjadi buku catatan perjalanan pertama yang mengusung
genre pop. Di sisi lain, animo masyarakat terhadap aktivitas melancong ala
backpacker pun semakin besar dan massif. Maka menarik untuk mengkaji buku
The Naked Traveler sebagai bagian dari media populer yang mengusung tema
yang tengah populer saat ini yaitu traveling ala backpacker sebagai bagian dari
budaya populer. Terlebih lagi buku ini ditulis oleh seorang perempuan yang
berdasarkan stereotip selama ini rasanya tidak mungkin seorang perempuan
berani melakukan perjalanan secara independent yaitu mandiri tanpa travel agent
bahkan menjadi bacpacker yang identik sarat petualangan dan penuh
ketidaknyamanan. Kontras dengan citra perempuan selama ini yang senantiasa
mendambakan kenyamanan sekaligus keamanan. Selanjutnya penulis akan
menulis TNT untuk menyebut buku catatan perjalanan The Naked Traveler.

37
Trinity adalah seorang wisatawan independen, yang berarti berwisata sendiri
tanpa terikat dengan sistem tur grup. Ia juga memberi penjelasan bahwa
berwisata tidak hanya sekedar foto-foto dan berbelanja di tempat wisata, juga
bukan ke luar negeri atau ke kota-kota besar yang banyak terdapat pusat
perbelanjaan. Sedangkan ia lebih suka mengunjungi tempat-tempat yang "jarang
diketahui orang" dan terpencil sehingga menciptakan keindahan alam yang masih
asri dan sepi. Di bukunya, ia menulis suka duka berjalan-jalan ke tempat-tempat
yang dikunjungi dan tip-tip penting, baik untuk tempat di dalam atau luar
negeri.59
Dalam buku catatan perjalanan TNT terdapat kumpulan cerita ringan
perjalanan yang dapat dikategorikan sebagai feature, pengertian feature menurut
Riyono Pratikno adalah:

"Suatu tulisan kreatif, terikat pada dasar-dasar jurnalistik dan juga sastra;
dapat mengabaikan segi aktualitas; menyajikan kebenaran/obyektivitas,
tetapi kadang-kadang bisa subyektif; cenderung mengandung segi-segi
human interest; terutama bersifat ringan, menghibur, menyenangkan;
merangsang dan menimbulkan rasa emosional, perasaan, imajinasi pembaca;
memberi, menambah dan meningkatkan informasi tentang kejadian atau
peristiwa, masalah, gejala, proses, aspek-aspek kehidupan termasuk juga
latar belakang."60

Melalui feature tersebut, buku catatan perjalanan ini memberi informasi,


persuasi maupun hiburan bagi pembacanya. Data-data yang akan menjadi unit
analisis dalam penelitian ini adalah artikel berupa feature-feature yang ada dalam
buku catatan perjalanan tersebut. Pemilihan feature ditentukan berdasarkan
tema-tema yang berhubungan dengan konstruksi identitas perempuan baik
sebagai pelaku perjalanan maupun sebagai penulis perjalanan. Dalam penelitian
59
http://id.wikipedia.org/wiki/Trinity_%28penulis%29 diakses Juni 2014
60
Riyono Pratikno, "Kreatif Menulis Feature" seperti yang dikutip oleh Sri Dewi Susanty, Identitas
Kultural Masyarakat Urban pada Majalah Indonesia, Analisis Semiotik Mengenai Identitas Kultural
Masyarakat Urban Indonesia pada Majalah neo- Edisi Party, Affair, Celebrity, dan Hi-tech — Lo-tech,
Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, 2001, hal. 54

38
ini, peneliti memilah ke- 68 feature yang akan dianalisis dari keseluruhan artikel
yang ada dalam buku travelogue The Naked Traveler: Catatan Seorang
Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia berdasarkan tema yang berkaitan
dengan identitas perempuan baik sebagai pelaku perjalanan ala backpacker
maupun sebagai penulis perjalanan. Alasan dan mekanisme pemilihan sampel
akan lebih jauh dijelaskan pada bagian analisa data.

3. Teknik Pengumpulan Data


Di dalam penelitian sosial, dikenal beberapa metode untuk mengumpulkan
data, yaitu angket, wawancara, observasi, dokumenter dan test.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode dokumentasi melalui
penelaahan feature-feature dalam buku catatan perjalanan TNT edisi pertama
yang diterbitkan pada tahun 2007. Selain itu, data-data lain dikumpulkan juga
melalui sumber-sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar maupun
karya ilmiah untuk memahami latar belakang penelitian. Peneliti juga melakukan
wawancara dengan penulis secara langsung dan melakukan wawancara dengan
pembaca buku TNT dalam beberapa acara talkshow yang diikuti oleh Trinity dan
diselenggarakan oleh penerbit Bentang.

