Kliping Sejarah Bangsa
Kliping Sejarah Bangsa
Kliping Sejarah Bangsa
Oleh :
QUEENSYAH NAJWA AURUM MARYAM
Kelas 4B
1. Candi Sukuh
2. Candi Cetho
Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,
Karanganyar, Jawa Tengah. Menurut perkiraan sejarawan, Candi Cetho ini berasal dari
akhir keruntuhan Kerajaan Majapahit di sekitar abad ke-15 Masehi dan candi ini baru
ditemukan pada tahun 1842 karena tulisan dari seorang arkeolog Belanda yakni Van de
Vlies. Candi Cetho di-bangun dengan menggunakan corak Hindu yang seringkali dipakai
warga serta peziarah Hindu untuk tempat pemujaan. Tempat ini juga sering dijadikan
tempat untuk bertapa untuk masyarakat Kejawen asli Jawa. Penggalian pertama dilakukan
pada tahun 1928 untuk rekonstruksi oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda dan dari
penelitian ditemukan jika usia candi tersebut hampir sama dengan Candi Sukuh yang
lokasinya tidak jauh dari candi ini, akan tetapi terdapat perbedaan sebab candi ini dibuat
di kompleks yang berundak. Secara keseluruhan, Candi Cetho ini mempunyai 13 buah
teras dan juga banyak anak tangga yang juga dilengkapi dengan banyak archa serta
punden di sepanjang tangga tersebut. Diatas candi ini terdapat Puri yang disebut dengan
Puri Saraswati.
Candi Cetho ini ditemukan dalam keadaan reruntuhan dengan 14 teras atau
punden bertingkat dengan bentuk memanjang dari barat menuju ke timur dan sekarang
hanya tersisa 13 teras saja. Pemugaran sudah dilakukan pada kesembilan buah teras dan
struktur teras yang berundak ini diduga merupakan kultur asli Nusantara Hinduisme yang
semakin diperkuat dengan aspek ikonografi. Relief yang terdapat pada candi ini berbentuk
tubuh manusia seperti wayang kulit dengan muka menghadap samping namun tubuh
yang menghadap ke ara depan. Pemugaran juga dilakukan di akhir tahun 1970 yang
dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi dari Suharto dan ia mengubah
begitu banyak struktur dari candi tersebut.
Pemugaran ini kemudian banyak mendapatkan kritikan dari pada arkeolog sebab
pemugaran pada situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa dipelajari dengan
mendalam, selain itu ada beberapa objek hasil dari pemugaran yang sudah dianggap tidak
asli yakni gapura mewah dan megah di bagian depan kompleks, bangunan kayu tempat
bertapa, patung yang dinisbatkan sebagai Brawijaya V, Sabdapalon, Nayagenggong dan
phallussera kubus di puncak punden.
3. Candi Pari
Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Menurut perkiraan, Candi ini dibangun saat masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk
tahun 1350 sampai dengan 1389 Masehi. Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut
semburan pusat lumpur panas Lapindo Brantas. Candi Pari ini juga dibangun dengan batu
bata berbentuk persegi empat seperti pura yang ada di Bali dan candi ini dibangun
menghadap ke arah Barat.
Diperkirakan, Candi Pari ini dibangun pada tahun 1371 Masehi dan dari J. Knebel
yang ditulis dalam laporannya, Candi Pari dan juga Candi Sumur, dibangun untuk
mengenang sekaligus memperingati hilangnya adik angkat dan juga seorang sahabat dari
salah satu putra Prabu Brawijaya yang menolak untuk tinggal di Keraton Kerajaan
Majapahit. Di atas pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua, dan apabila dilihat dari
arsitektur sangat dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan dari Vietnam. Ini
bisa terjadi karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan Vietnam dan disaat
yang bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian orang mengungsi
ke Jawa Timur.
4. Candi Jabung
Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Candi ini terbuat dari bata merah yang disusun yang masih bertahan setelah sekian tahun.
