Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS) TUNALARAS

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
Yang diampu Oleh Bapak Rizqi Fajar Pradipta, M.Pd

Oleh :

Anindita Putri Efendi (170154603595)


Lu’luatur Rizky Fajriyah (170154603592)
Nadira Novita Suharto (170154603547)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN LUAR BIASA
APRIL 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali macam tingkah laku, karakteristik dan bentuk
fisik manusia yang kita temui. Baik itu orang normal maupun tidak normal. Didalam pendidikan
juga ada yang untuk anak normal dan untuk anak yang membutuhkan layanan khusus atau sekolah
luar biasa. Anak luar biasa adalah anak yang mengalami gangguan atau hambatan perkembangan
baik fisik maupun mentalnya sehingga mereka membutuhkan perhatian dan layanan khusus, hal ini
dengan tujuan agar mereka mampu menjalani kehidupan sehari-hari tanpa membutuhkan orang lain.
Salah satu anak yang mengalami hambatan atau gangguan yaitu anak tunalaras. Anak
tunalaras adalah anak yang mangalami gangguan emosi dan mentalnya dimana anak ini berbuat
sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh anak seusianya. Contoh prilaku yang dilakukan adalah
mencuri, membuat keributan atau cemas orang lain, menyakiti orang lain dan sebagainya yang tidak
biasa dilakukan oleh anak seusianya. Orang tua dan guru harus bisa mendeteksi sejak dini kalau
anaknya mengalami hambatan, hal ini bertujuan agar kelainan yang dialami anak tidak berkembang
atau bertambah parah. Misalnya kalau anak mengalami ketunalarasan maka pihak yang bersangkutan
harus cepat mencengahnya, agar kelainannya tidak bertambah parah.
Disini, lingkungan sangatlah mempengaruhi perkembangan anak baik itu lingkungan
keluaga, sekolah maupun masyarakat. Dimana kalau anak hidup dalam kelurga yang bisa
menghargai dan mendidik anak dengan baik maka anak akan bisa tumbuh kembang dengan baik dan
begitu juga sebaliknya karena keluarga tempat yang paling utama anak mendapat pendidikan.
Dalam lingkungan keluaga anak mendapat pendidikan yang baik, tapi lingkungan tidak baik
maka anak juga bisa mempunyai sifat atau kelainan misalnya suka membuat keributan dengan orang
lain. Untuk mengatasi terjadinya kelainan tersebut yaitu dengan lebih memperhatikan anak baik dari
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kalau anak sudah mempunyai pergaulan yang tidak
baik maka, orang tua harus cepat tanggap mengambil sebuah tindakan dengan cara mencengahnya
atau dengan memperingatkan dan mengambil sebuh contoh agar anak tidak berlarut-larut dalam
permasalahan tersebut.
Kalau anak sudah mempunyai prilaku dan emosi yang tidak sesuai dengan usianya. Maka,
peran keluarga disini harus menerimanya anak tanpa membeda-bedakan dengan sodaranya. Dan
langkah yang harus dilakukan adalah bagaimana agar anak bisa keluar dari gangguan prilaku yang
dialaminya. Cara yang tepat yaitu dengan konsultasi ke psikolog dan bagaimana cara
menangani anak tersebut. Salah satu cara menanganinya yaitu dengan terapi bermain. Oleh sebab itu
penulis telah menyiapkan berbagai macam terapi bermain yang bisa diterapkan kepada anak kalau
seandainya anak mengalami kelainan prilaku.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini penulis akan membatasi masalahnya yaitu :

1. Apa yang dimaksud dengan tunalaras ?


2. Apa saja yang menjadi factor penyebab dalam tunalaras ?
3. Apa saja klasifikasi anak tunalaras ?
4. Apa saja karakteristik anak tunalaras ?
5. Apa pengaruh ketunalarasan terhadap aspek-aspek perkembangan ?
6. Bagaimana upaya dalam memberikan layanan untuk anak tunalaras ?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari Makalah ini diantaranya:
1. Untuk mengetahui definisi tunalaras.
2. Untuk mengetahui factor penyebab dalam ketunalarasan.
3. Untuk mengetahui klasifikasi pembagian anak tunalaras
4. Untuk mengetahui karakteristik anak tunalaras.
5. Untuk mengetahui pengaruh ketunalarasan terhadap aspek-aspek perkembangan.
6. Untuk mengetahui upaya dalam memberikan layanan bagi anak tunalaras.

D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Untuk menyumbang khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan di
Indonesia. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pendidikan
terutama dikaitkan dengan anak yang mengalami kesulitan belajar.
2. Manfaat Praktis
a. Penulis
1) Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis serta tambahan pengetahuan sekaligus untuk
mengembangkan pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah
atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam
menjalankan dan memahami suatu penelitian atau studi kasus khususnya mengenai
kesulitan belajar pada siswa.
2) Sebagai tugas mata kuliah Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.
b. Pembaca

Sebagai media informasi tentang anak yang mengalami kesulitan belajar.


BAB II

PEMBAHASAN

1.1. PENGERTIAN ANAK TUNALARAS

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.
Definisi anak tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi
dari Eli M Bower (Bandi Delphie, 2006: 17) bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku,
apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak mampu belajar bukan
disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik
dengan temanteman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka
selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau
ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Anak tunalaras secara umum dikatakan sebagai anak yang mengalami gangguan emosi dan
penyimpangan tingkah laku. Menurut pendapat Yulia Putri (2010) anak tunalaras adalah anak yang mempunyai
tingkah laku berlainan, tidak memiliki sikap yang dewasa, melakukan pelanggaran norma-norma sosial dengan
frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi kepada orang lain/kelompok, serta mudah
terpengaruh oleh suasana, sehingga menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri serta orang lain.

