Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KAPITA SELEKTA FARMAKOTERAPI

KOMPLIKASI DIABETES MELITUS MIKROVASKULER

Disusun oleh :

Adis Pranaya Yakin, S. Farm. (158 115 086)


Cyndi Yulanda Putri, S. Farm. (158 115 095)
Elyn Prameswari, S. Farm. (158 115 098)
Medaliana Hartini, S. Farm. (158 115 106 )
Novita, S. Farm. (158 115 108)
Silvia Dwi Puspa Susanti, S. Farm. (158 115 119)
Stephanie, S. Farm. (158 115 121)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016

1
A. Pendahuluan
1. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan oleh genetik
atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurangnya respon sel-sel tubuh terhadap insulin. Hal ini ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya merusak sistem tubuh khususnya
pembuluh darah dan saraf. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi, “Insulin Dependent
Diabetes Melitus” (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus tipe 1, dan “Non-Insulin-
Dependent Diabetes Melitus” (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus tipe 2
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).


2. Patofisiologi
a. Diabetes Melitus Tipe 1
Autoimun sel β pankreas : protein sel β berperan sebagai autoantigen atau merubah
dirinya menjadi antigen dalam tubuh. APC menangkap sinyal dari antigen tersebut
hingga memberikan kode ke sel T CD4+ dan kemudian membuat sel T teraktivasi dan
mengeluarkan antibodi melalui cytotoksik CD8+ dan makrofag(yang teraktivasi oleh
sel IL-2 dan IFNgamma) yang akan membunuh antigen sel β tersebut. Antigen sel β
mengalami apoptosis dan rusak, sehingga akhirnya tidak ada insulin yang terbentuk.
Saat makan, tubuh mengalami peningkatan glukosa, asam lemak, dan asam amino
pada plasma. Pada tubuh seseorang yang terkena DM tipe 1 insulin tidak
diproduksi
2
(Ozougwu, 2013).

Gambar I. Skema Diabetes Melitus Tipe 1 yang terjadi saat tubuh


tidak dapat menghasilkan insulin dijelaskan seperti gambar di samping.

b. Diabetes Melitus Tipe 2


1) Resistensi Insulin
Reseptor insulin gagal merespon insulin secara normal. Hiperinsulinemia
mengakibatkan reseptor insulin melakukan self regulation (menurunkan jumlah
reseptor) sehingga mengakibatkan penurunan respon reseptor, lebih lanjut
mengakibatkan resistensi insulin. Disisi lain hiperinsulinemia juga dapat
mengakibatkan desentisasi reseptor insulin, selain itu desentisasi juga dapat
disebabkan karena tidak adanya glukosa di jaringan sehingga lemak dan protein
dipecah untuk menjadi energi dimana reaksi ini menghasilkan radikal bebas yang
dapat menyebabkan reseptor insulin tidak sensitif. Kejadian ini mengakibatkan
retensi insulin. Obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin karena
terjadi peningkatan asam lemak bebas yang mengganggu penggunaan glukosa
pada jaringan otot (reseptor tertutup lemak).
2) Sel  pankreas kurang sensitif
3
Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai
respon terhadap glukosa. Pada retensi insulin, terjadi peningkatan produksi
glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan
peningkatan kadar gula darah. Pada tahap ini, sel β pankreas mengalami adaptasi
diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, yang
akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin.
3) Produksi glukosa hepatik yang berlebihan
Pada keadaan normal, insulin dan gukosa menghambat pemecahan glikogen
dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita DM tipe 2 terjadi
peningkatan glukosa produk hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga
berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis akibat peningkatan asam lemak
bebas dan glukagon.
c. Komplikasi Mikrovaskular
(Ozo
u gwu,

2013) (Pitocco et al.,


2013)

