Kliping Sejarah Bangsa

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 33

TOKOH-TOKOH MASA KERAJAAN HINDU, BUDHA

DAN ISLAM DI INDONESIA

ARTIKEL TUGAS SEKOLAH

Oleh :
QUEENSYAH NAJWA AURUM MARYAM
Kelas 4B

SDIT PERSIS TAROGONG


DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN GARUT
PROPINSI JAWA BARAT
TOKOH MASA KERAJAAN HINDU DI INDONESIA

A. MAHA PATIH GADJAH MADA


Gadjah Mada adalah patih mangkubumi (maha patih) Kerajaan Majapahit. Namanya
mulai dikenal setelah beliau berhasil memadamkan pemberontakan Kuti. Gadjah Mada
muncul sebagai seorang pemuka kerajaan sejak masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328).
Kariernya dimulai dengan menjadi anggota pasukan pengawal raja (Bahanyangkari). Mula-
mula, beliau menjadi Bekel Bahanyangkari (setingkat komandan pasukan). Kariernya terus
menanjak pada masa Kerajaan Majapahit dilanda beberapa pemberontakan, seperti
pemberontakan Rangga Lawe (1309), Lembu Sura (1311), Nambi (1316), dan Kuti (1319).
Pada tahun 1328, Raja Jayanegara wafat. Beliau digantikan oleh Tribhuana
Tunggadewi. Sadeng melakukan pemberontakan. Pemberontakan Sadeng dapat ditumpas
oleh pasukan Gadjah Mada. Atas jasanya, Gadjah Mada diangkat menjadi Maha Patih
Majapahit pada tahun 1334. Pada upacara pengangkatannya, beliau bersumpah untuk
menaklukkan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah itu dikenal
dengan Sumpah Palapa.
Gadjah Mada tetap menjadi patih mangkubumi ketika Hayam Wuruk naik tahta.
Beliau mendampingi Hayam Wuruk menjalankan pemerintahan. Pada masa inilah Majapahit
mengalami masa Kejayaan. Wilayah Majapahit meliputi hampir seluruh Jawa, sebagian besar
Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga
Papua.
Gambar 01. Maha Patih Gadjah Mada
(Sumber : https://kelasips.co.id)

B. PRABU HAYAM WURUK


Hayam Wuruk (1334-1389) adalah raja terbesar Majapahit. Beliau bergelar Sri
Rajasanagara. Beliau adalah Putra Ratu Tribhuana Tunggadewi dan Kertawardana. Di bawah
pemerintahan beliau, Majapahit mengalami puncak kebesaran dan zaman keemasan. Pada
masa itu, Mahapatih Gadjah Mada berhasil mempersatukan seluruh Nusantara. Daerah
kekuasaan Majapahit kurang lebih meliputi wilayah Indonesia saat ini. Perdagangan dengan
luar negeri, terutama Cina, mencapai kemajuan, begitu pula bidang kesusastraan, seni pahat,
seni bangun, kehakiman, dan agama.
Nama Hayam Wuruk terkenal dalam sejarah Indonesia karena dikisahkan dalam kitab
Negarakertagama yang disusun oleh Empu Prapanca. Peninggalan Majapahit yang terkenal
dari masa pemerintahan Hayam Wuruk antara lain himpunan kitab sejarah Singsari dan
Majapahit hasil karya Empu Prapanca, serta cerita sastra Arjunawiwaha dan Sutasoma
gubahan Empu Tantular. Salah satu peristiwa penting ketika Hayam Wuruk berkuasa adalah
kemenangan Majapahit dalam pertempuran melawan Kerajaan Sunda (Pajajaran) tahun
1351. Perang tersebut dikenal dengan sebutan Perang Bubat. Setelah Hayam Wuruk wafat
(1389), Majapahit mengalami kemerosotan.

Gambar 02. Prabu Hayam Wuruk


(Sumber : https://kelasips.co.id)

C. PENINGGALAN SEJARAH MASA KERAJAAN MAJAPAHIT


Peninggalan Kerajaan Majapahit adalah kerajaan besar yang berkembang di Nusantara
dan menurut perkiraan berdiri pada tahun 1293 dan mengalami keruntuhan di abad ke-15
Masehi. Kerajaan Majapahit ini memberikan banyak sekali peninggalan sejarah yang masih
bisa kita lihat hingga sekarang. Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan saat
pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang memimpin dari tahun 1350 sampai dengan 1389
Masehi. Kerajaan ini menjadi kerajaan Hindu Budha terakhir di Nusantara. Berikut beberapa
peninggalan bersejarah dari kerajaan Majapahit yang masih ada hingga sekarang :

1. Candi Sukuh

Gambar 03. Candi Sukuh


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Sukuh terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa


Tengah, 36 km dari Surakarta atau 20 km dari Kota Karanganyar. Menurut perkiraan,
Candi Sukuh ini dibangun pada tahun 1437 Masehi dan masuk kedalam jenis candi Hindu
dengan bentuk piramid. Struktur bangunan Candi Sukuh memiliki bentuk yang unik dan
berbeda dengan candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang lain dan di sekitar
reruntuhan Candi Sukuh ini juga terdapat banyak objek Lingga dan Yoni yang
melambangkan seksualitas dengan beberapa relief serta patung yang memperlihatkan
organ intim dari manusia. Candi ini ditemukan pada tahun 1815 oleh residen Surakarta
bernama Johnson yang ditugaskan oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan
data dari bukunya yakni “The History of Java”. Kemudian pada tahun 1842, candi ini juga
sudah diteliti oleh Arekolog dari Belanda bernama Van der Vlies dan kemudian dipugar
pada tahun 1928. Candi Sukuh kemudian diusulkan menjadi salah satu situs warisan dunia
pada tahun 1995.
Desain sederhana dari candi ini membuat seorang arkeolog asal Belanda yakni
W.F. Stutterheim di tahun 1930 memberikan argumentasinya yakni pemahat dari Candi
Sukuh ini bukanlah dari seorang tukang batu namun seorang tukang kayu desa dan bukan
dari kalangan keraton. Candi ini juga dibuat dengan terburu-buru yang tampak dari
kurang rapihnya bangunan candi tersebut dan argumen terakhirnya adalah keadaan
politik di masa tersebut yakni saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit membuat
candi tersebut tidak bisa dibuat dengan mewah dan indah. Saat masuk ke pintu utama
dan melewati gapura besar, maka bentuk arsitektur khas tidak disusun secara tegak lurus
akan tetapi berbentuk sedikit miring trapesium lengkap dengan atap pada bagian atasnya.
Sedangkan warna bebatuan di candi ini berwarna sedikit merah sebab memakai bebatuan
andesit.
Pada teras pertama terdapat sebuah gapura utama yang lengkap dengan sengkala
memet dan tertulis dalam bahasa Jawa yaitu gapura buta aban wong dengan arti raksasa
gapura memangsa manusia dengan makna masing-masing9, 5, 3, 1 yang jika dibalik maka
diperoleh tahun 1359 [saka] atau 1437 Masehi. Angka ini kemudian diduga menjadi tahun
berdirinya Candi Sukuh. Di bagian sisi candi juga terdapat sengkala memet dengan bentuk
gajah memakai sorban yang sedang mengigit seekor ular dan dianggap sebagai lambang
bunyi gapura buta anahut buntut atau raksasa gapura mengigit ekor. Pada bagian teras
kedua, gapuranya sudah dalam keadaan yang rusak dan pada bagian sisi kanan dan kiri
gapura ada patung penjaga atau dwarpala kaan tetapi juga sudah rusak dan tidak
berbentuk lagi. Gapura ini juga sudah hilang bagian atapnya dan tidak dilengkapi dengan
patung pada terasnya. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala yang ditulis dalam
bahasa Jawa berbunyi gajah wiku anahut buntut dengan arti gajah pendeta menggigit
ekor dan terdapat makna 8, 7, 3, 1 yang jika dibalik maka dihasilkan tahun 1378 Saka atau
1456 Masehi.
Pada bagian teras ketiga ada pelataran berukuran besar dengan candi induk serta
beberapa buah panel yang dilengkapi dengan relief di bagian kiri dan patung di bagian
kanan. Pada bagian atas candi utama di tengah ada sebuah bujur sangkar seperti tempat
untuk meletakkan sesaji dan terdapat juga bekas kemenyan, hio serta dupa yang dibakar
dan masih sering juga digunakan untuk sembahyang. Sedangkan pada bagian kiri candi
induk ada serangkaian panel lengkap dengan relief yang bercerita tentan mitologi utama
dari Candi Suku, Kidung Sudamala.

2. Candi Cetho
Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,
Karanganyar, Jawa Tengah. Menurut perkiraan sejarawan, Candi Cetho ini berasal dari
akhir keruntuhan Kerajaan Majapahit di sekitar abad ke-15 Masehi dan candi ini baru
ditemukan pada tahun 1842 karena tulisan dari seorang arkeolog Belanda yakni Van de
Vlies. Candi Cetho di-bangun dengan menggunakan corak Hindu yang seringkali dipakai
warga serta peziarah Hindu untuk tempat pemujaan. Tempat ini juga sering dijadikan
tempat untuk bertapa untuk masyarakat Kejawen asli Jawa. Penggalian pertama dilakukan
pada tahun 1928 untuk rekonstruksi oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda dan dari
penelitian ditemukan jika usia candi tersebut hampir sama dengan Candi Sukuh yang
lokasinya tidak jauh dari candi ini, akan tetapi terdapat perbedaan sebab candi ini dibuat
di kompleks yang berundak. Secara keseluruhan, Candi Cetho ini mempunyai 13 buah
teras dan juga banyak anak tangga yang juga dilengkapi dengan banyak archa serta
punden di sepanjang tangga tersebut. Diatas candi ini terdapat Puri yang disebut dengan
Puri Saraswati.

Gambar 04. Candi Cetho


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Cetho ini ditemukan dalam keadaan reruntuhan dengan 14 teras atau
punden bertingkat dengan bentuk memanjang dari barat menuju ke timur dan sekarang
hanya tersisa 13 teras saja. Pemugaran sudah dilakukan pada kesembilan buah teras dan
struktur teras yang berundak ini diduga merupakan kultur asli Nusantara Hinduisme yang
semakin diperkuat dengan aspek ikonografi. Relief yang terdapat pada candi ini berbentuk
tubuh manusia seperti wayang kulit dengan muka menghadap samping namun tubuh
yang menghadap ke ara depan. Pemugaran juga dilakukan di akhir tahun 1970 yang
dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi dari Suharto dan ia mengubah
begitu banyak struktur dari candi tersebut.
Pemugaran ini kemudian banyak mendapatkan kritikan dari pada arkeolog sebab
pemugaran pada situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa dipelajari dengan
mendalam, selain itu ada beberapa objek hasil dari pemugaran yang sudah dianggap tidak
asli yakni gapura mewah dan megah di bagian depan kompleks, bangunan kayu tempat
bertapa, patung yang dinisbatkan sebagai Brawijaya V, Sabdapalon, Nayagenggong dan
phallussera kubus di puncak punden.

3. Candi Pari

Gambar 05. Candi Pari


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Menurut perkiraan, Candi ini dibangun saat masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk
tahun 1350 sampai dengan 1389 Masehi. Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut
semburan pusat lumpur panas Lapindo Brantas. Candi Pari ini juga dibangun dengan batu
bata berbentuk persegi empat seperti pura yang ada di Bali dan candi ini dibangun
menghadap ke arah Barat.
Diperkirakan, Candi Pari ini dibangun pada tahun 1371 Masehi dan dari J. Knebel
yang ditulis dalam laporannya, Candi Pari dan juga Candi Sumur, dibangun untuk
mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik angkat dan juga seorang sahabat dari
salah satu putra Prabu Brawijaya yang menolak untuk tinggal di Keraton Kerajaan
Majapahit. Di atas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua, dan apabila dilihat dari
arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan dari Vietnam. Ini
bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan Vietnam dan disaat
yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian orang mengungsi
ke Jawa Timur.

4. Candi Jabung

Gambar 06. Candi Jabung


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Candi ini terbuat dari bata merah yang disusun yang masih bertahan setelah sekian tahun.
Di saat lawatan berkeliling Jawa Timur tahun 1359, Raja Hayam Wuruk dikatakan pernah
singgah pada Candi Jabung tersebut. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit dengan bercorak bangunan Hindu.
Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah berukuran 35 meter x 40
meter dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987, sehingga penataan
lingkungan bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan
laut. Candi Jabung memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang
umumnya disebut dengan Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata
merah kualitas bagus lengkap dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki
panjang 13.13 meter, lebar 9.60 meter dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap
ke arah Barat dan pada bagian sisi barat agak menjorok ke depan yang merupakan bekas
susunan tangga memasuki candi. Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi
kecil yang berguna sebagai pelengkap Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan
material batu bata dengan ukuran 2.55 meter serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi
Jabung terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan juga atap dengan bentuk tubuh bulat
yang berdiri diatas kaki candi bertingkat 3 bentuk persegi. Sementara bagian atapnya
berbentuk stupa namun sudah runtuh di bagian puncak dan pada atap tersebut dilengkapi
dengan motif suluran. Pada bagian bilik candi ada lapik arca yang berdasarkan dari
inskripsi pada gawang pintu masuk Candi Jabung didirikan pada tahun 1276 Saka atau
1354 Masehi.
5. Candi Brahu

Gambar 07. Candi Brahu


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Brahu terletak di kawasan situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente,
Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat oleh Mpu
Sendok dan berguna sebagai tempat pembakaran jenazah dari raja-raja Majapahit. Nama
Brahu ini menurut perkiraan berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang didapatkan dari
sebutan bangunan suci dan terdapat pada prasasti Alas Antan, Prasasti tersebut
ditemukan pada lokasi yang tidak jauh dari candi tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan
memakai batu bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian
mencapai 20 meter. Candi Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi,
meski banyak ahli yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Sebagian
ahli mengatakan jika candi ini berusia lebih tua dibandingkan dengan candi lain yang ada
di Komplek Trowulan. Di dalam Prasasti, Candi Brahu disebut sebagai tempat pembakaran
jenazah para raja-raja Majapahit, akan tetapi pada penelitian yang sudah dilakukan tidak
bisa ditemukan bekas abu dari mayat pada candi tersebut. Struktur bangunan Candi
Brahu menggunakan batu bata merah menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5
meter, lebar 18 meter dan tinggi 20 meter yang memakai kultur Buddha. Pada prasasti
yang ditulis oleh Mpu Sendok 9 September 939, candi ini adalah tempat pembakaran
jenazah raja-raja Majapahit. Ada banyak candi berukuran kecil di sekeliling Candi Brahu ini
akan tetapi sudah runtuh dan hanya tertinggal sisa reruntuhannya saja yakni Candi
Gedung, Candi Muteran, Candi Tengah dan juga Candi Gentong. Saat dilakukan
penggalian, banyak ditemuka benda kuno seperti alat upacara keagamaan yang terbuat
dari logam, arca, perhiasan emas dan benda lainnya.
6. Candi Tikus

Gambar 08. Candi Tikus


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Tikus berada di situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa
Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini masih terdapat di dalam
bawah tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun 1914 dan dilakukan
pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini mendapat nama candi tikus
sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan tersebut menjadi sarang
tikus. Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun Candi Tikus ini, akan
tetapi dengan adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan dibangun pada abad ke-13
sampai ke-14 Masehi sebab miniatur menara merupakan ciri khas bangunan pada abad
tersebut.
Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeolog
berbeda pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat
pemandian keluarga kerajaan dan lainnya berpendapat jika bangunan ini adalah tempat
menampung air untuk keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena adanya
menara, maka beberapa ahli juga menduga tempat tersebut adalah tempat pemujaan.
Pada bagian kiri dan kanan tangga ada sebuah kolam berbentuk segi empat berukuran 3.5
meter x 2 meter serta kedalaman mencapai 1.5 meter, sedangkan pada dinding luar
setiap kolam ada 3 buah pancuran berbentuk teratai atau padma yang dibuat dari batu
andesit. Pada bagian anak tangga yang agak ke Selatan terdapat sebuah bagunan
berbentuk persegi empat dengan ukuran 7.65 meter x 7.65 meter dan diatas bangunan
tersebut juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 2 meter dan atap berbentuk
meru dengan puncak yang datar. Menara ini dikelilingi dengan 8 buah menara serupa
namun ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding kaki bangunan ada 17 pancuran atau
jaladwara dengan bentuk makara serta teratai.

7. Candi Surawana

Gambar 09. Candi Surawana


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25
km Timur Laut Kota Kediri. Candi ini memiliki nama asli Candi Wishnubhawanapura yang
dibangun pada abad ke-14 Masehi. Candi ini dibangun untuk memuliakan Bhre Wengker
yang merupakan seorang raja Kerajaan Wengker yang ada dibawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Candi ini dibangun dengan corak Hindu yang keadaannya sudha tidak utuh lagi
sekarang ini, bagian dasarnya sudah mengalami rekonstruksi sedangkan untuk bagian
badan serta atap candi sudah hancur dan tak bersisa dan hanya kaki Candi dengan tinggi 3
meter saja yang masih berdiri dengan tegak. Struktur Bangunan Candi Surawana
berukuran 8 meter x 8 meter yang dibangun dengan material batu andesit dan
merupakan candi Siwa. Semua bagian tubuh candi ini sekarang sudah hancur dan hanay
tertinggal kaki candi dengan tinggi 3 meter, untuk naik ke selasar atas kaki candi ada
sebuah tangga berukuran sempit yang ada di bagian Barat.

8. Gapura Wringin Lawang


Gapura Wringin Lawang berada di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini juga terbuat dari bata merah seperti Candi Jabung
dengan tinggi mencapai 15.5 meter berukuran 13 x 11 meter dan menurut perkiraan
dibangun pada abad ke-14 Masehi. Jika dilihat, gaya arsitekturnya hampir serupa dengan
Candi Bentar dan banyak pada ahli berpendapat jika bangunan ini adalah pintu gerbang
masuk ke kediaman Mahapatih Gadjah Mada dan pintu masuk ke bangunan penting Ibu
kota Majapahit.

Gambar 10. Gapura Wringin Lawang


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)

9. Gapura Bajang Ratu

Gambar 11. Gapura Bajang Ratu


(Sumber : https://sejarahlengkap.com)
Gapura Bajang Ratu terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto,
Jawa Timur dan menurut perkiraan dibangun pada abad ke-14 Masehi. Di dalam Kitab
Negarakertagama, gapura ini dikatakan berguna untuk pintu masuk ke bangunan suci
yang memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Menurut perkiraan, Gapura ini menjadi
gapura terbesar di sepanjang masa Kerajaan Majapahit. Sebelum Raja Jayanegara wafat,
bangunan tersebut dipakai sebagai pintu belakang Kerajaan Majapahit yang juga
didukung dengan relief Sri Tanjung dengan sayap gapura melambangkan pelepasan.
Struktur bangunan dari Gapura Bajang Ratu ini berbentuk vertikal dengan 3 bagian yakni
kaki, badan dan juga atap, apabila dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi empat dengan
panjang 11.5 x 10.5 meter dan ketinggian mencapai 16.5 meter dan lorong 1.4 meter.
Pada bagian kaki candi terdapat bingkai bawah dan juga atas dan badan kaki serta
terdapat juga relief Sri Tajung. Pada masa itu, relief dipercaya sebagai penangkal dari
bahaya, sementara di bagian sayap kanan terdapat relief Ramayana.
Struktur Bangunan Bajang Ratu – Dari buku Drs. I.G Bagus L Arnawa, bentuk
gapura atau candi adalah bangunan pintu gerbang jenis paduraksa atau gapura beratap
dan fisik keseluruhan candi dibuat dengan material batu bata merah kecuali untuk area
lantai tangga serta pintu bawah dan atas yang dibuat menggunakan batu andesit. Secara
vertikal, bangunan ini memiliki 3 bagian yakni kaki, tubuh dan juga atap serta dilengkapi
dengan sayap dan pagar tembok pada kedua sisinya. Kaki gapura ini memiliki panjang 2.48
meter dan strukturnya terdiri dari bingkai bawah, badan kaki serta bingkai atas. Bingkai ini
juga terdiri dari susunan pelipit rata serta berbingkai dengan bentuk genta dan pada
bagian sudut kakinya terdapat hiasan berbentuk sederhana kecuali di sudut kiri depan
yang dilengkapi dengan relief menceritakan Sri Tanjung.
Sementara untuk bagian tubuh diatas pintu juga terdapat relief hiasan kala dan
hiasan suluran, sedangkan untuk bagian atap juag dilengkapi dengan relief berhias rumit
yakni kepala kala diapit dengan singa, relief matahari, naga berkaki, relief bermata satu
atau monocle cyclops dan juga kepala garuda. Relief ini dalam kepercayaan budata
Majapahit untuk pelindung dan penolak bahaya, sedangkan pada sayap kanan terdapat
relief yang menceritakan kisah Ramayana serta pahatan hewan bertelinga panjang.

D. SIKAP KEPAHLAWANAN MAHA PATIH GADJAH MADA


1. Ya Wijina
Artinya bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi berbagai macam kesukaran,
sehingga akhirnya selalu berhasil menciptakan ketentraman.
2. Ya Matriwira
Artinya pembela negara yang berani tiada tada (bela diri, bela bangsa, bela negara).
3. Wicaksareng karsa
Artinya bijaksana dalam segala tindakan. Kebijaksanaannya senantiasa terpancar
dalam setiap perhitungan dan tindakan, baik ketika menghadapi lawan maupun
kawan, bangsawan maupun rakyat.
4. Natangwan
Artinya memperoleh kepercayaan karena rasa tanggung jawabnya yang besar dan
selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan.
5. Satya Bhakti Aprabhu
Artinya bersifat setia dengan hati tulus ikhlas kepada negara. Setia dan bakti telah
mendarah daging dalam hidupnya, sehingga segenap pikiran dan tenaganya
dilimpahkan unutk mewujudkan kebesaran negara.
6. Wagni Wak
Artinya pandai berpidato dan berdiplomasi mempertahankan atau meyakinkan.
7. Sarjawopasama
Artinya murah hati, berbudi pekerti baik, berhati emas, bermuka manis dan penyabar.
Sifat ini pada umumnya ditemukan pada ahli-ahli politik serta diplomat ulung.
8. Tan Halana
Artinya selalu tampak gembira walaupun dalam dirinya sedang gundah atau terluka.
9. Dhirotsaka
Artinya terus-menerus bekerja rajin dan sungguh-sungguh.
10. Dwiyacitta
Artinya mau mendengarkan pendapat orang lain dan mau bermusyawarah.
11. Tan Satrisna
Artinya tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati kesenangan yang bersifat
gairah dan birahi.
12. Sih Samstabhuana
Artinya menyayangi seluruh dunia serta alam semesta
13. Ginong Praditira
Artinya selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk dan selalu mawas
diri.
14. Sumantri
Artinya menjadi ksatri yang jujur, baik dan santun.
15. Anarsaken Musuh
Artinya bertindak memusnahkan lawan, tetapi senantiasa manjalankan politik kasih
sayang, namun tak gentar menghadapi musuh yang mengganggu kedaulatan dan
integritas negara.

TOKOH MASA KERAJAAN BUDHA DI INDONESIA

A. BIOGRAFI RATU SHIMA


Ratu Shima adalah ratu di Kerajaan Holing atau Kerajaan Kalingga. Ratu Shima lahir
pada tahun 611 M, dan pada tahun 628M ia menikah dengan Kartikeyasingha.
Kartikeyasingha merupakan anak dari seorang Raja Kalingga yang memerintah pada tahun
632M hingga 648M. Lalu mulai 648M hingga 674M Kartikeyasingha memerintah menjadi Raja
Kalingga. Raja Kartikeyasingha dan Ratu Shima mempunyai 2 orang anak yang bernama
Parwati dan Narayana. Beliau memerintah dengan baik, keras tapi adil. Barang jatuh dijalan
tidak ada yang berani menyentuhnya. Rakyat Kerajaan Kalingga hidup aman dan sejahtera.  
Gambar 12. Ratu Shima dan Kerajaan Kalingga
(Sumber : https://id.wikipedia.org/)
Inilah beberapa peristiwa yang terjadi dan dialami oleh Ratu Shima dalam masa
Buddha. Pada tahun 674M Ratu Shima mengambil alih posisi dari Kartikeyasingha sebagai raja
karena tahun 674M Kartikeyasingha wafat. Sri Maharani Mahissa Suramardini
Satyaputikeswara merupakan gelar Ratu Shima, beliau memerintah menjadi raja mulai tahun
674M hingga 695M.
Masa pemerintahan Ratu Shima merupakan masa kejayaan untuk Kerajaan Kalingga. Hal ini
membuat Ratu Shima menjadi seseorang yang sangat di homarti dan banyak dikagumi oleh
banyak orang. Pada masa pemerintahan Ratu Shima merupakan masa kejayaan semua
kebudayaan. Di Hyang merupakan wilayah yang berada di sekitar kerajaan Ratu Shima,
dimana tempat itu merupakan tempat bersatunya antara Hindu dan Buddha. Ratu Shima
dikenal sebagi sosok yang anggun, berwibawa, dan terkenal akan ketegasannya dalam
memerintah kerajaan. Semua kalangan sangat mencintai dan menghormati Ratu Shima
karena kebaikannya. Hingga berita tentang Ratu Shima terdengar sampai ke Raja Ta-che di
China.
Maharani, Ratu Sima atau Shima putri Hyang Syailendra putra Santanu (Sriwijaya)
adalah istri Raja Kalingga Kartikeyasinga, Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga (632-
648) M. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang
beribu kota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M –
adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga. Ratu Sima adalah putri seorang pendeta di
wilayah Sriwijaya. Ia dilahirkan tahun 611 M di sekitar wilayah yang disebut Musi Banyuasin.
Ia adalah istri pangeran Kartikeyasingha (sebelum jadi raja) yang merupakan keponakan dari
Kerajaan Melayu Sribuja. Ia kemudian tinggal di daerah yang dikenal sebagai wilayah Adi
Hyang (Leluhur Agung), atau yang sekarang bernama Dieng. Perkawinan Kartikeyasingha
dengan Sima melahirkan dua orang anak, yaitu Parwati dan Narayana (Iswara).
Ratu Shima adalah pemeluk Hindu Syiwa yang taat. Parwati, anak Ratu Shima,
menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Sang Jalantara atau Rahyang
Mandiminyak dan menjadi raja Kerajaan Galuh ke-2 dengan gelar Prabu Suraghana (702-
709M) dan berputri Dewi Sanaha. Dewi Sanaha dan Bratasenawa atau Prabu Sanna menikah
memiliki anak yang bernama Sanjaya, Rakai Mataram (723 - 732 M) yang
kemudian 703/704 M, Sanjaya menikahi Dewi Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi)
putri Rakyan Sundasembawa (mati muda) putra Sri Maharaja Tarusbawa, cucu Sri Maharaja
Tarusbawa dari Kerajaan Sunda sehingga Maharaja Harisdarma sempat menjadi raja Kerajaan
Galuh (ia merebut kembali tahta Galuh tahun 723 M dari tangan Purbasora yang merebut
tahta Galuh tahun 716 M dari Prabu Sanna, ayahnya) dan raja Kerajaan Sunda (menerima
tahta dari kakek mertuanya, Sri Maharaja Tarusbawa) tahun 723 M hingga ia menjadi
Maharaja Sunda dan Galuh (723-732M).
Maharaja Linggawarman, penguasa terakhir Tarumanagara (666-669) M, mempunyai
2 orang putri, yaitu yang sulung bernama Dewi Manasih menjadi istri Sri Maharaja
Tarusbawa, menerima tahta Kerajaan Tarumanagara dari mertuanya, lalu
mendirikan Kerajaan Sunda (669 M dan puteri yang kedua
bernama Dewi Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang
mendirikan Kerajaan Sriwijaya (671 M).

B. MASA PEMERINTAHAN RATU SHIMA


Tahun 500 M Pulau Sumatra dikuasai dua kerajaan kuat, yaitu Kerajaan Pali (Utara)
dan Kerajaan Melayu Sribuja (di timur) yang beribu kota Palembang. Lalu
Kerajaan Sriwijaya baru merupakan kerajaan kecil di Jambi. Tahun 676 M Kerajaan Pali dan
Mahasin (Singapura) ditaklukan Sriwijaya. Tahun 683 M, Kerajaan Sriwijaya berhasil
menaklukan Kerajaan Melayu. Ekspansi Sriwijaya terhadap Kerajaan Melayu yang masih
memiliki kekerabatan dengan Kalingga tentu sangat mengganggu hubungan dengan Kalingga.
Maka, Sriwijaya mencoba mencairkan hubungan dengan Kerajaan Sunda dan Kalingga.
Langkah diplomatik dilakukan antara Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Sunda yang sama-
sama, sebagai menantu Maharaja Linggawarman dalam sebuah prasasti yang ditulis dalam
dua bahasa, Melayu dan Sunda, jalinan persaudaraan dan persahabatan kemudian dikenal
dengan istilah Mitra Pasamayan (inti isi perjanjiannya, untuk tidak saling menyerang dan
harus saling membantu).
Kerajaan Kalingga pun ditawari persahabatan, namun Kalingga menolak karena sakit
hati atas penyerangan Sriwijaya terhadap Melayu, merupakan kerabat Kalingga mengingat
Ratu Shima - menurut sebuah pendapat - Sang Ratu dan ibunda Kartikeyasinga berasal dari
wilayah Kerajaan Melayu Sribuja yang beribu kota di Palembang. Ketegangan antara Sriwijaya
dan Kalingga menajam sehingga keduanya sudah mempersiapkan pasukan dalam jumlah
besar namun, masih dapat dilerai oleh Sri Maharaja Tarusbawa dari Kerajaan Sunda, sebagai
sahabat dan kerabat sehingga Sri Jayanasa mengurungkan niatnya menyerang Kalingga,
karena Kalingga adalah kerabat Kerajaan Sunda. Keadaan ini berlangsung hingga Sri Jayanasa
mangkat tahun 692 M dan digantikan oleh Darmaputra (692-704).
Sang Ratu Shima, dalam pemerintahannya, Kerajaan Kalingga aman karena beralinasi
dengan Kerajaan Sunda dan Galuh. Terutama karena sikap tegas dan dia sangat dicintai
rakyatnya. Sang Ratu menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas
pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Tradisi
mengisahkan seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah
persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melakukan hal itu karena
ia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat Kalingga dan berniat menguji kebenaran kabar
itu. Tidak seorangpun berani menyentuh kantung yang bukan miliknya itu, hingga suatu hari
tiga tahun kemudian, seorang putra Shima, sang putra mahkota secara tidak sengaja
menyentuh kantung itu dengan kakinya. Mulanya Sang Ratu menjatuhkan hukuman mati
untuk putranya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu
mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Karena kaki sang pangeran yang
menyentuh barang yang bukan miliknya itu, maka Ratu menjatuhkan hukuman memotong
kaki sang pangeran.
Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi Kalingga sehingga
membuat Raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum sekaligus penasaran. Masa-masa
itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apapun. Agama Budha juga
berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Shima juga sering
disebut Di Hyang (tempat bersatunya dua kepercayaan Hindu Budha). Dalam hal bercocok
tanam Ratu Shima juga mengadopsi sistem pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia
merancang sistem pengairan yang diberi nama Subak. Kebudayaan baru ini yang kemudian
melahirkan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan
cara bertani atau bercocok tanam. Kerajaan Kalingga beratus tahun yang lalu bersinar terang
emas penuh kejayaan. Memiliki Maharani Sang Ratu Shima nan ayu, anggun, perwira,
ketegasannya semerbak wangi di banyak negeri. Pamor Ratu Shima dalam memimpin
kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan.
Bahkan konon tak ada satu warga anggota kerajaan pun yang berani berhadap muka
dengannya, apalagi menantang. Situasi ini justru membuat Ratu Shima amat resah dengan
kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan
menteri, hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, tak ada yang berani menentang sabda
pandita ratunya.

C. PENINGGALAN SEJARAH MASA RATU SHIMA


1. Candi Angin
Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kec. Keling, Jepara, Jawa Tengah.
Dinamakan candi angin adalah karena candi ini berdiri di atas daerah yang cukup tinggi,
kendati terpaan angin sangat kencang dari waktu ke waktu, candi ini tidak rubuh dan
justru tetap kokoh. Dari analisa karbon, diperkirakan candi angin dibangun pada masa
sebelum pembangunan Candi Borobudur. Tidak terdapatnya ornamen-ornamen Hindu
Budha membuat candi ini diperkirakan dibangun sebelum kebudayaan Hindu Budha
berbaur dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa.

Gambar 13. Candi Angin


(Sumber : https://kelasips.co.id)

2. Candi Bubrah
Candi Bubrah ditemukan di lokasi sekitar candi angin. Dinamakan candi Bubrah
karena pada saat ditemukan, kondisi candi ini sudah luluh lantah (Jawa : Bubrah). Dari
arsitektur dan gaya bangunannnya, candi ini diperkirakan dibuat pada sekitar abad ke 9
Masehi dengan bercorak kebudayaan Budha. Candi yang dibuat dari bahan batu andesit
ini berukuran 12 meter x 12 meter. Saat ditemukan reruntuhan yang tersisa tingginya
hanya sekitar 2 meter.

