Anda di halaman 1dari 25

JURNAL

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN

(INTERMEDIATE TRAINING)

MENGIKUTI LK II HMI CABANG BANDAR LAMPUNG

Gerakan Aliran Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama

di Indonesia Pasca Reformasi

OLEH : ILHAM MUHAMAD

Email : muhamadgrt10@gmail.com

Nomor : 087749550371 Telpon/WA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

KOMISARIAT STAI PERSIS GARUT

CABANG GARUT

1442/2021
Abstrak

Intelektualisme Islam Klasik  tentang Reaktualisasi Intelektualisme Pemikiran Islam


Klasik di Indonesia Studi Komperatif Muhammadiyah da Nahdatul Ulama Pasca
Revormasi. Manuskrip ini menyatakan bahwa intelektualisme Islam klasik di
Indonesia masih menjadi persoalan yang belum selesai. Sikap umat Islam Indonesia
terbagi ke dalam dua golongan organisasi besar. Golongan organisasi Nahdatul
Ulama (bergerak pada bidang keagamaan, pendidikan, sosial,  ekonomi, dan politik)
organisasi Nahdatul Ulama merupakan salah satu upaya melembagai wawasan
tradisi keagamaan yang dianut jaauh sebelumnya, yaitu paham ahlussunnah
waljamaah yang bersifat sosial, budaya. Golongan organisasi Muhammadiyah
(sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia), nama organisasi ini diambil dari
nama Nabi Muhammad SAW, sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi
Muhammad SAW. Dengan tujuan utama organisasi adalah mengembalikan seluruh
penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Gerakannya pada semagat
membangun tatanan sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik.
Temuan reaktualisasi inteklektualisme Islam klasi di Indonesia yang terdapat pada
organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yaitu: Pertama, bidang ketuhanan,
yang meliputi pembahasan mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya dan hubungan alam
semesta dengan-Nya. Kedua, bidang akhlak (etika), yang meliputi pembahasan
mengenai manusia dan perilakunya; hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga,
bidang fisika; meliputi pembahasan tantang alam pertumbuhan dan
perkembangannya. dan lain sebagainya. Dan Proses tradisi intelektual ini tidak
terlepas dari proses tranmisi dan difusi ajaran dan gagasan Islam selalu melibatkan
semacam “jaringan intelektual” (intellectual networks), baik yang terbentuk di
kalangan ulama maupun salah satu segmen dari kaum intelektual secara
keseluruhan. Terjadinya aliran-aliran dalam teologi Islam karena perbedaan
pandangan dalam dan memberikan penjelasan tentang Tuhan, keesaan-Nya, sifat-
sifat-Nya, dan persoalan-persoalan Theologi Islam lainnya. Kaum muslimin dengan
segala ketekunan memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul yang bertalian
dengan soal-soal tersebut.

Kata kunci : Reaktualisasi, Intelektualisme, Islam Klasik, Indonesia, Muhammadiyah,


Nadhatul Ulama, Reformasi.

Pendahuluan

Bangsa Indonesia sebelum menerima ajaran agama Islam telah mempunyai agama
dan kepercayaan, di samping itu, masyarakat Indonesia telah memiliki peradaban
sebelum kedatangan Islam, peradaban yang merupakan perpaduan antara perabadan
lokal dan peradaban Hindu-Buddha. Islam memainkan peran penting dalam
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Peranan itu dapat dilihat dari
pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia yang sangat luas. Hal ini menimbulkan
kesulitan untuk memisahkan antara kebudayaan lokal dan kebudayaan Islam.

Corak masyarakat Islam di Indonesia sangat berperan dalam pembentukan adat


istiada akuturasi budaya lokal dengan Islam mudah terjadi yang mengakar kuat
dengan masyarakat Islam di Indonesia. dengan pluritas bangsa dalam ragam tradisi
sosial, suku, ras, maupun agama kepercayaan Islam menjadi pemersatu dalam
masyarakat. Islam Indonesia terdiri dari dua golongan yaitu tradisional dan modern.
Golongan tradisional ini adalah para ulama yang tergabung dalam Nahdatul Ulama,
sedangkan golongan modernis ialah para ulama yang tergabung dalam
Muhammadiyah. Kedua golongan inilah yang mewakili umat Islam seluruh Indonesia
keduanya menjalin kerjasama dalam membangun negara dalam mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.

Muhamadiyah yang bercorak kemoderenan dan Nahdatul Ulama yang bercorak


tradisional, kedua hal ini memberikan sumbangsi yang cukup penting dalam
perjalanan bangsa Indonesia, Lahirnya dua organisasi tersebut, tentunya tidak terlepas
dari peran dan pengaruh sejarah intelektual yang dikembangkannya. Mengacu pada
sejarah intelektual mencoba mencari kembali penyebaran karya pemikiran-pemikiran
kebudayaan ide-ide mereka pada masyarakat.

Melihat sosok intelektual sebagai kelompok kritis dalam masyarakat yang


“menuangkan” pikirannya ke muka publik atau khalayaknya, paling tidak, dapat
dilihat adanya korelasi antara ketokohan dan komfigurasi seseorang dengan media
tempat wacana intelektual dikomunikasikan melalui bahasa.1 Pemikiran manusia
selalu dilatarbelakangi oleh sejarah yang kemudian mencampurkan antara
kebudaannya yang tereflesikan dalam bentuk bahasa. Dalam bahasan ini, akan dilihat
bagaimana lahirnya dua organisasi besar yang ada di Indonesia yaitu Nahdatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah, pola pikir yang dikembangkan, pengaruh-pengaruh besar
Islam Klasik yang berkembang dan tumbuh di dalamnya, serta nilai-nilai strategis
yang di tawarkan pada bangsa Indonesia itu sendiri.