4. Metode Penelitian
Penelitian ini menitik beratkan isi teks sebagai objek kajian sekaligus
menempatkan isi teks sebagai wacana. Keterkaitan isi teks sebagai wacana, maka
memungkinkan bagi penelitian ini untuk menggunakan analisis wacana yang
termasuk dalam metode penelitian kualitatif. Dalam kasus ini, calon peneliti
merasa analisis wacana model van Dijk dapat digunakan untuk meneliti wacana
tentang travelling ala backpacker dalam merepresentasikan identitas perempuan
dalam buku bertema travelling yang dipilih sebagai objek penelitian.
Banyak penelitian yang berkaitan dengan isi teks sebagai wacana

39
menggunakan analisi wacana model van Dijk. Hal ini kemungkinan karena van
Dijk mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan
dipakai secara praktis (Eriyanto, 2001: 221). Ada tiga dimensi penting dalam
model van Dijk yaitu teks, kognisi sosial dan konteks. Akan tetapi model van
Dijk ini cenderung identik sebagai model kognisi sosial yang berdasar pada
pendekatan psikologi sosial untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya
suatu teks. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya
didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu
praktik produksi yang harus diamati. Model van Dijk ini mengharuskan kita
untuk melihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu
pengetahuan mengapa terbentuk teks semacam itu. Penelitian ini berupaya pula
untuk tidak sekadar melihat teks tapi juga ingin mengetahui apa yang terjadi di
sekitar teks dan bagaimana teks tersebut dapat muncul sebagai wacana. Model
dari analisis van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:

Teks
Kognisi Sosial

Konteks

Tabel I.1. Hubungan teks, kognisi sosial, dan konteks


Dalam model van Dijk, antara bagian teks dilihat saling mendukung,
mengandung arti yang koheren satu sama lain.61 Hal ini karena semua teks
dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu
piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan

61
Stephen P. Littlejohn, Theories of Human Communication, Fourth Edition, Belmont, California,
Wadsworth Publishing Company, 1992, hal. 93-94

40
proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung oleh pilihan
kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk
mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih
kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak
cuma mengerti apa isi dari suatu teks dalam suatu media, tetapi juga elemen yang
membentuk teks tersebut, kata, kalimat, paragraf, dan proposisi. Kita tidak hanya
mengetahui apa yang dipaparkan oleh media, tetapi juga bagaimana media
melalui penulis mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan
bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu. Maka struktur teks dapat
digambarkan sebagai berikut:

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang dapat diamati

dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks.

Superstruktur

Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan,

isi, penutup, dan kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang

dapat diamati dari pilihan

kata, kalimat, dan gaya atau metafora yang

dipakai oleh suatu teks.

Tabel I. 2. Tingkatan struktur teks dalam analisis van Dijk

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi

41
wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi
sosial dipelajari proses produksi tesk berita yang melibatkan kognisi individu dari
pembuat teks. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.

Kerangka Analisis Model Teun A. van Dijk


Struktur Metode
Teks Crtical linguistic
Menganalisis bagaimana strategi
wacana yang dipakai untuk
menggambarkan seseorang atau
peristiwa tertentu. Bagaimana strategi
tekstual yang dipakai untuk
menyingkirkan atau memarjinalkan
suatu kelompok, gagasan, atau
peristiwa tertentu.
Kognisi sosial Wawancara dan studi pustaka
Menganalisis bagaimana kognisi
pembuat teks dalam memahami
seseorang atau peristiwa tertentu yang
akan ditulis.
Analisis sosial Studi pustaka, penelusuran sejarah
Menganalisis bagaimana wacana yang
berkembang dalam masyarakat,
proses produksi dan repoduksi
seseorang atau peristiwa
digambarkan.
Tabel I.3. Kerangka analisis model van Dijk

42
Inti model van Dijk sesuai dengan apa yang ingin dijawab dari penelitian ini,
yaitu konstruksi identitas remaja perempuan dalam novel. Hal ini akan menjawab
pertanyaan bagaimana penulis memproduksi teks? Apakah dipengaruhi oleh
kognisi sosial dan konteks sosial tertentu sehingga menghasilkan teks yang
demikian?

