Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
a. Mengetahui dan memahami apa itu dasein (manusia autentik).
b. Mengetahui dan memahami maksud dari momen eksistensial
(berjumpa dengan kecemasan) terhadap filsafat manusia.
c. Mengetahui kerealitasan wajah masyarakat di era informasi/
cyberspace pada masa sekarang ini.
d. Mengetahui relevansi eksistensialisme Heidegger dengan masyarakat
abad ke-21 ini.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Keberadaan manusia di dunia ini tidak hanya nyata tapi sekaligus juga
abstrak. Menurut Heidegger, ia benar-benar terlibat, terikat, berkomitmen,
dan juga menjadi intim dengan dunia banalitas sehari-hari. Betapapun
sederhana, kecil, dan sepelenya dalam kehidupan sehari-hari, ketika
bersentuhan dengan totalitas subjektivitas manusia, maka dia akan
mempunyai makna. Saat manusia berada di dunia, dia bukan hanya berdiam
diri secara pasif, melainkan juga aktif yakni menduniakan dunia atau
memaknai dunia.
Dunia atau realitas tidak lain dari keterbukaan, yakni suatu hamparan
kemungkinan yang tidak terkatakan namun menunggu pemaknaan. Persepsi,
pikiran atau bahasa kita tentangnya merupakan suatu upaya untuk
menyangga keterbukaan itu sebagai suatu (dunia) dan dengan jalan itu kita
mengintervensi keterbukaan dan ketidaktentuan itu sebagai sesuatu yang
tertentu atau bermakna.
Itulah alasan mengapa di dunia ini ada ilmuan, dunia artis, dunia
olahraga, dunia hiburan, dunia ilmu, dan sebagainya. Faktisitas dasein
membuat setiap pemaknaan memiliki suatu struktur presuposisi yakni
seperangkat pengetahuan tidak sadar yang tidak terwarisi secara historis
dan menentukan makna sesuatu. Struktur presuposisi ini terdiri atas fore-
having (apa yan kita miliki), fore-sight (apa yang kita lihat), dan fore-
conception (apa yang akan kita peroleh kemudian). Sehingga manusia tidak
pernah bisa melepaskan diri sendiri dari seluput ruang-waktu yang
menyelubunginya. Setiap manusia membawa arus sejarahnya masing-
masing.
3
Sepuluh tahun dalam hidup perkawinan membuat seorang suami
mengenal istrinya sebagai seorang pasangan yang setia, sederhana, dan tulus.
Sejak bekerja dan mendapatkan nafkah sendiri, perempuan seolah menjadi
manusia yang lain dihadapan suaminya. Ia kembali pada ‘diri’ nya yang
setelah sekian lama ia palsukan. Perempuan ini lalu menemukan cintanya
pada rekan kerjanya dan minta cerai pada suaminya.
4
Kendati prahara dan gejolak kehidupan (Angst) mengoyak ketenangan,
keheningan, dan kedamaian. Paradoksnya kesengsaraan itu malah akan
bermuara dalam ketenangan, keheningan, dan kedamaian antologis. Kita
menjadi tenang dalam ketaktenangan, menjadi hening dalam ketakheningan,
menjadi damai dalam ketakdamaian, mengalami puncak kebahaiaan di
tengah-tengah deru ketakbahagiaan. Kata Heidegger, kita akan kerasan
dalam ketidakkerasan. Saat itulah kita seolah mendayung kapal eksistensial
kita dengan kesadaran penuh terhadap arus yang menghadangnya.
Heidegger membincang kecemasan sebagai kondisi mencekam dimana
manusia berhadapan dengan “ketiadaan”. Berbeda dari ketakutan, yang objek
atau sasarannya jelas dan nyata, objek dari kecemasan sesungguhnya adalah
“tidak ada”, “kapan dan dimanapun sesunguhnya tidak ada”. Tetapi meskipun
“tidak ada”, ketiadaan justru merupakan ancaman yang sangat nyata dan
hebat yakni kematian. Dalam hubunannya dengan keautentikan eksistensi,
kematian diinterpretasikan oleh Heidegger sebagai kemungkinan eksistensi
untuk menjadi autentik.