Menurut Tamsik Udin dan Tejaningsih (1998: 111) anak yang mengalami hambatan dalam
perkembangan sosial atau emosinya sehingga dimanifastikan lewat tingkah laku norma hukum, sosial,
agama yang berlaku di lingkungannya dengan frekuensi yang cukup tinggi. Akibat perbuatannya dapat
merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan
khusus untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin dan dapat hidup di tengah-tengah
masyarakat dengan baik.

Sutjihati Somantri (2007: 139) menjelaskan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami
gangguan atau hambatan emosi dan berkelainan tingkah laku, sehingga kurang dapat menyesuaikan diri
dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Anak tunalaras kadang-kadang
tingkah laku tidak mencerminkan kedewasaan dan suka menarik diri dari lingkungan, sehingga
merugikan dirinya sendiri dan orang lain dan bahkan kadang merugikan di segi pendidikannya. Anak
tunalaras juga sering disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak tunalaras menunjukkan
penentangan terhadap norma-norma social masyarakat yang berwujud seperti mencuri, menganggu dan
menyakiti orang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa anak tunalaras adalah anak yang
mengalami gangguan emosi dan penyimpangan tingkah laku serta kurang dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Anak tunalaras juga
mempunyai kebiasaan melanggar norma dan nilai kesusilaan maupun sopan santun yang berlaku dalam
kehidupan seharihari, termasuk sopan santun dalam berbicara maupun bersosialisasi dengan orang lain.