5. Analisa Data
(1) Tahapan pertama
Memilih objek dan mengumpulkan data objek, yaitu 68 feature dalam buku
travelogue populer TNT. Secara umum, peneliti mengelompokkan feature yang
akan dianalisis dalam dua tema besar yaitu:
a. Identitas perempuan sebagai pelaku perjalanan
Tema ini akan dibagi lagi menjadi dua subtema yaitu:
a.1. Identitas perempuan sebagai backpacker
a.2. Identitas perempuan dalam aktivitas rekreasi di perjalanan
b. Identitas perempuan sebagai penulis perjalanan
Selanjutnya, feature-feature yang telah dikelompokkan tersebut akan diulas
dengan konsep identitas gender Sandra Bem, diantaranya mencakup identitas
maskulin, feminin, dan androgini. Sandra Bem (1974) mempopulerkan suatu
konsep psychology androginy yang beranggapan bahwa seseorang dapat
mengombinasikan atau 'melumatkan' kedua identitas psikologis yang maskulin
dan feminin hingga memunculkan identitas androgini.
Skala peran gender dari Bem Sex Role Inventory (BSRI) disusun berdasarkan
empat klasifikasi kepribadian menurut Sandra L. Bem pada tahun 1974 yang
mencakup maskulin, feminin, androgini, dan tidak terklasifikasikan. Skala ini
terdiri dari 60 kata sifat yang disusun berdasarkan tiga komponen karakteristik
peran gender, namun untuk penelitian ini hanya akan digunakan dua karakteristik
peran gender sebagai berikut :

43
Tabel I. 4. Karakteristik peran gender oleh Sandra Bem

Karakterstik Maskulin Karakterstik Feminin


1) percaya diri 1) mengalah
2) mempertahankan 2) periang ceria
pendapat/keyakinan 3) malu
sendiri 4) penuh kasih sayang
3) berjiwa bebas/tidak 5) merasa senang jika
terganggu pendapat orang dirayu
4) gemar berolahraga 6) hangat dalam
5) tegas/berani bilang pergaulan
tidak jika memang tidak 7) setia
6) berkepribadian 8) feminin, bersifat
kuat/teguh kewanitaan
7) bersemangat 9) menaruh
8) berpikir analisis/melihat simpati/perhatian pada
hubungan sebab-akibat orang lain
9) mampu memimpin, 10) peka terhadap
punya jiwa kepemimpinan kebutuhan orang lain
10) berani mengambil 11) penuh pengertian
resiko 12) mudah iba
11) mudah membuat hati/kasihan
keputusan 13) suka menentramkan
12) dapat berdiri hati orang lain
sendiri/mandiri 14) bertutur kata halus
13) suka 15) berhati lembut
mendominasi/menguasai 16) mudah terpengaruh
14) maskulin, bersifat 17) polos, naif

44
kelaki-lakian 18) tidak menggunakan
15) punya pendirian, kata-kata kasar/tutur
berani mengambil sikap bahasa tidak kasar
16) agresif 19) senang pada
17) bersikap/bertindak anak-anak
sebagai pemimpin 20) lemah lembut
18) bersifat
individual/perorangan
19) kompetitif, siap untuk
bersaing
20) berambisi, memiliki
ambisi

(2) Tahapan kedua


Data yang telah terkumpul akan dianalisis menggunakan struktur dari
metode analisis wacana van Dijk dengan kerangka analisis teks, kognisi sosial,
dan analisis sosial.
(a) Teks
Berdasarkan struktur penelitian teks berita oleh Teun A. van Dijk skema
adalah struktur utama dalam teks yang dianalisis. Berita dapat dibagi dalam dua
bagian, yaitu summary dan story. Inti dari bagian summary adalah ringkasan atau
garis besar berita yang diwakili oleh headline dan lead. Headline menunjukkan
judul yang menjadi kepala garis besar pada berita, yaitu tema yang ingin
disampaikan. Sedangkan lead menunjukkan pengantar yang biasanya merupakan
ringkasan pada berita. Pada umumnya, lead dapat berupa ringkasan yang telah
mencakup unsur 5W+1H, yaitu what, why, when, who, where, dan how. Lead
juga dapat berupa pertanyaan pemantik untuk mengantar pembaca pada isi
berita. Pembaca akan tahu isu atau garis besar berita yang ditulis hanya dengan