Sustained Hiperglikemia menyebabkan keparahan pada komplikasi diabetes


mikrovaskular yakni retinopathy, nephropathy, dan neuropathy

A. Retinopathy
Adanya akumulasi AGEs yang merupakan reseptor untuk Advanced Glycation Endproducts
menyebabkan pengaktifan sitokin inflamasi :NF-κB pathway, TGF- β yang menyebabkan
4
kerusakan endothel pembuluh darah. Selain itu, adanya penumpukan ROS (Reaktif
Oxidative Stress) meningkatkan aktivitas PKC (Protein Kinase C) yang dapat menyebabkan
peningkatan produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang mengakibatkan
peningkatan permeabilitas vaskular sehingga terjadi disfungsi endothelial dan angiogenesis
terjadi pada pembuluh darah di retina  retinopathy (gangguan pembuluh darah di
retina). Resiko terkena diabetes retinopati atau komplikasi mikrovaskuler diabetes
tergantung dari durasi dan keparahan kondisi hiperglikemi. Perkembangan dari retinopati
diabetes pada pasein dengan diabetes mellitus tipe 2 sangat berhubungan dengan
keparahan hiperglikeminya dan ada atau tidaknya hipertensi. Pada pasien yang di
diagnosis dengan diabetes tipe 1 maka perkembangan penyakit menuju retinopati ditemukan
kurang lebih dalam 20 tahun. Terdapat beberapa mekanisme patofisiologi yang menunjukkan
bahwa diabetes mengarah kepada perkembangan retionopati (Fowler, 2008).
1. Klasifikasi retinopati
a. Pra retinopathy : tonjolan kecil sudah mulai muncul di pembuluh darah belakang
retina, dimana tonjolan tersebut akan membuat darah pada pembuluh darah mulai
keluar dengan perlahan. Tidak mengganggu penghilatan, dan tidak membutuhkan
terapi.
b. Non-proliferatif diabetes cirinya adalah adanya hemoragi yang relative kecil pada
bagian tengah retina. Secara klinis Nampak seterti bulatan dan sering disebut
sebagai bulatan hemoragi dan retina yang ke abu-abuan. Eksudat keras disebabkan
oleh karena tumpukan lemak yang biasanya berada dipinggir-pinggir hemoragi.
Mikroaneurisma adalah dilatasi kecil pada pembuluh vaskuler yang berada pada
retina, biasanya adalah tanda pertama dari retinopati. Edema retinopati merupakan
progresi dari non-proliferatif .
c. Retinopati proliferative ditandai dengan adanya pembentukan pembuluh darah
baru di depan retina dan dapat menimbulkan vitreous hemorrhage. Area keputih-
putihan pada retina dapat menjadi tanda retinopati proliferative. Jika proliferative
berlanjut kebutaan dapat terjadi akibat dari adanya vitreous hemorrhage dan
traction retinal detachment. Tanpa adanya pengobatan, maka dapat terjadi
kehilangan penglihatan. Fotokoagulasi laser dapat dijadikan sebagai upaya
pencegahan retinopati proliferative menimbukan kebutaan (AOA, 2015).

5
2. Manifestasi klinis : Terdapat bintik dan sesuatu yang mengambang pada saat melihat,
Pandangan kabur, Double vision, Nyeri pada mata (Diabetes UK, 2015).
3. Treatment
a. Goal Therapy : Mencegah dan/atau menunda onset dan perkembangan retinopati
diabetik.
b. Non-pharmacology : diet, olahraga, glycemic control
c. Pharmacology
Rekomendasi  Mengoptimasi kontrol glikemik dan tekanan darah untuk menurunkan risiko atau
memperlambat perkembangan retinopati.
Skrining  Dewasa DM 1 harus melakukan pemeriksaan mata awal 5 tahun setelah onset
diabetes. DM 2 melakukan pemeriksaan mata segera setelah diagnosis diabetes
 Jika tidak ada bukti retinopati untuk satu kali atau lebih pemeriksaan mata, maka
pemeriksaan dapat dilakukan tiap 2 tahun. Jika terdapat retinopati diabetik,
pemeriksaan berikutnya untuk pasien diabetes tipe 1 dan 2 harus diulang tiap
tahun. Jika retinopati berkembang atau mengancam penglihatan, maka
pemeriksaan perlu lebih sering.
 Wanita penyandang diabetes yang berencana hamil atau telah hamil harus
melakukan pemeriksaan mata komprehensif dan dikonsultasikan terhadap risiko
perkembangan retinopati diabetik. Pemeriksaan mata harus dilakukan dalam
trimester pertama dengan folow-up selama kehamilan dan selama 1 tahun
postpartum.
Treatment  Terapi fotokoagulasi laser diindikasikan untuk menurunkan risiko kebutaan pada
pasien dengan PDR risiko tinggi, edema makular yang signifikan secara klinis,
dan, dalam beberapa kasus, NPDR berat. Fotokoagulasi digunakan untuk
menghentikan kerusakan pembuluh darah dan adanya cairan di dalam retina.
Sinar dari cahaya laser digunakan untuk membakar daerah pada retina yang
memiliki pembuluh darah yang tidak normal dan menutup kerusakkannya.
 Terapi Antivascular endothelial growth factor (VEGF) diindikasikan untuk
edema makular diabetik.
 Adanya retinopati tidak berkontraindikasi terhadap terapi aspirin untuk
cardioprotection, karena aspirin tidak meningkatkan risiko hemoragi retinal.
 Terapi lainnya untuk retinopati antara lain fluocinolone sustained intravitreal
6
delivery (ADA, 2015).

