Anda di halaman 1dari 2

Muhammad Fajar Rizki Djubaedi (170110200074) (B)

Opini Pribadi - Budaya hukum yang berkembang dalam masyarakat Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Budaya diartikan sebagai pikiran akal budi
atau adat-istiadat. Budaya merupakan salah satu cara hidup yang terus berkembang dan dimiliki
bersama oleh suatu kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Sementara
itu, kata “Kebudayaan” secara tata bahasa diturunkan dari budaya yang merujuk kepada makna
sebagai hasil kegiatan atau penciptaan akal budi manusia seperti kepercayaan, aturan moral, kesenian,
dan adat istiadat. Kaitannya budaya dengan hukum, karena budaya yang ada dalam suatu kalangan
masyarakat tertentu dapat menentukan corak kegiatan politik, ekonomi, hukum dan berbagai elemen
kehidupan lainnya. Salah satu tokoh terkenal jerman mengenai hukum friedrich carl von savigny
dalam beberapa karyanya menyatakan hukum merupakan penjelmaan atau manifestasi dari jiwa suatu
rakyat atau bangsa. Ia meyakini bahwa faktor budaya sangat berperan untuk menentukan corak
hukum suatu masyarakat, bahkan bangsa atau negara. Hukum sejatinya tidak dibuat, melainkan
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Masyarakat dan kebudayaan adalah satu kesatuan dalam budaya hukum yang sangat
berpengaruh dalam keberlangsungan suatu sistem hukum. Maka tak heran jika para ahli hukum
mengatakan jika budaya dan kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat
dari hukum. Untuk meningkatkan budaya hukum yang bersifat positif maka diperlukan kesadaran
hukum, akan tetapi perkara itu bukanlah hal yang mudah. Kesadaran hukum suatu bangsa bersumber
dari perasaan dan keyakinan hukum tiap individu, sehingga dibutuhkan untuk membangun keyakinan
masyarakat mengenai kedudukan hukum sebagai tonggak acuan negara.
Realita yang terjadi saat ini, hukum yang ada di Indonesia hanya dijadikan sebagai kambing
hitam. Masyarakat Indonesia hanya tahu mengenai ”prosedur hukum yang rumit dan berbeli-belit,
hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, hukum hanya sebatas aturan tertulis belaka, hukum ada
untuk dilanggar”. Selanjutnya, telah menjadi rahasia umum, bahwa badan-badan peradilan dan para
penegak hukum dalam implementasi pelaksanaannya belum memberikan keputusan berdasarkan
kebenaran, keadilan dan kejujuran, yang bebas dari tekanan atau tekanan dari pihak lain. Oleh karena
itu, kedudukan dan kredibilitas hukum semakin dipertanyakan, bahkan sering kali mendapat sorotan
tajam dari berbagai lapisan masyarakat.
Sudah saatnya setiap komponen bangsa harus berani menjadi agen perubahan (the agent of
change) demi tegaknya hukum, sebagaimana pandangan Roscoe Pound 17 yang menjadikan hukum
sebagai social engineering. Sebuah negara tidak layak dianggap sebagai negara hukum jika kesadaran
hukum tak mampu ditumbuhkembangkan. Penegakan hukum hanya akan menjadi mimpi, bila hukum
hanyalah sebatas corong dan alat penguasa serta isinya tak bermanfaat di masyarakat.
Pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya leluhur bangsa, untuk selanjutnya menjadikan
kebudayaan tersendiri dalam bidang hukum. Seperti budaya malu berbuat salah, malu melanggar
aturan, dan malu tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku. Bila hal-hal tersebut ada, maka aspek-
aspek lain seperti kepatuhan terhadap hukum, penegakan hukum berdasarkan kejujuran dan keadilan,
dan kesadaran hukum dengan sendirinya akan terwujud dalam implementasi penerapan budaya
hukum yang tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia.

Referensi
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius,
2009), h. 233].a
Aulia, M Zulfa. Undang : Jurnal Hukum. Friedrich Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai
Manifestasi Jiwa Bangsa. Fakultas Hukum Universitas Jambi.

Anda mungkin juga menyukai