Penelitian diharapkan akan bermamfaat dalam menambah khasanah studi sejarah dan
pemikiran intelektual dan sekaligus memberikan kontribusi bagi pelestarian tradisi
keilmuan di Indonesia. Secara metodologis penelitian ini merupakan jenis penelitian
kualitatif dengan tempat penelitian kepustakaan (library research). Data penelitian ini
terdiri dari data primer berupa buku-buku Khazana Intelektual Islam, Reformasi
Intelektual Islam, Kontekstualisasi Dokrin Islam Dalam Sejarah, dan Tradisi
Intelektual Ulama Melayu Abad Ke 18 M. adapun data sekunder yakni data yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Data secara komprehensip
dikumpulkan menggunakan empat macam teknik yaitu: heuristik, verifikasi, dan

1
A. Mustofa Bisri. (2002). Early Muslim Tranders in South East Asia. Dalam Journal of The
Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. Vol. XXXIV. Hlm 674
interpretasi yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan) data, dan
historiografi (ditulis dalam bentuk tulisan).

Dengan historiografi inilah akan terlihat bagaimana pengaruh yang diwariskan oleh
intelektualisme Islam Klasik yang terjadi di dua kota besar umat Islam (Makkah dan
Madinah) atau Haramain, hingga dating ke Indonesia, dalam hal ini tergambar pada
dua Organisasi besar yaitu organisasi Muhammadiyah yang dipelopori oleh Ahmad
Dahlan berdiri pada tanggal 8 Dzulhiljah atau 18 November 1912   dan Nahdatul
Ulama dipelopori oleh Hasim As’ary berdiri tanggal 16 Rajab 1344 atau bertepatan
dengan tanggal 31 Januari 1926.

Pembahasan

Negara ialah organisasi tertinggi di antara kelompok masyarakat yang mempunyai


cita-cita tujuan bersama. Al-Quran dan Hadist tidak secara tersurat mendefinisikan
Negara dalam Islam tetapi mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya
Negara dibangun dan dibesarkan.

90 persentasi muslim di Indonesia kaum muslim dari seluruh penduduk, tanpa di


permasalahkan dari mana angka itu, karena itu kenyataan maka ketika sensus
menunjukan angka kaum muslim Indonesia kurang (sedikit) dari 90 persen, timbul
berdasarkan tafsiran terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.

Islam memang merupakan agama bagian besar bangsa Indonesia, apapun makna
penganutan mereka terhadap agama itu. Tentang Islam di Indonesia dan perannya
dalam subtansiasi ideologi nasional, tanpa eksklusifisme, dan tidak dalam semangat
kesewenangan suatu kelompok besar.
Hubungan agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan
yang dinamis, jalan tengah antara sekulerisme dan teokrasi.2 Keseimbangan dinamis
ini tidak ada pemisahan antara agama dan negara, namun masing-masing dapat saling
mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara
dan negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola
hubungan agama dan negara di Indonesia membantu apa yang sering disebut oleh
banyak kalangan sebagai hubungan simbiotik mutualista.

Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan
demokrasi Indonesia harus dipertahankan dalam tataran Indonesia yang plural dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karenanya, bersandar pada
komitmen kebangsaan ini adalah tidak relevan, bahkan ahikrotis, jika dijumpai
segelintir individu maupun kelompok dalam Islam yang hendak mengusung atau
gagasan tentang negara agama. Hal ini selain tidak sejalan dengan prinsip
kebhinekaan dan demokrasi, tetapi juga mengkhianati kesepakatan para pendiri
bangsa yang di antara mereka adalah para tokoh umat Islam yang tergabung dalam
dua organisasi besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang
menyeimbangkan jalannya bangsa ini.

Konteks kajian yang selanjutnya yang dapat dilihat bagaimana peran penting toko
bangsa yang tergabung dalam dua organisasi terbesar di Indonesia akan berimbas
pada era sekarang ini. Secara nyata dampak yang dilihat yaitu bagaimana dua
pemikiran organisasi besar itu berkembang di masyarakat, jelas intelektual klasik
sebagai awal tonggak berkembangnya Islam di Indonesia, akan di reaktualisasikan
secara jelas baik pada umat beorganisasi Muhammadiyah ataupun umat berorganisasi
Nahdatul Ulama itu sendiri, sebagai bahasan dapat dilihat bagin  berikut:

Reaktualisasi inteklektualisme Islam klasi pada organisasi Muhammadiyah


2
Ashutosh Varshney. (2009). Konflik Etnis Dan Peran Masyarakat Sipil Pengalaman
India. Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama. Hlm 5
Ketika tradisi intelektual nusantara memasuki abad ke 19 M memperlihatkan
beberapa perubahan penting. Asia Tenggara terutama negara Indonesia memasuki
akhir abad ke-17 sampai akhir abad ke 19 M, tradisi proses transmisi ajaran-ajaran
dan gagasan Islam yang melibatkan sebuah jaringan intelektual (Intelektual
network).3Memasuki abad ke 19 tradisi intelektual Islam di dunia Melayu mengalami
penguatan pemikiran, terutama dalam karya-karya atau gagasan-gagasan.

Budaya parternalistik yang berkembang dan atau dikembangkan di dunia Nusantara


terutama Indonesia menyebabkan intelektualisme menjadi agenda yang tidak kunjung
usai. Alasannya, pemikiran yang diterjemahkan dalam watak budaya politik,
mempengaruhi persepsi serta praktik pola pikir bernegara di Indonesia. Selama ini
masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup dengan utopia. 4 Itulah yang menyebabkan
masa depan yang tidak  pasti. Akibatnya, rakyat menjadi korban dan selalu dibayangi
mimpi-mimpi semua tentang kesejahteraan yang sebenarnya hanyalah ilusi yang
diciptakan para aktor saat ini. Disinilah perlu menggali khazanah intelektual Islam
klasik. Dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu
menunjukkan adanya pengaruh signifikan antara pemikiran Islam klasik dengan
intelektual Islam Nusantara terutama di bangsa Indonesia.