B. Nefropati Diabetes
1. Deskripsi
Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal kronis (Chronic Renal Disease) yang
terjadi sebagai akibat dari komplikasi diabetes dan hipertensi. Komplikasi diabetes
dan hipertensi menyebabkan gangguan hemodinamik pada ginjal sehingga autoregulasi
pada ginjal terganggu yang berakibat pada peningkatan tekanan intraglomerulus dan
vasokonstriksi pada arteriol eferen. Gangguan ini yang dapat menyebabkan kerusakan
pada glomerulus. Nefropati diabetik ditunjukkan dengan ekskresi albuminuria lebih dari
300 mg/24 jam atau proteinuria lebih dari 500 mg/24 jam dan fungsi ginjal yang
abnormal yang ditunjukkan oleh kelainan pada serum kreatinin, klirens kreatinin, atau laju
filtrasi glomerulus (GFR). Secara klinis, nefropati diabetik ditandai dengan peningkatan
progresif proteinuria dan penurunan GFR, hipertensi, dan mengarah pada risiko morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular (Gross et al, 2005; Dabla, 2010).
2. Manifestasi Klinis : Bengkak (edema), pada awalnya berada pada jari dan kaki kemudian
ke seluruh tubuh, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, merasa lelah, mual
atau muntah, gangguan tidur (WebMd, 2014).
3. Terapi
Tujuan terapi pada pasien nefropati dengan mikro dan makroalbuminuria adalah
mencegah perkembangan dari mikro ke makroalbuminuria, serta munculnya gangguan
kardiovaskular (Gross, et.al., 2005).

7
4. Terapi
Tabel Rekomendasi untuk Skrining, Monitoring, dan Manajemen Nefropati Diabetik
Definisi
Tahap
Albumin dalam urin GFR (eGFR) Keterangan
Nefropati Skrining/ Monitoring Manajemen
(mg/g Cr) atau protein (mL/min/ tambahan
Diabetik 2
dalam urin (g/g Cr) 1,73 m )
 Annual urine protein
 Optimasi kontrol
dipstick
glikemik  Fungsi
Tahap 1  Periksa kembali
Normoalbuminuria (<30) ≥30*  Terapi hipertensi (target renal
(prenefropati) (recheck) apabila positif
tekanan darah < 130/80 normal
 Apabila negatif, tes
mmHg)
mikroalbuminuria
Tahap 2 Mikroalbuminuria (30- ≥30  Periksa kembali  Optimasi kontrol  Fungsi
(nefropati) 299)** (recheck) urin untuk glikemik renal
mikroalbuminuria, 2-4  Terapi hipertensi (target normal
kali per tahun tekanan darah < 130/80  Dipstick
mmHg) negatif
 Terapi dengan
ACEI/ARB untuk
hipertensi dan/atau
penurunan
mikroalbuminuria
 Menghindari diet protein
8
berlebihan dan garam
 Terapi hiperlipidemia
 Target tekanan darah <
125/75 mmHg jika
proteinuria > 1 g/hari
 Terapi dengan
 Kuantitasi proteinuria 2- ACEI/ARB untuk
Makroalbuminuria
Tahap 3 4 kali per tahun hipertensi dan/atau  Dipstick
(>300) atau proteinuria ≥30***
(nefropati)  Pemeriksaan profil renal penurunan proteinuria positif
presisten (≥0,5)
2-4 kali per tahun  Terapi hiperlipidemia
 Membatasi protein dan
garam
 Konsultasikan dengan
nefrologis
Terdapat keadaan
Tahap 4
albuminuria/proteinuria* <30
(nefropati)  Sebagaimana ditentukan
***  Dialisis/ transplantasi
oleh keadaan individual
Tahap 5 Sedang melakukan terapi
(nefropati) dialisis

