Anda di halaman 1dari 14

Memahami dan menguasai aturan jual beli dan bentuk-

bentuknya yang benar menurut agama. Mengetahui dalill


naqli dan aqli tentang syarat dan rukun jual beli dalam Islam.

1. Menganalisis pengertian, rukun, dan syarat jual beli


2. Menganalisis pengertian, rukun, dan syarat salam
3. Menganalisis pengertian, rukun, dan syarat istishna’
4. Menganalisis pengertian bai’ bi tsaman ajil dan
kebutuhan atasnya
5.

1. Pengertian, rukun, dan syarat jual beli


2. Pengertian, rukun, dan syarat salam
3. Pengertian, rukun, dan syarat istishna’
4. Pengertian bai’ bi tsaman ajil dan kebutuhan atasnya

1
URAIAN MATERI

A. Jual beli
1. Pengertian Jual beli
Jual beli dalam bahasa Arab sering disebut dengan kata al-bai', al-tijarah, atau
al-mubadalah. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:
‫ج‬
َ ُ‫يَ ْر ُجو َن ِتَ َارةً لَّن تَب‬
-٢٩- ‫ور‬
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (QS
Fathir/35: 29)
Secara bahasa, jual beli atau al-bai'u berarti muqabalatu syai'in bi syai'in ( ‫مقابلة‬
‫بشي‬
ْ ‫شي‬ ْ ). Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu (Wahbah al-Zuhaili: 344).
Sedangkan menurut istilah, Imam Nawawi di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-
Muhadzdzab mengatakan bahwa jual beli adalah (‫ )مقابلة مال مبال متليكا‬yang berarti:
tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan. Sementar itu, Ibnu Qudamah di
dalam kitab Al-Mughni menjelaskan bahwa jual beli sebagai (‫)مبادلة املال ابملال متليكا متلكا‬
yang artinya pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan dan penguasaan.
Dari pengertian di atas, jual beli adalah “Menukar barang dengan barang atau
menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan".
Jual beli adalah aktivitas ekonomi yang hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan
nash al-Qur’an dan hadis serta ijma' dari seluruh umat Islam. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم هج‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ه‬
َ ‫َوأ‬
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba. (QS al-
Baqarah/2: 275).
Sedangkan dari hadis Rasulullah saw bersabda:
‫اح ٍد جمْن ُه َما جاب ْْلجيَا جر‬
‫الرجالَ جن فَ ُك ُّل و ج‬
َ ُ َّ ‫ال « إجذَا تَبَايَ َع‬ َ َ‫ أَنَّهُ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّللج‬ َّ ‫ول‬ ‫اب جن عُمر َعن رس ج‬
ُ َ ْ ََ ْ
‫ج‬ ‫ج‬ ‫ما ََل ي تَ َفَّرقَا وَك َ ج‬
‫ب‬ َ ‫ك فَ َق ْد َو َج‬ َ ‫اآلخَر فَتَ بَايَ َعا َعلَى ذَل‬
َ ‫َح ُد ُُهَا‬ َ ‫اآلخَر فَإج ْن َخ ََّّي أ‬
َ ‫َح ُد ُُهَا‬ َ ‫اَن ََج ًيعا أ َْو ُُيَهّيُ أ‬ َ َْ َ
.» ‫ب الْبَ ْي ُع‬ ‫ج ج‬ ‫ج‬
َ ‫الْبَ ْي ُع َوإ ْن تَ َفَّرقَا بَ ْع َد أَ ْن تَبَايَ َعا َوََلْ يَْْتُ ْك َواح ٌد مْن ُه َما الْبَ ْي َع فَ َق ْد َو َج‬
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang
melakukan jual beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar
(memilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli) selama mereka belum
berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak
menemukan khiyar kepada yang lainnya. Jika salah seorang menentukan khiyar
pada yang lain, lalu mereka berjual beli atas dasar itu, maka jadilah jual beli itu”.
(HR. Muttafaq alaih).
Pada hadis yang lain, Nabi bersabda:

2
‫ اي رسول هللا أي الكسب اطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مربور‬: ‫عن رفاعة بن رافع قال قيل‬
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan
apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan
tangannya dan setiap jual beli yang bersih”. (HR Ahmad).

‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم هنى عن مثن الكلب‬: ‫عن أيب مسعود األنصاري رضي هللا عنه‬
‫ومهر البغي وحلوان الكاهن‬
Dari Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang mengambil
uang penjualan anjing, uang pelacuran dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq
Alaih.)
2. Rukun Jual beli
Sebuah transaksi jual beli membutuhkan adanya rukun yang harus terpenuhi
untuk sahnya jual beli. Rukun jual beli, ada tiga, yaitu:
a. Adanya Penjual dan Pembeli;
Penjual dan pembeli yang memenuhi syarat adalah mereka yang telah memenuhi
ahliyah untuk boleh melakukan transaksi muamalah. Ahliyah itu berupa keadaan
pelaku yang harus berakal dan baligh. Dengan rukun ini, maka jual beli tidak
memenuhi rukunnya bila dilakukan oleh penjual atau pembeli yang gila atau tidak
waras. Demikian juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya.
Demikian juga jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh tidak
sah, kecuali bila yang diperjual belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat
kecil. Namun bila seizin atau sepengetahuan orang tuanya atau orang dewasa, jual beli
yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah, sebagaimana dibolehkan jual beli
dengan bantuan anak kecil sebagai utusan, tetapi bukan sebagai penentu jual beli.
Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah
toko. Jual beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli adalah ayahnya,
sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
b. Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan untuk bertukar dalam jual-
beli. Akad itu seperti: “Aku jual barang ini kepada anda dengan harga Rp 10.000", lalu
pembeli menjawab,"Aku terima." Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus
dengan lafaz yang diucapkan, kecuali bila barang yang diperjualbelikan termasuk
barang yang rendah nilainya. Namun, ulama lain membolehkan akad jual beli dengan
sistem mu'athaah, (‫ )معاطة‬yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk
bertransaksi tanpa mengucapkan lafaz.
c. Adanya Barang/Jasa Yang Diperjualbelikan
Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual belikan. Para
ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus memenuhi syarat
tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual beli menjadi sah secara syariah, maka
barang yang diperjual belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu suci.
Benda yang diperjual belikan harus benda yang suci dalam arti bukan benda najis
atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain

3
bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan dan
lainnya. Akan tetapi, Mazhab Hanbali menetapkan bahwa kotoran hewan yang
dagingnya boleh dimakan, hukumnya tidak najis. Dasarnya adalah sabda Rasulullah
saw.
‫ أنه مسع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول عام الفتح وهو‬:‫عن جابر بن عبد هللا رضي هللا عنهما‬
) ‫مبكة ( إن هللا ورسوله حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واألصنام‬
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di
Mekah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-
beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih)
3. Syarat-Syarat Jual Beli
a. Syarat bagi orang yang melakukan akad (‫)عاقد‬, antara lain:
1) Baligh (Berakal)
Allah swt. berfirman:
ً‫اّللُ لَ ُك ْم قجيَاما‬
‫الس َف َهاء أ َْم َوالَ ُك ُم الَّجِت َج َع َل ه‬
ُّ ْ‫َوالَ تُ ْؤتُوا‬
Dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orang yang bodoh (belum
sempurna akalnya) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. an-Nisa/4: 5)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang bukan ahli tasaruf tidak boleh
melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab qabul).
2) Beragama Islam
Hal ini berlaku untuk pembeli (khusus kitab suci al-Qur’an/budak muslim),
bukan penjual. Hal ini dijadikan syarat karena dihawatirkan jika orang yang membeli
adalah orang kafir, maka mereka akan merendahkan atau menghina Islam dan kaum
muslimin.
3) Tidak Dipaksa
b. Syarat ma’qud ‘alaih, barang yang diperjualbelikan antara lain:
1) Suci atau mungkin disucikan
Tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-lain. Dalam
hadis disebutkan:
‫ أنه مسع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول عام الفتح وهو مبكة ( إن هللا‬: ‫عن جابر ب ن عبدهللا‬
) ‫ورسوله حرم بيع اْلمر وامليتة واْلنزير واألصنام‬
Dari Jabir r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada hari
pembebasan Mekah, “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan
jual beli arak, bangkai, babi, dan berhala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2) Bermanfaat
3) Dapat diserahkan secara cepat atau lambat
4) Milik sendiri
5) Diketahui (dilihat)