1.2. FAKTOR PENYEBAB KETUNALARASAN


a) Keturunan Model
Konseptual dalam pendekatan biologi memandang bahwa apa yang dimiliki anak
berkaitan dengan faktor genetik (Hallahan & Kauffman, 1991). Faktor genetic memberikan
kontribusi terhadap kondisi Schizophrenia (Plomin 1989). Walaupun demikian untuk gangguan
perilaku dalam kategori sedang dan berat secara spesifik tetap masih dalam misteri. Contoh anak
autism adalah bentuk kekacauan neurologis, tetapi penyebab kelainan neurologis tersebut tidak
diketahui ( Hallahan & Kauffman, 1991).
Salah satu hasil penelitian spektakuler di bidang biologi tentang rekayasa genetika telah
dibuat Mendell. Hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa keturunan mempunyai peranan kuat
dalam melahirkan generasi berikutnya. Implementasi teori tersebut dalam identifikasi
ketunalarasan, bahwa keturunan memberikan banyak bukti bayi yang dilahirkan dalam keadaan
abnormal berasal keturunan yang abnormal pula. Keabnormalan perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh orang tuanya memberikan kontribusi ketunalarasan kepada generasi berikutnya
(Patton, 1991). Beberapa perilaku yang menyimpang tersbebut diantaranya: kawin sedarah, sex
maniak, alkoholisme, kliptomania, gangguan kepribadian, dan lain-lain.
b) Faktor psikologis
Meier dalam penelitiannya, menghubungkan antara variabel frustasi dengan perilaku
abnormal memperoleh kesimpulan, bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan
persoalan akan menimbulkan perasaan frustasi. Akibat frustrasi tersebut akan timbul konflik
kejiwaannya. Bagi individu yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik, konflik psikologis
tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Namun, bagi mereka yang memiliki kepribadian
neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya timbul perilaku
menyimpang sebagai defence mechanism, Perilaku-perilaku tersebut diantaranya; agresivisme
(suka memberontak, mencela, memukul, merusak). regresivisme (perilaku yang kekanak-
kanakan), resignation (perilaku yans kehilangan arah karena ketidak-mampuan mewujudkan
keinginannya karena tekanan otoritas).
c) Faktor Biologiss
Hubungan faktor biologis secara khusus dengan keadaan kelainan periak dan emosi
sangat jarang ditemukan, sebab kelainan perilaku dan kelaina emosi tidak dapat dideteksi melalui
kerusakan biologis. Adakalanya perilak anak termasuk normal, akan tetapi yang bersangkutan
mengalami kerusa biologis seirus, dan sebaliknya anak secara fisik normal tetapi menunjuk
gangguan emosi dan perilaku secara serius. Yang pasti anak lahir dengan kondisi fisik-biologis
tertentu akan menentukan style perilaku (temperamen). Anak yang mengalami kesulitan
menempatkan temperamennya, akan memberikan Lacenderungan untuk berkembangnya kondisi
kelainan perilaku dan emosi. caktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap buruknya
temperamen seseorang antara lain: penyakit, malnutrisi, trauma otak (Hallahan & Kauffman,
1991).
Dari pemeriksaan electro encephalogram (EEG) ditemukan, bahwa hasil EEG dari anak-
anak yang melakukan perbuatan menyimpang ada kelainan. Pada orang dewasa kelainan EEG
diketahui pada orang-orang yang telah melakukan perbuatan krininal. Kelainan hasil EEG
tersebut merupakan indikasi jika salah satu bagian otak mengalami kerusakan (brain damage),
secara fisiologis fungsi tersebut menjadi kurang/tidak sempurna (brain disfunction). Selain itu,
kelainan pada kelenjar hyperthyroid menyebabkan anak sukar menyesuaikan catu bagian otak
diri dan mengalami gangguan emosi, 'Glandular disturbances such as hyperthyroidism may be
the bosis of malladjusment in school and apparent emotional disturbance.
d) Faktor Psikososial
Tidak semua ketunalarasan timbuldari perasaan frustasi akibat pertentangan antara
kemauan anak dengan kepentingan lingkungan, pengalaman masa kanak- anak dirumah, kondisi
soial ekonomi di lingkungannya. Sigmund Frued melalui Psikoanalisanya menjelaskan bahwa
ketunalarasan disebabkan pengalaman anak pada usia awal. Pengalaman tidak menyenangkaan
pada usia awal mengakibatkan anak menjadi tertekan dan secara tidak disadari berpengaruh oa
penyimpangan perilaku. Pengalaman anak di rumah seperti kualitas bungan antara ayah, ibu,
serta saudara sekandungnya memberikan pengaruh Tang besar kepada perilaku anak. Hubungan
interaksional dan transaksional enyebabkan saling mempengaruhi antara anak dengan orang tua,
sehingga jika Pada anak terdeteksi mengalami masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan pada
orang tuanya (Sameroff, Steifer, Zax, 1982). Orang tua yang lemah dalam wenegakkan disiplin
anak, yang ditandai dengan penolakan, bermusuhan. Kekejaman, dapat menumbuhkan perilaku
yang menyimpang seperti agresif làu kejahatan lainnya (Hallahan & Kauffman, 1991).
e) Lingkungan Keluarga
Keluarga dalam herarkhis pendidikan merupakan lembaga pertama dan utama, sebab di
lingkungan keluargalah anak mendapatkan pengalaman Pertama, Mengingat peranan keluarga
sebagai peletak dasar pendidikan anak Yang utama, maka keluarga hendaknya dapat
memberikan perasaan aman dalam kehidupan anak. Jika keluarga sebagai tempat bernaung anak
kur tidak dapat memberikan rasa aman, maka dampaknya akan berpengaruh pada perkembangan
sosial dan emosi anak. Jadi, kondisi keluarga tidak da memberikan rasa aman inilah akan
menumbuhkan bibit-bibit ketunalarasan anak. Beberapa wujud lingkungan keluarga yang tidak
menguntungkan terhadan perkembangan sosioal dan emosi anak, seperti broken
home,disorganisasi rumah, sering cek-cok, teladan yang kurang baik, kurang pembinaan moral
dan agama, membantu tumbuh-kembangnya kenakalan atau perolehan kompetensi perilaku
sosial yang jelek (Hallahan & Kauffman, 1991).
f) Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan kedua setelah keluarga mempunyai tugas
membantu aspek-aspek kepribadian anak didiknya. Kegagalan sekolah untuk memenuhi tugas
kewajibannya dapat berpengaruh kepada kehidupan sosial dan emosi anak, dampaknya akan
menimbulkan problem tingkah laku pada anak didiknya.
Beberapa aspek berkaitan dengan sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya
ketunalarasan antara lain: hubungan sosial gurudan murid yang kurang harmonis, tuntutan
kurikulun yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak, hubungan antar teman sebaya
yang kurang baik (Moerdiani, 1987), kurang perhatian guru terhadap hal-hal yang bersifat positif
dan konstruktif, kurangnye sarana dan prasarana pengembangan kreativitas, aktivitas. Disiplin
sekolah yang longgar, terlalu kaku, tidak konsisten, pembelajaran yang mengorbankan
ketrampilan anak untuk mengembangkan imajinasi benar dan salah, lingkunga sekolah yang
tidak memberikan pengalaman dan perhatian khusus pada anak merupakan determinan yang
dapat memunculkan kelainan perilaku dan elie pada anak (Hallahan & kauffman, 1991).
g) Lingkungan Masyarakat
Standar perilaku dannilaiyang menjadiacuantindakan yang dikomunikasikan kepada anak
melalui berbagai variasi kondisi budaya, didalamnya menyangkut tuntutan, larangan, model, atau
beberapa model budaya khusus yang dapat mempengaruhi lompatan mental seperti macam
kekerasan tang ditampikan lewat media (terutam televisi dan gambar hidup lainnya),
memberikan kontribusi yang besar lahirnya perilaku menyimpang (Hallahan & Kauffman, 1991).
Contoh hasil studi tentang ekspresi perilaku agresif orang dea kepada boneka yang
ditayangkan melalui dua versi film (model hidup dan kartun). Hasilnya ternyata kedua kelompok
anak yang menonton film tersebut menunjukkan sama agresifnya terhadap boneka. Dalam
penelitian lain yang membandingkan dua versi film berbeda (Film kartun bertema kekerasan dan
tanpa kekerasan), hasilnya ternyata anak yang menonton film kartun tema kekerasan lebih
agresif dalam interaksinya dengan temannya, dan anak yang menonton film kartun tanpa
kekerasan tidak menunjukkan perubahan dalam agresi interpersonal (Cosby, 1985; Atkinson,
1999).
Ekspresi lain dari kondisi lingkungan masyarakat sekitar yang berpengaruh terhadap
kelainan perilaku (tunalaras) anak diantaranya: daerah yang terlalu padat, angka kejahatan tinggi,
kurangnya fasilitas hiburan/rekreasi, tidak adanya aktivitas yang terorganisir (Moerdiani, 1987),
kurangnya pengajaran agama oleh masyarakat, pengaruh bacaan/film video porno atau sadisme,
pengaruh Penyalahgunaan obat-obat terlarang (nafza), minuman keras.
1.3. KLASIFIKASI ANAK TUNALARAS

Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan
emosi. Sehubungan dengan itu, William Crain (Suadin, 2010) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut
antara lain:
a. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
1) The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan
hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan
kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma
tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan
lingkungan di luar kelompoknya.
2) Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam
perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Pada kelompok
ini adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial yang benar
dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal
ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku
anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian
anak masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
3) Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai
kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh
pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga
anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
b. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
1) Neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan
tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Anak
pada kelompok ini sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas,
marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan
lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan
terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga
yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu
karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
2) Children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang
paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Pada kelompok ini
sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta
tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada
system syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan.