Di saat lawatan berkeliling Jawa Timur tahun 1359, Raja Hayam Wuruk dikatakan pernah
singgah pada Candi Jabung tersebut. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit dengan bercorak bangunan Hindu.
Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah berukuran 35 meter x 40
meter dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987, sehingga penataan
lingkungan bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan
laut. Candi Jabung memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang
umumnya disebut dengan Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata
merah kualitas bagus lengkap dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki
panjang 13.13 meter, lebar 9.60 meter dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap
ke arah Barat dan pada bagian sisi barat agak menjorok ke depan yang merupakan bekas
susunan tangga memasuki candi. Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi
kecil yang berguna sebagai pelengkap Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan
material batu bata dengan ukuran 2.55 meter serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi
Jabung terdiri dari bagian batur, kaki, tubuh dan juga atap dengan bentuk tubuh bulat
yang berdiri diatas kaki candi bertingkat 3 bentuk persegi. Sementara bagian atapnya
berbentuk stupa namun sudah runtuh di bagian puncak dan pada atap tersebut dilengkapi
dengan motif suluran. Pada bagian bilik candi ada lapik arca yang berdasarkan dari
inskripsi pada gawang pintu masuk Candi Jabung didirikan pada tahun 1276 Saka atau
1354 Masehi.
5. Candi Brahu
Candi Brahu terletak di kawasan situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente,
Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat oleh Mpu
Sendok dan berguna sebagai tempat pembakaran jenazah dari raja-raja Majapahit. Nama
Brahu ini menurut perkiraan berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang didapatkan dari
sebutan bangunan suci dan terdapat pada prasasti Alas Antan, Prasasti tersebut
ditemukan pada lokasi yang tidak jauh dari candi tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan
memakai batu bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian
mencapai 20 meter. Candi Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi,
meski banyak ahli yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Sebagian
ahli mengatakan jika candi ini berusia lebih tua dibandingkan dengan candi lain yang ada
di Komplek Trowulan. Di dalam Prasasti, Candi Brahu disebut sebagai tempat pembakaran
jenazah para raja-raja Majapahit, akan tetapi pada penelitian yang sudah dilakukan tidak
bisa ditemukan bekas abu dari mayat pada candi tersebut. Struktur bangunan Candi
Brahu menggunakan batu bata merah menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5
meter, lebar 18 meter dan tinggi 20 meter yang memakai kultur Buddha. Pada prasasti
yang ditulis oleh Mpu Sendok 9 September 939, candi ini adalah tempat pembakaran
jenazah raja-raja Majapahit. Ada banyak candi berukuran kecil di sekeliling Candi Brahu ini
akan tetapi sudah runtuh dan hanya tertinggal sisa reruntuhannya saja yakni Candi
Gedung, Candi Muteran, Candi Tengah dan juga Candi Gentong. Saat dilakukan
penggalian, banyak ditemuka benda kuno seperti alat upacara keagamaan yang terbuat
dari logam, arca, perhiasan emas dan benda lainnya.
6. Candi Tikus
Candi Tikus berada di situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa
Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini masih terdapat di dalam
bawah tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun 1914 dan dilakukan
pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini mendapat nama candi tikus
sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan tersebut menjadi sarang
tikus. Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun Candi Tikus ini, akan
tetapi dengan adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan dibangun pada abad ke-13
sampai ke-14 Masehi sebab miniatur menara merupakan ciri khas bangunan pada abad
tersebut.
Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeolog
berbeda pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat
pemandian keluarga kerajaan dan lainnya berpendapat jika bangunan ini adalah tempat
menampung air untuk keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena adanya
menara, maka beberapa ahli juga menduga tempat tersebut adalah tempat pemujaan.