45
membaca judul dan leadnya.
Bagian story adalah isi dari berita, dapat berupa situation atau keadaan yang
berupa fakta, dapat juga berupa comment yang merupakan opini, misalnya quote
atau narasi yang bersifat opini. Bagian situation dibagi lagi menjadi dua
subbagian, yaitu episode dan background. Episode adalah peristiwa yang terjadi
dan background adalah bagian yang menjelaskan mengapa dan bagaimana
peristiwa tersebut bisa terjadi.
Comment juga dibagi lagi menjadi dua subbagian yaitu verbal reactions dan
conclusions. Verbal reactions merupakan comment langsung yang hadir
sedangkan conclusions adalah kesimpulan yang dirangkai sendiri oleh wartawan
dari berbagai quote. Bagian situation dan comment ini menyebar di seluruh isi
berita yang sesuai dengan tema yang ingin dianalisis.
Untuk buku, struktur skematik yang dianalisis membutuhkan adaptasi yang
sesuai dengan pemahaman di atas. Dalam menganalisis novel sebagai karya,
headline atau judul akan tetap diwakili oleh judul buku karena judul buku tentu
berkaitan dengan tema dan garis besar cerita. Lead akan diwakili oleh resensi
sampul belakang karena pada intinya kedudukan dua bagian ini kurang lebih
sama, yaitu sebagai suatu pengantar yang pada umumnya berupa ringkasan,
mengandung 5W+1H. Pembaca akan dapat menangkap isi dari buku hanya
dengan membaca resensi belakang sampulnya. Sedangkan story, sama dengan
berita menyebar di seluruh isi buku yang berupa situation atau comment.
Selain dianalisis secara struktural atau skematik melalui summary dan story,
elemen struktur mikro akan ditambahkan untuk menganalisis tekanan-tekanan
yang terdapat pada bagian isi buku, untuk melihat apa saja elemen struktur mikro
yang digunakan, dapat dilihat bagan analisis van Dijk yang telah diterjemahkan
oleh Eriyanto.
Berikut ini adalah struktur analisis model Teun A. van Dijk yang sudah
diterjemahkan oleh Eriyanto (Eriyanto, 2009: 228-229) dan telah disesuaikan

46
dengan buku travelogue TNT sebagai objek penelitian:
Hal yang Diamati Elemen Berita Elemen Buku
Tematik Topik pada berita yang Topik pada buku yang
Tema/topik yang disimpulkan dari ringkasan disimpulkan dari
dikedepankan dalam berita yang dipahami. ringkasan bab-bab
suatu berita tertentu yang menjadi
perhatian sesuai tema.
Skematik Summary: judul dan lead Summary:
Bagaimana bagian dan Story: bagian isi berita yang Judul sebagai
urutan berita terbagi menjadi dua bagian pengganti headline
diskemakan dalam teks yaitu situation dan comment. dan resensi halaman
berita atau buku belakang sebagai
populer pengganti lead.
Story:
Bagian isi buku yang
dapat dikategorikan
sebagai situation dan
comment.
Semantik Isi buku: Latar (background), Isi buku: Latar
Makna yang ingin Detail, Maksud, Praanggapan (background), Detail,
ditekankan dalam teks yang dapat dikategorikan Maksud, Praanggapan
berita. Misalnya sebagai situation atau yang dapat
dengan memberi detail comment dikategorikan sebagai
pada satu sisi atau situation atau
membuat eksplisit satu comment
sisi dan mengurangi
detail sisi lain
Sintaksis Isi berita: Bentuk kalimat, Isi buku: Bentuk
Bagaimana kalimat koherensi, kata ganti yang kalimat, koherensi,
(bentuk, susunan) yang dapat dikategorikan sebagai kata ganti yang dapat
dipilih situation atau comment dikategorikan sebagai
situation atau
comment
Stilistik Isi berita: Leksikon yang Isi buku: Leksikon
Bagaimana pilihan kata dapat dikategorikan sebagai yang dapat
yang dipakai situation atau comment dikategorikan sebagai
situation atau
comment
Retoris Isi berita: Metafora, Ekspres Isi buku: Metafora,
Bagaimana dan dengan yang dapat dikategorikan Ekspres yang dapat
cara apa penekanan sebagai situation atau dikategorikan sebagai