Keterangan :

9
*Meskipun laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/ min/ 1,73 m 2 selalu mengarah pada diagnosis gagal ginjal kronis,
namun penyebab yang lain selain nefropati diabetes mungkin juga ikut berperan dimana hal ini masih perlu dibutuhkan diagnosis
lebih lanjut.
**Pasien dengan mikroalbuminuria yang di diagnosis awal sebagai nefropati berdasarkan kriteria untuk diagnosis awal nefropati
diabetes
***Dibutuhkan perhatian lebih untuk pasien dengan makroalbuninuria, dimana kerusakan ginjal meningkat seiring penurunan GFR
dibawah 60 mL/ min/ 1,73 m2 (penurunan eGFR setengah dari baseline value perlu dilakukan dialisis)
**** Semua pasien dengan GFR kurang dari 30 mL/min/ 1,73 m2 diklasifikasikan sebagai gagal ginjal tanpa memperhatikan nilai
albumin/ protein dalam urin. Namun demikin, pada pasien dengan normoalbuminuria dan mikroalbuminuria, diagnosis lain
diperlukan untuk menentukan antara nefropati diabetes atau penyakit ginjal non-diabetes lainnya

(Malaysian Society of Nephrology, 2004)

10
(Medscape, 2011).
a. Direct Renin Inhibitor
Direct Renin Inhibitor menghambat renin sebagai enzim yang menstimulasi
perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I. Contoh dari direct renin inhibitor
adalah aliskiren dengan dosis 150 mg/ hari dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari
secara peroral.
b. Aldosterone Antagonist
Memiliki efek diuretik dan antihipertensi, Aldosterone Antagonist mengikat reseptor
sehingga Aldosterone tidak terikat pada aldosterone-dependent Na-K exchange site di
tubulus distal, menyebabkan peningkatan ekskresi Na+, Cl-, dan H2O dan retensi K+ dan
H+. Contoh obatnya : Spironolactone.
c. ACE-Inhibitor
Gen ACE berperan dalam pathogenesis nefropati diabetes, termasuk mikro- dan
makroalbuminuria serta perkembangan penyakit dari mikro ke makroalbuminuria. Pada
pasien diabetes dengan nefropati terjadi aktifitas yang lebih tinggi dari ACE
dibandingkan dengan pada pasien diabetes tanpa nefropati. Adanya ACEI menghambat
aktifitas ACE tersebut (Ruggenenti, Cravedi, Remuzzi, 2011).
d. ARB
ARB mencecegah Angiotensin II berikatan dengan AT resptor sehingga terjadi
penghambatan sistem RAAS. Penghambatan sistem RAAS menyebabkan
nephroprotective effect.
e. ARB dan ACEI

11
Kombinasi ACEI dan ARB lebih efektif menghambat RAAS dibandingkan masing-
masing agen bekerja sendiri. Pada pasien yang menerima terapi ACI penambahan terapi
ARB dapat menghambat angiotensin II yang diproduksi melalui jalur ACE-independent
(Ruggenenti, Cravedi, Remuzzi, 2011).
Pada pasien yang diterapi menggunakan ARB, penambahan ACEI dapat mengurangi
produksi angiotensin yang diinduksi oleh AT1 receptor blockade (Ruggenenti, Cravedi,
Remuzzi, 2011).

DOSIS OBAT
Golongan Treatment (dosis harian)
Benazepril (20 mg) + valsartan (80 mg)
Benazepril (20 mg) + Irbesartan (300 mg)
Candesartan (16 mg) + lisinopril (20 mg)
ACEI + ARB Candesartan (16 mg) + enalapril (20 mg) atau
kaptopril (100 mg)
Enalapril (5 mg) + losartan (50 mg)
ACEI + ARB atau Aldosterone Enalapril (5 mg) + Spironolacton (100 mg) atau
Antagonist losartan (100 mg)
ARB + Renin Inhibitor Valsartan (80 mg) + Aliskiren (300 mg)
(Ruggenenti, Cravedi, Remuzzi, 2011).

