Anda di halaman 1dari 59
164 Pengantar Btika Bisnis, manfaat semua stakeholders. Sekaligus juga di sini kita mempunyai kemung- kinan baru untuk membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para peme- gang saham dipertimbangkan. Keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu unit produksi seperti pabrik boleh disebut sebagai contoh. Keputusan ini mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja kepentingan para pe- megang saham harus dipertimbangkan, tapi juga kepentingan dari semua pihak Jain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik. Tidak meng- herankan, jika sudah ada beberapa buku etika bisnis yang mengusahakan pen- dekatan stakeholders sebagai kerangka penguraiannya.™ Pertanyaan untuk latihan: 1. _Mengapa maksimalisasi keuntungan menjadi tidak etis, bila dianggap se- bagai satu-satunya tujuan perusahaan? Jelaskan sebuah contoh dari sejarah di mana hal itu sebenarnya terjadi. 2. Lukiskan masalah pekerja anak di negara-negara berkembang. Mengapa mempekerjakan anak harus dianggap tidak etis? Bagaimana dalam hal ini peraturan hukum di Indonesia? : 3, _Bagaimana keuntungan sebagai tujuan bisnis sekarang direlativasi? Dalam Konteks ini, apa maksudnya "manfaat bagi stakeholders”? Catatan Bab 5 - (1) Robert Solomon, Ethics and Excellence, New York/Oxford, Oxford University Press, 1993, ‘him. 39-40, Q) Misalnya: George Chryssides/John Kaler, An Introduction to Business Ethics, London, ‘Chapman and Hall, 1993, him. 148; buku Schumpeter yang terkenal dalam konteks ini: Capitalism, Socialism and Democracy (1943). @) Bandingkan: David Korten, When Corporations Rule the World, West Hartford, Connecticut, Kumarian Press, 1996. (4) Sebagai contoh dapat dikutip beberapa Kalimat dari buku pegangan yang banyak dipakai ‘di Amerika Serikat tahun 1970-an, W. Warren Haynes/William R. Henry, Managerial Eco- nomics: Analysis and Cases, Dallas, Texas, 1974: “Profit maximization is the central assump- tion in managerial economics. The reasons for the stress on profits are several. Profits are, after all, the one pervasive objective running through all business situations; other objec- tives are more a matter of personal taste or of social conditioning and are variable from firm to firm, society to society, and time to time... It is therefore usual to proceed in the early analysis as though profits were the only goal. ‘After the consequences of that assumption have been derived, itis possible to bring in other considerations. Economics has developed a systematic and sophisticated system of logic as Jong. the goal is one of profits, it becomes more awkward and cumbersome when it incor- Bab 6 Kewajiban Karyawan dan Perusahaan Dalam bab ini kita mempelajari kewajiban pada dua pihak: karyawan dan perusahaan. Kita mulai dengan menyoroti kewajiban karyawan terhadap per- usahaan. Lalu kita membalikkan perspektifnya dengan memfokuskan ke- wajiban perusahaan terhadap karyawan. Tentu saja, materi yang sama bisa dibahas juga dari segi hak. Kewajiban di satu pihak kerap kali (tetapi tidak selalu) sepadan dengan hak di pihak lain." Misalnya, hubungan timbal balik ini selalu tampak dalam konteks keadilan (bdk. Bab 3, §1). Dalam hubungan antara karyawan dan perusahaan, korelasi kewajiban—hak ini pada umumnya ada juga. Membahas segi kewajiban maupun hak akan mengakibatkan kita sering harus mengulangi hal yang sama sampai dua Kali. Kami memilih untuk membicarakan topik ini dari segi kewajiban saja, tetapi perlu disadari bahwa segi hak sering berperan juga, secara implisit ataupun eksplisit. Membahas secara umum kewajiban karyawan dan perusahaan mau tidak mau akan menghadapi banyak kesulitan. Sebab, di antara karyawan terdapat banyak variasi: ada posisi dan peran yang sangat beragam. Kalau di sini kita berbicara tentang karyawan, yang terutama kita maksudkan adalah manajer, dalam arti mereka yang memimpin karyawan lain, seperti misalnya kepala bagian. Alasannya, terutama merekalah yang memikul tanggung jawab dalam perusahaan, sehingga konsekuensi-konsekuensi etika tampak dengan lebih jelas, Tetapi yang berlaku bagi para manajer, mutatis mutandis bisa diterapkan juga pada semua karyawan lain. Perusahaan juga ada banyak macam. Ada yang besar atau kecil, dan ba- nyak sekali bidang yang berbeda digeluti oleh perusahaan. Biro perjalanan sangat berbeda dengan pabrik krupuk atau jenis makanan lainnya. Jaringan toko serbg ada sngat berbeda dengan pabrik otomotif. Kantor pengacara ber- beda lagi dengan tempat "money changer”. Tetapi semua jenis usaha itu kita sebut “perusahaan”. Masalah etis yang ditimbulkan oleh perusahaan tidak selalu sama pula. Pada pabrik kimia, umpamanya, kita menemui masalali- masalah moral yang tidak akan timbul pada kebanyakan perusahaan lain. Da- lam uraian ini kita tidak memperhatikan semua perbedaan itu. Kita akan ber: a 167- 168 Pengantar Etika Bisnis usaha membicarakan perusahaan pada umumnya, sambil melewati semua perbedaan konkret yang ada. Sebuah catatan pendahuluan lain lagi perlu ditambah. Kalau di sini kita membahas masalah etika dalam hubungan karyawan dengan perusahaan, kita tidak bermaksud menyoroti semua macam masalah etika yang dapat dibayang- kan. Kita membatasi diri pada masalah-masalah etika yang menimbulkan ke- sulitan khusus. Yang penting di sini terutama dua tipe permasalahan. Pertama, konflik antara kewajiban-kewajiban moral atau disebut juga dilema moral. Sering kali kita menghadapi dua kewajiban sekaligus. Ada alasan untuk meme- nuhi kewajiban satu dan ada alasan juga untuk memenuhi kewajiban kedua, tetapi tidak mungkin memenuhi kedua kewajiban itu sekaligus. Misalnya, sering kali karyawan tidak mempunyai kewajiban kepada perusahaan saja, tetapi mempuyai kewajiban juga kepada dirinya sendiri dan keluarganya (kepentingan diri). Yang mana dari dua kewajiban ini harus diberi prioritas dan atas dasar apa? Kedua, ada masalah etika lain yang dinilai secara berbeda oleh berbagai pihak. Ada yang mengatakan: "boleh-boleh saja, tidak apa-apa”. ‘Ada orang lain yang beranggapan: "tidak boleh”. Orang lain lagi menegaskan: “barangkali sebaiknya tidak dilakukan, tapi pada kenyataannya semua orang melakukan hal itu’. Di tengah perbedaan pendapat ini siapa yang benar? Di sini kita menginjak grey area dalam etika atau “kawasan kelabu”, di mana kuali- tas etis sebuah perbuatan tidak jelas. Perbuatan itu tidak jelas-jelas putih (dalam arti: halal) dan tidak pula jelas-jelas hitam (haram), tetapi kualitas etisnya ter- letak di tengah-tengah. Belum tercapai konsensus tentang apa yang harus dinilai etis atau tidak. Jika kita ingin bertindak dengan penuh tanggung jawab, apa yang harus dilakukan dalam situasi semacam itu? Yang tidak akan dipelajari di sini adalah perbuatan-perbuatan yang dengan jelas salah. Kita mempunyai kewajiban untuk selalu mengatakan yang benar dan tidak berbohong. Demikian juga ada kewajiban untuk tidak mencuri atau menipu, walaupun hal-hal seperti itu sering terjadi dalam konteks bisnis. Kita ingat saja akan penipuan dengan cek kosong atau uang palsu, penipuan dengan pembukuan ganda, perdagangan saham dengan menggunakan informasi yang tidak boleh diketahui pihak luar (insider trading), dan banyak praktek bisnis lain yang tidak etis. Di sini tidak ada masalah etis, yang ada hanyalah masalah motivasi. Orang tahu bahwa perbuatannya tidak baik, namun merasa tergoda untuk melakukannya demi keuntungan yang diperoleh dengannya. Yang ber- langsung di sini adalah konflik motivasional (orang tahu bahwa perbuatannya tidak baik, namun demi keuntungan ia melakukannya juga), bukan konflik kewajiban moral, karena sudah jelas apa yang seharusnya dilakukan. Motivasi merupakan soal untuk agama atau psikologi, bukan untuk etika. Dalam etika Kewajiban Karyawan dan Perusahaan 169 (dan etika bisnis) kita membatasi diri pada pertanyaan: bagaimana dapat kita mengetahui apa yang baik secara moral. Setelah hal itu diketahui, kita andaikan saja orang akan melakukannya juga. § 1. Kewajiban karyawan terhadap perusahaan 1. Tiga kewajiban karyawan yang penting Dari uraian di atas sudah menjadi jelas bahwa di sini tidak boleh diharap: kan sebuah daftar lengkap yang meliputi semua kewajiban karyawan terhadap perusahaan. Kita hanya mempelajari tiga kewajiban yang menimbulkan masalah khusus, yaitu kewajiban ketaatan, konfidensialitas, dan loyalitas.® a. Kewajiban ketaatan Karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan, justru karena ia bekerja di situ. Bila direktur perusahaan berditi di depan pintu kantornya dan memberi perintah kepada orang yang kebetulan lewat di jalan, orang itu tidak wajib sama sekali mematuhi perintah itu, karena tidak mempunyai ikatan apa pun dengan perusahaan di mana sang direktur memegang pimpinan. Demikian juga, jika sang direktur memberi perintah kepada karyawan dari perusahaan lain. Tetapi bagi orang yang mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu implikasi dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mema- tuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang diberikan oleh atasannya. Pertama, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Jika atasan memerintahkan bawahannya untuk membunuh musuhnya, karyawan tidak boleh melaksanakan perintah tersebut. Atau jika pimpinan perusahaan menyuruh para karyawannya untuk melakukan penipuan, hal itu pada prin- sipnya tidak boleh mereka lakukan. Dalam suasana bisnis yang kurang sehat, kita sering menyaksikan karyawan terlibat dalam praktek penipuan dari atasan- nya. Mungkin mereka terpaksa melakukan hal itu, karena kalau menolak me- reka akan dipecat. Mungkin juga mereka ikut serta dengan segenap hati, karena akan memperoleh sebagian dari keuntungannya. Tetapi dari segi etika sudah jelas mereka melibatkan diri dalam kegiatan yang tidak boleh dilakukan. Kedua, karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Yang dimaksudkan dengan perintah yang tidak wajar adalah perintah yang tidak diberikan demi kepentingan perusahaan. Hal itu terjadi, bila kepala unit memerintahkan bawahannya untuk memperbaiki mobil pribadinya, merenovasi rumah 170 Pengantar Etika Bisnis pribadinya, dan sebagainya, atau bila juru buku di perusahaan ditugaskan untuk memegang pembukuan dari klub golf di mana bosnya menjadi ben- - dahara. Sebagai karyawan, setiap orang masuk di perusahaan untuk mengerja- kan tugas-tugas demi kepentingan perusahaan, bukan demi kepentingan pri- badi si atasan. Karena itu, kalau diberikan perintah yang tidak wajar atau tidak masuk akal seperti tadi, lebih baik karyawan menolak melaksanakannya. Ketiga, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang di- sepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu. Seorang tidak masuk perusahaan pada umumnya, tapi untuk menjalankan tugas-tugas yang tertentu. Contoh yang sering disebut dalam buku etika bisnis dari Amerika Serikat adalah wanita yang diterima dalam perusahaan untuk suatu fungsi manajemen, tapi lama-kelamaan diberikan tugas-tugas sekretaris (menerima telepon, membuat janji, mengurus perjalanan si bos, dan sebagainya). Wanita itu tidak perlu me- matuhi perintah ini, karena ia tidak masuk kerja di perusahaan sebagai sekre- taris. Tetapi kasus-kasus seperti ini dalam praktek lebih sulit daripada kasus melayani kepentingan pribadi si atasan tadi. Pekerjaan di perusahaan harus diatur dengan fleksibilitas dan efisiensi yang semestinya, schingga tugas-tugas karyawan tidak boleh ditafsirkan dengan terlalu kaku. Kerap kali kepentingan perusahaan meminta, agar karyawan bersedia mengerjakan tugas-tugas yang, melebihi pekerjaan yang biasanya dijalankan atau bekerja lebih lama daripada jam kerja yang biasa. Pada akhir tahun — umpamanya— para karyawan akun- tansi harus bekerja lembur. Jika operator sentral telepon di perusahaan sedang cuti dan mereka yang biasanya menggantikannya semua sakit, harus ada karya- wan lain yang bersedia untuk sementara waktu mengambil alih pekerjaan ini. Komunikasi dengan luar melalui telepon merupakan sarana yang begitu vital untuk perusahaan, sehingga tidak bisa ditutup saja. Pekerjaan operator telepon harus diberi prioritas di atas tugas-tugas lain, Contoh lain adalah order ekspor yang harus diselesaikan pada hari tertentu. Bagi perusahaan sangat penting bahwa order itu bisa dikirim dalam batas waktu yang telah ditentukan. Karena itu dapat dimengerti, bila beberapa karyawan diminta membantu untuk menye- Jesaikan pekerjaan yang mendesak itu, walaupun melampaui tugas-tugas biasa mereka. Pada taraf manajemen juga bisa timbul situasi mendesak serupa itu. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya kesulitan seputar kewajiban ke- taatan adalah membuat job description yang jelas dan cukup lengkap pada saat karyawan mulai bekerja di perusahaan. Kalau begitu, karyawan tidak perlu ragu-ragu kewajiban ketaatannya berlaku sampai di mana. Tetapi karena alas- an-alasan yang disebut di atas tadi, job descriptiow ini harus dibuat dengan cukup luwes, schingga kepentingan perusahaan selalu bisa diberi prioritas. Kewajiban Karyawan dan Perusahaan 171 Kasus tentang ketaatan: §3, Kasus 1 (Bank Daiwa di Amerika Serikat) Kasus 2 (Nick Leeson dan Barings Bank) Kasus 3 (Membantu istri) Kasus 4 (Perintah atasan) b. Kewnjiban konfidensialitas Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial — dan karena itu rahasia — yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Banyak profesi mempunyai suatu kewajiban konfidensialitas, khususnya profesi yang bertujuan membantu sesama manusia. Yang tertua adalah profesi kedokteran. "Konfidensialitas” berasal dari kata Latin confidere, yang berarti “mempercayai”. Kalau orang sakit berobat ke dokter, terpaksa ia harus menceritakan hal-hal yang tidak enak rasanya bila diketahui orang lain, seperti sebab penyakitnya, situasi keluarga, dan lain-lain. Informasi konfidensial itu disampaikan atas dasar kepercayaan, dalam arti bahwa dokter yang dipercayakan informasi tersebut tidak akan memberitahu- kannya kepada orang lain: Selain dokter, profesi seperti psikolog, pengacara, pendeta /pastor/ulama sering, berjumpa dengan kewajiban konfidensialitas. Dalam konteks perusahaan juga konfidensialitas bisa memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mem- punyai akses kepada informasi rahasia. Contoh terkenal adalah akuntan. Ka- rena pekerjaannya, ia tahu persis bagaimana keadaan finansial perusahaan, tetapi pengetahuan itu tidak boleh dibawakannya keluar. Pengetahuan rahasia itu diperoleh oleh seseorang justru karena dia karyawan; seandainya ia tidak bekerja di situ, ia tentu tidak akan mengetahui informasi itu. Konsekuensinya, sebagai karyawan ia wajib menjaga kerahasiaan. Perlu dicatat lagi, kewajiban konfidensialitas tidak saja berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan, tetapi berlangsung terus setelah ia pindah kerja. Jika ia pindah kerja, kewajiban ini malah menjadi lebih aktual, terutama bila perusahaan baru itu bergerak di bidang yang sama seperti perusahaan lama. Adalah sangat tidak etis, jika sese- orang pindah kerja sambil membawa rahasia perusahaan ke perusahaan baru, supaya mendapat gaji lebih tinggi. Karena ada kerahasiaan ini, industrial espio- nage pun harus dianggap tidak etis. Apa saja termasuk trade secrets atau "rahasia perusahaan” ini? Banyak sekali hal, Misalnya, teknik memproduksi suatu produk atau —jika mengenai makanan atau obat-obatan — formula sebuah produk. Formula Coca-Cola me- rupakan suatu trade secret yang paling masyhur dalam sejarah bisnis. Formula 172 Pengantar Etika Bisnis ini tidak bisa ditemukan dengan analisis kimia dan juga tidak pernah di- patenkan. Saingan seperti Pepsi-Cola dan perusahaan lain telah berusaha me- niru minuman itu, tetapi tidak berhasil persis. Contoh-contoh lain adalah hasil penelitian, program komputer, keadaan finansial perusahaan, tetapi juga daftar pelanggan dan mailing list sebuah perusahaan (lihat § 3, kasus 5). Di samping itu, termasuk di dalamnya juga rencana perusahaan di waktu mendatang (terutama di bidang produksi dan pemasaran) dan strateginya saat sekarang. Perlu ditekankan lagi, kewajiban konfidensialitas ini terbatas pada informasi perusahaan. Hal-hal lain yang diperoleh atau diketahui sambil bekerja di perusahaan, pada prinsipnya tidak termasuk kewajiban konfidensialitas. Misal- nya, kita bisa membedakan informasi rahasia yang diperoleh seorang karyawan waktu bekerja pada perusahaan dan ketrampilan yang dikembangkan oleh karyawan itu dengan bekerja pada perusahaan yang sama. Informasi rahasia tidak boleh dibocorkan kepada perusahaan lain, tetapi ketrampilan itu tentu boleh dibawa ke perusahaan lain. Jika seorang programmer pindah kerja, ia tidak boleh membawa program yang dibuatnya di perusahaan lama ke per- usahaan baru. Tetapi ketrampilan yang diperolehnya selama beberapa tahun bekerja di perusahaan pertama boleh saja ia bawa ke perusahaan baru. Bagai- mana mungkin ia meninggalkan ketrampilan itu? Namun demikian, perbedaan antara informasi rahasia dan ketrampilan dalam praktek tidak selalu semudah itu. Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an terjadi suatu kasus terkenal, di mana teknologi rahasia tidak bisa dipisahkan dari ketrampilan yang diperoleh (lihat § 3, kasus 6). Ketika kasus ihi diajukan ke pengadilan, hakim hanya bisa menunjuk kepada prinsip “ketrampilan boleh dibawa, informasi rahasia tidak boleh dibuka”, selama Ir. Wohlgemuth belum pindah kerja. Baru setelah insinyur itu pindah dan terbukti mempergunakan informasi rahasia, ia bisa dinyatakan bersalah. Sebelum itu, hakim juga tidak sanggup menentukan bagaimana ketrampilan itu bisa dipisahkan dari teknologi rahasia. Akhirnya dapat ditanyakan lagi mengapa karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan. Ada alasan etika apa yang mendasari kewajiban ini? Alasan utama adalah bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Mem- buka informasi rahasia sama dengan mencuri. Milik tidak terbatas pada barang fisik saja, tetapi meliputi juga ide, pikiran, atau temuan dari seseorang. Dengan kata lain, di samping milik fisik terdapat juga milik intelektual. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan adalah intellectual property rights dari perusahaan. Perusahaan farmasi, umpamanya, melakukan banyak penelitian yang bertujuan mengembangkan obat baru. Jika akhirnya mereka berhasil menemukan obat baru, tentu mereka akan sangat dirugikan, kalau hasil itu dibocorkan ke perusahaan farmasi yang lain. Mereka menanamkan Kewajiban Karyawan dan Perusahaan 173, banyak modal dan waktu dalam program penelitian itu dan karenanya berhak juga untuk menikmati hasilnya. Tentu saja, obat baru itu akan dipatenkan guna melindungi hak milik intelektual mereka secara hukum. Tetapi sebelum paten ditentukan, secara moral perusahaan sudah menjadi pemilik hasil penelitiah itu dan setiap orang yang mencuri informasi itu bertingkah laku tidak etis. Alasan lain yang sebetulnya berhubungan erat dengan alasan pertama tadi adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas. Kewajiban konfidensialitas terutama penting dalam sistem eko- nomi pasar bebas, di mana kompetisi merupakan suatu unsur hakiki. Memiliki informasi tertentu dapat mengubah posisi perusahaan satu terhadap perusaha- an lain dengan drastis, sehingga membuka rahasia perusahaan akan sangat mengganggu kompetisi yang fair. c. Kewajiban loyalitas Kewajiban loyalitas pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karya- wan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan- nya. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepen- tingan perusahaan. Karyawan yang melakukan hal itu memenuhi kewajiban loyalitas. Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan (conflict of interest), artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh men- jalankan kegiatan pribadi, yang bersaing dengan kepentingan perusahaan. Ber- dasarkan kontrak kerja atau setidak-tidaknya karena persetujuan implisit (kalau tidak ada kontrak resmi), karyawan wajib melakukan perbuatan-perbuatan tertentu demi kepentingan perusahaan. Karena itu ia tidak boleh melibatkan diri dalam kegiatan lain yang terbentur dengan kewajiban itu. Karyawan pabrik kecap yang sore hari membuat kecap di rumah dengan memakai formula perusahaan dan menjualnya kepada pelanggan perusahaan dengan harga lebih murah, dengan jelas melanggar kewajiban loyalitas. Begitu pula Achmad, tek- nisi komputer, dalam kasus 7 dari § 3. Secara bebas dan sengaja memasuki suatu situasi konflik harus dianggap tidak etis. Jika benturan kepentingan terjadi tanpa dipilih oleh karyawan sendiri, ya, apa boleh buat. la harus mencari penye- lesaian yang sebaik-baiknya. Tetapi tidak pernah boleh ia sendiri mengakibat- kan situasi konflik itu. Hal itu bukan saja tidak boleh terjadi dalam bentuk konflik aktual, tetapi juga tidak dalam bentuk konflik potensial, artinya dimana 174 Pengantar Etika Bisnis sekarang memang belum terjadi konflik, tetapi pada suatu saat konflik bisa timbul. Karena bahaya konflik kepentingan potensial itu, beberapa jenis pe- kerjaan tidak boleh dirangkap. Salah satu contoh adalah akuntan yang memberi advis di bidang penjualan saham. Dengan merangkap dua pekerjaan ini, pada suatu hari bisa timbul konflik kepentingan. Ia (dan kantornya) mengaudit bebe- rapa perusahaan dan karena itu tahu persis keadaan finansial mereka. Dengan demikian ia memasuki situasi, di mana secara potensial bisa timbul konflik kepentingan, karena pada suatu saat mungkin ia harus member advis tentang, saham dari perusahaan yang ia tahu keadaan finansialnya. Di samping masalah pencampuran kepentingan, dalam kasus serupa itu kerahasiaan profesi tentu juga memainkan peranan. Jalan keluar terbaik dari kesulitan ini tercapai, jika kode etik akuntan menetapkan bahwa para akuntan tidak boleh melibatkan diri dalam suatu situasi di mana bisa terjadi konflik kepentingan seperti itu. Konkretnya, para akuntan tidak diperbolehkan bekerja juga sebagai konsultan perdagangan saham. Kasus tentang loyalitas: Bab 1, § 1, kasus 7 (Mengincar pesangon) Dalam konteks loyalitas ini termasuk juga masalah etis seperti menerima komisi atau hadiah selaku karyawan perusahaan. Sebab, dapat ditanyakan apakah dengan praktek itu karyawan tidak merugikan perusahaannya. Masa- lah-masalah ini termasuk grey area atau "kawasan kelabu”, karena penilaian moral tentangnya sering berbeda. Kita mulai dengan masalah komisi. Tentu saja, istilah “Komisi” mempunyai juga arti yang tidak menimbulkan masalah etika, karena termasuk sistem imbalan yang sah. Untuk beberapa jenis pekerja~ an, di samping gaji tetap diberikan komisi sebagai insentif khusus. Salesman dalam sektor permobilan atau perumahan biasanya mendapat komisi sekian persen untuk setiap unit yang dijual. Hal seperti itu kerap kali bahkan tercantum dalam kontrak kerja. Biro perjalanan mendapat komisi dari maskapai pener- bangan untuk setiap tiket pesawat yang dijualnya. Agen asuransi (broker) men- dapat komisi untuk setiap asuransi yang laris melalui jasanya. Komisi dalam arti itu merupakan sebagian dari sistem bisnis yang sah. Di sini dimaksudkan komisi dalam arti lain, yaitu jumlah uang yang diberikan kepada karyawan secara pribadi dalam menjalankan tugas atas nama perusahaannya dengan perusahaan atau instansi lain. Misalnya, manajer perkantoran harus membeli mebel untuk mengisi gedung baru. Ia menghubungi perusahaan mebel dan mulai berunding tentang jenis mebel, waktu penyelesaian pesanan, harga, dan Kewajiban Karyawan dan Perusahaan 175 sebagainya. Akhimya disetujui 400 juta rupiah untuk seluruh pesanan dan sebagai komisi ditawarkan 10 persen. Komisi seperti ini tentu diberikan‘untuk mengikat si karyawan, supaya lain kali ia kembali lagi ke tempat yang sama. Contoh pada skala lebih besar adalah anggota dewan direksi yang bertugas mencari kontraktor untuk sebuah proyek. Dari kontraktor ini ia akan mem- peroleh komisi sekian persen, kalau kontrak jadi. Di Amerika Serikat komisi dalam arti ini sering disebut kickback. Komisi tidak selalu sama jeleknya. Jika kita mengambil kasus seperti mana- jer perkantoran yang menerima komisi dalam transaksi dengan perusahaan mebel tadi, di sini dapat dibayangkan tiga kemungkinan. (1) Manajer itu men- dapat diskon khusus dan diskon itu hanya diberikan kepada dia. Orang lain yang membeli di situ tidak dapat. (2) Diskon yang diberi kepada setiap orang yang membeli dalam kuantitas begitu besar, dikantongi oleh si manajer, tetapi perusahaannya membayar harga resmi. (3) Manajer mendapat komisi dengan menaikkan harga mebel yang dibelinya bagi perusahaannya. Ia minta, misalnya, supaya pada kuitansinya ditulis harga lebih tinggi daripada yang dibayarnya. Selisihnya masuk di kantongnya sendiri. Dengan cara pertama perusahaan tidak dirugikan sama sekali. Dengan cara kedua perusahaan dirugikan secara tidak langsung, karena—walaupun tetap membayar harga resmi —perusaha- an pun bisa menikmati diskon yang diberikan untuk pesanan sebesar itu. Cara ketiga tentunya kemungkinan yang paling jelek. Ini sama saja dengan mencuri, biarpun uangnya tidak diambil langsung dari kas perusahaan, tetapi dengan menaikkan harga. Tingkat jeleknya komisi tentu dipengaruhi oleh besar kecilnya, karena terutama faktor itulah yang menentukan kerugian bagi perusahaan. Dalam §3, kasus 8 kita menemui suatu kasus komisi kecil-kecilan. Kemungkinan besar, atasannya sudah menduga bahwa Pak Ali mendapat komisi pada kesempatan pembelian semacam itu, hanya barangkali ia tidak tahu berapa persisnya jumlah uang itu. Dan Pak Ali sendiri berpendapat bahwa komisi seperti itu biasa saja, mungkin karena semua orang melakukan hal itu. Dengan kata lain, ia meresa dirinya bergerak di kawasan kelabu. Perkara pengadilan di Singapura Pertamina versus Ny. Kartika Tahir (§ 3, kasus 9) yang mencekam masyarakat Indonesia bertahun-tahun dan baru diputuskan pada 1992, bisa disebut sebagai contoh terkenal mengenai komisi besar-besaran yang mengakibatkan kerugian banyak untuk negara. Masalah komisi berkaitan erat dengan apa yang sekarang dikenal sebagai triade “korupsi, kolusi, nepotisme” (KKN). Jalan keluar dari permasalahan ini sebagian besar tergantung dari sikap yang diambil perusahaan bersangkutan. Jika perusahaan membuat peraturan yang jelas serta tegas dan selalu secara 176 Pengantar Etika Bisnis konsekuen menegakkan peraturan itu, komisi seperti dikisahkan dalam kasus 8 maupun kasus 9 tidak perlu terjadi. Peraturan itu bisa dibuat secara khusus atau dicantumkan dalam kode etik perusahaan. Di luar negeri, banyak per- usahaan yang memiliki kode etik mencantumkan di dalamnya sebuah keten- tuan mengenai komisi. Dan kalau ada peraturan yang jelas, sulit untuk di- bayangkan bahwa komisi dalam bentuk apa pun akan diizinkan. Juga komisi menurut cara pertama tadi akan dilarang, walaupun sebetulnya tidak merugi- kan perusahaan. Pembuatan peraturan semacam itu adalah cara yang efisien untuk menghilangkan kawasan kelabu di bidang ini. Kasus tentang korupsi: § 3, kasus 10: (Golden Key Group dan Bapindo) kasus 11: (Laporan akuntan dipermainkan) Hal yang sama bisa dikatakan juga tentang hadiah yang diberikan oleh perusahaan atau instansi lain kepada karyawan waktu menjalankan tugas kerja- nya. Hadiah seperti itu tentu dimaksudkan untuk mempengaruhi karyawan tersebut. Di sini pun jalan keluar dari permasalahan adalah membuat peraturan yang jelas dalam kode etik perusahaan atau dengan cara lain. Hanya saja, ber- beda dengan masalah komisi, tidak masuk akal bila dilarang segala macam hadiah. Bagaimana mau dilarang karyawan menerima kalender, agenda, pena, dan lain sebagainya dari perusahaan lain? Karena itu banyak kode etik per- usahaan di luar negeri memuat ketentuan yang mengatakan bahwa karyawan tidak boleh menerima hadiah yang berharga di atas jumlah uang tertentu, misal- nya, 50 dollar Amerika. Kalau begitu, di sini pun kawasan kelabu hilang. Hadiah kecil tetap diperbolehkan, sedangkan hadiah besar seperti mobil atau rumah dilarang, Kasus tentang hadiah: § 3, kasus 12: (Hadiah mobil) Dalam konteks kewajiban loyalitas ini muncul pertanyaan lagi tentang hubungannya dengan kesetiaan. Jika karyawan pindah kerja karena alasan mencari gaji lebih tinggi, umpamanya, apakah perbuatan itu bisa dilihat sebagai pelanggaraan kewajiban loyalitas? Kesan itu bisa timbul, karena dengan ber- pindah ia tidak setia pada perusahaannya dan loyalitas rupanya ada implikasi kesetiaan. Dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris kata “loyal” selalu dikaitan dengan “setia”. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan menegaskan Kewajiban Karyawan dan Perusahaan 177 bahwa karyawan tidak mempunyai kewajiban saja, ia mempunyai juga hak. Dan hak karyawan antara Jain dicantumkan dalam kontrak kerja, di mana pasti ada ketentuan bahwa karyawan wajib memberitahukan satu, dua, tiga bulan sebelumnya (tergantung posisinya dan kesulitan mencari pengganti), jika ia mau meninggalkan perusahaan. Dengan demikian kewajiban loyalitas tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja. Di sini tidak ada masalah etika. Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, kita lihat orang mudah sekali ber- pindah kerja. Sadar atau tidak sadar, kebiasaan ini dilatarbelakangi pandang- an liberalistis yang menomorsatukan pentingnya hak. Tidak mustahil, di tempat lain ada budaya kerja lain di mana berpindah kerja nyaris menjadi pelanggaran etika. Contoh terkenal adalah budaya kerja yang tradisional di Jepang. Konon, kalau di Jepang dulu — sekarang rupanya suasana sudah berubah — orang, muda mulai bekerja, ia diterima dalam perusahaan seperti dalam keluarga baru. Dari hubungan keluarga kita tidak pernah bisa keluar. Begitu pula hu- bungan kerja dengan suatu perusahaan di sana diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Budaya kerja seperti itu jelas menuntut loyalitas khusus dan berpindah kerja bisa dinilai kurang etis. Di sisi lain, dalam keadaan itu perusaha- an mempunyai tanggung jawab khusus terhadap karyawannya. Perusahaan akan menjamin kesejahteraan bagi karyawan dan keluarga, ia memungkinkan perkembangan lebih lanjut untuk karyawan (kursus, training, dan lain-lain), ia akan menyediakan kesempatan untuk promosi dalam perusahaan, dan sebagai- nya. Pendeknya, karyawan itu tidak mempunyai alasan untuk berpindah kerja Suasana kerja yang tradisional di Jepang itu merupakan satu ekstrem. Ekstrem lain adalah seorang job-hopper yang langsung akan berpindah kerja, kalau di perusahaan lain ia ditawarkan gaji lebih tinggi. Biarpun perbedaan aji tidak seberapa, ia akan memanfaatkan setiap kesempatan untuk menambah pendapatannya, schingga bisa terjadi ia pindah kerja tiga atau empat kali dalam setahun. Apakah perilaku karyawan ini masih bisa dianggap etis? Jika karya- wan memenuhi semua kewajibannya.terhadap perusahaan-perusahaan di mana ia pernah bekerja, termasuk juga memberitahukan rencana berpindah kerja dalam batas waktu yang ditentukan, maka tidak bisa dikatakan ia berlaku kurang etis terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Namun demikian, dengan itu semua tuntutan etika bagi dia belum terselesaikan. Orang itu tidak mempunyai etos kerja yang baik, sebab satu-satunya motivasi kerja bagi dia adalah imbalan finansial. Untuk satu perusahaan pun ia tidak mempunyai dedikasi sungguh-sungguh. Sebagai karyawan ia barangkali tidak membuat kesalahan terhadap suatu perusahaan, tetapi sebagai manusia ia tidak mempu- nyai sikap moral yang benar. Ia diliputi suasana materialistis dan hedonistis. Ia mengalami kekurangan moral yang mendasar dalam hidupnya, sebab ia 178 Pengantar Etika Bisnis tidak mempunyai keutamaan. Oleh arena itu tidak bisa dikatakan ia hidup baik secara moral.” 2. Melaporkan kesalahan perusahaan Dalam literatur etika bisnis berbahasa Inggris masalah ini dikenal sebagai whistle blowing (meniup peluit). Dalam bahasa Inggris istilah ini sering diper- gunakan dalam arti kiasan: membuat keributan untuk menarik perhatian orang banyak. Dalam etika, whistle blowing mendapat arti lebih khusus lagi: menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam konteks pemerintahan, misalnya, terjadi whistle blowing, bila seorang pegawai negeri memberitahukan kepada pers tentang praktek-praktek korupsi dari atasannya. Disini kita membatasi diri pada whistle blowing dalam rangka bisnis, sehingga artinya menjadi: melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan kepada dunia luar, seperti instansi pemerintah atau pers. Perlu ditekankan bahwa kita hanya berbicara tentang whistle blowing, kalau dilakukan oleh karyawan tentang perusahaan di mana ia bekerja. Jika pelaporan kesalahan dilakukan oleh orang dari luar perusahaan (misalnya, seorang karyawan melaporkan kesalahan dari perusahaan lain), kita tidak berbicara tentang whistle blowing seperti dimaksudkan di sini. | Karena bekerja pada suatu perusahaan, seorang karyawan bisa mengetahui banyak hal mengenai perusahaannya yang tidak diketahui oleh orang lain, bukan saja hal-hal yang bersifat rahasia (trade secrets), tetapi juga praktek-prak- tek yang tidak etis. Jika seorang karyawan mengetahui terjadinya hal-hal yang kurangetis dalam kegiatan perusahaan, apakah ia boleh membawa pengetahu- an itu keluar? Itulah masalah etika yang dimaksudkan di sini. Dalam hal ini kadang-kadang dibedakan lagi antara whistle blowing internal dan eksternal. Kalau begitu, dengan whistle blowing internal dimengerti pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Misalnya, seorang karyawan bawahan melaporkan suatu kesalahan langsung, kepada direksi, sambil melewati kepala bagian dan manajer umum. Dengan whistle blowing eksternal dimaksudkan pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar perusahaan, entah kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi. Contohnya, karyawan melaporkan bahwa perusahaannya tidak memenuhi kontribusinya kepada Jamsostek atatt tidak membayar pajak. Di sini kita membicarakan whistle blowing dalam arti eksternal saja, karena hanya pelaporan kesalahan itulah yang menimbulkan banyak masalah etika. Perlu digarisbawahi lagi bahwa dengan whistle blowing dimaksudkan pelaporan kesalahan perusahaan, bukan pelaporan kesalahan pribadi seseorang Kewajiban Karyawan dan Perusahaan 179 dalam perusahaan.© Misalnya, jika manajer utama melakukan pelecehan sekgual terhad tetarisnya.dan kelakuannya ini diberitahukan ke dunia Juar,hal itu tidak termasuk whistle blowing, walaupun di sini terdapat sebuah kasus yang dengan jelas berkonotasi etika. Kita baru berbicara tentang whistle blowing, bila kesalahannya melebihi tahap pribadi saja dan melibatkan per- usahaan sendiri, seperti praktek korupsi yang dilakukan oleh manajer dengan memakai uang perusahaan. Pelaporan kesalahan perusahaan itu dinilai dengan cara yang sangat ber- beda. Di satu pihak seorang whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai moral yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Sebab, dengan melaporkan kesalahan perusahaan seorang karyawan bersedia mengambil risiko besar. Karier selanjutnya dalam perusahaan bisa terhambat, bahkan ia bisa dipecat dari pekerjaannya. Di lain pihak seorang pelapor kesalahan perusahaan sering dicap sebagai pengkhianat, karena ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan. Dapat dimengerti, bila dunia bisnis terutama memihak kepada pandangan terakhir ini. Mereka melihat whistle blowing sebagai hambatan besar untuk lancarnya usaha bisnis. Beberapa negara mempunyai undang-undang yang melindungi para whistle blowers, tetapi di Amerika Serikat Presiden Ronald Reagan memwveto Whistle- blower Protection Act (1988), tentu karena ia mengkhawatirkan pengaruh negatifnya terhadap bisnis Amerika. Pertanyaan etika adalah apakah pelaporan kesalahan perusahaan itu boleh dilakukan, karena dengan jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas karya- wan terhadap perusahaannya. Dengan pelaporannya, perusahaan itu pasti dirugikan dan sering kali bahkan banyak dirugikan. Tetapi karyawan tidak saja: mempunyai kewajiban terhadap perusahaan, ia mempunyai kewajiban juga - seperti setiap orang —terhadap masyarakat umum. Kalau memang diper- bolehkan, whistle blowing dapat dipandang sebagai pengecualian dalam bidang, kewajiban loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang lebih mendesak. Tetapi, kalau begitu, dapat ditanyakan lagi apakah pelaporan kesalahan bukan saja boleh dilakukan, melainkan barangkali juga harus dilakukan. Kalau kar- yawan tahu bahwa sebuah produk yang sedang diproduksi oleh perusahaan- nya tidak aman untuk konsumen, sehingga malah bisa mengakibatkan korban jiwa, apakah karyawan harus melaporkan kesalahan perusahaannya itu? Apa- kah para insinyur yang terlibat dalam testing terhadap mobil Ford Pinto atau ban mobil Firestone 500 wajib melaporkan bahwa produk perusahaan mereka itu tidak aman dan bisa mengancam keselamatan jiwa para pemakai nantinya (Bab 7, § 4, kasus 3 dan 7)?

Anda mungkin juga menyukai