4
Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyak, berat, atau jenisnya.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
‫ هنى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم عن بيع احلصاة وعن بيع الغرر‬: ‫عن أيب هريرة قال‬
Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, Rasulullah saw. telah melarang jual beli
dengan cara melempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan. (HR Muslim)
c. Syarat sah ijab qabul
1) Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja
setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya;
2) Tidak diselingi kata-kata lain;
3) Tidak ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain. Misalnya jika bapakku mati,
maka barang ini aku jual padamu;
4) Tidak dibatasi waktu. Misal, barang ini aku jual padamu satu bulan saja
4. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli ada tiga macam yaitu:
a. Menjual barang yang bisa dilihat
Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual suci, bermanfaat dan memenuhi
rukun jual beli.
b. Menjual barang yang disifati (memesan barang)
Hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan sifatnya (sesuai
promo)
c. Menjual barang yang tidak kelihatan
Hukumnya tidak boleh/tidak sah. Boleh/sah menjual sesuatu yang suci dan
bermanfaat dan tidak diperbolehkan/tidak sah menjual sesuatu yang najis dan tidak
bermanfaatin.

B. Jual Beli Salam


1. Pengertian dan Dasar Hukum Salam
Secara bahasa, salam (‫ )سلم‬adalah al-i'tha' (‫ )العطاء‬dan at-taslif (‫ )التسليف‬yang
berarti pemberian. Sedangkan secara istilah, salam didefinisikan sebagai ( ‫بيع موصوف‬
‫ )يف الذمة ببدل يعطى عاجال‬artinya jual-beli barang yang disebutkan sifatnya dalam
tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Secara sederhana, salam dapat dikatakan sebagai jual beli dengan hutang. Jual
beli ini biasanya menghutangkan barang dengan pembayaran uang tunai. Hal ini
berkebalikan dengan kredit, di mana, kredit barang diserahkan terlebih dahulu,
sedangkan uang pembayaran menjadi hutang.
Dasar diperbolehkannya salam tertera di dalam al-Qur'an, hadis dan ijma ulama.
‫ج‬ ‫َّ ج‬
َ ‫آمنُواْ إجذَا تَ َدايَنتُم ب َديْ ٍن إج ََل أ‬
ُ‫َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫ين‬
َ ‫َاي أَيُّ َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS al-
Baqarah/2: 282).

5
Dalam salah satu riwayat al-Syafi’i:
‫ إَل أجل مسمى قد أحله هللا تعاَل يف كتابه وأذن فيه‬، ‫ أشهد أن السلف املضمون‬: ‫عن ابن عباس قال‬
‫ مث قال‬،
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung
hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia
telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR al-Syafi'i dalam
musnadnya)
Di dalam al-sunnah al-nabawiyyah, dalil salam diriwayatkan dalam hadis Ibnu
Abbas r.a.
‫ قدم النيب صلى هللا عليه و سلم املدينة وهم يسلفون ابلتمر‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال‬
) ‫السنتني والثالث فقال ( من أسلف يف شيء ففي كيل معلوم إَل أجل معلوم‬
Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa ketika Nabi saw. baru tiba di Madinah, orang-
orang Madinah biasa meminjamkan buah kurma dua tahun dan tiga tahun. Maka
Nabi saw. bersabda,"Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus memin-
jamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis yang lain Rasul saw. bersabda:,
‫عبد الرمحن بن أبزى وعبد هللا ابن أيب أوىف فسألتهما عن السلف فقاال كنا نصيب املغامن مع رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه و سلم فكان أيتينا أنباط من أنباط الشأم فنسلفهم يف احلنطة والشعّي والزبيب إَل أجل‬
‫مسمى قال قلت أكان هلم زرع أو َل يكن هلم زرع ؟ قاال ما كنا نسأهلم عن ذلك‬
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf r.a. keduanya mengatakan,"Kami
biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah saw. datang orang-orang dari
negeri Syam. Lalu kami pinjamkan kepada mereka untuk dibayar gandum atau
sya’ir atau kismis dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika
ditanyakan kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab
kedua sahabat ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Al-Munzir menyebutkan bahwa semua orang yang kami kenal sebagai ahli
ilmu telah bersepakat bahwa akad salam itu merupakan akad yang dibolehkan, maka
zakat tidak wajib bagi orang kafir sejak lahir.
2. Rukun Akad Salam
Rukun di dalam akad salam harus ada ijab dan qabul dengan sebuah pernyataan
dari penjual: seperti aslamtuka (aku jual secara salam) atau aslaftuka (aku jual secara
salaf), atau dengan kata-kata yang mudah dipahami oleh penjual dan pembeli.
Misalnya lafaz: a'thaituka salaman (aku serahkan kepadamu secara salam). Sedangkan
pembeli menjawabnya: qabiltu (saya terima), atau radhitu (saya rela), atau kata lain
yang bermakna persetujuan.