47
dilakukan comment situation atau
comment
Tabel I. 5. Struktur analisis model Teun A. van Dijk disesuaikan dengan buku
travelogue TNT
Berikut ini adalah struktur wacana dan elemen-elemen wacana yang akan
digunakan untuk menganalisis teks artikel dan feature dalam buku travelogue
TNT:
1. Tematik: mengenai apa yang dikatakan dalam feature TNT.
a. Topik: ide umum atau gagasan umum dari Trinity yang ingin
disampaikan pada pembaca.
2. Skematik: mengenai penyusunan dan perangkaian pendapat dalam
feature TNT
b. Skema: kerangka untuk menyusun pendapat dalam feature TNT
3. Semantik: mengenai makna yang ingin ditekankan dalam feature TNT
c. Latar: sudut pandang yang dijadikan alasan pembenar dan pendukung
pendapat yang diajukan dalam feature TNT dan menyediakan dasar hendak
kemana makna teks dibawa dengan memberi latar belakang peristiwa
d. Ilustrasi: mengontrol komunikasi dengan pemberian contoh tertentu
e. Penalaran: alur atau pola berpikir logis yang digunakan komunikator
untuk mengarahkan persepsi khalayak guna mendukung gagasan-gasannya.
f. Detail: kontrol informasi yang ditampilkan dalam feature TNT, detail
yang panjang dan lengkap merupakan penonjolan yang dilakukan secara
sengaja untuk menciptakan citra tertentu kepada khalayak
g. Maksud: elemen untuk melihat informasi yang menguntungkan penulis
akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya informasi yang
merugikan penulis akan di uraikan secara implisit, samar dan tersembunyi
dalam feature TNT
h. Praanggapan: pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga
digunakan untuk mendukung makna suatu teks dalam feature TNT

48
i. Nominalisasi: elemen yang dapat memberi sugesti adanya generalisasi
dalam feature TNT
4. Sintaksis: mengenai bagaimana pendapat disampaikan dalam feature
TNT yang diatur menurut aturan-aturan kalimat tertentu
j. Koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat dalam
feature TNT sebagai jalinan antar kata atau kalimat dalam teks yang
dipandang sebagai sebab akibat, berhubungan atau saling terpisan dan
biasanya secara mudah diamati dengan penggunaan kata hubung
k. Bentuk kalimat: segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir
logis yang menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat dalam
feature TNT yang ditandai dengan susunan kalimat pasif, aktif, subyek,
predikat dan obyek
l. Kata ganti: elemen yang dipakai untuk menunjukkan di mana posisi
pihak yang terlibat dalam feature TNT, yaitu penggunaan kata saya, kami,
aku, kita, mereka dan sebagainya.
5. Stilistik: mengenai pilihan kata yang dipakai dalam feature TNT
m. Leksikon: elemen ini berhubungan dengan strategi untuk memaknai
peristiwa tertentu dengan menamai obyek dan peristiwa dengan kata-kata
tertentu di dalam feature TNT atau menandakan bagaimana penulis
melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia.
Pilihan kata-kata yang digunakan menunjukkan sikap-sikap tertentu
6. Retoris: mengenai cara menyampaikan pendapat dalam feature TNT
atau gaya bahasa yang diungkapkan ketika seseorang berbicara
n. Gaya: berhubungan dengan teknik yang dipakai penulis untuk
menekankan arti tertentu dalam feature TNT kepada pembaca (kata-kata
yang berlebihan), gaya repetisi (pengulangan) atau gaya ironi (ejekan)
o. Interaksi: berhubungan dengan bagaimana penulis menempatkan atau
memposisikan dirinya dengan pembaca, apakah dengan gaya formal,