Proses tranmisi dan difusi ajaran dan gagasan Islam selalu melibatkan semacam
“jaringan intelektual” (intellectual networks), baik yang terbentuk di kalangan ulama
maupun salah satu segmen dari kaum intelektual secara keseluruhan. Yang disebut
sebagai “jaringan ulama” adalah jalinan hubungan yang kompleks dan luas, yang
terdapat baik yang terbentuk antar ulama sendiri maupun antara ulama dan murid-
muridnya.

3
Mark M. Krug. (1999). History and Social Science: New Approacher to the Teaching of
Social Studies. Toronto London: Waltham Massachuset. Hlm.2-4.
4
Utopia adalah sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan
(khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.
Lihat https://kbbi.web.id/utopia
Dalam tradisi keilmuan Islam, rihlah ilmiah bukanlah hal yang baru.  Pasca wafatnya
Rasulullah Saw para sahabat melakukan rihlah ilmiah untuk mengumpulkan dan
merekam hadits yang ditinggalkan Rasulullah Saw. Dalam perkembangan selanjutnya
perjalanan keilmuan tersebut bukan hanya menghasilkan kumpulan hadits, tetapi juga
mendorong terbentuknya “jaringan” sahabat Nabi Saw yang terlibat dalam usaha
merekam, menghafal, dan mencatat hadits Rasulullah Saw.5

Proses tradisi intelektual ini tidak terlepas dari proses tranmisi dan difusi ajaran dan
gagasan Islam selalu melibatkan semacam “jaringan intelektual” (intellectual
networks), baik yang terbentuk di kalangan ulama maupun salah satu segmen dari
kaum intelektual secara keseluruhan. Yang disebut sebagai “jaringan ulama” adalah
jalinan hubungan yang kompleks dan luas, yang terdapat baik yang terbentuk antar
ulama sendiri maupun antara ulama dan murid-muridnya.6

Terjadinya aliran-aliran dalam teologi Islam karena perbedaan pandangan dalam dan
memberikan penjelasan tentang Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan persoalan-
persoalan Theologi Islam lainnya. Kaum muslimin dengan segala ketekunan
memahami al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul yang bertalian dengan soal-soal
tersebut, menguraikan dan menganalisanya, dan masing-masing golongan Theologi
Islam berusaha memperkuat pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an  dan
hadits-hadits tersebut. Dalil-dalil akal-pikiran yang telah dipersubur oleh filsafat
Yunani dan peradaban-peradaban lainnya yang berperan penting dalam
memperkembang Teologi Islam. Bahasa Arab digunakan sebagai alat memahami al-
Qur’an dan hadits Rasul sebagai sumber theologi Islam, juga merupakan hal yang
5
Ahmad Shahal Mahfud. (2001). “Ijitihad Sebagai Kebutuhan”. Dalam
Jurnal Pesantren Nomor 2. Vol 1. Hlm. 105
6
Ahmad Safi’ Ma’arif. (2010). Muhammadiyah dan High Politiknya. Dalam Ulul Qur’an.
Nomor 2 Vol. VII. Tahun 1995. Hlm. 105. Dalam khasanah keilmuan Islam terdapat tradisi
yang sering disebut “rihlah ilmiah”. Penjelasan lebih lanjut lihat Hasan Asari.
(2006). Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik.
Bandung: Citapustaka Media. Hlm. 198. dan Umar Ridha Kahhalah. Dirasaat al-
Ijtima’iyyah fi al-‘ushur al-Islamiyyah. Hlm.54
penting untuk memberikan analisis, dalam memberikan pemahaman sebagai
dalil naqli dan ‘aqli.

Prinsip rasionalis pada dasarnya bahwa akan diberikan peranan utama dalam
penjelasan. Penerapan ini mempunyai banyak konsekuensi yang berbeda-
beda.7 Secara umum rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal
budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan yang bebas dari pengamatan indrawi.
Para penganut prinsip rasionalis memiliki pendirian bahwa suatu argumen akan
dipandang bermakna apabila suatu penjelasan dapat diverifikasi melalui rasio.
Dengan proses pemikiran abstrak dapat mencapai kebenaran  fundamental yang tidak
dapat disangkal. Realitas dapat diketahui secara tidak tergantung dari pengamatan,
pengalaman dan penggunaan metode empiris.

Akal budi merupakan sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pada
dasarnya  adalah suatu sistem deduktif yang dapat dipahami secara rasional dan tidak
secara langsung berhubungan dengan pengetahuan indrawi. Kebenaran tidak diuji
melalui prosedur verifikasi indrawi, tetapi dengan kriteria seperti konsistensi logis.
Golongan teologi Islam klasik terutama Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk
penyiaran Islam melalui dialogis filosofis dan membantah alasan-alasan orang yang
memusuhi Islam melalui argumentasi logis.8 Golongan Islam tidak akan bisa
menghadapi lawan-lawannya, jika mereka tidak mengetahui pendapat-pendapat
lawannya. Akhirnya wilayah Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam
pendapat. Hal ini mempengaruhi masing-masing pihak, di antaranya mempergunakan
argumentasi rasional dalam menjelaskan dan mempertahankan pendapat mereka.
Sebagian umat Islam mempelajari metode-metode filsafat Yunani untuk digunakan

7
Abdul Mustaqim. (2014). Model Penelitian Tokoh Dalam Teori dan Aplikasi. Dalam Jurnal
Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadist. Vol. 15 Nomor 2. Edisi Juni 2014. Hlm.92
8
Ismail Asy-Syarafa. (2005). Paradikma Pendidikan Muhammadiyah, Dalam Jurnal Studi
Keislaman. Vol 1. No 1 Edisi Desember 2005. Hlm. 210
dalam menjelaskan dan mempertahankan ajaran Islam, di antaranya adalah golongan
mu’tazilah.