1.4. KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS ANAK TUNALARAS

Karakteristik anak tunalaras menurut Rusli Ibrahim (2005: 49-50), sebagai berikut:
a. Intelegensia dan Prestasi Akademis
Anak tunalaras rata-rata memiliki kecerdasan (IQ) yang setelah diuji menghasilkan
sebaran normal 90, dan sedikit yang memiliki nilai di atas sebaran nilai anak-anak normal dan
kemungkinan besar memiliki nilai IQ keterbelakangan mental serta ada juga yang memiliki
kecerdasan sangat tinggi dalam nilai tes kecerdasan. Anak tunalaras biasanya tidak mencapai
taraf yang diharapkan pada usia mentalnya dan jarang ditemukan yang berprestasi akademisnya
meningkat, dan rendahnya prestasi mereka pada pelajaran membaca dan matematika sangat
menonjol.
b. Persepsi dan Keterampilan Motorik
Anak tunalaras sulit melakukan aktivitas yang kompleks, merasa enggan dalam aktivitas,
malas dan merasa tidak mampu dalam melakukan aktivitas jasmani. Keterampilan motorik
sangat menunjang bagi pertumbuhan dan perkembangan individu di samping keuntungan lain,
seperti perkembangan sosial, kemampuan berpikir dan kesadaran persepsi. Oleh karena itu, di
sinilah penting letaknya pembelajaran pendidikan jasmani seperti permainan sepak bola bagi
anak tunalaras. Karakteristik anak tunalaras yang dikemukakan Hallahan dan Kauffman (1986)
berdasarkan dimensi tingkah laku anak tuna laras adalah sebagai berikut:
a) Anak yang mengalami gangguan perilaku:
 Berkelahi, memukul menyerang
 Pemarah
 Pembangkang
 Suka merusak
 Kurang ajar, tidak sopan
 Penentang, tidak mau bekerjasama
 Suka menggangu
 Suka ribut, pembolos
 Mudah marah, suka pamer
 Hiperaktif, pembohong
 Iri hati, pembantah
 Ceroboh, pengacau
 Suka menyalahkan orang lain
 Mementingkan diri sendiri.
b) Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri:
 Cemas
 Tegang
 Tidak punya teman
 Tertekan
 Sensitif
 Rendah diri
 Mudah frustasi
 Pendiam
 Mudah bimbang
c) Anak yang kurang dewasa
 Pelamun
 Kaku
 Pasif
 Mudah dipengaruhi
 Pengantuk
 Pembosan
d) Anak yang agresif bersosialisasi:
 Mempunyai komplotan jahat
 Berbuat onar bersama komplotannya
 Membuat genk
 Suka diluar rumah sampai larut
 Bolos sekolah
 Pergi dari rumah.

Berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial/emosional dan
fisik/kesehatan anak tunalaras (Moh. Amin, 1991: 52-53), yaitu:
1. Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya,
dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
a) Hasil belajar di bawah rata-rata.
b) Sering berurusan dengan guru BK
c) Tidak naik kelas
d) Sering membolos.
e) Sering melakukan pelanggaran, baik di sekolah maupun di masyarakat, dan lain-lain.
2. Karakteristik Sosial/Emosional :
a) Karakteristik Sosial
Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain:
 Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya.
 Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok sosial.
 Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :
 Tidak mengikuti aturan.
 Bersifat mengganggu.
 Bersifat membangkang dan menentang.
 Tidak dapat bekerjasama.
 Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja.
b) Karakteristik Emosional
 Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa
cemas.
 Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat
perasa/sensitif.
c) Karakteristik Fisik/Kesehatan:
Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa gangguan
makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada yang tidak
beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas pada
kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu gagap,
buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dan lain-lain .