Pada bagian kiri dan kanan tangga ada sebuah kolam berbentuk segi empat berukuran 3.5
meter x 2 meter serta kedalaman mencapai 1.5 meter, sedangkan pada dinding luar
setiap kolam ada 3 buah pancuran berbentuk teratai atau padma yang dibuat dari batu
andesit. Pada bagian anak tangga yang agak ke Selatan terdapat sebuah bagunan
berbentuk persegi empat dengan ukuran 7.65 meter x 7.65 meter dan diatas bangunan
tersebut juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 2 meter dan atap berbentuk
meru dengan puncak yang datar. Menara ini dikelilingi dengan 8 buah menara serupa
namun ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding kaki bangunan ada 17 pancuran atau
jaladwara dengan bentuk makara serta teratai.
7. Candi Surawana
Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25
km Timur Laut Kota Kediri. Candi ini memiliki nama asli Candi Wishnubhawanapura yang
dibangun pada abad ke-14 Masehi. Candi ini dibangun untuk memuliakan Bhre Wengker
yang merupakan seorang raja Kerajaan Wengker yang ada dibawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Candi ini dibangun dengan corak Hindu yang keadaannya sudha tidak utuh lagi
sekarang ini, bagian dasarnya sudah mengalami rekonstruksi sedangkan untuk bagian
badan serta atap candi sudah hancur dan tak bersisa dan hanya kaki Candi dengan tinggi 3
meter saja yang masih berdiri dengan tegak. Struktur Bangunan Candi Surawana
berukuran 8 meter x 8 meter yang dibangun dengan material batu andesit dan
merupakan candi Siwa. Semua bagian tubuh candi ini sekarang sudah hancur dan hanay
tertinggal kaki candi dengan tinggi 3 meter, untuk naik ke selasar atas kaki candi ada
sebuah tangga berukuran sempit yang ada di bagian Barat.
2. Candi Bubrah
Candi Bubrah ditemukan di lokasi sekitar candi angin. Dinamakan candi Bubrah
karena pada saat ditemukan, kondisi candi ini sudah luluh lantah (Jawa : Bubrah). Dari
arsitektur dan gaya bangunannnya, candi ini diperkirakan dibuat pada sekitar abad ke 9
Masehi dengan bercorak kebudayaan Budha. Candi yang dibuat dari bahan batu andesit
ini berukuran 12 meter x 12 meter. Saat ditemukan reruntuhan yang tersisa tingginya
hanya sekitar 2 meter.
3. Prasasti Tukmas
Peninggalan Kerajaan Kalingga yang pertama adalah prasasti Tukmas. Prasasti ini
ditemukan di Kecamatan Grabak, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Tukmas bertuliskan
huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta lengkap dengan pahatan beberapa gambar.
Prasasti Tukmas berisi tentang kabar adanya sungai di lereng Gunung Merapi yang airnya
jernih, mirip seperti aliran sungai Gangga di India. Adapun gambar-gambar yang termuat
di dalamnya adalah gambar trisula, kapak, kendi, cakra, kelasangka, dan bunga teratai.
Gambar-gambar tersebut menjadi bukti bahwa kerajaan Kalingga memiliki hubungan erat
dengan kebudayaan Hindu dari India. Letak penemuan prasasti Tukmas yang cukup jauh
dari perkiraan ibukota kerajaan juga membuktikan bahwa cakupan wilayah kekuasaan
dari Kerajaan Kalingga cukup luas.
Gambar 15. Prasasti Tukmas
(Sumber : https://kelasips.co.id)
4. Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojometro adalah prasasti peninggalan Kerajaan Kalingga yang titemukan
di wilayah Kabupaten Batang. Dinamakan Sojometro karena prasasti ini ditemukan tepat
di dusun yang bernama Sojomerto. Prasasti Sojomerto bertuliskan huruf Kawi dan
berbahasa Melayu Kuno. Dengan wujudnya ini, para ahli memperkirakan bahwa prasasti
Sojomerto dibuat pada abad ke 7 Masehi. Isi prasasti Sojomerto menceritakan tentang
kondisi keluarga kerajaan Kalinga. Salah satu tentang pendiri kerajaan yang bernama
Dapunta Sailendra. Dari nama tersebut, diperkirakan pendiri Kalingga berasal dari garis
keturunan Dinasti Sailendra, penguasa Kerajaan Mataram Kuno di masa sebelumnya .
Gambar 16. Prasasti Sojomerto
(Sumber : https://kelasips.co.id)
Raden Mas Rangsang naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
kakaknya (beda ibu), Adipati Martapura, yang menjadi Sultan Mataram dalam waktu hanya
satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan
Mataram, tetapi secara umum dianggap sebagai Sultan ketiga karena adiknya yang
menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan
Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua
tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya
digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram pada saat Sultan Agung menjabat masih berada di Kota Gede. Pada
tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota
Gede, yang mulai ditempati pada tahun 1618. Saingan besar Kerajaan Mataram saat
itu Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan
sekutu Surabaya, yakni Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani
dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji
Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibu kota
Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas.
Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim
pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak
Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian
pada tahun 1617 Pajang memberontak tetapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya
(bernama Ki Tambak baya) melarikan diri ke Surabaya. Pada tahun 1620 pasukan Mataram
mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan
suplai air, tetapi kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk
menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru
Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang
semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran
Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Gambar 17. Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo
(Sumber : https://id.wikipedia.org)
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena
suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada
tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran
Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun
Oneng. Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara
putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi
bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat
menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah
penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu
Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas dengan biaya yang sangat
mahal.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk
mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada
tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut
melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan
VOC. Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang
belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun
dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai
berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling
mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram
menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung
Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih
dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk
menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran
tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa,
bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran
Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar
terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang
perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada
bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa
dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan
sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya.
Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan
kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras
di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun
kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan
mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda
Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia
mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama
menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari
posisi Portugis saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah
bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan
para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630.
Lalu, Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia
berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang pada tahun 1632. Pemberontakan-
pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak
mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan
Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan
penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah
dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri
Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan
Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk
menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali,
negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640. Dalam masa Sultan Agung,
seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram,
kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Wilayah luar Jawa yang berhasil
ditundukkan
adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat
di Sulawesi itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak
hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, tetapi melalui kebudayaan rakyat
yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan,
sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung menaruh
perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di
pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu
Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa
bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan
kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara
penghuni istana. Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram
menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat
halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun
membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan
Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan
hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia
tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram
selanjutnya, yang mana bergelar Amangkurat I.
Gambar 19. Masjid Agung Kauman, Yogyakarta dibangun pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo
(Sumber : https://id.salamadian.com)
Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan
kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami
kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena
itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan
Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1. Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,
2. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram,
3. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke
Malaka,
4. Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau
Jawa.
Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan
perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai
pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal 22 Agustus
1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia.
Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha
menghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan.
Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain
berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati
Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati
Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah
pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat.
Gambar 24. Suasana perang antara Kerajaan Mataran dengan VOC Belanda di Batavia
(Sumber : https:// kelasips.co.id)
Keberhasilan Mataram dapat dibalas oleh VOC. VOC mengalahkan Mataram dengan
meng-hancurkan lumbung-lumbung padi di Cirebon dan Tegal dengan cara dibakar.
Akibatnya, pasukan Mataram yang menyerang VOC kesulitan pangan. Selain itu jarak antara
Yogyakarta dengan Batavia, kalahnya persenjataan, dan penyakit malaria menjadi alasan
kekalahan Mataram dalam menghadapi VOC. Kegagalan yang kedua kalinya ini tidak
membuat Sultan Agung, malah membuat Sultan Agung mempunyai keinginan membuat
penyerangan yang ketiga. Namun, hal tersebut tidak terwujud karena tahun 1645 Sultan
Agung meninggal dunia.