Mu’tazilah adalah kelompok yang membangun pahamnya berdasarkan analisa akal.


Dalam menafsirkan agama, mereka menafsirkannya sesuai dengan logika
akal.9 Mu’tazilah adalah aliran filsafat dalam dunia Islam abad ke 8 dan ke 9. Disebut
mu’tazilah atau I’tazala yaitu mereka yang memisahkan diri dari jamhur ‘alim ulama
yang dianggap menyelewengkan  ajaran Islam. Aliran ini mengajarkan lima prinsip
(al-usul al khamsah) untuk menyelamatkan Islam dari kehancuran.10 Aliran ini
dirintis oleh Wasil bin Ata’ (700-749 M) mempergunakan filsafat Aristoteles,
dikenakan baju Arab dan diwarnai ‘itiqad Islam. Di antara masalah-masalah pokok
yang menjadi pusat perhatian Mu’tazilah adalah pembahasan tentang tindakan
manusia. Apakah manusia bebas melakukan tindakannya atau hanya menjalankan
kehendak Tuhan (terpaksa).

Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan


kebebasan  bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, karena
Tuhan tidak absolut dalam kehendak-Nya, dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku
adil, berkewajiban menepati janji, berkewajiban memberi rizki. Dalam hubungannya
dengan perbuatan manusia, kehendak mutlak Tuhan jadi terbatas karena kebebasan
itu telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan kehendaknya.

Keutamaan dalil rasio di antara empat jenis dalil tersebut, bahwa dalil rasio tersebut
membawa kepada pengetahuan tentang adanya Tuhan berdasarkan argumentasi yang
spekulatif. Qadi beralasan bahwa tubuh adalah fana tidak kekal. Oleh karena itu pasti
ada zat lain yang tidak fana yang merupakan perancang dan pencipta makhluk yang
fana. Proses penalaran dari penciptaan tubuh yang fana  sampai pada konsekwensi
9
Imam Muhammad Abu Zahrah. (1996). Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta:
Logos. Hlm. 149
10
Dik Hartoko. (2013). Dualisme Pendidikan di Indonesia. Dalam Jurnal Lentera Pendidikan.
Vol. 16 Nomor. 2 Edisi Desember 2013. Hlm. 63-64
logis  bahwa pasti ada pencipta yang kekal, yang terdapat dalam sebagian besar
penjelasan.

Intelektual Muslim Indonesia semakin memperhatikan persoalan yang cocok bagi


Islam dalam pembangunan negara, dan nilai-nilai Islam dapat dipadukan dengan
rasionalisme. Persoalan rutinitas dalam teologi dan hukum Islam (fiqh) masih
diperdebatkan, tetapi tidak menjadi perhatian utama intelektual. Yang lebih penting
bagi mereka adalah teologi pembangunan, istilah Nurcholis Madjid “Gerakan
pembahruan Pemikiran Islam”.11

Muslim Indonesia yang tergabung dalam Muhammadiyah dan organisasi modernis


lainnya, yang pada dasarnya adalah apologi. Modernis terdahulu menekankan
rasionalitas dalam usaha menghilangkan praktek-praktek keagamaan tradisional, dan
menegaskan bahwa Islam tidak hanya sekedar mengizinkan, tetapi membutuhkan
kemodernan. Tentang wacana di Indonesia, diam-diam kemodernan dipertegas dalam
istilah teknologi dan ilmu pengetahuan. Karena modernisme sebelumnya
menggabungkan rasionalitas teknologi serta ilmu pengetahuan  dengan skritualisme
Islam, maka persoalan agama dikeluarkan dari wilayah kerja rasionalitas. Ini berarti
konsep kaum modernis tentang masyarakat Islam terbatas pada pemahaman literal
ajaran sosial  dari al-Qur’an dan Hadits.

Sumbangan yang paling penting dari Hidayat Nata Atmaja untuk pengembangan
wacana Islam Indonesia adalah usaha beliau untuk memisahkan modernisme  dari
skriptualisme. Nurcholis Madjid memberikan penilaian yang lebih realistis tentang
bagamana Muslim harus mendekati kemodernan.12 Menurut Nurcholis Madjid,
Muslim Indonesia kembali mengalami kelambanan dalam pemikiran dan

11
Nurcholish Madjid. (1992). Islam, Kemodernan dan Ke-Melayu-Nusantaraan. Bandung:
Bulan Bintang. Hlm. 175-177
12
Fakhri Ali, Bakhtiar Effendi. (2011). Akar Tradisi Politik Sunni di Indonesia Pada Masa
Kerajaan Islam di Nusantara. Universitas sumatera Utara. Dalam Jurnal ISLMICA Vol. 6
Nomor 1 September. Hlm. 175-177
perkembangan pendidikan Islam. Beliau menerangkan bahwa kebutuhan terhadap
pembaharuan pemikiran lebih mendesak ketimbang kebutuhan untuk
mempertahankan kesepakatan intelektual umat. Dalam pidatonya beliau
menggambarkan organisasi modernis seperti Muhammadiyah telah kaku, mungkin
tidak mampu menangkap semangat dinamis dan progresif dari gagasan perbaikan itu
sendiri.13 Ia menghimbau untuk mengakhiri perdebatan antar aliran dan beralih untuk
memperjuangkan sebuah metode penalaran.