Kematian mampu menjadikan manusia sebagai dirinya sendiri yang
solid, menjadi Adanya sendiri yang personal. Menerima peristiwa kematian
berarti menerima kenyataan bahwa manusia tidak lain adalah “Ada-menuju-
kematian” (Sein-zum-Todeb atau Bein-toward-death), dan menerima
kenyataan bahwa Ada adalah Ada menuju kematian, berarti membuka pintu
lebar-lebar menuju eksistensi yang autentik atau diri yang solid.
Dengan menerima kematian, manusia terpanggil untuk melepaskan diri
dari kuasa atau kontrol orang lain, yang membuat eksistensi menjadi dangkal
dan tidak autentik. Dengan mengisi eksistensinya sendiri, berarti kita
bersedia mendengarkan panggilan hati nuarani sendiri yang tidak berasal
dari kuasa luar atau orang lain, melaiankan panggilan dari diri sendiri. Saat
itu kita menjadi Dasein, manusia autentik yang membuka diri terhadap
kepastian yang paling pasti dari seluruh episode kehidupan kita yaitu tamu
kematian. Pada taraf inilah manusia menjalani eksistensinya yang autentik.
5
Di dalam era informasi atau cyberspace dewasa ini, menurut Games
Gleick kebanyakan manusia terperangkap pada apa yang disebut kecepatan.
Gleick melihat kecepatan sebagai bentuk ektasi, yaitu hanyutnya manusia di
dalam kecepatan dan percepatan perubahan sebagai akibat dari
perkembangan teknologi mutaakhir. Ekstasi dijelaskan Gleick sebagai kondisi
kebebasan dan pemenjaraan dalam waktu yang bersamaan. Artinya
kecepatan telah membebaskan manusia dari berbagai hambatan dan
konstrain dunia, khususnya hambatan ruang-waktu, dan yang
memungkinkan manusia untuk menjalankan model kehidupan yang serba
segera, instan, dan cepat, akan tetapi sekaligus memerangkap manusia di
dalam arus kecepatan itu sendiri, yaitu dengan menjadikan kecepatan sebagi
sebuah bentuk ketergantungan.
Manusia terjebak dalam arus kecepatan dengan segala risiko yang
harus dihadapinya. Nyaris kebanyakan manusia melakukan segala sesuatu
dengan dengan cepat: bekerja cepat, bicara cepat, menonton cepat, bisnis
cepat, makan cepat, membaca cepat, rekreasi cepat, bermain cepat, bahkan
seks cepat. Dalam kondisi demikian, keseketikaan merupakan hukum di
dalam jaringan dan di dalam kehidupan emosi manusia, dan mereka
dikelilingi oleh benda-benda instan: kopi instan, mebel instan, makan instan,
mie instan, kemesraan instan, instan replay, belajar instan, kursus instan, dan
kepuasan instan. Sebuah fenomena gaya hidup cepat atau gaya hidup instan
(instan life style). Bahayanya lagi, bersamaan dengan gaya hidup cepat ini
kebanyakan manusia justru semakin membentuk masyarakat konsumeristik
yang mengkonsumsi apa pun bukan karena kebutuhan melainkan karena
dorongan hasrat. Segala hal yang mereka cari lagi tidak dilandasi oleh logika
kebutuhan (need), tetapi justru logika hasrat (desire). Jika kebutuhan dapat
dipenuhi melalui objek-objek setidaknya secara parsial, tidak demikian
halnya dengan hasrat. Hasrat atau nafsu tidak akan terpuaskan, karena ia
selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi. Manusia mempunyai
hasrat akan sebuah objek tidak disebabkan kekurangan alamiah terhadap
objek tersebut, akan tetapi perasaan kekurangan yang diproduksi dan
diproduksi sendiri.
6
Pada titik ini, karena hasrat yang bermain, maka menurut Jameson
masyarakat akan terjerat dalam satu siklus kehidupan sebagai perubahan
abadi, kairos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu-), sehingga tak mampu lagi menemukan
siklus kedalamam chronos (nilai-nilai mitos, spiritual, ideologi). Konsekuensi
terbawa arus kecepatan dan konsumsi hasrat yang tak pernah terpuaskan,
semuanya akan dinilai berdasarkan komoditas materialistik semata, bahkan
termasuk manusia sendiri; sang pelaku kecepatan dan pemuas hasrat
konsumtifnya menjadi barang komoditas juga.
Jika seseorang tidak mempunyai senyum yang menawan, tidak mampu
menatap dengan mata yang menggoda, tidak bisa berjalan dengan indah,
tidak dapat menyapa dengan nada yang nakal, serta tidak mempunyai tubuh
dan penampilan yang sempurna, maka ia tidak dianggap mempunyai
kepribadian yang menarik. Inilah yang oleh Cristopher Lasch disebut “diri
minimal” (the minimal self) atau keramahan sosial (commercial hospitality),
yaitu keramahan yang motifnya semata adalah untuk mencari celah
keuntungan ekonomis, bukan motif sosial atau moral.
Era abad ke-21 memang memberikan segalanya yang melampaui
mimpi-mimpi setiap manusia, tetapi malah menimbulkan fenomena
paradoksal: sebuah realitas kehidupan yang begitu sarat hiburan begitu
miskin kedalaman, begitu sarat kegelisahan begitu miskin pencerahan, begitu
sarat informasi begitu miskin kontemplasi, begitu sarat ekstasi begitu miskin
sosialisasi, begitu kaya perlengkapan begitu miskin pemaknaan, dan begitu
banyak kesenangan begitu miskin kedamaian. Titik kulminasinya, menjadi
masyarakat pospiritualitas, yaitu kondisi bercampuraduknya nilai-nilai
spiritual dengan niali-nilai materialisme, bersekutunya yang dunia dengan
yang ilahiah, bersimpangsiurnya yang transenden dengan imanen,
bertumpangtindihnya hasrat rendah dengan kesucian, sehingga perbedaan di
antara keduanya menjadi kabur.
7
instan, pemuasan hasrat konsumtif dan tanpa sadar menjadikan diri mereka
sendiri sebagai komoditas sosial sehingga tidak tersisa lagi ruang untuk
berefleksi, pengambilan jarak terhadap kehidupan dan kemampuan
menciptakan makna seperti yang dititahkan oleh Heidegger mengenai
kesejatian manusia (Dasein). Mengikuti Heidegger, terbentang pertanyaan
eksistensial disini: apa makna semua keglamoran hidup itu terhadap
eksistensi manusia? Mengapa kebanyakan manusia tenggelam dalam irama
kecepatan dan tidak mampu lagi mengambil jarak? Akhirnya bagaimana
manusia dapat melakukan refleksi agar tidak hanyut dalam logika hasrat
tetapi berdasarkan logika kebutuhan?.
Pada titik inilah, filsafat eksistensialisme Heidegger dapat memainkan
perannya. Heidegger di dalam Discourse on Thinking menyebut manusia yang
tidak mampu lagi menggunakan akal sehatnya sebagai manusia yang terjerat
dalam ketidakberpikiran. Namun dengan istilah itu, Heidegger tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa manusia itu berpikir sama sekali
(sebab kalau begitu mereka tak lebih dari hewan). Mereka berpikir, tetapi
berpikir dalam model berpikir kalkulatif, yaitu berpikir semata mengenai
statistik, di satu pihak keuntungan, kerugian, laba, bunga, modal, produksi: di
pihak lain persaingan, ekspansi, penguasaan, penyerangan, perebutan,
bahkan penghancuran, tanpa mampu lagi menghidupkan model berpikir
mediatif, yaitu berpikir ke arah pencarian makna eksistensial yang lebih
dalam.
Padahal ada dua alasan prinsip mengapa Heidegger menjadikan dasar
filsafatnya pada “ada” sebagai bahan refleksi. Pertama, prihatin terhadap
situasi zamannya yang kosong dari nuansa religius dan kesadaran akan
adanya Tuhan yang disebabkan oleh kosongnya makna “ada” bagi manusia
modern. Hanya dengan mengerti Sang Ada saja, eksistensi manusia akan
menjadi sejati. Kedua, kekosongan dari ketidakmampuan manusia
memahami Tuhan sehingga tidak mampu menangkap kehadiran-Nya yang
juga disebabkan bahasa ucap menenai “ada” tidak didengarkan, tidak
diperbaharui, dan tidak dikembangkan lagi, sehingga filosofi harus berusaha
8
menemukan Sang Eksistensi, yaitu “ada” untuk dibahasakan kembali dan
diberi arti baru.
Disini sebenarnya nilai-nilai spiritualitas, moral, dan kejernihan hati
nurani sangat disuarakan oleh Heidegger terhadap manusia umumnya agar
mereka mampu melakukan refleksi untuk mengambil jarak dari bisingnya
kehidupan dan sekaligus menciptakan makna kehidupan. Filsafat
eksistensialisme Heidegger mengajarkan manusia untuk kontemplasi supaya
dapat berjarak terhadap keadaan-keadaan rutinitas kehidupan sehari-hari
yang acapkali membuat manusia terlena dalam kehampaan.
Apalagi realitas dewasa ini, dimana kedangkalan makna sudah begitu
menyelimuti setiap tindakan manusia, filsafat eksistensialisme Heidegger
semakin menemukan relevansinya. Filsafat eksistensialisme Heidegger
benar-benar mengajak setiap orang bukan hanya merenungi jejak-jejak
setiap langkah yang telah dilakoni di masa silam dan hari ini, melainkan juga
harus mampu merangkai makna gemilang di masa depan. Masa depan
menjadi ufuk cakrawala kemengadaan yang harus diukir dengan makna-
makna moral eksistensial, dan spiritual secara terus-menerus tanpa henti.
Setiap orang tidak boleh larut dalam ketidakbermaknaan dan
kehidupannya hanya dikendalikan oleh orang lain atau mengikuti cermin
sosial, melainkan ia mesti membangun sebuah makna atas kehidupannya
sendiri yang unik. Setiap orang harus mengukir sejarah hidupnya masing-
masing. Sehingga sungguh-sungguh menjadi dasein, manusia autentik adalah
manusia yang mengerjakan segalanya dengan disertai kesadaran penuh.
Menjadi dasein, manusia autentik yang akan menemukan nilai-nilai luhur di
dalam kedangkalan, menemukan makna di dalam banalitas, menemukan
pencerahan di dalam keseketikaan, meniupkan napas sakral ke dalam profan,
menemukan yang sejati dari yang imanen, dan mampu merengkuh spirit di
dalam dunia material itu sendiri.
9
BAB III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
Demikianlah fenomena masyarakat abad ke-21 yang sudah kehilangan
pedoman moral dan spiritual dalam menjalani kehidupan baik secara
individual maupun sosial. Karenanya untuk mengembalikan manusia
kontemporerpada dunia kedalaman spiritual, kompas moral, kehalusan hati
nurani dan ketajaman hati di tengah-tengah belantara ciptaan semu, bujuk
rayu, dan kepalsuan masyarakat konsumer dewasa ini, maka sebuah ruang
bagi pengasahan spiritual harus dibangun kembali dari puing-puing dan
reruntuhannya.
Apa yang ditawarkan Heidegger dengan filsafat eksistensialismenya,
tentu saja buakn sebuah panaesa yang bersifat langsung mujarap bagi
problematika masyarakat abad ke-21 dewasa ini. Instruksi Heidegger lewat
Sein und Zeit-nya merupakan pengetahuan yang sangat berarti bagi
kehidupan manusia modern yang mengalami krisis identitas dan moral
secara multidimensional. Filsafat eksistensialisme ini mengajarkan
bagaimana manusia abad ke-21 harus melepaskan diri dari keterkungkungan
dan ketergantungan pada segala sesuatu di luar dirinya, dengan sebuah
pesan prinsipil: BE YOUR SELF!.
3.2. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa
makalah yang kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi lebih
baiknya penulisan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua.
10
DAFTAR PUSTAKA
11
MAKALAH FILSAFAT UMUM
“FILSAFAT MANUSIA”
(Chapter 2)
12
KATA PENGANTAR
i
13
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.3. Tujuan........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
2.1. Dasein: Manusia Autentik ................................................................. 2
2.2. Momen Eksistensial: Berjumpa dengan Kecemasan.............. 4
2.3. Realitas Wajah Masyarakat Era Informasi/ Cyberspace........ 5
2.4. Relevansi Eksistensialisme Heidegger bagi Masyarakat
Abad ke-21............................................................................................... 7
BAB III PENUTUP................................................................................................. 10
3.1. Kesimpulan............................................................................................. 10
3.2. Saran......................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 11
ii
14