1.5. PENGARUH KETUNALARASAN TERHADAP ASPEK-ASPEK


PERKEMBANGAN
1. Perkembangan Kognitif Anak Tunalaras
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak jauh beda dengan anak-anak pada
umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan
konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam
belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi
yang rendah. Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keiru karena diantara anak
tunalaras juga ada yang mengalami keerbelakangan mental. Kelemahan dalam perkembangan
kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah
yang dihadapi anak dengan intelegensi yang rendah di sekolah adalah ketidakmampuan
untuk menyamai teman-temannya, sedangkan pada dasarnya seorang anak tidak ingin
berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar. Mengenai hal
ini Ny. Singgih Gunarsa (1982) mengemukakan bahwa kecemasan dirinya berbeda dengan
kelompoknya menimbulkan kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang seringkali
tidak sesuai dengan cara penyelesaian yang wajar.
Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar
menjadikan anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak
mencari kompensasi yang sifatnya negative, misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi,
mengacau dalam kelas, dsb. Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap timbulnya
gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat
dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke dalam tingkah
laku yang negative.
Disamping anak yang bertintelegensi rendah, tidak berarti bahwa anak yang memiliki
inteligensi tinggi tidak bermasalah. Anak berinteligensi tinggi seringkali mempunyai masalah
dalam penyesuaian diri dengan teman- temannya. Ketidaksejajaran antara perkembangan
inteligensi dengan kemampuan sosial mengakibatkan anak mengalami kesulitan penyesuaian
diri dengan kelompok anak yang lebih tua (tetapi setara dalam kemampuan mentalnya). Anak
yang pintar dengan hambatan ego emosional seringkali mempunyai anggapan yang negatif
terhadap sekolah. la menganggap sekolah terlalu mudah dan guru menerangkan terlalu
lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang lain adalah sikap
tidak mau kalah. Mereka selalu ingin berhasil dan tidak mau ikut dalam permainan dengan
kemungkinan dikalahkan orang lain. Hal ini nampak dari sikap anak yang selalu ingin
menang sendiri dan selalu ingin lebih unggul dari teman-temannya sehingga bila suatu waktu
anak mengalami kekalahan, maka ia cenderung untuk mudah merasa kecewa. Dari uraian di
atas, kiranya jelas bahwa pada dasarnya perkembangan inteligensi anak tunalaras tidak
berbeda dengan anak pada umumnya, ada yang memiliki inteligensi rendah, rata-rata
(sedang), dan ada pula yang memiliki inteligensi tinggi.
2. Perkembangan Kepribadian Anak Tunalaras
Kepribadian merupakan suatu struktur yang unik, tidak ada dua individu yang memiliki
kepribadian yang sama. Para ahli mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi yang
dinamis pada sistem psikofisis individu turut menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kepribadian akan mewarnai peranan dan kedudukan seseorang dalam berbagai kelompok
dan akan mempengaruhi kesadaran sebagai bagian dari kepribadian akan dirinya. Dengan
demikian kepribadian dapat menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang.
Manifestasi kepribadian yang teramati tampak dalam interaksi individu dengan
lingkungannya, dan pada dasarnya interaksi ini sebagai upaya atau bentuk pemenuhan
kebutuhan.
Tingkah laku yang ditampilkan seseorang ini erat sekali kaitannya dengan upaya
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak lahir setiap individu sudah dibekali dengan berbagai
kebutuhan dasar yang menuntut pemenuhan kebutuhan, dan untuk itu setiap individu
senantiasa berusaha memenuhinya yang diwujudkan dalam berbagai lingkungannya. Konflik
psikis dapat terjadi apabila terjadi benturan antara usaha pemenuhan kebutuhan dengan
norma sosial. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan kontik, dapat
menjadikan stabilitas emosi terganggu. Selanjutnya mendorong terjadinya perilaku
menyimpang dan dapat menimbulkan frustrasi pada din individu. Keadaan seperti ini yang
berkepanjangan dan tidak terselesaikan dapat menimbulkan gangguan,
3. Perkembangan Emosi Anak Tunalaras
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari kelainan tingkah laku
anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi yang tidak stabil,
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang
sehingga mereka seringkali menjadi sangat emosional., Terganggunya kehidupan emosi ini
terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan.
Sebagaimana telah diuraikan pada bab pertama bahwa emosi memainkan peranan yang
sangat penting dalam perilaku individu. Pentingnya peranan emosi ini nampak melalui akibat
yang muncul apabila individu kurang mendapatkan kesempatan untuk memperoleh
pengalaman emosional yang menyenangkan, yang biasa disebut deprivasi emosi.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa kehidupan emosi
pada awal perkembangan individu sangat besar pengaruhnya lerhadap perkembangan
selanjutnya. Freud mengemukakan bahwa kehidupan emosi pada tahun-tahun pertama
kehidupan anak harus berlangsung dengan aik agar tidak menjadi masalah setelah dia
dewasa, Anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan
pemenuhan ebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan nadap
orang lain sehingga di kemudian hari ia akan mengalami masalah dalam hubungan sosial
dengan orang lain.
Selanjutnya kematangan emosional seorang anak ditentukan dari hasil interaksi dengan
lingkungannya, di mana anak belajar tentang bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana cara
untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung secara
terus menerus sesuai dengan perkembangan usia, akan banyak pula pengalaman emosional
yang diperoleh anak. la semakin banyak merasakan berbagai macam perasaan. Akan tetapi
tidak demikian halnya pada anak tunalaras. la tidak mampu belajar dengan baik dalam
merasakan dan menghayati berbagai macam emosi yang mungkin dapat dirasakan,
kehidupan emosinya kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati
bagaimana perasaan Orang lain. Mereka juga kurang mampu mengendalikan emosinya
dengan baik sehingga seringkali terjadi peledakan emosi, Ketidakstabilan emosi ini
elimbulkan penyimpangan tingkah laku, misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung,
kurang mampu memahami perasaan orang lain (perasaannya 'dangkal), berperilaku agresif,
menarik diri, dan sebagainya. Perasaan-perasaan seperti ini tentu akan mengganggu situasi
belajar dan akan mengakibatkan prestasi belajar yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Karena itu mereka memerlukan pengajaran remedial.
Fokus bantuan bagi mereka dalam mengatasi kesulitan belajarnya bukanlah terletak pada
prestasi belajar agar mencapai tingkat yang memuaskan, akan tetapi pemberian motivasi agar
mereka mau dan senang belajar.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para pengelola pendidikan dalam usaha
memunculkan motivasi belajar bagi anak tunalaras, yaitu:
a) Pengaturan lingkungan belajar
Lingkungan belajar hendaknya ditata atau dikelola sedemikian rupa sehingga anak
tidak merasa tertekan. Contoh: lingkungan fisik, yaitu pengaturan meja dan kursi,
termasuk fentilasi hendaknya memungkinkan anak merasa tenang dan timbul rasa
senang diam di kelas. Warna-warna alat maupun ruangan hendaknya tidak menyolok
sebab akan menimbulkan kegelisahan dan anak selalu ingin marah. Karena itu
gunakanlah warna yang tidak mengundang kegelisahan. Pengaturan tempat duduk
hendaknya memungkinkan terjadinya komunikasi langsung antara anak dengan guru.
Penggunaan formasi setengah lingkaran dapat meningkatkan hubungan sosial yang
baik. Sebab suasana seperti ini menjadikan anak tidak terjadi banyak hambatan untuk
berinteraksi.
Mengenai lingkaran atmosfer yaitu suasana (suara guru, peraturan) hendaknya tidak
terlalu ketat sehingga anak merasakan ada kelonggaran dan mereka tidak merasa
tertekan, Karena itu alangkah baiknya dalam menyusun dan menetapkan peraturan,
hendaknya guru mengajak anak dan oraang tua untuk bersama-sama melihat sehingga
semua pihak merasa turut memiliki.
b) Mengadakan kerjasama dengan lembaga lainlembaga pendidikan umumnya.
Berhubung pendidikan anak-anak tunalaras sifatnya temporer, maka guru harus
menyadari bahwa anak ini belajar di sekolah khusus hanyalah sementara. Karena itu
biasa disebut reedukasi. Jika anak telah memungkinkan untuk masuk sekolah biasa
atau ia kembali ke masyarakat, maka perlu kerjasama yang erat dengan pihak terkait
untuk dapat mengikuti sistem yang terpadu, baik dalam belajar, bekerja, maupun
bergaulnya.
Salah satu hal yang kurang dilakukan oleh pihak pengelola PLB tunalaras adalah
kurangnya usaha mengkomunikasikan bagaimana keadaan anak ini sebenarnya.
Akibatnya, apa yang dikatakan mengenai anak tunalaras sulit mengalami perubahan
ke arah "kemajuan pandangan' yang melihat bahwa mereka perlu disediakan
lingkungan yang baik atau mendukung perkembangannya. Sementara ini masyarakat
lebih menganggap bahwa anak tunalaras adalah anak yang merusak masyarakat.
Label yang diterima sebagai lulusan sekolah tunalaras akan menghadapkan anak
kepada keterbatasan dan kesulitan untuk melanjutkan sekolah atau melamar pekerjaan
walaupun lembaga yang dilamarnya itu memungkinkan la belajar atau bekerja. Hal-
hal itu terjadi karena kurangnya komunikasi antara PLB dengan lembaga lain.
c) Tempat layanan pendidikan
Melihat keadaan mereka sedemikian rupa, maka tempat pendidikannya tidak harus
dipisahkan dengan anak normal, akan tetapi lebih baik bila anak ini disatukan dengan
anak biasa. Bila mereka ditempatkan pada tempat yang dapat diterima oleh orang
banyak atau yang lazim, maka anak ini hanyalah melihat tingkah laku yang sama
dengannya.
Sebaliknya jika mereka ditempatkan pada sekolah biasa, artinya disatukan dengan
anak biasa, maka interaksi sosial akan cepat terwujud karena ia terbiasa melihat pola
tingkah laku yang dapat diterima. Jadi pengaruh ke arah terbentuknya perilaku yang
lazim, terjadi dengan sendirinya karena ia berinteraksi dengan anak biasa yang
menunjukkan pola tingkah laku lazim.
Hanya saja dalam mengintegrasikan mereka dengan anak biasa tentu membutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu yang perlu dipisahkan. Persyaratan yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
 Perbandingan jumlah anak tunalaras dengan anak biasa dalam satu kelas
haruslah diperhatikan. Tidak perlu banyak, akan tetapi kira-kira tidaklah
terlalu merepotkan guru biasa. Karena itu di sekolah umum selalu dibutuhkan
guru pembimbing khusus dari kalangan guru PLB.
 Persiapan program pendidikan secara khusus.
Bila anak biasa mempelajari program sama untuk semua anak, maka bagi
anak tunalaras tentu saja harus diperhatikan, baik segi kualitas maupun
kuantitasnya. Misalnya, anak tidak perlu diberikan soal/tugas yang banyak
agar ia dapat diam, akan tetapi lebih bermanfaat bila diberikan tugas sedikit
tetapi sering diberikan.
 Kesiapan orang tua atau keluarga.
Orang tua harus diajak untuk memikirkan hal ini dan tentu saja akan siap
berunding dengan pihak sekolah bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Misalnya, anak ini diejek sehingga orang tua merasa tersinggung akan hal itu.
 Kesiapan teman sekelas atau sekolah di mana ia akan diintegrasikan.
Anak-anak biasa hendaknya dipersiapkan lebih dahulu dengan
memberitahukan kemampuan dan ketidakmampuan temannya yang akan
datang belajar bersama-sama mereka.
4. Perkembangan Sosial Anak Tunalaras
Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Interaksi sosial ini berlangsung sejak lahir dan berkembang sesuai dengan
pola atau tahapan-tahapan perkembangan. Scorang bayi yang baru lahir mulai berhadapan
dengan dunia luar yang tidak lagi tenang dan aman seperti ketika berada dalam kandungan
ibunya, Lingkungan yang menyenangkan mendorong tumbuhnya perasaan mempercayai
sesuatu (trust) yang sedikit demi sedikit terus berkembang ke lingkungan yang makin luas.
Sebaliknya lingkungan yang tidak memuaskan dan pengalaman psikologis yang kurang
menyenangkan akan menimbulkan perasaan tidak mempercayai şesuatu (mistrust). Semakin
bertambahnya usia, maka pengalaman sosial anak semakin berkembang dengan berbagai
dinamikanya, dan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan ini akan mewarnai
perkembangan kepribadiannya.
Sebagaimana kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka
sama sekali tidak memiliki kemampuan kompak dan akrab serta membangun keterikatan
antara yang satu dengan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam
banyak kejadian, mereka ternyata dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan
teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang lainnya.
Ketidakmampuan anak tunalaras dalam melalui interaksi sosial yang baik dengan
lingkungannya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak/kurang menyenangkan.
Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa pada waktu memasuki tahapan
perkembangan baru, anak dihadapkan pada tantangan yang timbul dari lingkungannya agar
egonya menyesuaikan diri.
Dengan demikian, setiap mencapai tahapan perkembangan baru, anak menghadapi krisis
emosi. Apabila egonya mampu menghadapi krisis ini mika perkembangan egonya akan
mengalami kematangan dan anak akan mampu menyesuaikan diri secara baik dengan
lingkungan sosial dan masyarakatnya.
Emosi atau perasaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan
hubungan antarindividu. Gangguan emosi akan diperlihatkan dalam hubungannya dengan
orang lain dalam bentuk seperti kecemasan, agresif, dan impulsif. Anak yang mengalami
gangguan emosi menunjukkan kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan. Dapat pula anak
menjadi suka menyerang, memberontak, dan susah diatur. Tindakannya kadang-kadang
begitu spontan dan sulit diramalkan. Keadaan ini dapat terjadi dalam berbagai lingkungan,
baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah mereka menjadi malas untuk belajar, kurang
perhatian terhadap pelajaran, dan mengalami egagalan dalam belajar. Di lingkungan rumah,
mereka merasa tidak kerasan dan senang berkeluyuran.
Jarak yang memisahkan hubungan anak dengan lingkungannya mula-mula bersifat
objektif, akan tetapi kemudian menjadi lebih bersifat subjektif. Hal ini tergantung kepada
bagaimana sikap anak, bagaimana penghayatan anak akan dirinya (sel-concept), dan
penghayatan anak terhadap lingkungan sosialnya.
Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tidak berguna bagi orang lain
dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah kesulitan apabila akan menjalin
hubungan dengan mereka, ingin mencoba mendekati dan menyayangi mereka; dan apabila
berhasil sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang yang pada
akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.
Diantara bentuk-bentuk kelainan tingkah laku, anak yang cemas dan menarik diri
memiliki ancaman yang lebih besar terhadap dirinya daripada lingkungan sosialnya. Karena
mereka yang menunjukkan tingkah laku yang mengganggu dan tidak terlalu menimbulkan
masalah bagi orang lain sehingga biasanya kurang menarik perhatian.
Masalah yang dihadapi anak yang menarik diri ini adalah pengendalian dan kelenturan
ego. Mereka terlalu mengekang dorongan hati, keinginan, dan nafsu dalam berbagai situasi,
Hal ini menyebabkan mereka tidak sanggup berlaku spontan. Dalam dirinya tampak suatu
keadaan tidak berdaya yang dipelajari (learned helplessness) yang mana hal ini dapat
menimbulkan masalah serius bila ia mengalami kekecewaan, ia merasa bahwa kekecewaan
adalah bagian dari dirinya.
Anak dengan masalah ini mempunyai konsep yang demikian rendah sehingga kegagalan
dalam tugas sekolah atau kehidupan sosialnya hanya menunjukkan ketidakberdayaannya di
hadapan lingkungannya. Penampilan yang buruk dalam suatu situasi mungkin akan
dilakukannya lebih buruk lagi hanya karena ia merasa pesimis dengan diri dan
kemampuannya, Perasaan dan sikap rendah diri nampak menonjol dalam penampilan
mereka.
1.6. UPAYA DALAM PEMBERIAN LAYANAN
1. Model/Strategi Pembelajaran
a) Model layanan
Sehubungan dengan model yang digunakan dalam memberikan layanan da anak
tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan jenis-jenis model pendekatan sebagai
berikut.
 Model biogenetik
Model ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa gangguan perilaku discbabkan olch
kecacatan genetik atau biokimiawi sehingga penyembuhannya ditekankan pada
pengobatan, diet, olahraga, operasi, atau mengubah lingkungan.
 Model behavioral (tingkah laku)
Model ini mempunyai asumsi bahwa gangguan emosi merupakan indikasi
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang terbentuk, bertahan, dan mungkin
berkembang karena berinteraksi dengan lingkungan, baik di sekolah maupun di
rumah. Oleh karena itu, penanganannya tidak hanya ditujukan kepada anak, tetapi
pada lingkungan tempat anak belajar dan tinggal.
 Model psikodinamika
Model ini berpandangan bahwa perilaku yang menyimpang atau gangguan emosi
disebabkan oleh gangguan atau hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan
kepribadian karena berbagai faktor sehingga kemampuan yang diharapkan sesuai
dengan usianya terganggu. Ada juga yang mengatakan adanya konflik batin yang
tidak teratasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi gangguan perilaku itu dapat diadakan
pengajaran psikoedukasional, yaitu menggabungkan usaha membantu anak dalam
mengekspresikan dan mengendalikan perasaannya.
 Model ekologis
Model ini menganggap bahwa kchidupan ini terjadi karena adanya interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Gangguan perilaku terjadi karena adanya
disfungsi antara anak dengan lingkungannya,. Oleh karena itu, model ini
menghendaki dalam memperbaiki problem perilaku agar mengupayakan interaksi
yang baik antara anak dengan Tingkungannya, misalnya dengan mengubah persepsi
orang dewasa tentang anak atau memodifikasi persepsi anak dengan lingkungannya.
Khoden (1967) menyatakan bahwa masalah perilaku adalah akibat interaksi destruktif
antara anak dengan lingkungannya (keluarga, teman sebaya, guru, dan subkelompok
kebudayaannya).
b) Teknik/pendekatan
Beberapa teknik/pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah perilaku,
di antaranya adalah sebagai berikut.
 Perawatan dengan obat
Kavale dan Nye (1984) mengemukakan bahwa obat-obatan danat mengurangi
atau menghilangkan gangguan perilaku, seperti adanya perbaikan perhatian, hasil
belajar dan nilai tes yang baik, serta anak hiperaktif menuju ke arah perbaikan.
 Modifikasi perilaku
Salah satu teknik yang banyak dilakukan untuk mendorong perilaku prososial dan
mengurangi perilaku antisosial adalah penyesuaian perilaku melalui operant
conditioning dan task analysis (analisis tugas). Dengan operant conditioning kita
mengendalikan stimulus yang mengikuti respon. Misalnya, seorang anak kecil
mengisap ibu jari jika menonton TV. Orang tua mematikan TV selagi ibu jari di
mulut anak, dan menyalakan TV jika ia tidak mengisap ibu jarinya. Dalam hal ini
anak akan belajar jika ia ingin TV menyala maka ia tidak boleh mengisap ibu jari.
Mengisap ibu jari adalah operant yang dikendalikan oleh stimulus (matinya TV) yang
mengikutinya. Pengondisian operant berdasarkan prinsip dasar bahwa perilaku adalah
suatu fungsi konsekuensi penerapan stimulus positif (TV menyala) segera setelah
suatu respon (matinya TV) merupakan hukuman. Ada beberapa langkah dalam
melaksanakan modifikasi perilaku, yaitu:
1) menjelaskan perilaku yang akan diubah;
2) menyediakan bahan yang mengharuskan anak untuk duduk diam;
3) mengatakan perilaku yang diterima.
Task analysis dilaksanakan dengan cara menata tujuan dan tugas dengan
lengkap, membuat tugas dengan terperinci sehingga anak dapat
melakukannya, barulah anak mengerjakan tugas itu dalam jangka waktu
tertentu, mengadakan pujian bila anak berhasıl.
 Strategi psikodinamika
Tujuan utama pendekatan psikodinamika adalah membantu anak menjadi sadar
akan kebutuhannya, keinginan, dan kekuatannya sendin. Penganjur strategi ini
menyarankan agar dilakukan evaluasi diagnosuk. perawatan, pengambilan keputusan,
dan prosedur psikiatrik. Mereka melhhat bahwa perilaku maladaptive adalah pertanda
konflik jiwa. Mereka percaya bahwa penyingkiran suatu gejala tanpa menghilangkan
penyebabnya hanya menyebabkan penggantian dengan gejala lainnya.
 Strategi ekologi
Pendukung teknik, mengasumsikan bahwa dengan diciptakannya lingkungan yang
baik maka perilaku anak akan baik pula.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan perilaku, yaitu suka membuat keributan
dan cemas orang lain. Permasalahan yang dialami anak tunalaras adalah kurang memiliki
pengetahuan bagaimana bersikap, mengendalikan, dan memantau perilaku sendiri.
Perlunya dukungan dalam penanganan anak tunalaras baik oleh lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Orang tua mesti memperhatikan anak dalam menjalani kehidupan sehari-hari baik
di lingkungan kelurga, sekolah atau pun masyarakat agar anak tidak mengalami prilaku yang
menyimpang.
Kemudian peran guru di sekolah harus memperhatikan cara pergaulan anak-anaknya di
lingkungan sekolah serta cepat dalam menangani perilaku menyimpang yang dialami oleh anak
didiknya. Seorang guru harus kreatif dalm pemilihan metode pengajaran yang akan diberkan kepada
peserta didik, agar anak tidak termotivasi dan tidak cepat bosan dan jenuh dalam belajar. Guru harus
mengetahui dulu bagaiman karakteristik peserta didiknya agar memudahkan dalam pemilihan
metode yang tepat untuk peserts didiknya.
DAFTAR PUSTAKA

Somantri, T. sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT. Rafika Aditama.

Wardani, IGAK dkk. 2016. Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Tangerang Selatan :
Universitas Terbuka.

Effendi, Mohammad. 2017. Psikopedagogik Anak Berkebutuhan Khusus. Malang: Universitas Negeri
Malang.

Anda mungkin juga menyukai