Dalam keadaan genting ini kehadiran kalam Mu’tazilah menjadi signifikan dalam
wacana Indonesia. Harun Nasution berpaling pada kalam Mu’tazilah, karena kalam
ini mengizinkan penggunaan nalar dalam masalah keagamaan. Di kalangan teologi
Islam di Indonesia, hanya Mu’tazilah yang membedakannya dari mazhab Islam yang
lain adalah keutamaan nalar spekulatif (nazar).14 Bagi Mu’tazilah nalar spekulatif
sangat penting untuk mengetahui Tuhan dan memahami keadilannya, dan kemudian
mematuhinya. Terlepas  dari cara theolog Mu’tazilah memahami hasil refleksi dan
penalaran spekulatif  mereka yang posisinya di bawah al-kitab sebagai dalil
pembuktian. Pendekatan ini, yaitu: Pertama, penalaran spekulatif merupakan usaha
yang dilakukan oleh theolog Mu’tazilah untuk memahami persoalan agama. Dengan
kata lain nalar spekulatif adalah anti tesis dari peran dogma kitab suci, yang menjadi
pendirian Sunni. Kedua, bagaimanapun, karena manusia bukan makhluk yang
absolut, maka semua yang mereka hasilkan adalah kondisional. Ketiga, karena itu,
kebenaran manusia adalah relatif (zanny) dan temporal. Ketidakpastian ini
merupakan kualitas yang esensial dari semua aktifitas intelektual manusia, termasuk
penalaran spekulatif.

13
Susikna Azhari. (2006). Jalinan Komunikasi Hubungan Muhammadiyah dan NU Dalam
Menentukan Hisab dan Ruqyah. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Yokyakarta.
Dalam Jurnal Al-Jami’ah. Vol 44. Nomor 22. Hlm 454.
14
A. Malik, M. Thaha Tuannaya. (2011). Dakwah Berwawasan Multikultural (Stud Kasus
Tentang Da’I/ Mubaligh/ Penyulu di Kota Banda Aceh. Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI. Dalam Jurnal PANAMAS.Vol xxlv. No 1, Edisi Januari-April. Hlm
19
Indonesia dengan kelembagaan yang berkembang dan Muhammadiyah sebagai
organisasi yang mengisi kemerdekaan memberikan kontribusinya yang sangat luar
biasa terutama dalam bidang pendidikan yang bersipat rasional (keselarasan antara
rasio dan wahyu), pasilitas pendidikan yang bersifat modern, pengembangan
lembaga-lembaga kesehatan, lembaga perguruan tinggi yang bersifat modern dan
berselaras antara keilmuan agama dan keilmuan modern. Pola fikir yang rasional,
terlihat jelas pada intelektualisme yang bersinergi dalam kemodern Islam.

Pemikir Indonesia kontemporer di atas, berlawanan dengan Mu’tazilah, mereka puas


untuk hanya mengandalkan kitab suci sebagai dasar untuk mengetaui Tuhan. Namun
mereka tetap menggunakan keutamaan akal sebagai alat solusi Islam terhadap
persoalan sosial di dunia. Ini merupakan perhatian utama untuk mengembangkan
teologi praktis yang bisa memberikan penafsiran Islam bagi realitas sosial dan politik,
hal tersebut membedakan rasionalis klasik, yaitu Mu’tazilah, dari teolog modernis di
Indonesia. Dengan cara ini kelihatan bahwa perbedaan antara teolog Mu’tazilah  dan
modernis, lebih pada penekanan aspek pengalaman esoteris  agama.  Pergulatan
modernitas dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi
yang ada. Meskipun gerakan pembaharu Islam tidak dapat disebut modernisme Islam
karena konteknya berbeda. Gerakan pembaharu yang dilakukan di Indonesia yang
merujuk pada modernisme, untuk mewujudkan peradaban dunia Islam di Indonesia
dalam menjawab tantangan global.

Reaktualisasi inteklektualisme Islam klasi organisasi Nahdatul Ulama.

Tradisi intelektual umumnya mengacu pada proses transmisi keislaman, pembentukan


wacana intelektual, yang dalam proses selanjutnya menjadi tradisi yang
dikembangkan dan dipelihara secara terus menerus. Tradisi intelektual ini kemudian
berwujud pada lahirnya karya-karya keislaman. Kontak keilmuan Islam antara
wilayah Indonesia dengan pusat keilmuan di Haramain semakin intensif pada
gilirannya, ketika sebagian ulama kembali ke tanah airnya, mereka menjadi lokomotif
utama dalam sosialisasi dan transmisi berbagai pemikiran keagamaan ke kalangan
masyarakat Muslim Nusantara.15

Dari sinilah timbulnya persoalan besar yang menyebakan perpecahan umat Islam,
yang berkaitan dengan pelaku dosa besar, sedangkan mereka pada awalnya sudah
beriman, kemudian berlanjut pada persoalan orang mukmin yang melakukan dosa
kecil terus-menerus. Selanjutnya berlanjut pada persoalan status al-Qur’an apakah
hadits atau qadim, dan masuk pada pemahaman makna ayat-ayat mutasyabihat,
sampai pada zat, sifat dan af’al Allah. 

