B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat
terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan
ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT),
LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran
empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami
cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun
untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat
digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan
kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam
kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal
akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin
serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras,
dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras tidak
dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak
waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden
serangan akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan
penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk
menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur
endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan
antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda
dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi
pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang
yang tidak mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah
meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20
mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500
mg/hari. Efek samping pada pemberian asam kenodeoksikolat adalah
diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih.
Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien
mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30%
batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan
asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari
dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama
efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen
yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam
ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang
menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang
lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya
adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat
dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru
dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan
selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama
terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada
berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak
terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk menjalani
pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50%
pasien sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat
ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah
kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul
kembali, intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu
dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil
tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut
dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan
langsung ke dalam kandung empedu, atau melalui selang atau drain
yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan batu yang belum
dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop
ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur
noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock
waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu
atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut
menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media
cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan
elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman
air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang
dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan
dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan
bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan
dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam
empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu
atau duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang
ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada
endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu
atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.
2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
dengan batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna,
cidera duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka
mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam
penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera
dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah
sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam
penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka
kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu
lewat luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat
diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran
lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini
kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat
merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa
adanya kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien
dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus
koledokus. Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan
dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah
sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali
bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan
insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang
mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik.
Frekuensi dari cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli
bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan
dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut
membuat system bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui
pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang
purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan
kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu
disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga
peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali
lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah,
bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang
dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh proses
penyakit pasien yang mendasarinya.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus
untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang
sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu
sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase
gravitas. Kandung empedu biasanya juga mngandung batu, dan
umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sistikus secara menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung
empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan
dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus
sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh
atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat
terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis
generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan
kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi
kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus
sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini
tidak terdapat peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya,
tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul.
Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril
mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan
atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus
oleh batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung
empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang
mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik
yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri
sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi
kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu
dan perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding
nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias
memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada
fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik
vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang
terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan
organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local.
Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran
empedu.
c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan
syok parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami
peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel
pada dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon
transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena
tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna.
Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ
tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan
infeksi. Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif,
dengan 54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39%
oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides.
Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus
koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa
yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus
koledokus bergerak menutupi ampula vetri.
Diagnosa
SLKI SIKI
Keperawatan
Gangguan Setelah diberikan asuhan keperawatan 1) Identifikasi lokasi,
rasa nyaman selama …x24 jam diharapkan nyeri pada karakteristik, durasi,
pasien dapat berkurang dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas
hasil: nyeri
1. Melaporkan nyeri terkontrol 2) Identifikasi skala nyeri
2. Kemampuan mengenali onset 3) Identifikasi respon nyeri non
nyeri meningkat verbal
3. Kemampuan mengenali penyebab 4) Identifikasi factor yang
nyeri meningkat memperberat dan
4. Kemampuan menggunakan memperingan nyeri
Teknik non-farmakologis 5) Identifikasi pengetahuan dan
meningkat keyakinan tentang nyeri
5. Dukungan orang terdekat 6) Identifikasi pengaruh nyeri
meningkat
pada kualitas hidup
6. Keluhan nyeri menurun
7) Monitor keberhasilan terapi
7. Penggunaan analgesic menirun
komplementer yang sudah
diberikan
8) Monitor efek samping
penggunaan analgesic
9) Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
10) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
11) Fasilitasi istirahat dan tidur
12) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
13) Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri