Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid

1. Definisi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonellatyphi, penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur

endothelia atau endokardial, dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam

sel fagosit monocular dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, peyer’s patch dan

dapat menular pada orang lain melalui makanan atau air yang terkontaminasi.

(Sumarmo, 2015).

Demam tifoid merupakan penyakit pencernaan yang menyerang usus

halus. Dari data WHO didapatkan perkiraan jumlah kasus demam tifoid

mencapai angka 17 juta kasus, data yang dikumpulkan melalui survei saat ini

di Indonesia terdapat 600.000–1,3juta kasus tifoid setiap tahunnya dengan

lebih dari 20.000 kematian. Tercatat anak yang berusia 3-19 tahun mencapai

angka 91% terhadap kasus demam tifoid (WHO, 2016). Dan pada tahun 2017

diperkirakan terdapat 21 juta kasus demam tifoid pada anak, dan 200.000

diantaranya meninggal (WHO, 2015).

Di Indonesia demam tifoid masih menjadi penyakit endemik, data pada

tahun 2015 menunjukkan bahwa kasus demam tifoid menduduki peringkat

ketiga dari sepuluh jenis penyakit pada pasien rawat inap diseluruh Indonesia.
Case Fetality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 2015 sebesar 0,67%

(KemenKes, 2015). Demam tifoid menurut karakteristik responden tersebar

merata menurut umur, akan tetapi prevalensi demam tifoid banyak ditemukan

pada umur 5-14 tahun yaitu sebesar 1,9% dan paling rendah pada bayi sebesar

0,8% (Riskesdas, 2014).

2. Etiologi Demam Tifoid

Etiologi tifoid adalah bakteri gram negatif, bentuk batang, tidak berkapsul,

bersifat aerobik dan anaerob fakultatif, memiliki flagela dan tidak berspora,

dinamakan salmonela atau Salmonella enterica serotype Typhi. Salmonella sp

memiliki ciri khas antigen O, H dan Vi. Penyakit tifoid ini sering dihubungkan

dengan paratifoid, yang biasanya lebih ringan dan menunjukkan gambaran

klinis yang sama, atau menyebabkan enteritis akut disebabkan oleh genus

bakteri yang sama dengan subspesies paratyphi A,B,C. Salmonellatyphi hanya

menginfeksi manusia, sedangkan S.paratyphi menginfeksi manusia dan hewan

peliharaan.

3. Manifestasi Klinik

1. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari

2. Sampai akhir minggu pertama demam meninggi

3. Minggu keempat demam turun, dapat menyebabkan shock, stupor, dan

koma apa bila demam tidak tertangani

4. Hari ke 7-10 muncul ruam dan bertahan selama 2-3 hari

5. Kepala nyeri
6. Nyeri perut

7. Kembung

8. Mual, muntah, diare

9. Konstipasi

10. Pusing

11. Nyeri otot

12. Batuk

13.Epistaksis

14. Bradikardi

15. Lidah yang berselaput (tepi dan ujung merah, tremor, serta kotor)

16. Splenomegali

17. Meteroismus

18. Gangguan mental berupa samnolen

19. Psikosis atau delirium

20. Penyakit dalam akut yang disertai hipotermia dan syok dapat timbul dengan

gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda (Sudoyo Aru, dkk 2016).

4. Klasifikasi Demam Tifoid

Menurut WHO (2016), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan

perbedaan gejala klinis:

1) Demam tifoid akut non komplikasi

Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan

abnormalis fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, diare pada anak-
anak, sakit kepala, malaise, dan anoksia). Bentuk bronchitis biasa terjadi

pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit

menunjukkan adanya reses spot pada dada, abdomen dan punggung.

2) Demam tifoid dengan komplikasi

Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi

komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan

kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari

melena, perforasi, susunan peningkatan ketidak nyamanan abdomen.

3) Keadaan karier

Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.

Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses

(WHO, 2015).

5. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

a. Perdarahan minor yang dialami penderita demam tifoid hanya sekitar 25%

yang tidak perlu tranfusi darah. Penderita dapat mengalami syok yang

diakibatkan pedarahan hebat. Apabila mengalami pendarahan mencapai 5

ml/kg/jam maka secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan.

b. Perforasi usus, sekitar 3% dapat terjadi kepada penderita. Biasanya pada

minggu ketiga akan timbul tetapi dapat timbul pula pada minggu pertama.

Penderita akan mengalami nyeri perut hebat terutama pada daerah kuadran
kanan dan akan menyebar keseluruh bagian perut. Bukan itu saja, tekan

darah menurun, nadi cepat, dan sampai bisa mengalami syok.

c. Komplikasi tulang: osteomyelitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

d. Komplikasi neuropsikiatrik : Sindrom katatonia, psikosis, meningitis,

polineurritis perifer, meningismus, dan delirium.

6. Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan untuk membantu penegakkan diagnosis untuk

demam tifoid yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada hasil pemeriksaan darah penderita umumnya ditemukan anemia, bisa

menurunnya dan meningkatnya jumlah leukosit normal, mungkin juga

terdapat trombositopenia. Adanya eukopenia dan limfositosis relative dapat

menjadi dugaan kuat untuk diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2015).

2. Uji biakan darah

Apabila bakteri salmonella typhi ditemukan berkembang biak dalam darah,

urin, feses, sumsum tulang, dan cairan duo denum, dapat ditegakkan

diagnosis pasti pada demam tifoid. Pada awal penyakit bakteri lebih mudah

ditemukan dalam sumsum tulang dan darah, kemudian di dalam urin dan

feses dapat di temukan bakteri salmonella typhi pada stadium berikutnya

(Hardiet al, 2015).

3. Uji serologi
Untuk dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dapat

menggunakan uji serologi dengan cara mendeteksi adanya komponen

antigen salmonella typhi memiliki antibody yang spesifik maupun terhadap

mendeteksi antigen itu sendiri. Menegakkan diagnosis demam tifoid dapat

dilakuakan dengan beberapa uji serologis (uji widal dan tubex test).

4. Uji Widal

Uji widal adalah salah satu cara untuk mendeteksi adanya kuman

salmonella typhi terhadap antibody. Reaksi aglutinasi antara antibodi

penderita dan antigen kuman Salmonella typhi terjadi ada uji widal. Antigen

yang digunakan adalah suspensi biakan Salmonella typhi yang sudah

dibasmi dan kemudian telah diolah di dalam laboratorium. Salmonella typhi

memiliki 3 antigen, yaitu: antigen O (antigen somatic), antigen H (antigen

flagella), dan antigen Vi (antigen kapsul). Ketika ketiga macam antigen

tersebut ada di dalam tubuh penderita, maka secara alami tubuh penderita

tersebut akan membentuk 3 macam antibodi yang biasa disebut aglutinin

(Widodo, 2014). Hanya agglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk

diagnosis, semakin tinggi titernya maka semakin kuat penegakkan diagnose

tifoidnya.

5. Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan tubex lebih baik jika dibandingkan dengan pemeriksaan widal,

karena pemeriksaan tubex merupakan metode diagnosis dengan tingkat

sensitifikal dan spesifisitas yang lebih baik. Pemeriksaan yang dilakukan


lebih sederhana, lebih cepat, dan lebih akurat untuk digunakan (Rahayu,

2014).

6. Pemeriksaan kuman secara molekuler.

7. Cara paling ampuh untuk diagnosis demam tifoid dengan teknik hibridasi

asam nukleat untuk mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri

salmonella typhi didalam darah atau dengan cara polymerase chain reaction

(PCR) untuk amplikasi DNA melalui identifikasi antigen Vi (Liana, 2016).

7. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Bedrest kurang lebih 14 hari : mencegah komplikasi perdarahan usus.

b. Mobilisasi sesuai dengan kondisi.

c. Untuk mencegah dekubitus setiap 2 jam sekali posisi tubuh harus diubah.

d. Diet, Dimasa lampau, sebelum makan nasi, penderita diberi makan diet

(bubur saring, bubur kasar, dan akhirnya nasi) sesuai dengan tingkat

kesembuhan penderita. Makanan padat dini dapat dianjurkan kepada

penderita yang harus sesuai dengan kondisi penderita dan anjuran ini

sebelumnya telah diteliti oleh beberapa peneliti. Kebutuhan makanan

penderita harus disesuaikan, seperti kebutuhan protein, kalori, vitamin,

elektrolit, mineral, diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, dan

harus menghindari makanan yang iritatif.


2. Penatalaksanaan Medis

Penderita dengan gambaran klinik jelas disarankan untuk mendapat

pengobatan lebih optimal dengan dirawat dirumah sakit, karena observasi

penyakit lebih mudah, meminimalisasi terjadinya komplikasi, menghindari

penularan, dan proses penyembuhan lebih cepat (Menkes RI, 2015). Setelah

diagnosis klinik ditegakkan maka antibiotik akan segera diberikan.

Memastikan bakteri penyebab infeksi, terlebih dahulu harus dilakukan

pemeriksaan spesimen darah atau sumsum tulang, kecuali fasilitas biakan ini

benar-benar tidak tersedia dan tidak dapat dilaksanakan (Menkes RI, 2015).

Menurut Kamus Saku Kedokteran Dorland (2013) secara sistematis

mikroorganisme dapat menghasilkan zat kimiawi yang merupakan anti

biotik, dan antibiotik mempunyai kemampuan untuk menghambat

pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain, dimana antibiotik

bersifat kurang toksik untuk penjamuannya. Beberapa anti biotik telah

dikenal luas memiliki sensitifitas dan efektifitas tinggi untuk mengobati

demam tifoid berdasarkan pedoman pengendalian demam tifoid yang

dikeluarkan oleh WHO (2014).

B. Konsep Hipertermi

1. Definisi

Hipertermi merupakan keadaan ketika individu mengalami atau

berisiko mengalami kenaikan suhu tubuh lebih dari 37,8 o C (100oF) per oral

atau 38,8o C (101oF) per rektal yang sifatnya menetap karena faktor eksternal
(Ilmiah 2016). Pengertian lain juga menyebutkan bahwa hipertermi adalah

peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal (NANDA, 2015). Hipertermi

adalah peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal (Ilmiah 2014). Demam

tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih

dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran

(Nursalam, Susilaningrum, dan Utami 2013). Jadi, hipertermi pada tifoid

merupakan suatu masalah keperawatan yang ditandai dengan peningkatan suhu

tubuh diatas kisaran normal yang biasanya disebabkan oleh infeksi akut pada

saluran pencernaan.

2. Etiologi

a. Penyebab dari Hipertermi antara (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2015) :

1. Penyakit/trauma

2. Peningkatan metabolism

3. Aktivitas yang berlebihan

4. Pengaruh medikasi

5. Terpapar lingkungan panas

6. Dehidrasi dan pakaian yang tidak tepat

7. Faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.

b. Penyebab terjadinya tifoid menurut (Sodikin 2016) yaitu salmonella

thyposha, kuman ini memiliki ciri sebagai berikut :


1. Hasil gram negative yang bergerak dengan bulu getar dan tidak

bersepora.

2. Yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida, antigen H (flagella), dan

antigen Vi. Berdasarkan hasil laboratorium pasein, biasanya terdapat zat

inti (agglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

3. Manifestasi Klinis

a. Beberapa tanda dan gejala pada tifoid menurut (kapita selekta, kedokteran

2015) yaitu :

1) Perasaan tidak enak badan

2) Nyeri kepala

3) Pusing

4) Diare

5) Anoreksia

6) Batuk

7) Nyeri otot

8) Muncul gejala klinis lain

Demam berlangsung 3 minggu. Minggu pertama : demam ritmen,

biasanya menurun di pagi hari, dan meningkat pada sore dan malam hari.

Minggu kedua : demam terus. Pada minggu ketiga : demam mulai turun

secara berangsur-angsur, gangguan pada saluran pencernaan, lidah kotor

yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang

disertai tremor, hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan,
gangguan pada kesadaran, kesadaran yaitu apatis-samnolen. Gejala lain

“RESEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler

kulit).

b. Beberapa tanda dan gejala pada hipertermi menurut (NANDA 2015) :

1) Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal

2) Konvulsi (kejang)

3) Kulit kemerahan

4) Pertambahan RR

5) Takikardi

6) Saat disentuh tangan terasa hangat

a) Fase – fase terjadinya hipertermi :

(1) Fase I : awal

(a) Peningkatan denyut jantung.

(b) Peningkatan laju dan kedalaman pernapasan.

(c) Menggigil akibat tegangan dan kontraksi obat.

(d) Kulit pucat dan dingin karena vasokonstriksi.

(e) Merasakan sensasi dingin.

(f) Dasar kuku mengalami sianosis karena vasokonstriksi.

(g) Rambut kulit berdiri.

(h) Pengeluaran keringat berlebih.

(i) Peningkatan suhu tubuh.

(2) Fase II : proses demam


(a) Proses menggigil lenyap.

(b) Kulit terasa hangat / panas.

(c) Merasa tidak panas / dingin.

(d) Peningkatan nadi & laju pernapasan.

(e) Peningkatan rasa haus.

(f) Dehidrasi ringan sampai berat.

(g) Mengantuk , delirium / kejang akibat iritasi sel saraf.

(h) Lesi mulut herpetic.

(i) Kehilangan nafsu makan.

(j) Kelemahan, keletihan dan nyeri ringan pada otot akibat

katabolisme protein.

(3) Fase III : pemulihan

(a) Kulit tampak merah dan hangat.

(b) Berkeringat.

(c) Menggigil ringan.

(d) Kemungkinan mengalami dehidrasi.

Pada mekanisme tubuh alamiah, demam yang terjadi dalam diri

manusia bermanfaat sebagai proses imun. Pada proses ini, terjadi

pelepasan interleukin-1 yang akan mengaktifkan sel T. suhu tinggi

(demam) juga berfungsi meningkatkan keaktifan (kerja) sel T dan B

terhadap organisme pathogen. Namun konsekuensi demam secara umum

timbul segera setelah pembangkitan demam (peningkatan suhu).


Perubahan anatomis kulit dan metabolisme menimbulkan konsekuensi

berupa gangguan keseimbangan cairan tubuh, peningkatan metabolisme,

juga peningkatan kadar sisa metabolisme. Selain itu, pada keadaan tertentu

demam dapat mengaktifkan kejang.

4. Penatalaksanaan

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis

terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam

bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk

menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua

garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan

penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan

umur < 3 bulan dengan suhu rektal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan

dengan suhu >39°C, penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu

yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro & Zieve, 2010).

Beberapa penatalaksanaan terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi dari

demam yaitu :

a. Terapi non-farmakologi (Ilmiah 2016).

1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan

beristirahat yang cukup.

2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat

menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan.

Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat

memberikan rasa nyaman kepada penderita.


3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres

hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan

kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan

meningkatkan kembali suhu inti.

b. Terapi farmakologi

Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah

parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam

menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama

(Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol

sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh

fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik,

Pineda, & Kest, 2010).

Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai

pemberian obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat

diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya

sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan (Graneto,

2010).

5. Komplikasi

Menurut (Sodikin 2011) komplikasi biasanya ternyadi pada usus

halus, namun hal tersebut jarang terjadi. Apabila komplikasi ini terjadi pada

seorang anak, maka dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus dapat

berupa :
a. Peradangan usus Apabila peradang terjadi dalam jumlah sedikit, perdarahan

tersebut hanya dapat ditemukan jika dilakukan pemeriksaan feses dengan

benzidin, jika perdarahan banyak maka dapat terjadi melena yang bisa

disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan. Perforasi usus biasanya

timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagin usus distal

ileum.

b. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat

udara dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara

diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam

keadaan tegak.

c. Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa

perfosi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang hebat,

dinding abdomen tegang (defebce muscular) dan nyeri tekan.

C. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

1). Anamnese (Data subyektif)

a. Identitas Pasien.

Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, jenis kelamin, usia, agama,

suku bangsa, pendidikan nomor registrasi, dan penanggung jawab (Yudi

Elyas 2013).

2). Keluhan utama


Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan oleh klien yaitu panas naik

turun, yang menyebabkan klien dating untuk mencari bantuan kesehatan.

pada anak jika anak yang sadar dapat langsung ditanyakan pada klien tetapi

jika anak yang tidak dapat berkomunikasi keluhan dapat ditanyakan pada

orangtua klien yang sering berinteraksi dengank klien (Utomo, 2017).

3). Riwayat penyakit sekarang ditemukan adanya keluhan klien yang mengalami

peningkatan suhu tubuh >37,5℃ selama lebih dari 1 minggu, disertai

menggigil. Naik turunnya panas terjadi pada waktu pagi dan sore dan

berlangsung selama lebih dari 1 minggu. Keadaan semakin lemah ,kadang

disertai dengan keluhan pusing, akral hangat, takikardia, serta penurunan

kesadaran. (Purwanti2015).

4). Riwayat penyakit dahulu apakah pasien pernah menderita penyakit demam

tifoid, atau menderita penyakit lainnya (Elyas, 2013).

5). Riwayat kesehatan keluarga apakah keluarga pernah menderitahi pertensi,

diabetes melitus (Elyas, 2013).

6). Pola fungsi kesehatan

a. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan

muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan

sama sekali (Aru, 2015).

b. Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami diare oleh karena tirah baring

lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya


warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid

terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar

dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh

(Aru, 2015).

c. Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar

tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu (Aru,

2015).

d. Pola persepsi dan konsep diri biasanya terjadi kecemasan pada orang

dewasa terhadap keadaan penyakitnya (Aru, 2015).

e. Pola tidur dan istirahat Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan

peningkatan suhu tubuh (Aru, 2015).

f. Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan

umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham

pad klien (Aru, 2015).

g. Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di

rumah sakit dan klien harus bed rest total (Aru, 2015).

h. Pola penanggulangan stress

Biasanya orang dewasa akan tampak cemas (Aru, 2015).

7) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan klien

(inspeksi adanya lesi pada kulit). Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan

jalan mengetukkan jari tengah ke jari tengah lainnya untuk mengetahui

normal atau tidaknya suatu organ tubuh. Palpasi adalah jenis pemeriksaan

fisik dengan meraba klien. Auskultasi adalah dengan cara mendengarkan

menggunakan stetoskop (auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui

bisingusus). Adapun pemeriksaan fisik pada klien demam tifoid diperoleh

hasil sebagai berikut :

a) Keadaan umum :

1. Keadaan umum: klien tampak lemas

Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital : Suhu tubuh tinggi >37,5°C ; Nadi dan frekuensi nafas

menjadi lebih cepat (Elyas, 2013).

2. Pemeriksaan kepala

Inspeksi: Pada klien demam tifoid umumnya bentuk kepala normal

cephalik, rambut tampak kotor dan kusam.

Palpasi: Pada pasien demam tifoid dengan hipertermia umumnya

terdapat nyeri kepala (Muttaqin, 2014).

3. Mata

Inspeksi: Pada klien demam tifoid dengan serangan berulang

umumnya salah satunya, besar pupil tampak isokor, reflek pupil

positif, konjungtiva anemis, adanya kotoran atau tidak.


Palpasi: Umumnya bola mata teraba kenyal dan melenting (Muttaqin,

2014).

4. Hidung

Inspeksi: Pada klien demam tifoid umumnya lubang hidung simetris,

ada tidaknya produksi secret, adanya pendarahan atau tidak, ada

tidaknya gangguan penciuman.

Palpasi: Ada tidaknya nyeri pada saat sinus di tekan (Debora, 2013).

5. Telinga

Inspeksi: Pada klien demam tifoid umumnya simetrsis, ada tidaknya

serumen.

Palpasi: Pada klien demam tifoid umumnya tidak terdapat nyeri tekan

pada daerah tragus (Muttaqin, 2014).

6. Mulut

Inspeksi: Lihat kebersihan mulut dan gigi, pada klien demam tifoid

umumnya mulut tampak kotor, mukosa bibir kering (Setyadi, 2014).

7. Kulit dan Kuku

Inspeksi: Pada klien demam tifoid umumnya muka tampak pucat,

Kulit kemerahan, kulit kering, turgor kullit menurun (Elyas, 2013).

Palpasi: Pada klien demam tifoid umumnya turgor kulit kembali <2

detik karena kekurangan cairan dan Capillary Refill Time (CRT)

kembali <2 detik.


8. Leher

Inspeksi: Pada klien demam tifoid umumnya kaku kuduk jarang

terjadi, lihat kebersihan kulit sekitar leher (Satyanegara, 2015).

Palpasi: Ada tidaknya bendungan vena jugularis, ada tidaknya

pembesaran kelenjar tiroid, ada tidaknya deviasi trakea (Debora,

2013).