Secara garis besar, pemikiran umat Islam dapat dibagi kepada empat kelompok,
yakni: Pertama, bidang ketuhanan, yang meliputi pembahasan mengenai Allah dan
sifat-sifat-Nya dan hubungan alam semesta dengan-Nya. Kedua, bidang akhlak
(etika), yang meliputi pembahasan mengenai manusia dan perilakunya; hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia
dengan alam semesta. Ketiga, bidang fisika; meliputi pembahasan tentang alam
pertumbuhan dan perkembangannya. Keempat, bidang eksakta, yang meliputi
pembahasan mengenai keilmuan seperti; matematika, geometri, astronomi dan lain
sebagainya.16

Hasil pemikiran umat Islam tentang ke empat hal tersebut cukup banyak membawa
perkembangan terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Hal ini memiliki
nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Terkait dengan permasalahan
ketuhanan, banyak konsep-konsep pemikiran yang muncul. Hal ini disebabkan

15
Oman Fathurrahman. (2004). “Tradisi Intelektual Islam Melayu-Indonesia: Adaptasi dan
Pembaharuan: Book Review Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World.
Singapore: Horizon Books. (2001), dalam Jurnal Studia Islamika. Vol. 8, No. 3. Jakarta:
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat. PPIM. UIN Syarif Hidayatullah. Hlm.212.
16
A. Hanafi. (2012). Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. Hlm.18
ketuhanan merupakan hal mendasar dalam ajaran Islam, persoalannya sangat rumit
dan unik.

Tuhan merupakan hal yang Maha Ghaib, sehubungan dengan maha ghaibnya Tuhan,
maka muncullah bermacam-macam konsep pemikiran rasional. Terkait dengan
masalah-masalah ini menjadi kajian dalam teologi, yang membahas secara rasional
dalam teologi Islam seperti aliran Mu’tazilah, As’ariyah, Maturidiyah dan lain
sebagainya, sedangkan dalam filsafat termasuk pada kajian metafisika.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam terbesar dengan jumlah
anggota terbanyak di Indonesia, dan merupakan suatu organisasi yang berbasis massa
di bawah kepemimpinan ulama. Keyakinan yang mendalam terhadap pelbagai
pemikiran, gagasan, konsep di segala hal, serta metode-metode yang diusung NU
diyakini sebagai kunci utama NU untuk dapat eksis dan terus bertahan hingga hari
ini.17

Untuk memahami NU sebagai jam'iyyah diniyah (organisasi keagamaan) secara


tepat, belumlah cukup dengan melihat dari sudut formal sejak ia lahir. Sebab jauh
sebelum NU lahir dalam bentuk jam'iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu ada dan
berwujud jama'ah (community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang
mempunyai karakteristik tersendiri.

Lahirnya jam'iyyah NU tidak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah
ada. Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisasi keagamaan itu, hanyalah sekedar
penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham, pemegang teguh
salah satu dari empat mazhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali yang sudah
berjalan dan sudah ada jauh sebelum lahirnya jam'iyyah NU.
17
Slamet Effendi Yusuf(2011). Membendung Radikalisme, Merajut Kerukunan Umat
Beragama: Sebuah Upaya Rekontruktif Terhadap  Pendidikan Agama Islam Di Perguruan
Tinggi Umum. Akademi Maritim: Samarinda. Dalam Jurnal TEMPO. Vol. 12 Nomor 2. Edisi
Juni- Desember. Hlm 322.
Tujuan didirikannya NU adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal jamaah yang menganut salah satu dari
mazhab empat, dan mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya
serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.18

Untuk itu kehadiran NU memiliki peranan yang penting untuk Indonesia di antaranya
melakukan perubahan-perubahan dalam sikap dan pandangan dunia banyak kalangan
Muslim, khususnya dalam beradaptasi dengan tantangan-tantangan modernisasi.
Peranan ini terkadang disalahpahami oleh para pengamat. Mereka melihat NU
sebagai penghubung, antara negara modern dan masyarakat tradisional. Clifford
Geertz, misalnya menempatkan kiai NU sebagai "makelar budaya". Tetapi
penggunaan istilah ini, juga dengan pemahaman suatu proses di mana "makelar
budaya" melakukan seleksi mana budaya yang bisa diterima dan mana yang harus
ditolak mengimplikasikan seolah "para makelar budaya" itu sendiri tidak memiliki
pandangan dan pendekatan-pendekatan yang orisinil.

Pandangan tentang peranan kiai pesantren ini, yang tercatat sebagai salah satu eleman
terpenting dalam kepemimpinan NU, telah dibantah oleh hasil penelitian Hiroko
Horikhosi. Hasil studinya mengenai fungsi sosial kiai di Jawa Barat menunjukkan
bahwa daya dorong perubahan itu datang dari dalam inti pemikiran agama, yang
mengiring interaksi yang panjang dengan modernisasi itu sendiri.

Sebagai suatu gambaran mengenai peran yang dimainkan oleh NU dalam


hubungannya dengan perubahan sosial, dapat dilihat pada keputusan mengorganisir
melalui RMI (Rabithah Ma'ahid Islamiyah), serial forum yang mendiskusikan
hubungan-hubungan antara ajaran Islam yang mapan dan aspek-aspek kehidupan
modern yang beragam seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, pembaharuan hukum,

Greg Barton dan Greg Fealy. (1997). Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul


18

Ulama-Negara. Yogyakarta: LkiS. Hlm  xiii


peranan parlemen dan pembuat undang-undang lokal, transplantasi organ tubuh
manusia, dan fungsi lembaga-lembaga ekonomi modern seperti perusahan asuransi
dan pertukaran saham.

Masalah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sesungguhnya merupakan masalah


yang cukup kompleks, rumit, dan menyangkut kepentingan masyarakat sebagai
manusia perorangan, anggota keluarga tertentu, anggota golongan tertentu, anggota
masyarakat setempat, maupun anggota bangsa Indonesia. Ada beberapa hal yang
perlu  diperhatikan berkenaan dengan masalah integrasi, bilamana hendak berusaha
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, karena apa yang dilakukan sangat
banyak tergantung pada bagaimana cara menggambarkan masalah yang dihadapi,
cara memili pernyataan yang diperhatikan atau tidak diperhatikan. Oleh sebab itu,
gambaran yang dijadikan dasar untuk berfikir, menentukan sikap dan bertindak
sangat tergantung pada kerangka berpikir yang digunakan serta keterangan, atau
informasi yang dimiliki.