49
informal atau santai yang menunjukkan kesan bagaimana ia menampilkan
dirinya dalam feature TNT
p. Ekspresi: elemen untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan
dalam suatu teks. Misalnya melalui suara, intonasi pada kata-kata tertentu
(pada teks audio visual), ukuran huruf, grafis, gambar atau mungkin tabel
untuk mendukung gagasan yang ingin disampaikan dalam feature TNT
q. Metafora: kiasan atau ungkapan yang dimaksudkan sebagai ornamen
atau bumbu dari suatu berita dalam konteks ini berupa feature, namun bisa
juga justru berfungsi sebagai petunjuk utama untuk memahami sebuah teks.
(b) Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan hal yang paling penting pada model analisis van
Dijk. Menurutnya, tidak ada hubungan langsung antara struktur wacana dengan
struktur sosial secara nyata. Namun, kedua hal tersebut dapat dihubungkan
dengan kognisi personal atau kognisi sosial. Kognisi inilah yang dibutuhkan pada
CDA untuk menghubungkan dan menunjukkan bahwa struktur sosial atau
konteks sosial bisa jadi mempengaruhi struktur wacana (van Dijk, 1998:
265-266).
Kognisi sosial terutama dihubungkan dengan proses produksi berita.Menurut
van Dijk, titik kunci dalam memahami produksi adalah dengan meneliti proses
terbentuknya teks. Dalam proses produksi berita, wartawan akan menulis
peristiwa yang dilihatnya ke dalam bentuk laporan berupa fakta, kemudian
dilakukan pengeditan oleh editor dan disampaikan kepada khalayak. Proses ini
berhubungan dengan kognisi penulisnya. Bagaimana kognisi penulis sehingga
melatarbelakangi penulisan wacana dalam berita.
Sama halnya dengan berita, buku catatan perjalanan pun ditulis oleh penulis
buku. Penulis ini akan menuliskan naskahnya sesuai dengan kognisi sosial yang
ia pahami, melihat dan meresapi dari struktur keadaan sosial yang terjadi
berdasarkan fakta langsung dan realitas umum yang dipahami penulis. Namun,

50
yang terpenting pada elemen ini adalah proses produksi yang melibatkan kognisi
penulis. Bagaimana pun juga proses menulis adalah sebuah proses pengumpulan
data-data yang dapat didapat secara langsung maupun tidak langsung dan
dipengaruhi oleh pemahaman kognisi. Untuk menganalisis kognisi sosial penulis
buku dapat dilakukan dengan wawancara.
(c) Analisis Sosial
Hal ini berkaitan denga konteks yang terjadi di masyarakat. Bagaimana
wacana yang sedang diteliti tersebut berkembang di masyarakat. Salah satu
tujuan dari analisis wacana adalah untuk mengetahui bangunan wacana yang
berkembang di masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau
peristiwa digambarkan. Titik penting dari analisis konteks sosial ini adalah untuk
menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama.
Tentang bagaimana makna dapat dipahami, maka kita harus membahas
tentang konteks. Konteks terbagi menjadi dua, yaitu konteks sosial dan konteks
situasional. Konteks sosial dapat dilihat dari sistem makna yang hidup di
tengah-tengah khalayak terkait dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
Sedangkan konteks situasional adalah konteks yang berkaitan dengan kehidupan
sosial, budaya, dan politik yang melatarbelakangi sebuah peristiwa (Lihawa,
2009: 35)62.
Penulisan buku catatan perjalanan pun tidak lepas dari konteks sosial yang
mendasarinya, karena buku catatan perjalanan adalah produk wacana. Analisis
yang digunakan adalah menggali keadaaan sosial pada saat buku catatan
perjalanan tersebut diproduksi dan mencocokkannya dengan teks buku catatan
perjalanan. Ini dapat dilakukan dengan penelusuran literasi dan mengamati
realitas nyata dengan wawancara narasumber misalnya. Dari penelusuran tersebut
dapat dipahami apakah ada kaitannya antara isi buku catatan perjalanan dengan

62
Skripsi: Lihawa, Verawaty. 2009. Media Massa dan Konstruksi Realitas Analisis Wacana Surat
Kabar Harian Gorontalo Post dalam Mengkonstruksi Kandidat Gubernur Fadel Muhammad pada
Berita-berita Kampanye Pilkada Gorontalo Edisi 10-24 November 2006. Yogyakarta: Fisipol UGM.

51
kondisi sosial tersebut dan bagaimana bisa terjadi sedemikian rupa.

Tabel I. 6. Unit Analisis

Struktur Wacana Elemen Wacana Teks Unit Analisis

Struktur Tematik Topik/Tema Teks


Makro
Superstruktur Skematik Summary : Headline dan Lead Teks
Story : Situasi (episode dan
latar) dan komentar
(reaksi dan
kesimpulan penulis
dari berbagai
komentar)
Latar : Konteks dan History
Komentar:Harapan, Evaluasi,
dan Kesimpulan
Semantik Latar, detil, ilustrasi, maksud, Paragraf
pranggapan, dan penalaran
Struktur Sintaksis Koherensi, nominalisasi, kata Kalimat
ganti, dan bentuk kalimat proposisi
Mikro
Stilistik Leksikon Kata

Retoris Gaya, interaksi, ekspresi, Kalimat


metafora Proposisi

52

Anda mungkin juga menyukai