9. Thorax (dada)

Paruparu Inspeksi : Tampak penggunaan otot bantu nafas diafragma,

tampak Retraksi interkosta, peningkatan frekuensi pernapasan, sesak

nafas

Perkusi :Terdengar suara sonor pada ICS 1-5 dextra dan ICS 1-2

sinistra Palpasi : Taktil fremitus teraba sama kanan dan kiri, taktil

fremitus teraba lemah.

Auskultasi : Pemeriksaan bisa tidak ada kelainan dan bisa juga

terdapat bunyi nafas tambahan seperti ronchi pada pasien dengan

peningkatan produksi secret, kemampuan batuk yang menurun pada

klien yang mengalami penurunan kesadaran (Mutaqin, 2014; Debora,

2013).

10. Abdomen

Inspeksi : Persebaran warna kulit merata, terdapat distensi perut atau

tidak, pada klien demam tifoid umumnya tidak terdapat distensi perut

kecuali ada komplikasi lain (Mutaqin, 2014).


Palpasi : Ada/tidaknya asites, pada klien demam tifoid umumnya

terdapat nyeri tekan pada epigastrium, pembesaran hati

(hepatomegali) dan limfe.

Perkusi : Untuk mengetahui suara yang dihasilkan dari rongga

abdomen, apakah timpani atau dullness yang mana timpani adalah

suara normal dan dullness menunjukan adanya obstruksi.

Auskultasi : Pada klien demam tifoid umumnya, suara bising usus

normal >15x/menit (Mutaqin, 2014).

11. Musculoskeletal

Inspeksi : Pada klien demam tifoid umumnya, dapat menggerakkan

ekstremitas secara penuh (Elyas, 2013).

Palpasi : periksa adanya edema atau tidak pada ekstremitas atas dan

bawah. Pada klien demam tifoid umumnya, akral teraba hangat, nyeri

otot dan sendi serta tulang (Elyas, 2013; Debora, 2013).

12. Genetalia dan Anus

Inspeksi :Bersih atau kotor, adanya hemoroid atau tidak, terdapat

perdarahan atau tidak, terdapat massa atau tidak. Pada klien demam

tifoid umumnya tidak terdapat hemoroid atau peradangan pada

genetalia kecuali klien yang mengalami komplikasi penyakit lain

Palpasi : Terdapat nyeri tekanan atau tidak. Pada klien demam tifoid

umumnya, tidak terdapat nyeri kecuali klien yang mengalami

komplikasi penyakit lain (Mutaqin, 2014).

2. Diagnosa Keperawatan
Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi

salmonella typhi (Suratun & Lusianah 2016).

3. Batasan Karakteristik

Salah satu diagnose keperawatan yang terdapat pada klien demam tifoid adalah

hipertermia.

Menurut (NANDA, 2016) Batasan karakteristik dari diagnose hipertermia

adalah:

1) Kulit kemerahan

2) Peningkatan suhu tubuh diatasan kisaran normal (>37,5℃- 40℃)

3) takipnea (pernafasan cepat dan dalam)

4) takikardia

5) kulit teraba hangat

Faktor yang berhubungan menurut (Wong, 2013):

1) Anastesia

Setiap tanda-tanda vital dievaluasi dalam kaitannya dengan efek sampingan

astesi dan tanda-tanda syok pernafasan memburuk atau nyeri karena nastesi

ini dapat menyebabkan peningkatan suhu.

2) Penurunan respirasi

Penguapan yang tidak dapat keluar akan mengganggu sirkulasi dalam tubuh

sehingga menyebabkan hipertermia yang diakibatkan oleh kenaikan sel point

hipotalamus.

3) Dehidrasi
Tubuh kehilangan panas secara kontinu melalui evaporasi .sekitar 600-900 cc

air tiap harinya kulit menguap dan paru-paru sehingga terjadi kehilangan

panas air ini yang menyebabkan dehidrasi pada hipertermia.

4) Pemajanan lingkungan yang panas

Panas pada 85% area luas permukaan tubuh di radiasikan kelingkungan.

Vasokontriksi perifer meminimalisasi kehilangan panas. Jika lingkungan

lebih panas dibandingkan kulit, tubuh akan menyerap panas melalui radiasi.

5) Penyakit

Penyakit atau trauma hipotalamus atau sumsum tulang belakang (yang

meneruskan pesan pada hipotalamus) akan mengubah control suhu menjadi

berat.

6) Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan pakaian yang

tidak tebal akan memaksimalkan kehilangan panas.

7) Peningkatan laju metabolisme

Panas yang dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan metabolisme, yaitu

reaksi kimia dalam sel tubuh. Aktivitas yang membutuhkan reaksi kimia yang

akan menambah produksi panas. Sehingga peningkatan laju metabolism

sangat berpengaruh terhadap hipertermia.

8) Medikasi

Demam juga disebabkan oleh adanya bentuk hiper sensitivitas terhadap obat.

4. Intervensi
Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan pada pasien anak tifoid dengan masalah

hipertermi.

Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Tupen : 1) Suhu 1. Mengkur 1) Mengetahui
Diharapkan dalam dan mencatat kondisi klien
tidak terjadi rentang temperature (Betty &
proses infeksi normal sushu pada ackley 2013 ).
setelah mualidari tingkat
dilakukan 36◦c-37◦c keparahan
asuhan 2) RR dan demam atau
keperawatan nadi dalam kapan terjadi
selama 1x24 batas perubahan
jam (Suratun normal dalam
& Lusianah, 3) membranel kondisi
2016). mukosa menggigil
Tupan :suhu lembab setiap 1-4
tubuh klien 4) Kulit jam. (Betty
dapat kembali dingin dan & ackley
normal stelah bebas dari 2013 ).
dilakukan keringat 2. Anjurkan 2) Membantu
asuhan yang memakai untuk
keperawatan berlebihan. pakaian tipis menurunkan
3x24 jam sebagai suhu tubuh.
(Suratun&Lu manajemen (Betty &
sianah , 2016). demam. ackley 2013).
(Betty &
ackley
2013).
3. Pemberian 3) Meningkatkan
kompres penguapan
hangat pada yang
klien. (Betty mempercepat
& ackley penurunan
2013). suhu tubuh
(Betty &
ackley 2013).
4. Anjurkan
klien untuk 4) Untuk
tidak mengurangi
memakai suhu-suhu
selimuttebal. tubuh yang
(Betty & panas melalui
ackley udara (Betty
2013 ). & ackley2013
5. Kolaborasi ).
dalam 5) Untuk
pemberian mengganti
cairan cairan yang
intravena hilang (Betty
seperti yang & ackley2013
dianjurkan ).
oleh dokter
(Betty &
ackley
2013 ).
6. Kolaborasi
dalam 6) Hal ini
pemberian umunya lebih
obat penting untuk
antibiotic mengobati
yang penyebab
dianjurkan yang
oleh dokter mendasari
(Betty & peningkatan
Ackley 2013 temperatur.
). (Betty &
7. Anjurkan ackley 2013).
klien minum 7) Membantu
air putih ± cairan tubuh
2,5 ltr/hari yang hilang
liter (Betty dan klien
& ackley tidak
2013). mengalami
dehidrasi.
(Betty &
ackley 2013).

5. Implementasi

Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan

rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat


mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan

dimonitor kemajuan kesehatan klien (Santosa, 2014).

1. Tindakan Keperawatan Mandiri.

Tindakan keperawatan mandiri dilakukan oleh perawat. Misalnya

menciptakan lingkungan yang tenang, memberi kompres hangat saat pasien

demam, menganjurkan keluarga memakaikan baju yang tipis pada anak,

mengukur tanda-tanda vital pasien, menganjurkan pasien minum air putih 1

hari ± 2,5 ltr/hariliter, memposisikan anak untuk tirah baring (Elyas, 2013).

2. Tindakan Keperawatan Kolaboratif.

Tindakan yang dilakukan oleh perawatan apabila perawat bekerja dengan

anggota perawat dan anggota kesehatan yang lain dalam membuat keputusan

bersama yang bertahan untuk mengatasi masalah pada anak, dengan cara cek

laboratorium untuk mengetahui perkembangan anak setiap harinya, memberi

suntikan injeksi dan cairan intravena sesuai dengan ketentuan yang diberikan

oleh dokter (Elyas, 2013).

a. Evaluasi

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan yang telah

disusun, hasil yang ingin dicapai sebagai berikut (Elyas 2013) :

1) Tanda- tanda vital normal RR: 20-30X/menit, Nadi: 80-90x/menit) uhu :36

-37

2) Membrane mukosa tidak kering

3) Akral hangat

4) Kulit tidak kemerahan.

Anda mungkin juga menyukai