C. Neuropati Diabetes
1. Deskripsi
Diabetes neuropati adalah kelompok penyakit komplikasi diabetes mellitus yang
mempengaruhi 50% pasien diabetes yang mencankup keabnormalan pada bagian saraf secara
luas (Vinik et al., 2007). Dapat juga diartikan sebagai kemunculan symptom dan tanda dari
disfungsi sistem saraf perifer pada penderita diabetes setelah dipisahkan dari penyebab lain
(Fowler, 2008). Keabnormalan tersebut dapat terpusat maupun menyebar, mempengaruhi baik
sistem saraf otonom maupun perifer menyebabkan ketidakwajaran yang mempengaruhi
kualitas hidup pasien yang dapat menyebabkan early death (Vinik et al., 2007).
2. Patofisiologi
Hiperglikemik menginduksi perubahan aliran darah, sehingga akan meningkatkan
resistensi endotelial vaskular dan mengurangi aliran darah saraf. Adanya peningkatan

12
resistensi vaskular dan peurunanan aliran darah di dalam saraf menyebabkan terjadinya
hipoksia endoneural. Hipoksia menyebabkan kerusakan kapiler lebih lanjut, sehingga
mengganggu transport impuls oleh akson dan penurunan aktivitas Na-K ATP-ase yang
menyebabkan atrofi akson dan gangguan pada konduksi saraf (Bansal, et al., 2006).
Selain itu, juga terjadi aktivasi jalur poliol di saraf melalui enzim aldosa reduktase
yang menyebabkan akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam saraf dan menginduksi glikosilasi
dari protein struktural saraf. Pengukuran glukosa, sorbitol, dan fruktosa dalam saraf memiliki
korelasi dengan keparahan neuropati. Hiperglikemik juga menginduksi stress oksidatif.
Aktivasi protein kinase C berkaitan dengan kerusakan vaskular. Hal ini menyebabkan
metabolisme neuronal, axonal, dan sel Schwann abnormal yang menghasilkan kerusakan
transimi impuls oleh akson (Bansal, Kalita, dan Misra, 2006).
Hiperglikemik juga menyebabkan deplesi (penyusutan) saraf mioinositol melalui
mekanisme competitive uptake. Mioinositol merupakan bagian plasma dan membran sel. Pada
diabetes mellitus, mioinositol banyak diekskresikan lewat urin, dan sebaliknya akumulasi
sorbitol dan fruktosa dalam sel mempengaruhi pengambilan mioinositol. Rendahnya kadar
mioinositol ini menyebabkan gangguan fungsi ATP-ase, sehingga terjadi gangguan konduksi
saraf. Mioinositol merupakan prekursor polifosfo-inositida yang penting dalam mengatur aksi
potensial saraf (Bansal, et al., 2006).

3. Macam-macam Nefropati dan Manifestasi Klinisnya


a. Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN)
DPN adalah komplikasi diabetes jangka panjang yang menyebabkan kerusakan pada
sistem saraf tepi yang mempengaruhi sistem saraf pada lengan, tangan, tungkai kaki dan
kaki (Canadian Diabetes Association, 2013).
Gejala yang sering muncul adalah diinduksi oleh keterlibatan jaringan kecil yang
disertai rasa sakit, disestesia (perasaan terbakanr dan tersengat tidak nyaman yang tidak
lazim) serta mati rasa, hyperesthesia, rasa sakit yang dalam dan rasa sakit karena
bersentuhan dengan stimulus yang seharusnya tidak menimbulkan rasa sakit (American
Diabetes Association, 2015).

b. Diabetic Autonomic Neuropathy (DAN)


13
DAN adalah komplikasi diabetes yang sering tidak terdeteksi pada awal
kemunculannya, akan tetapi merupakan komplikasi yang cukup serius karena menyerang
organ tubuh secara luas yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas (Verroti et
al., 2014).
Gejala DAN adalah takikardi, tidak dapat berolahraga atau berkegiatan fisik terlalu
berat, hipotensi ortostatis, gastroparesis, konstipasi, disfungsi ereksi, disfungsi kelenjar
keringat, fungsi neurovaskular lemah,dan berpotensi mengalami kegeagalan respon
otonom pada saat hipoglikemi (American Diabetes Association, 2015).

c. Cardiovascular Autonomic Neuropathy (CAN)


CAN adalah komplikasi diabetes yang merupakan bagian dari DAN yang
menyebabkan penurunan kontrol otonom dari sistem kardiovaskular (Verroti et al., 2014)
yang menyebabkan kerusakan pada jaringan saraf otonom yang langsung berinteraksi
dengan saraf-saraf pada jantung dan pembuluh darah (Vinik et al., 2007).
Gejala CAN biasanya tidak muncul sampai diabetes teridentifikasi akan tetapi
gejalanya tampak pada penurunan detak jantung, hipotensi ortostasis (American Diabetes
Association, 2015), tidak dapat berkegiatan fisik terlalu berat, ketidakstabilan
kardiovaskular setelah operasi maupun selama proses operasi, sindrom ortostatik
takikardi dan bradikardi (Vinik et al., 2007).

d. Gastrointestinal Neuropathies
Gastrointestinal neuropati merupakan kompikasi dari diabetes yang merupakan
bagian dari DAN yang menyebabkan tidak berfungsinya jalur gastrointestinal dengan
baik sehingga dapat mengenai bagian mana saja pada area gastrointestinal. Gejalanya
adalah esophangeal enteropathy, gastroparesis, kesulitan buang air besar yang kemudian
dilanjutkan dengan diare beberapa hari (American Diabetes Association, 2015).

e. Genitourinary Tract Disturbances


Genitourinary tract disturbance juga merupakan bagian dari DAN yang mana pada
pria dapat menyebabkan ejakulasi dini maupun disfungsi ereksi (American Diabetes
Association, 2015).
14
4. Treatment
Painful Diabetic Neuropathy Management Management komplikasi
(American Academy of Neurology, 2011) neuropati lainnya
Drug Class Drug Mekanisme aksi Dosis Therapeutic notes Orthostatic Gastroparesis
Hipotensi symptom
Symptom
Anti - Pregabalin Menghambat pelepasan Starting dose Initial therapy  Orthostatic  Metoclopra
convulsants neurotransmiter seperti 75 mg bid, (Level A) hipotensi : mide (maks.
glutamat, substansi P, dan may titrate Midodrine 5 hari)
kalsitonin dengan berikatan up to 300-  Dosis : 10  Drug class :
dengan α2δ sub unit dari 600 mg/day mg 3 antiemetic,
kanal ion kalsium times/day prokinetic
Gabapentin Menghambat pelepasan Starting dose (Level B)
during agent
neurotransmiter seperti 300 mg bid,
daytime  Dosis :
glutamat, substansi P, dan may titrate
hours (every Oral: 10 mg
kalsitonin dengan berikatan up to 900-
3-4 hours) 30 minutes
dengan α2δ sub unit dari 3600 mg/day
when patient before
kanal ion kalsium
is upright each meal
Sodium Meningkatkan konsentrasi 500-1200 (Level B)
(maximum: and at
valproate neurotransmiter inhibitory mg/day Potentially
40 mg/day) bedtime
GABA teratogenic.
 Sistolik BP I.M., I.V.
Adverse effects
standing (for severe
(weight gain and
15
potential dapat naik symptoms)
worsening of 15-30 : 10 mg
glycemic control) mmHg pada over 1-2
Anti - Amitriptyline Menghambat reuptake 25-100 (Level B)
1 jam minutes;
depressants serotonin dan mg/day
pertama, 10 days of
norephinaphrine dengan
beberapa I.V.
bekerja pada transporter di
pasien therapy
neuron presinaps. Bekerja
kenaikan BP may be
juga pada reseptor H1, alpha-
bertahan necessary
2-adrenergic, dan muskarinik.
hingga 2-3 for best
Venlafaxine Merupakan 75-225 (Level B)
jam response
Serotonin/Norepinefrin mg/day Venlafaxin
 Hanya
Reuptake Inhibitor yang +gabapentin (Level
diberikan
bekerja dengan menghambat C)
pada kasus
reuptake serotonin dan
dimana
norepinephrine dengan
pasien tidak
bekerja pada transporter di
merespon
neuron presinaps.
Duloxetine Merupakan 60-120 (Level B) kepada
Serotonin/Norepinefrin mg/day terapi lain
Reuptake Inhibitor yang
bekerja dengan menghambat

16
reuptake serotonin dan
norepinephrine dengan
bekerja pada transporter di
neuron presinaps.
Opioid Dextromethorph Menurunkan sensitivitas dari 400 mg/day (Level B) Both
an reseptor batuk di medula dan tramadol and
mengganggu transmisi dextromethorphan
impuls batuk were associated with
Morphine sufate Merupakan narcotic agonist titrated to
substantial adverse
dari reseptor opiat, 120 mg/day
events
menghambat jalur asending
(e.g., sedation in
nyeri yang mengubah respon
18% on tramadol
erhadap nyeri, sehingga
and 58% on
menghasilkan efek analgesik,
dextromethorphan,
respiratory deppression, dan
nausea in 23% on
sedasi, dan menekan batuk.
tramadol, and
Tramadol Berikatan dengan reseptor 210 mg/day
constipation
mu opioid, yang
in 21% on
menghasilkan peghambatan
tramadol). Chronic
jalur asending.
Oxycodone Merupakan narcotic agonist mean 37 use of opioids leads
dari reseptor opiat, mg/day, max to tolerance and
menghambat jalur asending 120 mg/day frequent escalation
17
nyeri yang mengubah respon of dose.
erhadap nyeri, sehingga
menghasilkan efek analgesik,
respiratory deppression, dan
sedasi.
Other Capcaisin Berikatan dengan neuronal 0.075% qid (Level B) Capsaicin
Pharmacologic transient potential vanilloid has been effective in
Agent receptor 1 (TPRV 1), reducing pain in
sehingga menurunkan PDN (Painful
pelepasan substansi P, dan Diabetic
menurunkan persepsi nyeri Neuropathy), but
Isosorbide Merelaksasi otot polos 30 mg spray
many patients are
dinitrate spray dengan vasodilatasi arteri dan to legs qhs,
intolerant of the side
vena untuk menurunkan May titrate
effects (burning pain
preload dan afterload slowly up to
on contact with
30 mg spray
warm/hot water or
to legs bid
in hot weather)
Lidoderm Merupakan agen anestetik - (Level C)
(Lidocaine lokal yang bekerja dengan
patch) cara memblok kanal ion
kalsium pada membran sel di
neuron post sinaptik,

18
mencegah depolarisasi.
Non-  Akupuntur
Pharmacology Digunakan sebagai terapi non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri. Jenis akupuntur yang dapat digunakan adalah
Chinese akupuntur dan Japanese akupuntur yang secara klinis telah terbukti memiliki penurunan skor nyeri pada
penggunaan selama 10 minggu.
 Terapi cahaya dengan infrared monochrome laser intensitas rendah
Terapi ini memberikan penurunan nyeri yang signifikan serta meningkatkan sensitifitas dan kualitas hidup. Mekanisme
stimulasi cahaya ini adalah dengan memproduksi efek biologis dengan menstimulasi sitokrom mitokondria yang
menghasilkan peningkatan aktivitas sel dan efek kesembuhan.
 Percutaneous electrical nerve transmission
Pemberian stimulasi elektrik dengan bantuan jarum pada frekuensi 15 dan 30 Hz. Terapi ini dilakukan selama 30 menit
sebanyak 3 kali seminggu untuk mengurangi rasa nyeri, meningkatkan kemampuan aktivitas fisik, memberikan sesnasi
menenangkan, dan meningkatkan kualitas tidur.
 Reiki
Terapi dengan menggunakan bioenergi intrinsik dari dalam tubuh manusia yang dapat diubah oleh praktisi terapi untuk
menghasilkan penurunan rasa nyeri dan gejala yang tidak diinginkan.
 Frequency rhythmic electrical modulation system
Terapi ini menunjukan peningkatan fungsi saraf perifer dan aliran darah di kulit setelah pengaplikasian selama 3
minggu.
Screening  Kontrol gula secara ketat dan hindari peningkatan kadar gula extreme
 Kontrol hipertensi dan dislipidemia
 Skrining kronik sensorimotor DPN:

19
Type 1 setiap tahun, type 2 setidaknya 5 tahun sekali
 Semua pasien DM meskipun tanpa simptom DPN harus diajarkan mengenai foot care

20
Daftar Pustaka
ADA, 2015, Standards of Medical Care In Diabetes, The Journal of Clinical and Applied
Research and Educcation, 38(1).
American Diabetes Association. 2015. Standards of medical care for patients with diabetes
mellitus. Diabetes Care : S62-S63.
AOA, 2015, http://www.aoa.org/patients-and-public/eye-and-vision-problems/glossary-of-eye-
and-vision-conditions/diabetic-retinopathy?sso=y, diakses pada 19 September 2015.
(Bansal, V., Kalita, J., Misra, U.K., 2006, Diabetic neuropathy, Postgrad Med Journal, 82: 95-
100).
Canadian Diabetes Association, 2013, Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN),
http://guidelines.diabetes.ca/CDACPG/media/documents/patient-resources/diabetes-
peripheral-neuropathy.pdf, diakses pada 21 September 2015.
Chisholm-Burns, M., 2013, Pharmacotheraphy Principle and Practice, 3rd Edition, McGrawHill
Education.
Csorba T.R, Lyon A.W, Hollenberg M.D., 2010, Autoimmunity and the pathogenesis of type 1
diabetes, Crit ReV Clin Lab Sci., 47(2):51-71.
Dabla, P. K., 2010, Renal Function in Diabetic Nephropathy, World Journal of Diabetes,
Baishideng, 1(2): 48-56.
Diabetes UK, 2015, Diabetic Retinopathy, http://www.diabetes.co.uk/diabetes-
complications/diabetic-retinopathy.html, diakses pada 21 September 2015.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical care untuk penyakit
Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan RI : Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PCDM.pdf , diakses tanggal
21 September 2015.
Haneda, et. al., 2015, A new Classification of Diabetic Nephropathy 2014: a report from Joint
Committee on Diabetic Nephropathy, Journal of Diabetes Investigation, p. 244.
Fong, D.S., Aiello, L.P., Ferris, F.L., Klein, R., 2004, Diabetic Retinophaty, Diabetes Care,
27(10).
Fowler, M.J., 2008, Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes, Clinical
Diabetes Journal, 26 (2), pp. 77-82

21
Gross, et.al., 2005, Diabetic Nephropathy: Diagnosis, Prevention and Treatment, Diabetes Care
Journal, 28(1), p. 166, 176-188.
Malaysian Society of Nephrology, 2004, Diabetic Nephropathy, Clinical Practice Guidelines,
MOH/P/PAK/72.03(GU).
Ozougwu, 2013, The Pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 Diabetes Mellitus,
Journal of Physiology and Pathophysiology,
Pitocco, D., et al., 2013, Oxidative Stress in Diabetes : Implications for Vascular and Other
Complications, Int. J. Mol. Sci., 14(11).
Pearson P.A., et all, 2011, fluocinolon acetonide intravitreal implant for diabetic macular edema:
a 3-year multicenter, randomized, control led clinical trial, Journal of American
academy of American academy of ophthalmology, pp.1580-1587.
Redmon, 2014, Diagnosis and Management of Type 2 Diabetes Mellitus in Adults, Health Care
Guidelines, Institute for Clinical Systems Improvement, p.75.
Roncarolo M.G, Battaglia M, 2007, Regulatory T-cell immunotherapy for tolerance to self
antigens and alloantigens in humans, J.Immunology., 7(8):585-98.
UK NSC, 2015, NHS Screening Programmes, Diabetic Eye, Closer Monitoring and Treatment
for Diabetic Retinopathy,
http://www.hertschs.nhs.uk/Library/Adult_Services/Diabetic_Retinopathy/LeafletC_Clo
ser_monitoring_and_treatment_for_diabetic_retinopathy_DS_and_referral_2015.pdf,
diakses pada 21 September 2015.
WebMd, 2014, Diabetic Nephropathy-Symptoms, www.webmd.com/diabetes/tc/diabetic-
nephrophaty-symtoms, diakses pada 21 September 2015.
Wong, E., 2015, http://www.pathophys.org/ckd/#Treatment, diakses pada tanggal 21 September
2015.

22

Anda mungkin juga menyukai