Nilai Strategis Intelektualisme Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dalam


membangun bangsa Indonesia.

Nilai-nilai dan aturan permainan Indonesia hendaknya dijadikan pegangan. Bahasa


Indonesia hendaknya dijadikan bahasa persatuan dalam arti yang sesungguhnya.
Sementara itu, di kalangan golongan sendiri bila bahasa daerah, kebudayaan daerah,
agama tertentu, dan lain-lain dipertahankan, sepanjang tidak mengganggu persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia. Golongan yang bersangkutan harus dibenarkan
memperoleh nikmat dari kekhasan budaya atau agama golongannya. Nasional
Indonesia terbentuk dari manusia-manusia yang berasal dari berbagai golongan, baik
suku bangsa, ras, maupun agama, bahkan dengan latar belakang dan arah budaya
yang beraneka ragam.
Keberhasilan upaya integrasi niali-nilai keislaman dan keIndonesiaan dalam
pluralisme atau kemajemukan yang lebih dikenal dengan ungkapan persatuan dan
kesatuan bangsa,19 tidak saja ditentukan oleh pemerintahan ataupun golongan tertentu
saja, melainkan ditentukan oleh seluruh elemen masyarakat.  Bilamana semua sadar
atas tugas kewajiban masing-masing sebagai orang Indonesia berkenaan dengan
tuntutan untuk mempersatukan golongan-golongan yang berbeda-beda dalam
masyarakat Indonesia, persatuan nasional dapat terwujud secara lebih baik, lebih
lestari, berlansung terus-menerus, hingga akhir zaman.

Agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Pengakuan akan kedudukan dan peran penting agama tercermin dari
penetapan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama falsafah negara
Pancasila, yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai sila-sila Pancasila lainnya.
Oleh sebab itu, pembangunan agama bukan hanya merupakan bagian integral
pembangunan nasional, melainkan juga bagian yang seharusnya melandasi dan
menjiwai keseluruhan arah dan tujuan pembangunan nasional.

Selain memiliki posisi yang sangat penting, agama juga menepati posisi yang unik
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dalam suatu rumusan
terkenal tentang hubungan antar agama dan negara di Indonesia bahwa “ Indonesia
bukanlah negara teokratis, tetapi bukan pula negara sekuler”20. Rumusan ini berarti
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak didasarkan pada satu paham atau
keyakinan agama tertentu, namun nilai-nilai keluhuran, keutamaan, dan kebaikan

19
H. Muchith A. Karim. (2003). Potret Interaksi Sosial Lintas Agama di Mandor
Pontianak. Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Derpatemen Agama RI: Jakarta. Dalam jurnal Multikultural dan Multireligius. Vol.II. No 7.
Edisi Juli-September. Hlm 301
20
T. Narda. (2004). Rekonsiliasi dan Persoalan Transisi Demokrasi Kita (Dilihat dari
Komunikasi dan Media dalam Islam). The  Riden Institute: Semarang. Dalam Jurnal
HARMONI. Vol II. Nomor. 8. Edisi Januari-Juni. Hlm 323.
yang terkandung dalam agama-agama diakui sebagai sumber dan landasan spiritual,
moral dan etika bagi kehidupan bangsa dan negara.

Pembangunan kehidupan beragama di Indonesia bertujuan agar kehidupan beragama


itu selalu menuju kearah yang positif dan menghindari serta mengurangi ekses-ekses
negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman masyarakat.
Kebijaksanaan pemerintah dalam kehidupan pembangunan kehidupan beragama,
terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama,
karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan antar
umat beragama. merujuk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ada
beberapa landasan filosofis bagi pembangunan bidang agama, yaitu agama sebagai
sumber niali spiritual, moral, dan etika bagi kehidupan beragama dan bernegara,
penghormatan dan perlindungan atas hak dan kebebasan beragama sebagai bagian
dari hak asasi warga negara, kerukunan umat beragama dan tata kelola kehidupan
beragama, dan pengembangan karakter jati diri bangsa.21

21
Abdurrahman Kasdi, Ummah Farida. (2013). Amal Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Al-
Qur’an (Kajian Semantik). Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN): Kudus. Dalam
Jurnal HERMENEUTIK Jurnal tafsir dan Hadist. Vol. 9 Nomor 2, Edisi Juni-Desember. Hlm
257.
Kesimpulan

Reaktualisasi inteklektualisme Islam klasi di Indonesia yang terdapat pada organisasi


Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yaitu: Pertama, bidang ketuhanan, yang
meliputi pembahasan mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya dan hubungan alam semesta
dengan-Nya. Kedua, bidang akhlak (etika), yang meliputi pembahasan mengenai
manusia dan perilakunya; hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, bidang fisika;
meliputi pembahasan tantang alam pertumbuhan dan perkembangannya. Keempat,
bidang eksakta, yang meliputi pembahasan mengenai keilmuan seperti; matematika,
geometri, astronomi dan lain sebagainya. Hasil pemikiran umat Islam tentang ke
empat hal tersebut cukup banyak membawa perkembangan terhadap ilmu
pengetahuan dan peradaban manusia. Hal ini memiliki nilai yang penting dalam
kehidupan manusia. Terkait dengan permasalahan ketuhanan, banyak konsep-konsep
pemikiran yang muncul. Hal ini disebabkan ketuhanan merupakan hal mendasar
dalam ajaran Islam, persoalannya sangat rumit dan unik.
Daftar Pustaka

Buku

Asari Hasan. (2006). Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah


Sosial-Intelektual Muslim Klasik. Bandung: Citapustaka Media.

Barton dan Greg Fealy, Greg. (1997). Tradisionalisme Radikal Persinggungan


Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LkiS.

Hanafi, A. (2012). Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

M. Krug, Mark. (1999). History and Social Science: New Approacher to the


Teaching of Social Studies. Toronto London: Waltham Massachuset.

Madjid, Nurcholish. (1992). Islam, Kemodernan dan Ke-Melayu-


Nusantaraan. Bandung: Bulan Bintang.

Muhammad Abu Zahrah, Imam. (1996). Aliran Politik dan Aqidah dalam


Islam. Jakarta: Logos

Varshney, Ashutosh. (2009). Konflik Etnis Dan Peran Masyarakat Sipil


Pengalaman India. Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama.

Jurnal
Ali, Fakhri. Bakhtiar Effendi. (2011). Akar Tradisi Politik Sunni di Indonesia
Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara.  Universitas sumatera Utara. Dalam
Jurnal ISLMICA Vol. 6 Nomor 1 September.

Amien Rais, M. (1996). Tauhid Sosial: Dokrin Perjuangan Muhammadiyah”.


Dalam Jurnal Media Inovasi. Nomor 1 Vol. VII Tahun 1996.

Asy-Syarafa, Ismail. (2005). Paradikma Pendidikan Muhammadiyah,  Dalam


Jurnal Studi Keislaman. Vol 1. No 1 Edisi Desember 2005.

Azhari, Susikma. (2006). Jalinan Komunikasi Hubungan Muhammadiyah dan


NU Dalam Menentukan Hisab dan Ruqyah. Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri Yokyakarta. Dalam Jurnal Al-Jami’ah. Vol 44. Nomor 22.

Effendi Yusuf, Slamet. (2011). Membendung Radikalisme, Merajut Kerukunan


Umat Beragama: Sebuah Upaya Rekontruktif Terhadap  Pendidikan Agama
Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Akademi Maritim: Samarinda. Dalam
Jurnal TEMPO. Vol. 12 Nomor 2. Edisi Juni- Desember.

Fathurrahman, Omar. (2004). “Tradisi Intelektual Islam Melayu-Indonesia:


Adaptasi dan Pembaharuan: Book Review Peter Riddell, Islam and the Malay-
Indonesian World. Singapore: Horizon Books. (2001), dalam Jurnal Studia
Islamika. Vol. 8, No. 3. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat. PPIM.
UIN Syarif Hidayatullah.

Hartoko, Dik. (2013). Dualisme Pendidikan di Indonesia. Dalam Jurnal Lentera


Pendidikan. Vol. 16 Nomor. 2 Edisi Desember 2013.

Kasdi, Abdurrahman. Ummah Farida. (2013). Amal Ma’ruf Nahi Mungkar


Menurut Al-Qur’an (Kajian Semantik).  Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN): Kudus. Dalam Jurnal HERMENEUTIK Jurnal tafsir dan Hadist. Vol.
9 Nomor 2, Edisi Juni-Desember.

Malik, A.  M. Thaha Tuannaya. (2011). Dakwah Berwawasan Multikultural


(Stud Kasus Tentang Da’I/ Mubaligh/ Penyulu di Kota Banda Aceh. Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Dalam Jurnal PANAMAS.Vol
xxlv. No 1, Edisi Januari-April.

Muchith, HA. Karim. (2003). Potret Interaksi Sosial Lintas Agama di Mandor


Pontianak.  Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Derpatemen Agama RI: Jakarta. Dalam jurnal Multikultural dan
Multireligius. Vol.II. No 7. Edisi Juli-September.

Mustofa Bisri, A. (2002). Early Muslim Tranders in South East Asia. Dalam


Journal of The Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. Vol. XXXIV.

Mustaqim, Abdul. (2014). Model Penelitian Tokoh Dalam Teori dan Aplikasi.
Dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadist. Vol. 15 Nomor 2. Edisi
Juni 2014.

Narda, T. (2004). Rekonsiliasi dan Persoalan Transisi Demokrasi Kita (Dilihat


dari Komunikasi dan Media dalam Islam). The  Riden Institute: Semarang.
Dalam Jurnal HARMONI. Vol II. Nomor. 8. Edisi Januari-Juni.

Safi’ Ma’arif, Ahmad. (2010). Muhammadiyah dan High Politiknya. Dalam


Ulul Qur’an. Nomor 2 Vol. VII. Tahun 1995.

Shahal Mahfud, Ahmad. (2001). “Ijitihad Sebagai Kebutuhan”. Dalam


Jurnal Pesantren Nomor 2. Vol 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Curriculum Vitae

I. Data Pribadi

1. Nama : Ilham Muhamad

2. Tempat dan Tanggal Lahir : Garut, 14 Juni 2000

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Agama : Islam

5. Status Pernikahan : Belum menikah

6. Warga Negara : Indonesia

7. Alamat KTP : Kp Tegal gede RT 02 RW 16 Desa Sindang


ratu Kec Wanaraja Kab Garut Provinsi Jawa
barat

8. Alamat Sekarang : Kp Tegal gede RT 02 RW 16 Desa Sindang


ratu Kec Wanaraja Kab Garut Provinsi Jawa
barat

9. Nomor Telepon / HP : 087749550371

10. e-mail : muhamadgrt10@gmail.com


11. Kode Pos : 44183

II. Pendidikan Formal :

Periode Sekolah Jurusan Jenjang

(Tahun) Pendidikan

200 - 2012 SDN 01 Sindang Ratu SD


6

201 - 2015 MTs PERSIS 212 SMP


2 Kudang

201 - 2018 MA AL-Fatah Lampung IPS SMA


5 Selatan

201 - Sam STAI PERSIS GARUT PAI S1


8 pai
seka
rang

III. Training HMI

Tahun Jenis Training Tempat

2018 LK I HMI komisariat STAI PERSIS


GARUT Cabang Garut

Demikian CV ini saya buat dengan sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai