Anda di halaman 1dari 11

PEMIMPIN KAFIR DALAM PRESPEKTIF AL-

QUR’AN

Makalah Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah Tafsir
Ayat-ayat Mu’amalah

Dosen Pengampu : Dr. Imam Taufiq

Disusun Oleh : Faiqoh Rosita

Fakultas Ushuluddin

IAIN WALISONGO SEMARANG

2012
BAB 1

1. Pendahuluan

Pemimpin adalah sosok yang sangat penting dalam sebuah kelompok baik lingkup
sempit maupun luas, eksistensi dan orientasi kelompok sangat ditentukan oleh
pemimpinnya, apakah nanti akan dibawa ke arah kebaikan, kesejahteraan dan
kemakmuran ataukah diarahkan menuju kehancuran. Oleh karena itu, sudah merupakan
tanggung jawab setiap personal untuk selektif dan berhati-hati dalam memilih pemimpin.

Al-mawardi dalam bukunya Mawathin la dzimmah menganalogikan pentingnya


keberadaan pemimpin dengan pentingnya agama dalam melanjutkan tugas kenabian.
Pemimpin adalah komponen yang paling urgen yang harus melanggengkan keadilan,
prinsip persamaan sebagaimana yang diajarkan al-qur’an dan merupakan pemegang
amanah dari Tuhan. Prinsip kepemimpinan yang paling pokok adalah keadilan, jadi setiap
personal memiliki porsi hak dan kewajiban yang linear.

Dalam makalah ini kami mencoba mengkaji fenomena konflik politik yang
membawa nama agama. Ada beberapa kelompok yang mewacanakan bahwa memilih
pemimpin yang kafir hukumnya haram. Sejumlah ayat al-qur;’an pun dijadikan dalil
unruk melegitimasi wacana yang propagandis ini. walhasil, wacana ini memecah belah
dan menimbulkan konflik antar agama lagi.

Oleh karena itu perlu diadakan kajian yang lebih mendalam lagi dalam memaknai
ayat ini agar tak semata-mata ditafsiri secara tekstual dengan tanpa memperhatikan
konteks sosio religi ketika ayat diturunkan dan juga konteks sosio religi masyarakat
sekarang.
BAB II

1. Redaksi Ayat

ً‫ْس ِمنَ هَّللا ِ فِي َش ْي ٍء إِاَّل أَ ْن تَتَّقُوا ِم ْنهُ ْم تُقَاة‬ َ ِ‫اَل يَتَّ ِخ ِذ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أَوْ لِيَا َء ِم ْن دُو ِن ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َو َم ْن يَ ْف َعلْ َذل‬
َ ‫ك فَلَي‬
‫)ال عمران‬28( ‫صي ُر‬ ِ ‫َوي َُح ِّذ ُر ُك ُم هَّللا ُ نَ ْف َسهُ َوإِلَى هَّللا ِ ْال َم‬

28. Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin


dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Q.S Ali Imran: 28)1

2. Mufradat

‫ أَوْ لِيَا َء‬adalah bentuk plural dari ‫ ولي‬yang bertaut erat dengan konsep wala’ atau muwalah
yang mengandung dua arti: satu, pertemanan dan aliansi; kedua proteksi atau patronase
(dalam kerangka relasi patron-klien). Dalam kamus lisanul arab, kata waliy berarti
shiddiq(teman) dan an-nashir(penolong).2 Kemudian dalam terjemahan the holy qur’an
yang ditulis oleh Abdullah yusuf Ali, kata auliya diartikan friends(teman).3

َ‫ ْال َكافِ ِرين‬bentuk mufrad nya adalah ‫ َكافِر‬berasal dari kata awal ‫ َكفِر‬yang berarti berpaling.
Kafir berarti orang-orang yang berpaling dari keimanannya kepada Allah. Bisa juga

1
. Al-qur’an terjemah Indonesia, Menara kudus. Hal. 53
2
. ‫ بريوت‬- ‫ لسان العرب حممد بن مكرم بن منظور األفريقي املصريدار صادر‬juz 8, hal. 826
3
. Abdullah yusuf Ali. The holy Qur’an. Hal.224
digunakan dalam konteks menyebut orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat, dalam
konteks ini terminology kafir atau kufur adalah lawan dari syukur.4

3. Sabab Nuzul

Menurut riwayat dari Ibnu jarir Ayat ini diturunkan ketika Al-hajjaj bin amr, ka’ab bin al-
asyraf , ibnu abil haqiq dan qais bin zaid(golongan yahudi) tinggal berbaur bersama
orang-orang anshar untuk mengganggu keislaman mereka dan menjadikan mereka
murtad.

Maka Rifa’ah ibnul mundzir, Abdullah bin Zubair, dan sa’id bin Hatsamah berkata
kepada mereka : Jauhilah orang yahudi itu dan janganlah tinggal bersama mereka agar
mereka tidak membuat kalian keluar dari agama kalian. Kemudian turunlah ayat ini.5

Ayat ini diturunkan kepada sekelompok orang islam pada waktu itu untuk waspada ketika
berelasi dengan orang yahudi atau kafir, ini dikarenakan orang kafir pada waktu itu
sangat memusuhi islam. Sehingga dikhawatirkan bergaul dengan mereka akan
menjadikan orang-orang muslim murtad.

4. Munasabah

Dalam ayat yang lalu Allah swt mengingatkan Nabi dan kaum mu’minin untuk
berlindung kepada Allah dengan pengakuan bahwa ditanganNya lah kerajaan, kemuliaan
dan pengaruh mutlak dalam mengatur alam semesta ini. oleh karena itu Allah
memberikan kepada yang dikehendaki dan mencegahnya dari orang-orang yang
dikehendaki pula. Kemudian Allah swt membimbing melalui ayat-ayat ini bahwa
termasuk orang yang lupa apabila ia merasa bangga kepada selain Allah atau berlindung
kepada selainNya.

Para perawi juga meriwayatkan bahwa sebagian orang yang telah memeluk islam merasa
silau dengan kemuliaan dan kekuatan kuffar. Karenanya mereka memihak dan tunduk
padanya. Kecenderungan manusia untuk berafiliasi dengan pihak yang lebih kuat

4
. Op. Cit. ‫لسان العرب‬ juz 5 hal. 144
5
.juz 3 hal. 198 ‫ دار الفكر املعارص – دمشق‬: ‫التفسري املنري يف العقيدة والرشيعة واملهنج وهبة بن مصطفى الزحييل النارش‬
sebenarnya bukan hal yang aneh, hal semacam ini sudah menjadi watak manusia pada
umumnya.6

Dalam surat An-nisa ayat 139 dan ayat 144 secara saling berkaitan Allah juga
menegaskan larangan menjadikan orang non muslim sebagai wali.

5. Penafsiran dan Kontekstualisasi Ayat

Allah melarang orang-orang mu’min menjadikan orang kafir sebagai wali dan teman
akrabnya lalu meninggalkan sesama saudaranya yang mu’min. Allah mengancam bahwa
barang siapa melanggar larangan ini putus hubungannya dengan Allah karena telah
menyimpang dari jalan yang benar sebagaimana Allah berfirman dalam ayat-ayat yang
lain :

)139( ‫ُون ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ أَيَ ْبتَ ُغونَ ِع ْن َد ُه ُم ا ْل ِع َّزةَ فَإِنَّ ا ْل ِع َّزةَ هَّلِل ِ َج ِمي ًعا‬
ِ ‫يالَّ ِذينَ يَتَّ ِخ ُذونَ ا ْل َكافِ ِرينَ أَ ْولِيَا َء ِمنْ د‬

Artinya : (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman


penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (Q.S An-
Nisa : 139)

Selanjutnya dalam ayat 144 juga dijelaskan

)144( ‫َ ا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَتَّ ِخ ُذوا ا ْل َكافِ ِرينَ أَ ْولِيَا َء ِمنْ دُو ِن ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ أَتُ ِري ُدونَ أَ ْن تَجْ َعلُوا هَّلِل ِ َعلَ ْي ُك ْم س ُْلطَانًا ُمبِينًا‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan
alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (Q.S An-Nisa : 144)

Dalam surat al-maidah ayat 51 juga ditegaskan :


6
.Bahrun Abu Bakar Lc. Terjemah Tafsir Maraghi. (Semarang. Toha Putra: 1985) hal. 243
ٍ ‫ض ُه ْم أَ ْولِيَا ُء بَ ْع‬
‫ َولَّ ُه ْم ِم ْن ُك ْم فَإِنَّهُ ِم ْن ُه ْم إِنَّ هَّللا َ اَل‬eeَ‫ض َو َمنْ َيت‬ ُ ‫صا َرى أَ ْولِيَا َء بَ ْع‬
َ َّ‫ي يَا أَ ُّي َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَتَّ ِخ ُذوا ا ْليَ ُهو َد َوالن‬
)51( َ‫َي ْه ِدي ا ْلقَ ْو َم الظَّالِ ِمين‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang


Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-
Maidah: 51)

Ayat-ayat ini dijadikan legitimasi oleh sebagian golongan yang menyatakan


bahwa memilih pemimpin dari kalangan kafir hukumnya haram. Perbedaan penafsiran
dalam ayat ini berpangkal dari ketidaksamaan mereka dalam mendefinisikan makna wali
atau auliya’. Prof. Hamka Dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, wajib bagi kita mengambil
pemimpin dari orang muslim. Allah memberi peringatan dengan tegas bahwa memilih
orang kafir menjadi pemimpin adalah perangai kelakuan orang munafik. Pada ayat ini
ditegaskan kepada orang-orang beriman agar tidak mengambil orang kafir sebagai
pemimpin. Ini dikarenakan mereka tidak percaya kepada tuhan, dan keingkaran mereka
kepada tuhan dan peraturan-peraturan tuhan akan menyebabkan rencana kepemimpinan
mereka tidak tentu arah. 7

Dalam terjemah Al-qur’an bahasa Indonesia kata Auliya’ juga diartikan sebagai
pemimpin, hal ini kemudian memunculkan kesalah pahaman bagi orang awam yang
memahami ayat ini secara tekstual atau sebagaimana yang tertulis dalam terjemah Al-
qur’an tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah tepatkah kata auliya’ diterjemahkan
sebagai ‘pemimpin’ yang konotasinya mengarah pada pemimpin politik?

Dalam surat al-maidah ayat 51 tertulis “ba’dluhum auliyau ba’dlu”, jika kata
auliya’ pada redaksi ayat tersebut diartikan pemimpin atau yang memiliki kuasa atas yang
lain maka seharusnya-sesuai kaidah nahwiyah- ada huruf jer ‘ala setelah kata ba’dlun
yang menunjukkan makna isti’la’ atau superioritas yang sebagian atas sebagian yang lain.
Tapi dalam redaksi ayat tersebut Allah menyebutkan secara langsung “ba’dluhum auliyau

7
. Prof. DR. Hamka. Tafsir Al-azhar. (pustaka nasional Pte Ltd. Singapura : 1999) juz 2 hal. 412
ba’dlu”, yang berarti ada hubungan linear antara dua golongan yang berelasi dalam
konsep wali pada ayat tersebut.

Thabataba’I dalam tafsirnya Al-mizan, memaknai kata auliya’ sebagai bentuk


kedekatan kepada sesuatu yang menjadikan terangkat dan hilangnya batas antara yang
mendekat dan yang didekati dalam tujuan kedekatan itu. Kalau tujuan dalam konteks
ketakwaan dan pertolongan, maka auliya’ adalah penolong-penolong. Apabila dalam
konteks pergaulan dan kasih sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa sehingga auliya’
adalah yang dicintai yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak tertarik kepadanya,
memenuhi kehendaknya dan mengikuti perintahnya. Dan kalau dalam hal ketaatan maka
auliya’ adalah siapa yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya. 8

Jadi pemaknaan kata auliya’ dengan arti pemimpin adalah usaha terjemah yang
tergesa-gesa dan tak mempertimbangkan tekstualitas dan kontekstualitas ayat. Di sisi lain
kita tidak bisa semata-mata memahami ayat ini sebagai larangan memilih pemimpin kafir
dan atau kecaman untuk tidak bergaul, berteman, bersahabat dengan orang kafir.
Perbedaan pada penafsiran auliya’ dalam ayat ini, keduanya sama-sama akan
menyuburkan isu sensitifitas antar islam dan non islam jika masing-masing tak dipahami
sesuai konteks masa turunnya ayat dan konteks relasi islam dan kafir pada masa
sekarang.

Sengaja kami tidak secara langsung menggunakan kata ‘non-muslim’ dalam


keterangan diatas. Hal ini dikarenakan,terma kafir dalam ayat tersebut seharusnya tidak
kita pahami sebatas pada mereka yang ingkar pada Allah saja. Menurut Quraisy syihab
dalam tafsirnya Al-Mishbah, kata ‘kafir’ biasa dipahami dalam arti siapa yang tidak
memeluk agama islam. Makna ini tidak keliru, tetapi perlu diingat bahwa al-qur’an
menggunakan kata ‘kafir’ dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang puncaknya
adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah, disusul dengan keengganan
melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya walau tidak mengingkari wujud dan
keesaanNya, sampai kepada tidak mensyukuri nikmatnya yaitu kikir. Seperti yang ada
pada surat Ibrahim ayat 7 :

8
.www.shiasource.org/tafsir al-mizan. taken on 11 nopember 2012, 14.30 WIB
َ ْ‫َوإِ ْذ تَأ َ َّذنَ َر ُّب ُك ْم لَئِن‬
َ َ‫ش َك ْرتُ ْم أَل َ ِزي َدنَّ ُك ْم َولَئِنْ َكفَ ْرتُ ْم إِنَّ َع َذابِي ل‬
)7( ‫ش ِدي ٌد‬

Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim :7)

Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kufur atau kafir adalah segala aktifitas yang
bertentangan dengan tujuan agama dan dengan demikian walaupun ayat inj turun dalam
konteks melarang orang-orang beriman menjadikan orang yahudi dan nasrani sebagai
pemimpin yang diberi wewenang menangani urusan orang-orang beriman, tetapi larangan
itu juga mencakup orang yang dinamai muslim yang melakukan aktifitas yang
bertentangan dengan tujuan ajaran islam. Larangan ini adalah karena kegiatan mereka
secara lahiriah bersahabat, menolong dan membela ummat islam, tetapi dengan halus
mereka menggunting dalam lipatan.9

Jadi, jika ayat ini dijadikan legitimasi pelarangan memilih pemimpin kafir(yang
dalam pemahaman umum adalah orang non muslim), maka tidak tepat. Ini dikarenakan
kepemimpinan di Negara kita adalah kepemimpinan yang bersifat politis bukan
keagamaan. selain itu, tidak dibenarkan bagi pemimpin di Negara ini atau siapapun untuk
memaksakan orang lain dalam beragama. Ketentuan ini dilindungi oleh undang-undang
Negara republic Indonesia pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 10

Jadi tidak ada kekhawatiran sebagaimana konteks ketika ayat ini diturunkan.
Tetapi tidak lantas ayat ini tidak sesuai untuk konteks masa sekarang, pesan moral dalam
ayat ini perlu kita perhatikan adalah peringatan bagi kita untuk lebih berhati-hati dan
selektif dalam memilih pemimpin. Kebebasan beragama sudah dilindungi konstitusi
hokum Negara, tugas kita adalah memilih pemimpin yang ideal. Menurut ibnu taimiyah,

9
.Quraisy Syihab. Tafsir Al-misbah. (Jakarta. Lentera Hati: 2005) cet.IV. Vol 3 hal. 59
10
.Undang-Undang Dasar 1945. 78 Books. 2010
adil adalah syarat bagi seorang pemimpin yang ideal. Ibnu taimiyah mengatakan bahwa
Kezaliman mengakibatkan kesengsaraan, keadilan melahirkan kemuliaan. Allah
membantu Negara yang adil meskipun kafir, dan tidak membantu Negara yang dzalim
meskipun beriman.11

Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas, kafir berarti pengingkaran. Orang
mukmin yang melanggar hal-hal yang dilarang agama atau tindakannya tidak sesuai
dengan tujuan agama maka bisa dikatakan ia adalah kafir atau orang yang ingkar.
Misalnya, seorang pemimpin mukmin atau islam yang melakukan korupsi, pada
hakikatnya adalah kafir karena melakukan perbuatan yang bersebrangan dengan ajaran
islam. Maka kita harus berhati-hati, jangan sampai berteman, bekerjasama ataupun
menjadikan orang seperti ini sebagai pemimpin karena dikhawatirkan mereka akan
mengajak kita melanggar larangan agama.

11
Ibn Taimiyyah, Tugas Negara Menurut Ibn Taimiyah, 2004,(Yokyakarta: Pustaka pelajar), hlm. 13
BAB III

KESIMPULAN

Pemahaman terhadap ayat ini harus disesuaiakn dengan konteks diturunkannya


ayat, larangan dan peringatan memilih pemimpin kafir pada waktu itu adalah bentuk
kewaspadaan terhadap kelompok yahudi dan nasrani yang mengajak orang mu’min
murtad. Sedangkan yang terjadi sekarang, kebebasan beragama sudah dilindungi hokum
Negara. Pemaksaan seperti itu tidak perlu lagi menjadi kekhawatiran.

Sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita selektif dalam memilih
pemimpin yang baik dan ideal yang membawa ide-ide keadilan dan persamaan. Bukan
pemimpin yang dzolim dan melanggar perintah tuhan. Sebagaimana pendapat ibnu
taimiyah, Tuhan melindungi Negara yang sekali pun kafir tapi adil, dan Tuhan tidak
menjadi pelindung bagi Negara yang tidak adil, meskipun muslim.
DAFTAR PUSTAKA

 Al-qur’an terjemah Indonesia, Menara kudus


 – ‫لسان العرب محمد بن مكرم بن منظور األفريقي المصريدار صادر‬
‫بيروت‬
 Abdullah yusuf Ali. The holy Qur’an
 Quraisy Syihab. Tafsir Al-misbah. (Jakarta. Lentera
Hati: 2005)
 Ibn Taimiyyah, Tugas Negara Menurut Ibn Taimiyah,
2004,(Yokyakarta: Pustaka pelajar)
 Prof. DR. Hamka. Tafsir Al-azhar. (pustaka nasional Pte
Ltd. Singapura : 1999)
 Undang-Undang Dasar 1945. 78 Books. 2010

Anda mungkin juga menyukai