1
Uraian Materi
2
salat wajib dalam hal cara melaksanakan. Salat Idul Fitri dilaksanakan pada pagi hari
saat hari raya Idul Fitri dan umat Islam akan beramai-ramai mengunjungi masjid atau
lapangan untuk melaksanakan salat Idul Fitri secara berjamaah. Sedangkan salat Idul
Adha adalah salat yang dilaksanakn pada Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 10
Dzulhijjah yang bertepatan dengan ibadah haji di Makkah Al-Mukarramah dan karena
itu disebut juga dengan Hari Raya Haji atau Hari Raya Qurban kerena disunahkan
berkurban bagi yang mampu.
Di antara dasar pelaksanaan salat Idain adalah firman Allah dan hadis Nabi saw.
berikut:
هاس يم ْن لي َسانييه َويَ يدهي َوالْ ُم ْؤيم ُن ي ي َ َاَّللُ َعلَْي يه َو َسله َم ق
ُ ال الْ ُم ْسل ُم َم ْن َسل َم الن صلهى ه َ اَّلل
ول هي َعن أيَِب ُهري رةَ َعن رس ي
ُ َ ْ ََْ ْ
هاس َعلَى يد َمائي يه ْم َوأ َْم َواِليي ْم ي
ُ َم ْن أَمنَهُ الن
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak (1),
Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (2).” (QS al-
Kawtsar/108: 1-2)
ي ي ي ي
ِ َْولتُكْملُواْ الْع هدةَ َولتُ َكيِّبُوا
-١٨٥- اَّللَ َعلَى َما َه َدا ُك ْم َولَ َعله ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu meng-
agungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS al-Baqarah/2: 185)
Di antara hadis Nabi adalah sebagai berikut:
.يد قَ ْب َل ا ْْلُطْبَ ية
َ صلُّو َن الْعي
َ ُ ُثُه أَبُو بَ ْك ٍر ُثُه عُ َم ُر ي-صلى هللا عليه وسلم- هِب َ ََع ين ابْ ين عُ َمَر ق
ُّ ال َكا َن الني
Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar melakukan salat
dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
عن أم عطية قالت أمران رسول هللا صلى هللا عليه و سلم أن خنرجهن يف الفطر واألضحى العواتق
واحليض وذوات اْلدور فأما احليض فيعتزلن الصالة ويشهدن اْلري ودعوة املسلمني قلت اي رسول هللا
إحداان ال يكون ِلا جلباب قال لتلبسها أختها من جلباهبا
Ummu Atiyyah berkata: Rasulullah menyuruh kami perempuan untuk keluar di
Idul Fitri dan Idul Adha, baik wanita yang baru balig maupun wanita sedang haid
dan wanita perawan. Sementara orang yang haid dipisahkan dari (tempat) salat
agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam." Saya berkata,
‘Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab." Beliau
mengatakan, "Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Salat Idain disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Sejak disyariatkan, Rasul saw.
tidak pernah meninggalkannya hingga beliau wafat, kemudian ritual serupa dilan-
jutkan para sahabat beliau. Mengenai status hukum melaskananakan salat Idain di
kalangan para ulama terjadi perbedaan. Setidaknya ada tiga pendapat yang masyhur di
kalangan ulama:
1. Salat Idain hukumnya sunah muakad. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas)
ulama.
3
2. Fardu kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya salat itu sendiri,
bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting)
dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka, jika
ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan
salat Idain itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang
terkenal di kalangan mazhab Hambali.
3. Fardu ain (kewajiban bagi tiap-tiap individu), artinya berdosa bagi siapa yang
meninggalkannya. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah serta pendapat salah
satu riwayat dari Imam Ahmad.
Para pendukung pendapat pertama berdasar pada hadis dari Thalhah bin
Ubaidillah sebagai berikut:
Seorang laki-laki penduduk Nejed datang kepada Rasulullah saw., kepalanya
telah beruban, gaung suaranya terdengar, tetapi tidak bisa difahami apa yang
dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka
Rasulullah saw. menjawab, “Salat lima waktu dalam sehari dan semalam”. Ia
bertanya lagi, “Adakah saya punya kewajiban salat lainnya? Rasulullah saw.
menjawab, “Tidak, melainkan hanya amalan sunah saja.” Beliau melanjutkan
sabdanya, “Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadan”. Ia bertanya, “Adakah
saya punya kewajiban puasa yang lainnya? Beliau menjawab, “Tidak, melainkan
hanya amalan sunah saja”. Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa
Rasulullah saw. kemudian menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya,
“Adakah saya punya kewajiban lainnya? “Rasulullah saw. menjawab, “Tidak,
kecuali hanya amalan sunah saja”. Perawi mengatakan, “Setelah itu orang ini
pergi seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan
mengurangkan ini”. (Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah saw.
bersabda, “Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)”.