6
Dalam melakukan akad salam, penjual dan pembeli harus ada di tempat. Penjual
biasanya disebut musallim ( ‫) مسلم‬, sedangkan pembeli disebut musallam ilaihi ( ‫مسلم‬
‫)اليه‬. Keduanya memiliki syarat ahliyah atau wilayah. Syarat ahliyah, pemiliknya orang
yang beragama Islam, aqil, baligh, rasyid. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, jilid 7 h. 160-166). Sedangkan syarat wilayah orang yang menjadi wali
yang mewakili pemilik aslinya dari uang atau barang dengan penujukan yang sah dan
berkekuatan hukum sama.
Karena dalam akad salam harus ada uang dan barang, maka uang digunakan
sebagai alat pembayaran dan barang sebagai benda yang diperjualbelikan. Uang dalam
akad salam disebut ra'sul maal ( ‫) رأس المال‬, dan barang dalam akad salam disebut
musallam fiihi (‫)مسلم فيه‬. Jenis nilainya. Uang yang digunakan harus jelas nilai dan
kursnya. Misalnya, apakah uang yang digunakan berbentuk rupiah atau dollar.
3. Syarat Akad Salam
Syarat sahnya akad salam harus ada uang dan barang. Uang yang digunakan
dalam akad salam harus memenuhi kriteria:
a. Jenis Nilainya
Uang yang digunakan harus jelas nilai dan kursnya. Misalnya, apakah uang yang
digunakan berbentuk rupiah atau dollar.
b. Harus Tunai
Akad salam mensyaratkan uang tunai, tanpa ada cicilan atau apa pun.
Diperbolehkan menunda pembayaran asalkan jelas tanggal dan waktu pembayarannya.
Barang yang diperjualbelikan dalam akad salam memiliki syarat sebagai berikut:
a. Spesifikasi Barang
Barang yang dijual dalam akad salam harus ditetapkan dengan spesifikasi
tertentu. Misalnya, seorang pedagang menjual HP merk Samsung tipe J series sesuai
kesepakatan penjual dan pembeli. Penjual diperbolehkan menjual Samsung J Series
pada pembeli lain, asalkan di waktu yang ditentukan ia bisa memberikan barang
kepada pembeli dalam akad salam. Di sini, setiap kriteria yang diinginkan harus dite-
tapkan dan dipahami kedua belah pihak, sehingga pada waktu yang telah disepakati,
tidak ada komplain terhadap barang yang diperjualbelikan.
b. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad
Akad salam akan gugur, jika barang diserahkan saat terjadi akad. Hal ini sesuai
hadis:
‫من أسلف يف متر فليسلف يف كيل معلوم ووزن معلوم إَل أجل معلوم‬
Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan
timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari
dan Muslim)

7
c. Batas Penyerahan Barang
Ada beberapa pendapat tentang penyerahan barang ini. Mazhab Hanafiyah
mensyaratkan minimal setengah hari dan tidak boleh kurang; Ibnu Hakam membo-
lehkan satu hari; Ibnu Wahab mensyarakatkan minimal penyerahan barang 2 atau 3
hari sejak akad; dan ulama lain mensyaratkan batasnya cuma 3 hari.
d. Harus Jelas Waktu Penyerahan
Penjual dan pembeli harus memperjelas penyerahan barang (jatuh tempo). Jatuh
tempo di sini, harus jelas, tanggal bulan, tahun, atau jumlah hari atau minggu sesuai
akad antara penual dan pembeli. Rasulullah saw. bersabda:
‫إَل أجل معلوم‬
Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula."
(Muttafaqun 'alaih)
e. Barang Memungkinkan untuk Diserahkan pada Waktunya
Penjual dan pembeli harus memperhitungkan ketersediaan barang pada saat
jatuh tempo, demi terhindar dari tipu-menipu atau mengambil keuntungan sebelah
pihak. Orang tidak boleh memesan barang yang sifatnya untung-untungan, seperti
memesan buah musiman. Nabi saw. bersabda:
‫ضَرَر َوالَ جضَر َار‬
َ َ‫ال‬
Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih
besar dari perbuatan. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al-
Albany).
f. Tempat Penyerahan Barang Harus Jelas
Seorang penjual diperbolehkan mendatangkan barang dari mana saja. Hal ini
demi memudahkan penjual, karena bisa jadi penjual tidak bisa mendatangkan barang
dari ladangnya sendiri, sehingga ia harus membeli dari orang lain.

