Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI

DI RUANG WIJAYA KUSUMA ATAS


RSUD KARDINAH KOTA TEGAL

Oleh :

RAMADANNI
200104073

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
2021
Laporan Pendahuluan
Epilepsi

1. Defenisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2017).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-
sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2015).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan sejak abad ke-
19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu mendadak dan sangat cepat (ginsberg, 2015)
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit serebral
kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik lokal pada substansia
grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.

2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering
terjadi pada:
a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum
b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e) Tumor otak
f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2017).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama ialah


epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi
pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam
klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari
kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan
prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi
neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai
berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan
pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik terjadi
pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan
pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat
terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36
bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya
bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam
waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan
pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil
muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas
berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan
zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera
menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput
otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh
darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi dengan
sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak
dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2016)
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap
normal
Dengan gejala motorik:
 Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh
saja
 Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
 Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
 Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
 Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan
yang disertai vertigo).
 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
 Visual: terlihat cahaya
 Auditoris: terdengar sesuatu
 Olfaktoris: terhidu sesuatu
 Gustatoris: terkecap sesuatu
 Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,


pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)


 Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat.
 Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
 Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
 Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.

b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.
 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak


permulaan kesadaran.
 Hanya dengan penurunan kesadaran
 Dengan automatisme

c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,


tonik, klonik).
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Epilepsi kejang umum


a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila
diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
 Hanya penurunan kesadaran
 Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
 Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
 Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan
menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
 Dengan automatisme
 Dengan komponen autonom.

Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:
 Gangguan tonus yang lebih jelas.
 Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama
sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.

Kejang tonik- klonik


Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-
tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-
otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini
terutama sekali dijumpai pada anak.

3. Epilepsi kejang tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih
(depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat
selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel

lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx ke

intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam
membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami
deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas
kejang. Faktor presdiposisi
Pathway
Trauma lahir, aspixya neonatrum, cedera kepala, penyakit infeksi,
keracunan dan masalah-masalah sirkulasi gangguan metabolisme

Gangguan pada neuron atau sel-sel


syaraf
Pelepasan energi elektrokimia

Lepasnya muatan listrik yang berlebih di neuron syaraf pusat

Pelepasan impuls abnormal secara mendadak dan berlebihan di otak

Ketidakseimbangan impuls

Penurunan kesadaran Gerakan fisik yang tidak teratur

Kejang

Epilepsi

Parsial Umum

Sederha Kompleks Absen Miokonik Tonik-klonik Atonik

Kesadaran Aktivitas otot

Gangguan Penurunan aktivasi Kebutuhan O2 naik Hiperaktivitas


peredaran darah silia kogmnitif, sensorik,
Dispnea otonom, kognitifdan
Penurunan CO Produksi sekret
emosi psikososial
MK : Pola napas tidak
Meningkatkan
Obstruksi jalan napas efektif
Permebialitas kapiler kerja hipotalamus
menurun
MK : Bersihan jalan MK : Gangguan
5. Manifestasi Klinik
MK : Risiko perfusi napas tidak efektif pola tidur
a.  Kehilangan kesadaran
serebral tidak efektif
b. Aktivitas motorik
1) Tonik klonik
2)  Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3)  Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4) Kedipan kelopak mata
5) Sentakan wajah
6) Bibir mengecap – ecap
7) Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1) Takipnea
2) Apnea
3) Kesulitan bernafas
4) Jalan nafas tersumbat (Tucker, 2014 : 432 )    

Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi yang


dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat serangan,
penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak
mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang
pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua
lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya
terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak
dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang
diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan
listrik.

6. pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik
yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
 mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 menilai fungsi hati dan ginjal
 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

 Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada dan dapat

berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang


 Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
 Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas
kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan
pengobatan
 Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
 Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang teurapetik
 Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan
 Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
 DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan metabolik
( Dongoes, 2012 : 202 )

8. Penatalaksanaan
a. Atasi penyebab dari kejang
b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam seseorang
 Anti konvulson
  Sedatif
 Barbirorat
( Elizabeth, 2013 : 174 )

Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi


 fenitoin (difenilhidantoin)
 karbamazepin
 fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang
dicapai, yakni:
 Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
 Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang
normal.
 Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
d. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam
atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan
sampai menutupi jalan pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg
biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan
aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan
anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang
dan biarkan penderita beristirahat.
g) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang
lembut
h) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu banyak
disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu
tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara
bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
10. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis
epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah
dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau
melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan
pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi
mental mempunyai prognosis relatif jelek.

11. Pengkajian
a. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan
tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek
epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan
kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman
kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.

2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien sering
mangalami kejang.

3. Riwayat penyakit sekarang


Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan,
mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam,
anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan. nyeri
tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan  keadaan 
penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.

5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.


Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam
riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat
natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena
mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post
natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah kelahariran dan pertumbuhan
dan perkembanagannya.

6. Riwayat penyakit keluarga


Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit
yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada
yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar
monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi
tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a) Selama serangan :
 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang
tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
 Apakah pasien menggigit lidah.
 Apakah mulut berbuih.
 Apakah ada inkontinen urin.
 Apakah bibir atau muka berubah warna.
 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi
atau keduanya.

b) Sesudah serangan
 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
 Apakah ada perubahan dalam gerakan.
 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan.
 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut
jantung.
 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik
maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
 Sejak kapan serangan terjadi.
 Pada usia berapa serangan pertama.
 Frekuensi serangan.
 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur,
keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan
gangguan kesadaran, kejang-kejang.
 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
 Apakah makan obat-obat tertentu
 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk

b. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Hambatan upaya napas
(kelemahan otot pernapasan).
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Spasme jalan napas
c. Resiko penurunan perfusi serebral berhubungan dengan Penurunan suplai
oksigen ke otak
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan Kurang kontrol tidur

c. Intervensi
No. Dx Tujuan Intervensi
1 Pola napas tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan napas
efektif keperawatan 2x24 jam I.01011
berhubungan diharapkan Pola napas membaik - Monitor pola napas
dengan Hambatan dengan kriteria hasil : (frekuensi, kedalaman,
upaya napas Pola Napas L.01004 usaha napas).
(kelemahan otot KRITERIA EKSPEKTASI - Monitor bunyi napas
pernapasan) HASIL tambahan
1.Dispnea Membaik - Posisikan semi-fowler
2.Penggunaan Membaik atau fowler
otot bantu - Berikan oksigen
napas - Anjurkan batuk efektif
3. Frekuensi Membaik - Kolaborasi pemberian
napas Membaik bronkodilator
4. Kedalaman
napas

2. Bersihan jalan Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan napas


napas tidak efektif keperawatan 2x24 jam I.01011
berhubungan diharapkan Bersihan jalan napas - Monitor pola napas
dengan Spasme Membaik dengan kriteria hasil: (frekuensi, kedalaman,
jalan napas Bersihan jalan napas L.01001 usaha napas).
KRITERIA EKSPEKTASI - Monitor bunyi napas
HASIL tambahan
1. Produksi Meningkat - Posisikan semi-fowler
sputum atau fowler
2. Dispnea Meningkat - Berikan oksigen
3. Meningkat - Anjurkan batuk efektif
Frekuensi - Kolaborasi pemberian
napas Meningkat bronkodilator
4. Pola
napas

3 Risiko penurunan Setelah dilakukan asuhan Manajemen peningkatan


perfusi serebral keperawatan 2x24 jam tekanan intrakranial I.06194
berhubungan diharapkan Perfusi serebral - Monitor tanda/gejala
dengan Penurunan Meningkat dengan kriteria hasil: peningkatan TIK
suplai oksigen ke Perfusi serebral L.02014 (Tekanan darah
otak KRITERIA EKSPEKTASI meningkat, tekanan nadi
HASIL melebar).
1. Tingkat Meningkat - Monitor status
kesadaran pernapasan
- Berikan posisi semi
fowlrer
- Kolaborasi pemberian
sedasi
- Kolaborasi pemberian
dueretik osmosis
4 Gangguan pola Setelah dilakukan asuhan Dukungan tidur I.05174
tidur berhubungan keperawatan 2x24 jam - Identifikasi pola aktivitas
dengan Kurang diharapkan Pola tidur Membaik tidur
kontrol tidur dengan kriteria hasil: - Identifikasi factor
Pola tidur L.05045 pemngganggu tidur
KRITERIA EKSPEKTASI - Batasi waktu tidur siang
HASIL - Tetapkan jadwal tidur
1. Keluhan Meningkat rutin
sulit tidur - Lakukan prosedur untuk
2. Keluhan Meningkat meningkatkan
sering kenyamanan (pengaturan
terjaga posisi, terapi akupresur)
3. Keluhan Meningkat - Jelaskan pentingnya tidur
pola tidur cukup selama sakit.
4. Keluhan Meningkat
istrhat
tidak
cukup

DAFTAR PUSTAKA
Asuhan Keperawatan Epilepsi, 2017. www.google.com
Brunner and Sudarth, 2012. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2012. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC

Aninemous. Epidemiologi Dan Diagnostik Epilepsi. 2016. Diakses dari


http://www.kesimpulan.com/2009/04/epidemiologi-dan-diagnosis-epilepsi.html,
diakses tanggal 20 Juli 2021.

Husni Muhammad. Asuhan Keperawatan Epilepsi. Diakses dari


http://rumahterapialfina.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-askep-
epilepsi.html. diakses tanggal 20 Juli 2021

Anda mungkin juga menyukai