Para pendukung pendapat ini (pertama) mengatakan bahwa hadis ini menunjuk-
kan bahwa selain salat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib
(fardu) ain (bukan kewajiban individual). Salat Idain termasuk ke dalam keumuman
ini, yakni bukan wajib melainkan hanya sunah saja. Pendapat ini didukung oleh
sejumlah ulama di antaranya Ibnu al-Munzir dalam “Al-Ausath IV/252”.
Sedangkan pendukung pendapat kedua berpendapat bahwa salat Idain adalah
fardu kifayah (kewajiban kolektif) dengan argumentasi bahwa salat Idain adalah salat
yang tidak diawali azan dan iqamat. Karena itu, salat ini serupa dengan salat jenazah,
padahal salat jenazah hukumnya fardu kifayah. Begitu pula salat Idain juga merupakan
syi’ar Islam. Di samping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah dalam QS al-
Kautsar/108: 2 yang artinya: “Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah
(karena Rabbmu).” Ayat ini berkaitan dengan perintah melaksanakan salat Idul Adha.
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadis
(kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama)
dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya salat Idain.
Sementara para pengikut pendapat ketiga berargumentasi dengan banyak dalil.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini. Beliau mengukuhkan dalil-
dalil yang menyatakan bahwa salat Idain adalah wajib ain (kewajiban individual).
Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan salat Idain di padang
4
pasir (tanah lapang) bersama Nabi saw. Hal ini menunjukkan bahwa salat Idain
termasuk jenis salat Jumat, bukan termasuk jenis salat-salat sunah. Nabi saw. juga
tidak pernah membiarkan salat Idain tanpa khutbah, persis seperti dalam salat Jumat.
Sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang
menugaskan seseorang untuk mengimami salat (Ied) di masjid bagi golongan kaum
muslimin yang lemah. Andaikata salat Ied itu sunah, tentu Ali tidak perlu menugaskan
seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di masjid karena jika memang
sunah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya. Akan tetapi, Ali tetap
menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di masjid. Ini berarti menunjukkan
wajib sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya.
Dalil lain ialah bahwa Nabi saw. memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke
tanah lapang) walaupun sedang haid guna menyaksikan barakahnya hari Idain dan
do’a kaum mukminin. Apabila Nabi saw. memerintahkan para wanita haid untuk
keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak salat-, apalagi bagi para wanita yang
sedang dalam keadaan suci. Hal ini seperti yang termuat dalam hadis Nabi saw.:
Nabi saw. memerintahkan kepada kami pada saat salat Id (Idul Fitri ataupun Idul
Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita
yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau
memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat salat.
5
Dari Abi Sa'id al-Khudri r.a. ia berkata, "Rasulullah saw. biasa keluar menuju
musalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang
beliau lakukan adalah salat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di
mana mereka dalam keadaan duduk di saf-saf mereka. Beliau memberi
pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka
(beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka
beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling." (HR. Bukhari, Muslim, dan
al-Nasa`i)
Al-Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim “Hadis Abu Sa’id al-Khudri di
atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa salat Id sebaiknya dilakukan di
tanah lapang dan ini lebih afdal (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah
yang dipraktikkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri.
Ibnu al-Qayyim berkata biasanya Rasulullah saw. melakukan salat dua hari raya
(hari raya Fitri dan Adha) pada tempat yang dinamakan mushalla. Beliau tidak pernah
salat hari raya di masjid kecuali hanya satu kali, yaitu ketika mereka kehujanan.
Apalagi kalau dipandang dari sudut keadaan salat hari raya itu guna dijadikan syiar
dan semarak agama, maka lebih baik dilaksanakan di tanah lapang.
Ada sebagain ulama yang berpandangan yang berbeda dengan padangan di atas.
Mereka ini berpendapat bahwa mengerjakan salat Id di mushalla (tanah lapang) adalah
sunah, karena dahulu Nabi saw. keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya,
yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi
belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Imam al-Syafi’i menyatakan
sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut,
maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan salat Id)
karena salat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi, jika tidak dapat menampung seluruh
penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan salat Id di dalam masjid.
Imam al-Syafi’i dalam hal ini memberika fatwa bahwa jika masjid di suatu
daerah luas (dapat menampung jama’ah), maka sebaiknya salat di masjid dan tidak
perlu keluar, karena salat di masjid lebih utama. Dari fatwa ini, al-Hafiz Ibnu Hajar al-
Asqalani membuat kesimpulan seperti berikut: “Dari sini dapat disimpulkan, bahwa
permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat,
kerana diharapkan pada hari raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu
tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illat al-hukm) adalah agar masyarakat
berkumpul (ijtima’), maka salat Id dapat dilakukan di dalam masjid dan melakukan
salat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang".
Melaksanakan salat Id hukumnya sunah, baik di masjid maupun di lapangan.
Akan tetapi, melaksanakannya di lapangan ataupun di masjid tidak menentukan yang
lebih afdal. Salat di lapangan akan lebih afdal jika masjid tidak mampu menampung
jama’ah. Akan tetapi, menyelenggarakan salat Id lebih utama di masjid jika masjid
(termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jama’ah. Jadi, fokus utama
dalam hukum salat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan
kemenangan, kebahagiaan, dan kebersamaan. Sebab, di antara hikmah berkumpulnya
kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum mus-
limin, untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan, untuk menyatakan
6
fenomena kegembiraan pada hari raya, untuk menyatakan salah satu bentuk rasa
syukur kepada Allah swt.
Adapun penduduk Makkah maka sejak masa silam salat Id selalu dilakukan di
Masjidil Haram. Lebih mengutamakan dilakukan di dalam Masjidil Haram karena
mulianya tempat dan dapat melihat Ka’bah. Itu merupakan di antara syiar agama yang
paling besar.
2. Pelaksanaan Salat Idain
a. Dilaksanakan dua rakaat, tidak ada salat sunah qabliyah Id dan ba’diyah Id.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم خرج يوم أضحى أو فطر فصلى ركعتني مل يصل: عن ابن عباس
قبلهما وال بعدمها
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw. keluar pada hari Idul Adha atau
Idul Fitri, lalu mengerjakan salat id dua rakaat, beliau tidak mengerjakan salat
qabliyah maupun ba’diyah Id. (HR. Muslim).
b. Tanpa azan, iqamah, dan tanpa ucapan “ash-shalaatu jami’ah”
Ketentuan ini didasarkan ada hadis Rasul saw.
صليت مع رسول هللا صلى هللا عليه سلم العيدين غري مرة وال مرتني بغري أذان:عن جابر بن مسرة قال
وال إقامة
Aku pernah melaksanakan salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah
saw. bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada azan dan iqamah. (HR.
Muslim).
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi saw. sampai ke tempat salat, beliau pun
mengerjakan salat Id tanpa ada azan dan iqamah. Juga ketika itu untuk menyeru
jama’ah tidak ada ucapan “Ash-shalaatu Jami’ah”.
7
2. Berhias dengan Memakai Pakaian Bagus dan Wangi-wangian
Orang yang menghadiri salat Id, baik laki-laki maupun perempuan dituntunkan
agar berpenampilan rapi, yaitu dengan berhias, memakai pakaian bagus (tidak harus
mahal, yang penting rapi dan bersih) dan wangi-wangian sewajarnya. Hal ini sesuai
dengan perbuatan Rasul saw. yang diriwayatkan dari Ja’far.
أن النيب صلى هللا عليه و سلم كان يلبس برد حّبة يف: جعفر بن حممد عن أبيه عن جده
كل عيد
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, bahwa
Nabi saw. selalu memakai wool (burda) bercorak (buatan Yaman) pada setiap Id
(HR. al-Syafi’i)
Dalam hadis yang lain di disebutkan:
أمران رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يف العيدين أن نلبس أجود ما جند وأن نتطيب أبجود ما جند وأن
نضحي أبمسن ما جند البقرة عن سبعة واجلزور عن عشرة وأن نظهر التكبري وعلينا السكينة والوقار
Diriwayatkan dari Zaid bin al-Hasan mengatakan, “Kami diperintahkan oleh
Rasulullah saw. pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) untuk memakai
pakaian kami terbaik yang ada, memakai wangi-wangian terbaik yang ada, dan
menyembelih binatang kurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan
unta untuk sepuluh orang) dan supaya kami menampakkan keagungan Allah,
ketenangan dan kekhidmatan.” (HR. Al-Hakim).
3. Makan Sebelum Berangkat Salat Idul Fitri dan Berpuasa sebelum Salat Idul
Adha
Ketentuan ini didasarkan pada hadis Rasul sa. berikut:
الَ يَغْ ُدو يَ ْوَم الْ يفطْ ير َح هَّت-صلى هللا عليه وسلم- اَّللي ول ه ُ ال َكا َن َر ُس َ َاَّللي بْ ُن بَُريْ َدةَ َع ْن أَبي ييه ق
عن َعْبد ه
ْ َض َحى َح هَّت يَ ْريج َع فَيَأْ ُك َل يم ْن أ
ُض يحيهتي يه ْ ََيْ ُك َل َوالَ ََيْ ُك ُل يَ ْوَم األ
كان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ال يغدو يوم الفطر حَّت َيكل مترات: عن أنس قال
Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata bahwa
Rasulullah saw. tidak pergi ke salat Idul Fitri sebelum beliau makan dan tidak
makan pada hari Idul Adha hingga kembali (dari salat) lalu makan dari hean
kurbannya. (HR. Ahmad).
4. Dianjurkan Berangkat dengan Berjalan Kaki dan Pulang Melalui Jalan
Lain
Rasulullah saw. bersabda:
َكا َن ََيْتيى-صلى هللا عليه وسلم- اَّللي
ول ه َ اَّللي بْ ين أ يَِب َرافي ٍع َع ْن أَبي ييه َع ْن َج ِيدهي أَ هن َر ُس
َع ْن ُحمَ هم يد بْ ين عُبَ ْي يد ه
اشيًا ويرجع يف غري الطريق الذي ابتدأ فيه يد م ي ي
َ َ الْع
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya dari
kakeknya, bahwasanya Nabi saw. mendatangi salat Id dengan berjalan kaki dan
beliau pulang melalui jalan lain dari yang dilaluinya ketika pergi. (HR. Ibnu
Majah).
8
5. Pelaksanaan Salat Id Dihadiri oleh Semua Umat Islam
Idul Fitri dan Adha merupakan peristiwa penting dan hari besar Islam yang
penuh berkah dan kegembiraan. Oleh karena itu, pelaksanaan salat ini dihadiri oleh
semua orang muslim, baik tua, muda, dewasa, anak-anak, dan laki-laki maupun
perempuan. Bahkan, perempuan yang sedang haid juga diperintahkan oleh Nabi saw.
supaya hadir, hanya saja mereka tidak ikut salat dan tidak masuk ke dalam saf salat,
namun ikut mendengarkan pesan-pesan Id yang disampaikan oleh khatib.
عن أم عطية قالت أمران رسول هللا صلى هللا عليه و سلم أن خنرجهن يف الفطر واألضحى العواتق
واحليض وذوات اْلدور فأما احليض فيعتزلن الصالة ويشهدن اْلري ودعوة املسلمني
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah ia berkata, “Rasulullah saw.
memerintahkan kami untuk menyertakan pada Idil Fitri dan Adha gadis remaja,
wanita yang sedang haid, dan wanita pingitan. Adapun wanit yan sedang haid
supaya tidak memasuki lapangan tempat salat, tetapi menyaksikan kebaikan hari
raya dan dakwah yang disampaikan khatib bersama kaum muslimin.” (HR.
Muslim).
9
Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata, Nabi saw.
bersabda, “Takbir dalam salat Idul Fitri adalah tujuh kali pada rakaat pertama
dan lima kali pada rakaat kedua. Sedangkan bacaan al-Fatihah (dan surat) adalah
setelah takbir dalam kedua rakaat tersebut.” (HR. Abu Daud, al-Tirmizi)
Pada tiap-tiap takbir boleh mengangkat tangan sebagaimana yang dicontohkan
dalam hadis. Di antara takbir-takbir itu dianjurkan membaca tasbih.
اَّللي بكْرةً وأ ي
َص ًيال يي ي ي
َ َ ُ هللا أكّب َكبريًا َوا ْحلَ ْم ُد هَّلل َكثريًا َو ُسبْ َحا َن ه
Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian
yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang. Atau boleh juga
membaca:
يي ي ي ي
ُُسْب َحا َن هللا َواحلَ ْم ُد َّلل َوَال إلَهَ إهال هللاُ َوهللاُ أَ ْك َّب
Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah maha
besar.”
3. Seusai takbir, imam membaca al-Fatihah kemudian membaca surat dari al-
Qur’an.
Beberapa hadis menginformasikan surah-surah yang biasa dibaca dalam salat Id,
di antaranya surat QS al-A’laa pada rakaat pertama dan surat al-Ghasiyah pada rakaat
kedua. Jika hari ‘Id jatuh pada hari Jumat, dianjurkan pula membaca surat al- A’laa
pada rakaat pertama dan surat al-Ghasiyah pada raka’at kedua, pada salat ‘Id maupun
salat Jumat.
أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم كان يقرأ يف األضحى والفطر يف: عن بن عباس رضي هللا عنهما
األوَل ب سبح اسم ربك األعلى ويف الثانية هل أاتك حديث الغاشية
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasul saw. membaca paada salat Idul Adha
dan Fitri pada rakaat pertama “Sabbihisma rabbikal a’la” (surat al A’laa) dan
pada rakaat kedua “Hal ataka hadisul ghasiyah” (surat al-Ghasiyah).” (HR.
Muslim)
Setelah itu, semua gerakan salat serupa dengan tata cara salat lainnya: ruku,
i’tidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, dan sujud kedua, lalu bertakbir dan
berdiri untuk rakaat kedua.
4. Pada rakaat kedua imam bertakbir sebanyak enam kali, satu kali merupakan
takbir qiyam (berdiri dari sujud), dan lima kali merupakan takbir tambahan
(takbir al- zawaid).
5. Kemudian membaca surat QS al-Fatihah dan Suarat al-Qur’an lainya.
قال رسول هللا صم التكبري يف الفطر سبع يف األََل وَخس يف أخره
Rasulullah saw. bersabda: Takbir pada hari raya sebanyak tujuh kali pada rakaat
pertama dan sebanyak lima kali pada rakaat akhir. (HR. Bukhari).
6. Dilanjutkan mengerjakan gerakan salat lainnya hingga diakhiri dengan salam
7. Setelah selesai salat idul id, imam disunahkan menyampaikan khutbah
Mazhab Hanbali, Maliki, Hanafi, dan Syafi’i sepakat mengatakan khutbah itu
hukumnya sunah. Adapun tentang letak khutbah tersebut, semua juga sependapat
10
bahwa waktunya adalah sesudah salat, berbeda dengan khutbah Jumat yang disampai-
kan sebelum salat. Hal ini mengacu pada hadis dari Ibnu Umar:
.يد قَ ْب َل ا ْْلُطْبَ ية
َ صلُّو َن الْعي
َ ُ ُثُه أَبُو بَ ْك ٍر ُثُه عُ َم ُر ي-صلى هللا عليه وسلم- هِب َ ََع ين ابْ ين عُ َمَر ق
ُّ ال َكا َن الني
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: “Nabi saw., Abu Bakar, dan Umar melakukan salat
dua hari raya sebelum khutbah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berikut ini tata cara khutbah salat Idain:
Nabi saw. dan Khulafa al-Rasyidun menyampaikan khutbah Idain dengan berdiri
tanpa menggunakan mimbar. Mimbar khutbah Idul Fitri baru pertama kali diadakan
pada zaman Gubernur Madinah, Marwan bin Hakam pada zaman Daulah Umawiyah.
Imam berdiri untuk melaksanakan khutbah Id dengan sekali khutbah. Karena
khutbah Id hanya satu, maka tidak ada duduk di antara dua khutbah). Nabi saw.
memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-
khutbah beliau yang lainnya.
كان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم َيطب الناس حيمد هللا ويثين عليه مبا هو أهله ُث: عن جابر قال
يقول من يهده هللا فال مضل له ومن يضلل فال هادي له
Diriwayatkan dari Jabir ia berkata Rasulullah saw. berkhutbah di hadapan
manusia memuji Allah dan memujinya kemudian bersabda: Siapa saja yang
mendapat petunjuk dari Allah maka tidak ada yang menyesatkannya, dan siapa
saja yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk.
(HR. Muslim).
Ada pendapat yang mengatakan khutbah Id dimulai dengan sembilan kali takbir
pada khutbah pertama dan tujuh kali takbir pada khutbah kedua. Takbir inilah yang
menjadi ciri khutbah salat Id dengan khutbah Jumat. Namun, menurut Ibnu al-Qayyim
bahwa tidak diketahui dalam satu hadis pun yang menyebutkan bahwa Nabi saw.
membuka khutbah Id dengan bacaan takbir. Namun, beliau memang sering mengu-
capkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa
beliau selalu memulai khutbah Id dengan bacaan takbir.
Kemudian diakhiri dengan doa, dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanan,
sebagaimana pada khutbah Jumat.
ط ي ْدعو علَى يمْن يّبهي ي ي ول هي َ ََع ْن َس ْه يل بْ ين َس ْع ٍد ق
َ َ ُ َ ُّ َ َشاهًرا يَ َديْه ق-صلى هللا عليه وسلم- اَّلل َ ت َر ُس ُ ْال َما َرأَي
.َش َار يابل هسبهابَية َو َع َق َد الْ ُو ْسطَى ياب يإل ْهبَ يام ُ َوالَ َعلَى َغ ْيريهي َولَكي ْن َرأَيْتُهُ يَ ُق
َ ول َه َك َذا َوأ
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’din ia berkata: Tidak pernah sama sekali aku
melihat Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya berdoa di atas mimbar
tidak pula di atas lainnya, namun aku melihat beliau mengisyaratkan telunjuknya
dan menggenggam jari tengah dan ibu jari. (HR. Abu Daud)
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa khutbah salat Id tidak hanya sekali,
tetapi dua kali. Hal ini di dasarkan pada hadis Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah
mengungkapkan:
السنة أن َيطب اإلمام يف العيدين خطبتني يفصل بينهما جبلوس
11
Sunah seorang imam berkhutbah dua kali pada salat hari raya (Idul Fitri dan Idul
Adha), dan memisahkan kedua khutbah dengan duduk.” (HR Asy-Syafi’i)
Mendengarkan khutbah Id hukumnya sunah. Jamaah salat Id boleh langsung
pulang seletah salat Id tanpa mendengarkan khutbah. Mereka lebih utama ikut mende-
ngarkan khutbah sampai selesai.
كان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم َيرج يوم الفطر واألضحى إَل املصلى:عن أِب سعيد اْلدري قال
فأول شييء يبدأ به الصالة ُث ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم فيعظهم ويوصيهم
وَيمرهم فإن كان يريد أن يقطع بعثا قطعه أو َيمر بشيء أمر به ُث ينصرف قال أبو سعيد فلم يزال الناس
على ذلك حَّت خرجت مع مروان وهو أمري املدينة يف أضحى أو الفطر فلما أتينا املصلى إذا منّب بناه
كثري بن الصلت فإذا مروان يريد أن يرقيه فبل أن يصلي فجبذت بثوبه فجبذين فارتفع فخطب قبل
الصالة فقلت له غريمت وهللا فقال أاب سعيد قد ذهب ما تعلم فقلت ما أعلم وهللا خري مما ال أعلم فقال
إن الناس مل يكونوا جيلسون لنا بعد الصالة فجعلتها قبل الصالة
Dari Abu Said al-Khudri r.a. berkata, “Rasulullah saw. keluar pada hari Idul Fitri
dan Idul Adha menuju al-mushalla (tanah lapang), dan hal yang pertama kali
beliau lakukan adalah salat Id. Setelah selesai, beliau menghadapkan wajahnya
ke arah masyarakat. Masyarakat duduk dalam saf mereka, maka beliau memberi
ceramah, memberi wasiat dan memerintahkan kebajikan kepada mereka. Jika
beliau hendak mengirim pasukan, beliau memotong sebentar khutbahnya. Jika
hendak memerintahkan sesuatu, maka beliau perintahkan dahulu baru kemudian
melanjutkan khutbahnya. Demikianlah keadaan yang berjalan, sampai datang
masa aku keluar untuk salat Idul Fitri atau Idul Adha bersama Gubernur
Madinah, Marwan bin Hakam. Ketika kami tiba di tempat salat, ternyata sudah
tersedia mimbar yang dibangun oleh Katsir bin Shalth. Marwan hendak naik ke
mimbar berkhutbah sebelum salat, maka aku menarik bajunya. Namun, ia
menghentakkan diriku lalu naik ke mimbar dan berkhutbah. Aku berkata:
“Engkau telah merubah-rubah, demi Allah.” Ia menjawab, “Wahai Abu Sa’id,
tata cara yang engkau kenal sudah berlalu.” Aku menjawab, “Tata cara yang aku
kenal, demi Allah, lebih baik daripada tata cara yang tidak aku kenal.” Ia berkata:
“Masyarakat tidak mau duduk mendengarkan khutbah kami (bani Umayyah)
setelah salat Id, maka kami merubah khutbah menjadi sebelum salat (agar
masyarakat terpaksa mendengar khutbah kami).” (HR. Bukhari dan Muslim)
12
Dari Anas dia berkata, “Rasulullah saw. tiba di Madinah, sedangkan penduduk-
nya memiliki dua hari khusus yang mereka rayakan dengan permainan, maka
beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” Mereka menjawab, “Kami
biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih Jahiliyah.” Maka
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk
kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Idul
Adha) dan hari raya Idul Fitri. (HR. Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad, dan Ibnu
Hibban).
Kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan dengan dua rukun
Islam yakni: puasa Ramadan dan haji ke Baitullah di tanah suci Mekkah. Dengan
demikian, Idul Fitri– sebagaimana Idul Adha –merupakan salah satu di antara hari-
hari dan syiar-syiar Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh
rasa ibadah, pemuliaan, dan pengagungan sebagai bukti ketakwaan hati kita. Allah
Ta’ala berfirman:
اَّللي فَإي هَّنَا يمن تَ ْقوى الْ ُقلُ ي
-٣٢- وب ك َوَمن يُ َع يظِ ْم َش َعائيَر ه ي
َ َ ذَل
Begitulah, dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguh-
nya itu termasuk (bukti) ketakwaan hati.” (QS Al-Hajj/22: 32).
Nah, sebagai salah satu syiar Allah yang istimewa, tentu saja salat Idul Fitri dan
Idul Adha memiliki muatan makna dan kandungan hikmah yang banyak dan istimewa.
Pada uraian berikut kita akan mempelajari di antara hikmah salat Idul Fitri dan Idul
Adha.
1. Mengagungkan Asma Allah
Dengan melaksanakan salat Idul Fitri dan Idul Adha, kita pasti akan mengucap-
kan asma Allah berkali-kali terutama kalimat takbiratul ikhram atau mengagungkan
Allah. Dengan begitu, kita akan mendapatkan pahala dari mengagungkan dan mengu-
capkan atau berzikir atas nama Allah. Tentu bagi kita yang jarang untuk berzikir dan
mengucapkan nama Allah ini adalah kesempatan besar untuk kita kembali mengingat
Allah di hari raya besar umat Islam ini.
2. Salat Berjamaah
Salat Idul Fitri dan Idul Adha disyariatkan dilaksanakan secara berjamaah.
Untuk itu, dari pelaksanaan salat berjamaah ini akan membuat kita mendapatkan pa-
hala salat berjamaah yang besar dari Allah swt. Inilah kesempatan besar umat Islam
untuk merapatkan barisan dan mendapatkan kebersamaan lewat salat berjamaah. Di
saat salat berjamaah tentunya kita tidak akan memandang bulu, suku, jabatan, rupa,
dan hal-hal lainnya. Selagi mereka bersujud kepada Allah dan membesarkan Allah,
melaksanakan salat maka ia adalah saudara semuslim yang harus kita jaga. Selama
Ramadhan, suasana dan nuansa kebersamaan serta persatuan umat begitu kental,
begitu terasa, dan begitu indah. Mengawali puasa bersama-sama (seharusnya dan
sewajibnya), bertarawih bersama (di samping jamaah salat lima waktu juga lebih
banyak selama Ramadan), bertadarus bersama, berbuka bersama, beri’tikaf bersama,
berzakat fitrah bersama, dan beridul fitri bersama.
Oleh karena itu, kita semua patut bergembira dan bersyukur setiap kali bisa
memulai puasa Ramadan secara serempak, berbareng, dan bersama-sama, tanpa ada
13
perbedaan dan perselisihan yang berarti. Begitu pula berbahagia menyambut dan
merayakan Idul Fitri atau Idul Adha saat terjadi secara serempak di mana nuansa
kebersamaan dan persatuan terasa begitu indah. Suasana kegembiraan dan rasa
kebahagianpun tampak demikian total dan seakan sempurna. Itulah memang esensi
dan hakekat makna berhari raya dan beridul fitri.
Hikmah kebersamaan dan persatuan yang menjadi salah satu ruh ibadah
Ramadan dan esensi Idul Fitri ini, kita jaga pertahankan dan tingkatkan terus sehingga
benar-benar menjadi karakter tetap diri kita sebagai kaum mukminin yang senantiasa
bersaudara secara harmonis dan mesra, sebagaimana firman Allah swt.
-١٠- اَّللَ لَ َعله ُك ْم تُ ْر ََحُو َن
َخ َويْ ُك ْم َواته ُقوا ه إيهَّنَا الْمؤيمنو َن إيخوةٌ فَأ ي
َ ني أ
َ ْ ََصل ُحوا ب
ْ َْ ُ ُْ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat: 10).
3. Silahturahmi Sesama Muslim
Dengan salat Idul Fitri dan Idul Adha, kita juga mendapatkan kesempatan untuk
silaturahmi sesama muslim. Mungkin di bulan-bulan atau kesempatan lainnya kita
akan jarang untuk bersilahuturahmi. Saat Idul Fitri ini menjadi kesempatan bagi kita
bertemu dan bermaaf-maafan dengan kerabat terdekat kita atau tetangga.
Saat Idul Fitri dan Idul Adha inilah semua orang Islam keluar dari rumahnya dan
semuanya menyempatkan untuk bisa ikut salat berjamaah Idul Fitri di lapangan atau
masjid lingkungan sekitarnya. Untuk itu, inilah keutamaan salat Idul Fitri, dimana
Allah tidak hanya memasukkan unsur ketauhidan atau hubungan manusia dengan
Allah saja, namun juga memiliki dampak terhadap hubungan manusia dan manusia.
4. Merayakan Bersama Kemenangan Umat Islam
Dengan melaksanakan salat Idul Fitri kita juga bisa merayakan hari kemenangan
bersama dengan para umat Islam lainnya. Kita bisa merasakan kebersamaan dan
kebahagiaan dari apa yang dilakukan setelah salat Idul Fitri. Tentu kebersamaan dan
merasakan kebahagiaan bersama adalah hal yang mahal dan tidak tertandingi oleh
apapun.
Kita semua bergembira dan bersukaria saat menyambut Idul Fitri. Memang
dibenarkan bahkan disunahkan kita bergembira, berbahagia, dan bersuka cita pada hari
ini. Karena makna dari kata Id itu sendiri adalah hari raya, hari perayaan, hari yang
dirayakan. Perayaan tentu identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Rasul saw.
sendiri telah menegaskan itu dalam hadis sahihnya.
قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم كل عمل ابن آدم يضاعف احلسنة:عن أِب هريرة رضي هللا عنه قال
عشرة أمثاِلا إال سبعمائة ضعف قال هللا عز و جل إال الصوم فإنه ل وأان أجزي به يدع شهوته وطعامه
من أجلي للصائم فرحتان فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه وْللوف فيه أطيب عند هللا من ريح املسك
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap amal anak
Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh
hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman, “Selain puasa karena
puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung akan memberinya pahala.
14
Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’
Bagi orang yang berpuasa ada dua momen kegembiraan: kebahagiaan ketika ia
berbuka (baca: berhari raya Fitri), dan kegembiraan lain ketika ia bertemu
dengan Rabbnya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi
di sisi Allah daripada aroma kesturi.” (HR. Muttafaq ’alaih).
Kegembiraan yang harus kita miliki dan rasakan haruslah merupakan kegem-
biraan syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan taufik kepada kita untuk bisa
mengoptimalkan pengistimewaan Ramadan dengan amal-amal yang serba istimewa,
dalam rangka menggapai takwa yang istimewa, bukan kegembiraan lainnya seperti
yang muncul karena merasa telah lepas dari Ramadan yang disikapi sebagai bulan
beban yang serba memberatkan, mengekang dan membelenggu. Itulah kebembiraan
kita sebagai orang beriman: gembira karena ketaatan, kebaikan, dan kesalehan, bukan
gembira karena sebaliknya, karena kemaksiatan, keburukan, dan kejahatan. Hel itu
yang terjadi di zaman modern seperti sekarang ini di mana banyak orang yang justru
gembira dan bangga dengan kemaksiatan dan penyimpangannya. Dalam sebuah
riwayat hadis disebutkan bahwa:
» ك الْ ُم ْؤيم ُن ي
َ َم ْن َسهرتْهُ َح َسنَ تُهُ َو َساءَتْهُ َسِيئَ تُهُ فَ َذل
Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan
keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia orang beriman.” (HR.
Turmudzi).
5. Menunjukkan Ukhuwah Islamiah dan Kekuataan Umat Islam
Karena hukumnya yang sunah muakad, maka salat Idul Fitri dan Idul Adha ini
membuat orang-orang Islam akan terdorong untuk melaksanakannnya. Pengertian
ukhuwah Islamiyah, insaniyah, dan wathaniyah tentunya sangat penting untuk dipaha-
mi dan dilakukan oleh umat Islam. Untuk itu, dengan berkumpulknya umat Islam
bersama maka akan berefek kepada ukhuwah islamiah yang terbentuk. Hal ini juga
akan sekaligus menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang besar dan padu.
Hendaknya juga menjadi motivasi bagi para umat Islam agar saling membantu dalam
kebaikan dan juga memberikan dorongan agar memajukan islam bersama.
6. Saling Berbagi Rizki
Pada hari raya Idul Adha umat Islam disyariatkan untuk melaksanakan salat Idul
Adha dan melakukan penyembelihan hewan kurban. Hari raya Idul Adha ini menjadi
hari kebahagiaan bagi seluruh umat Islam di dunia, karena di sini kita akan saling
membagikan rizki, yakni berupa daging hasil sembelihan hewan kurban secara merata.
Bagi setiap orang yang menerima, daging kurban tentunya mereka sangat senang.
Begitu pula bagi shahibul kurban, mereka akan mendapatkan rezeki berlipat ganda
sesuai janji Allah swt. di dalam firman-Nya.
7. Berkurban Jadi Jalan Ketakwaan
Mungkin saja sebelumnya kita merasa kesulitan untuk memiliki ketakwaan
tinggi kepada Allah swt., seperti sulit meninggalkan larangan-Nya, dan merasa hati
gundah gelisah karena sering kali meninggalkan perintah-Nya. Maka, hari raya Idul
Adha memberi keutamaan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Dalam QS al-
Hajj/22: 37, Allah swt. berfirman:
15
ك َس هخَرَها لَ ُك ْم ليتُ َكيِّبُوا ه
اَّللَ َعلَى َما َه َدا ُك ْم ي ي
َ وم َها َوَال د َم ُاؤَها َولَكين يَنَالُهُ الته ْق َوى يمن ُك ْم َك َذل
ُ ُاَّللَ ُحل
ال ه َ َلَن يَن
يي ي
٣٧- ني َ َوبَ ِش ير الْ ُم ْحسن
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah
Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-
orang yang berbuat baik. ”
8. Mengenang Kepatuhan Nabi Ibrahim a.s.
Salah satu hikmah hari raya Idul Adha adalah mengenang kembali betapa besar
ketaatan dan kepatuhan Nabi Ibrahim as. atas perintah-perintah Allah swt.. sehingga
ia telah berhasil menjalankannya dengan baik. Maka di sini paling tidak kita dapat
mencontoh perilaku beliau, yang tak menoleh sedikit pun dari apa yang ditugaskan
Allah swt. meski perintah tersebut amat berat baginya.
16