C. Istishna’
1. Pengertian Istishna’
Istishna' adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u.
Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Misalnya, orang
mengatakan istashna'a fulan baitan, kita meminta orang lain untuk membuatkan
rumah.
Menurut sebagian ulama Mazhab Hanafiyah, istishna’ dapat diartikan sebagai
sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat pengerjaannya. Misalnya,
satu orang menemui seorang desainer, lalu berkata: buatkan saya desain logo untuk
perusahaan saya dengan harga sekian juta. Lalu, sang desainer menerimanya, berarti
mereka telah melakukan kesepakatan istishna’.
Menurut Mazhab Hanabilah, istilah istishna’ berarti jual beli barang yang belum
dimilikinya yang tidak termasuk dalam akad salam. Ulama Mazhab tersebut menya-
makan dengan jual beli dan pembuatannya. Sementara, menurut Mazhab Malikiyah

8
dan Syafi'iyah mendeskripsikan akad istishna’ dengan akad salam. Sehingga penger-
tiannya berarti suatu barang yang diserahkan kepada orang lain sesuai dengan cara
pembuatannya. Akad istishna’ dapat dikatakan sebagai sebuah transaksi jual beli yang
terjadi antara pemesan sebagai pihak pertama dan produsen sebagai pihak kedua.
Produsen sebagai pihak kedua membuatkan barang atau sesuatu sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh pihak pertama sebagaimana kesepakatan yang terjalin di awal.
Dalil naqli yang menjelaskan perihal dibolehkannya akad ini sebagai berikut:
‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َحَّرَم هج‬
-٢٧٥- ‫الرَاب‬ ‫َح َّل ه‬
َ ‫َوأ‬
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.. (QS al-Baqarah/2:
275).
Ayat ini memang bersifat umum dalam sebuah transaksi jual beli. Namun, sifat
keumuman ini berarti membolehkan akad istishna’, asalkan terhindar dari riba. Segala
transaksi diperbolehkan selama tidak ada dalil kuat yang mengharamkannya. Dalam
sebuah hadis diterangkan:
َ‫يل لَهُ إج َّن الْ َع َج َم ال‬ ‫ج ج‬ ‫ َكا َن أَر َاد أَ ْن يكْتُ ج‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اّللج‬ َّ ‫س أ‬ٍ َ‫َع ْن أَن‬
َ ‫ب إ ََل الْ َع َجم فَق‬
َ َ َ َّ ‫َن نَج‬
َّ ‫ِب‬
.‫اض جه جىف يَ جدهج‬
‫ال َكأ جَّن أَنْظُر إج ََل ب ي ج‬ ٍ ‫ج ج‬ ‫ج ج‬ ‫ج‬
ََ ُ ‫ قَ َ ه‬.‫اصطَنَ َع َخامتًَا م ْن فضَّة‬ ْ َ‫ ف‬.ٌ‫يَ ْقبَ لُو َن إجالَّ كتَ ًااب َعلَْيه َخاِت‬
Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima
surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Hadis di atas menjelaskan sebuah deskripsi bahwa akad istishna’ telah dilakukan
oleh Nabi sesuai ajaran Islam dan itu artinya diperbolehkan secara hukum fikhiyyah.
Kalangan ulama bersepakat bahwa istishna' merupakan akad yang dibolehkan
dan telah diaplikasikan sejak dahulu tanpa ada sahabat atau ulama yang mengingkari-
nya. Artinya, istishna’ diperbolehkan secara nash dan dilakukan oleh orang terdahulu.
Sehingga, adanya pelarangan seolah menjadi kurang tepat.
‫األصل يف األشياء االابحة حىت يدل الدليل على التحرمي‬
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan
akan keharamannya.
Di era modern, kebutuhan orang mulai beragam dan bervariasi. Maka, akad jual
beli istishna’ seolah menemukan bentuk pengaplikasiannya. Artinya, ketika orang
membutuhkan seuatu barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu yang diinginkan,
tetapi kesulitan di dapatkan di pasar, maka solusinya tentu dengan memesan pada
produsen. Dengan demikian, apabila pemesanan semacam itu diharamkan, maka
bagaimana masyarakat akan memecahkan persoalan kebutuhan hidupnya. Tentu, hal
semacam ini perlu dipecahkan dan disikapi secara serius demi kelangsungan hidup
masyarakat.

9
2. Rukun Istishna’
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar
terjadi: kedua-belah pihak, barang yang diakadkan, dan shighah (ijab qabul). Ketiga
rukun tersebut sebagai berikut:
a. Adanya pemesan dan produsen. Di sini, pemesan biasanya disebut mustashni'
(‫ ) المستصنع ا‬sebagai pihak pertama. Sedangkan produsen sebagai pihak kedua
disebut shani' (‫) الصانع‬.
b. Barang yang diakadkan/diperjualbelikan. Barang yang diakadkan disebut al-mahal
( ‫) المحل‬. Dalam akad jual beli istishna’, objeknya adalah benda atau barang harus
dihadirkan atau dibuat. Sebagian ulama berpandangan dibolehkannya akad bukan
barang. Tetapi, akad tersebut bisa berupa jasa, asalkan kedua belah pihak saling
menyepakati.
c. Adanya ijab qabul. Ijab berarti lafadz dari pemesan yang meminta kepada produsen
untuk membuatkan barang atau jasa dengan imbalan yang ditentukan. Sedangkan,
qabul berarti penerimaan atau jawaban dari pihak produsen bahwa ia siap membuat
atau menyediakan barang atau jasa sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemesan.
3. Syarat Istishna’
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi dalam akad istishna’, seperti:
a. Adanya penyebutan dan kesepakatan kriteria barang dan jasa yang akan dilang-
sungkan, agar tidak ada kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Hal ini penting,
agar saat penyerahan barang atau jasa benar-benar sesuai dengan kriteria yang
diinginkan oleh pemesan.
b. Tidak ada batasan waktu penyerahan barang. Dalam akad istishna’, seorang
produsen atau pemesan tidak boleh memerikan tenggat waktu, karena jika pemesan
memberikan tenggat waktu, maka akadnya berubah menjadi akad salam. Hal ini
disampaikan oleh Imam Abu Hanifah. Sementara, sebagian dari ulama Hanafiyah
(Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) berpendapat, tidak menjadi persoalan ada
tenggat waktu, karena masyarakat terdahulu memang melakukan akad semacam itu.
Dan, akad tersebut tidak akan berubah menjadi akad salam. Dapat dikatakan, bahwa
tidak ada alasan untuk menentukan batasan waktu penyerahan barang, karena
tradisi masyarakat tidak berbeda pendapat soal dalil dan hukum syar’inya.
c. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'.
Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'.
Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat
Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyara-
kat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan
kepada hukum asal. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad
istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad
istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat Islam, melainkan juga berdasarkan dalil
dari al-Qur'an dan sunah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk

10
membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema istishna' saja.
4. Hakikat Akad Istishna'
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini.
Sebagian menganggapnya sebagai akad jual beli barang yang disertai dengan syarat
pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa
(ijarah). Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual
beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jual jasa). Setelah barang
jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang dipesan,
akadnya berubah menjadi akad jual beli.
Tampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna' karena
pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Pada
akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki
oleh produsen dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan
yang diingikan oleh pemesan.
5. Apakah Istishna' Akad Yang Mengikat?
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna'
ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang
diserahkan, keduanya berhak untuk mengundurkan diri dari akad istishna'. Produsen
berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan
berhak untuk membatalkan pesanannya.
Berbeda dengan pandangan tersebut, Abu Yusuf, murid Abu Hanifah mengang-
gap akad istishna' sebagai akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh
tempo penyerahan barang dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengan
pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya.
Sebagaimana produsen tidak berhak untuk menjual hasil produksinya kepada orang
lain.

D. Bai’ bi Tsaman ‘Ajil


1. Pengertian Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Bai` bi tsaman ‘ajil dapat dikatakan sebagai istilah baru dalam literatur fikih
Islam, walaupun secara aplikatif telah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu. Secara
harfiyah, bai`maknanya adalah jual beli atau transaksi. Tsaman maknanya harga dan
ajil maknanya bertempo atau tidak tunai.
Bai` bi al-tsaman ajil dapat dikatakan sebagai jual beli yang uangnya diberikan
secara bertahap atau belakangan/ditangguhkan. Artinya, harga barang bisa berbeda
ketika barang tersebut dibeli secara tunai. Contohnya, jika HP dibeli secara tunai
seharga 2,5 juta, maka karena ditangguhkan harganya, bisa berharga 3 juta. Artinya,
harga tersebut bisa menyesuaikan dengan naik-turunnya harga.
Bagaimana menentukan halal dan haramnya harga dalam bai` bi al-tsaman ajil?
Dalam transaksi ini, ketika harga dan barang telah disepakati sejak awal, maka
akadnya halal. Akan tetapi, jika harga mark-up tidak ditentukan sejak pertama kali

11
transaksi, dan memungkinkan di perjalanan waktu, ada perubahan harga, maka akad
tersebut tidak diperbolehkan. Karena barang berpotensi naik dan turun di masa depan.
Artinya, harga harus ditetapkan dan ditentukan sejak awal, dan tidak ada lagi perubah-
an waktu pelunasan harga.
Berikut ini kami sajikan beberapa contoh bai` bi al-tsaman ajil:
a. Transaksi jual beli antara harga tunai dan kredit berbeda yang mana harga kredit
lebih tinggi daripada harga tunai. Misalnya, orang menjual HP dengan harga tunai
1,5 juta, maka harga kredit menjadi 2 juta;
b. Transaksi jual beli yang tidak ada kejelasan apakah tunai atau kredit. Misalnya,
harga barang 1 juta tunai dan 2 juta kredit. Kedua belah pihak tidak menentukan
mana yang akan diambil; tunai atau kredit. Hal ini tidak diperbolehkan atau dilarang
oleh agama;
c. Membeli harga barang dengan tangguhan, tetapi dengan persyaratan akan dijual
kembali kepada pihak produsen dengan harga yang lebih rendah. Hal ini diharam-
kan di dalam Islam karena mengandung riba.
d. Transaksi jual beli dengan syarat penjualan lagi. Misalnya, Roni membeli rumah
seharga 2 milyar dari Budi dengan syarat Budi membeli tanah Roni dengan harga
2 milyar. Transaksi ini dilarang, karena masuk bai’u wa syart;
e. Transaksi dengan syarat mengambil manfaat. Misalnya, Edi menjual rumahnya
kepada Deni tetapi dengan syarat Edi akan menempatinya terlebih dahulu selama 1
tahun. Transaksi ini memilik perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mazhab
Malikiyah dan Hanabilah membolehkan, tetapi mazhab Syafiiyah melarang
transaksi seperti ini.
2. Kebutuhan Transaksi Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Jenis transaksi ini dalam Islam memiliki keuntungan, keringanan, dan kemu-
dahan. Hal ini dikarenakan, tidak semua orang dapat membeli keinginannya secara
kontan dan tunai. Kadang, orang tidak dapat memiliki kebutuhan hidupnya hanya
dengan sekali bayar. Seorang karyawan akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya
untuk membeli rumah, tanah atau mobil mengingat gaji bulanannya yang tidak
mencukup.
Orang yang memiliki penghasilan pas-pasan, boleh saja menabung uangnya
untuk dibelikan ketika uangnya cukup. Akan tetapi, di tengah kehidupan yang serba
cepat dan harga yang cenderung terus naik/meningkat, orang cenderung berusaha
memenuhi kebutuhannya sesegera mungkin. Jika pun harus menabung, membutuhkan
waktu lama untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Selain itu, para penjual,
biasanya berusaha untuk membuat barangnya segera laku. Karena, jika barang tidak
laku, maka kerugian akan ditanggung penjual. Solusinya, penjual akan melakukan
transaksi dengan cara menjual barang secepat mungkin, walau pun pembayarannya
ditangguhkan terlebih dahulu.
Di sini, antara pembeli dan penjual sama-sama memiliki kepentingan. Pembeli
butuh barang, dan penjual butuh barangnya segera laku. Maka, jalan keluarnya dengan
melakukan transaksi bai` bi al-tsaman ‘ajil.

12
3. Bai’ bi Tsaman ‘Ajil dan Sistem Bank Syariah
Bai` bi al-tsaman ‘ajil sebenarnya tidak hanya terbatas pada pembeli dan penjual
di pasar tradisional. Lembaga keuangan seperti bank pun bisa melakukan transaksi
bai` bi al-tsaman ‘ajil di mana, pihak bank memiliki uang dan tidak memiliki barang.
Jika ada orang yang ingin membeli barang, pihak bank boleh menyediakan barang
dengan cara membeli di pasar sesuai kebutuhan pembeli dengan mengambil
keuntungan tertentu selama tidak mengandung riba.
Prinsip jual beli adalah tukar menukar barang dengan uang. Di sini, berlaku
hukum bahwa barang yang dijual sudah harus milik dari penjual. Pihak bank berposisi
sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Akan tetapi, secara aplikatif,
pihak Bank biasanya tidak akan melakukan penjualan barang, tetapi meminjamkan
uang atau mewakilkan kepada pembeli untuk dibeli langsung barang yang dibutuhkan
oleh pembeli ke pasar. Dalam proses ini, biasa disebut wakalah atau ijarah dengan
konsekwensi hukum yang telah berlaku.
Akad muwakalah berupa pihak bank mewakilkan pembeli untuk membeli
barang atau pihak bank meminta tolong pada pembeli untuk membelikan barang.
Namun, kepemilikan barang ketika dibeli tetap milik bank. Pembeli hanya dititipi
untuk membeli barang. Pihak bank hanya perlu mengecek faktur pembelian kepada
pihak yang dititipi ketika disuruh membeli. Hal ini perlu dilakukan agar menghindari
terjadinya barang tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang
dengan pengembalian lebih.
Resiko yang muncul dalam proses pengadaan barang, bukan milik pembeli,
tetapi tanggung jawab penjual. Transaksi ini akan berlaku ketika barang sudah diterima
oleh pembeli dalam keadaan selamat. Dalam transaksi ini berlaku dua akad:
a. Akad wakalah antara bank dengan nasabah di mana saat itu bank membeli barang
dari pihak ketiga dan pembeli saat itu bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang
melakukan pembelian barang dari pihak ketiga.
b. Akad jual-beli kredit. Setelah barang telah terbeli, maka bank menjual barang
tersebut dengan harga yang disepakati dua pihak. Kemudian nasabah/pembeli
membayar kepada bank dengan cara kredit atau tidak tunai.
4. Kelemahan Bai’ bi Tsaman ‘Ajil
Transaksi jual beli bai` bi al-tsaman ‘ajil sangat memungkinkan terjadi kesalah-
pahaman dan melangkar hukum fikih ketika kurang memahami prinsip syariah dan
begitu tipisnya perbedaan dengan akad yang lain. Misalnya, ketika pihak bank
menitipkan uang untuk membeli barang kepada pembeli yang akan dibeli oleh si
pembeli dengan harga yang lebih tinggi, ada celah yang bisa dimanfaatkan. Misalnya,
pembeli tidak membeli barang yang dimaksudkan dalam transaksi, tetapi digunakan
untuk keperluan lain, tetapi ketika jatuh tempo, pembeli akan melunasi pembayaran
yang telah disepakati di awal antara pihak bank dan pembeli.
Jika transaksi semacam ini terjadi, berarti tidak ada bedanya dengan pinjaman
uang berbunga. Alasan membeli barang hanya bentuk tipuan. Karena, secara aplikatif
yang terjadi adalah peminjaman uang dengan pengembalian melebihi peminjaman.

13
Dalam transaksi semacam itu telah terjadi transaksi riba yang dilarang, baik dalil naqli
maupun aqli.
Jika pihak bank terjebak transaksi seperti di atas berarti telah hilang prinsip
syariahnya. Prinsip syariah yang digunakan hanya kedok untuk menipu umat. Maka,
bank yang berlabel syariah harus berhati-hati dalam melakukan transaksi agar tidak
melanggar aturan agama.
Di sini, penting kiranya, pihak bank merekrut para bankir atau karyawan yang benar-
benar memahami prinsip bank syariah. Karena, ketika bankir atau karyawan tidak
memiliki pemahaman ekonomi syariah, potensi penyalahgunaan atau kekeliruan
semakin besar terjadi.

14

Anda mungkin juga menyukai