Gambar 14. Candi Bubrah


(Sumber : https://kelasips.co.id)

3. Prasasti Tukmas
Peninggalan Kerajaan Kalingga yang pertama adalah prasasti Tukmas. Prasasti ini
ditemukan di Kecamatan Grabak, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Tukmas bertuliskan
huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta lengkap dengan pahatan beberapa gambar.
Prasasti Tukmas berisi tentang kabar adanya sungai di lereng Gunung Merapi yang airnya
jernih, mirip seperti aliran sungai Gangga di India. Adapun gambar-gambar yang termuat
di dalamnya adalah gambar trisula, kapak, kendi, cakra, kelasangka, dan bunga teratai.
Gambar-gambar tersebut menjadi bukti bahwa kerajaan Kalingga memiliki hubungan erat
dengan kebudayaan Hindu dari India. Letak penemuan prasasti Tukmas yang cukup jauh
dari perkiraan ibukota kerajaan juga membuktikan bahwa cakupan wilayah kekuasaan
dari Kerajaan Kalingga cukup luas.
Gambar 15. Prasasti Tukmas
(Sumber : https://kelasips.co.id)

4. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojometro adalah prasasti peninggalan Kerajaan Kalingga yang titemukan
di wilayah Kabupaten Batang. Dinamakan Sojometro karena prasasti ini ditemukan tepat
di dusun yang bernama Sojomerto. Prasasti Sojomerto bertuliskan huruf Kawi dan
berbahasa Melayu Kuno. Dengan wujudnya ini, para ahli memperkirakan bahwa prasasti
Sojomerto dibuat pada abad ke 7 Masehi. Isi prasasti Sojomerto menceritakan tentang
kondisi keluarga kerajaan Kalinga. Salah satu tentang pendiri kerajaan yang bernama
Dapunta Sailendra. Dari nama tersebut, diperkirakan pendiri Kalingga berasal dari garis
keturunan Dinasti Sailendra, penguasa Kerajaan Mataram Kuno di masa sebelumnya .
Gambar 16. Prasasti Sojomerto
(Sumber : https://kelasips.co.id)

D. SIKAP KEPAHLAWANAN RATU SHIMA

Tak yang banyak mengenalnya. Namun sejarah selalu mencatat dengan


tinta emas bagi sang dewi kejujuran, Ratu Shima dari Kalingga. Ratu Shima memimpin sebuah
kerajaan yang disebut Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok). Kalingga adalah
kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi.
Letak pusat kerajaan ini belum jelas, namun banyak literatur menyebut kemungkinan
berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.
Sebagai penguasa tunggal di Kerajaan Kalingga, Ratu Shima dikenal memiliki peraturan yang
tegas soal pencurian. Hukum potong tangan diterapkan bagi siapa saja yang mencuri barang
milik orang lain. Hukum yang dibuat itupun berlaku untuk seluruh rakyat termasuk keluarga
kerajaan. Sebuah bentuk persamaan hak di mata hukum.
Ratu Shima mendidik dan mengajari rakyatnya agar selalu berlaku jujur. Berkat didikan
dan tegas hukum yang diterapkan, Kerajaan Kalingga terkenal seantero negeri karena
kejujurannya. Kabar kemashuran rakyat negara Kalingga yang jujur dan taat hukum didengar
seorang raja dari seberang lautan. Untuk mengujinya, raja tersebut sengaja datang ke
Kalingga. Sekantung emas lalu dia letakan di persimpangan jalan dekat pasar.
Dan ternyata benar, tak ada seorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh
apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Meski mengetahui sekantong emas
tergeletak, rakyat Kalingga tidak menjadi gelap mata. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu
disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum
menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Namun dewan menteri memohon agar Ratu
mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang
yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.
Sungguh sifat pemimpin yang langka di dunia ini. Meski hanya sedikit peninggalan
yang menggambarkan kemakmuran kerajaan Kalingga, namun sejarah mencatat, Kalingga
atau Ho-Ling adalah kerajaan yang menjunjung tinggi keadilan dan hukum. Meski perempuan,
Ratu Shima mampu menerapkan hukum dengan tegas tanpa pandang bulu. Kerajaan Kalingga
juga bukti pengakuan tentang derajat perempuan sejajar dengan laki-laki di masa silam. Ratu
Shima adalah perempuan perkasa yang mampu membuat negerinya aman, damai dan
tentram.
TOKOH MASA KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

A. BIOGRAFI SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO


Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden
Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Panembahan Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi
Dyah Banawati. Ayahnya merupakan raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah
putri Pangeran Benawa raja Pajang. Versi lain mengatakan Sultan Agung adalah
putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya
menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini
adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk
dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang
permaisuri utama. Permaisuri yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon,
melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu
Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin
(kelak menjadi Amangkurat I).

Gambar 17. Sultan Agung Hanyokrokusumo


(Sumber : https://id.wikipedia.org)

Pada awal pemerintahan, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakra-


kusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Lalu setelah menaklukkan Madura di
tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau
disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma". Setelah 1640-an ia menggunakan gelar "Sultan
Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan
gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana
Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah. Untuk mudahnya, nama yang
dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung”.

B. MASA PEMERINTAHAN SULTAN AGUNG

Raden Mas Rangsang naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
kakaknya (beda ibu), Adipati Martapura, yang menjadi Sultan Mataram dalam waktu hanya
satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan
Mataram, tetapi secara umum dianggap sebagai Sultan ketiga karena adiknya yang
menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan
Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua
tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya
digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram pada saat Sultan Agung menjabat masih berada di Kota Gede. Pada
tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota
Gede, yang mulai ditempati pada tahun 1618. Saingan besar Kerajaan Mataram saat
itu Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan
sekutu Surabaya, yakni Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani
dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji
Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibu kota
Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas.
Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim
pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak
Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian
pada tahun 1617 Pajang memberontak tetapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya
(bernama Ki Tambak baya) melarikan diri ke Surabaya. Pada tahun 1620 pasukan Mataram
mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan
suplai air, tetapi kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk
menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru
Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang
semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran
Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Gambar 17. Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo
(Sumber : https://id.wikipedia.org)

Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena
suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada
tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran
Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun
Oneng. Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara
putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi
bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat
menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah
penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu
Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas dengan biaya yang sangat
mahal.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada
tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut
melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan
VOC. Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang
belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun
dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai
berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram
menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung
Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih
dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran
tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa,
bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran
Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar
terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang
perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada
bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa
dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan
sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya.
Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan
kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras
di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun
kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan
mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda
Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia
mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama
menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari
posisi Portugis saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah
bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan
para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630.
Lalu, Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia
berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang pada tahun 1632. Pemberontakan-
pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak
mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan
Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan
penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah
dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri
Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan
Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk
menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali,
negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640. Dalam masa Sultan Agung,
seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram,
kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Wilayah luar Jawa yang berhasil
ditundukkan
adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat
di Sulawesi  itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak
hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, tetapi melalui kebudayaan rakyat
yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan,
sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung menaruh
perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di
pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu
Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa
bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan
kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara
penghuni istana. Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram
menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat
halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun
membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan
Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan
hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia
tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram
selanjutnya, yang mana bergelar Amangkurat I.

C. PENINGGALAN MASA KERAJAAN MATARAN ISLAM


Peninggalan kerajaan ini meninggalkan berbagai  macam yaitu sebagai berikut
(https://www.gurupendidikan.co.id/) :
1. Sastra Ghending karya dari Sultan Agung,
2. Tahun Saka,
3. Kerajinan Perak,
4. Kalang Obong, yang merupakan tradisi kematian orang kalang, yakni dengan
membakar peninggalan orang yang meninggal.
5. Kue kipo yang merupakan makanan khas masyarakat kotagede, makanan ini telah ada
sejak jaman kerajaan.
6. Pertapaan Kembang Lampir yang merupakan tempat Ki Ageng Pemanahan pernah
bertapa untuk mendapatkan wahyu kerajaan Mataram
7. Segara Wana serta Syuh Brata yang merupakan meriam- meriam yang diberikan oleh
Belanda atas perjanjiannya dengan kerjaan Mataram saat kepemimpinan Sultan
Agung.
8. Puing – puing candi Hindu dan Budha di aliran Sungai Opak serta aliran sungai Progo
9. Batu Datar yang berada di Lipura letaknya tidak jauh di barat daya kota Yogyakarta
10. Pakaian Kiai Gundil atau yang lebih dikenal dengan Kiai Antakusuma
11. Masjid Agung Negara yang dibangun pada tahun 1763 oleh PB III.
12. Masjid Jami Pakuncen yang didirikan oleh sunan Amangkurat I
13. Gapura Makam Kota Gede, yang merupakan perpaduan dari corak hindu dan islam.
14. Masjid yang berada di Makam Kota Gede.
15. Bangsal Duda dan Rumah Kalang
16. Pasar Kota Gede
17. Makam dari Raja- Raja Mataram yang berlokasi di Imogiri
Gambar 18. Masjid Agung Kota Gede, Yogyakarta dibangun pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo
(Sumber : https://id.salamadian.com)

Gambar 19. Masjid Agung Kauman, Yogyakarta dibangun pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo
(Sumber : https://id.salamadian.com)

Gambar 20. Kompleks Makam Raja Imogiri, Yogyakarta


(Sumber : https://id.salamadian.com)
Gambar 21. Sastra Gendhingg beraksara Jawa, karya Sultan Agung
(Sumber : https://id.salamadian.com)

Gambar 22. Rumah Kalang, karya Sultan Agung


(Sumber : https://id.salamadian.com)

D. SIKAP KEPAHLAWANAN SULTAN AGUNG


Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung
antara lain mempersatukan seluruh tanah Jawa dan mengusir kekuasaan asing dari bumi
Nusantara.
Gambar 23. Sultan Agung Memeriksa kesiapan perang prajuritnya
(Sumber : https:// kelasips.co.id)

Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan
kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami
kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena
itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan
Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1. Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,
2. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram,
3. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke
Malaka,
4. Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau
Jawa.
Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan
perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai
pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal 22 Agustus
1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.
Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha
menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan.
Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain
berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati
Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati
Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah
pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat.
Gambar 24. Suasana perang antara Kerajaan Mataran dengan VOC Belanda di Batavia
(Sumber : https:// kelasips.co.id)

Keberhasilan Mataram dapat dibalas oleh VOC. VOC mengalahkan Mataram dengan
meng-hancurkan lumbung-lumbung padi di Cirebon dan Tegal dengan cara dibakar.
Akibatnya, pasukan Mataram yang menyerang VOC kesulitan pangan. Selain itu jarak antara
Yogyakarta dengan Batavia, kalahnya persenjataan, dan penyakit malaria menjadi alasan
kekalahan Mataram dalam menghadapi VOC. Kegagalan yang kedua kalinya ini tidak
membuat Sultan Agung, malah membuat Sultan Agung mempunyai keinginan membuat
penyerangan yang ketiga. Namun, hal tersebut tidak terwujud karena tahun 1645 Sultan
Agung meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai