Anda di halaman 1dari 9

Transisi Epidemiologi : Triple Burden for Indonesia

Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban ganda
penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola
kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi
penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular)
justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain
sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.

Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar Demografi
Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan kesehatan di negara
industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi
epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya
mortalitas dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30 tahun, 2)The age of
receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-50 dan 3)The
age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai turun namun
penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu memang untuk negara Barat.

Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan
Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi.
Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD
mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and resurgent diseases ditandai dengan angka
harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan
kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with paradoxical longevity and persistent
inequalities yang menggambarkan harapan masa depan, dengan angka harapan hidup mencapai
90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan
quality of life.

Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara berkembang
dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang ditandai
dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit
menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang
tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit beberapa pakar
menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease” Penyakit menular
baru/penyakit lama muncul kembali.

Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan berada
pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan. Kita
akan membahas beban ini satu-persatu.

Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit
menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua
Negara berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis. Angka
kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya.
Sebut saja Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis dan masih
banyak lagi teman-temannya. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka
tinggal (baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program
memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari
Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau meninggalkan Indonesia,
Malah trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi.
Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological Triangle) yaitu
lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang
bisa menimbulkan penyakit tersebut. Kita tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi
lebih jelsnya anda bisa membaca buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.

Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa kita lakukan
dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan
kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor risiko utama yaitu
Modifikasi lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi
hidup bersih dan sehat. Namun kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu
dimodifikasi. Masalahnya cukup kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang
belum berpihak pada upaya preventif (pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri
menyelesaikan masalah kesehatan, Keadaan politik,sosial dan ekonomi menjadi akar masalah
kita.

Beban Kedu a yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan kematian
akibat Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese, PPOK, Kanker dan teman-
temannya. Masalah utamanya adalah angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) di
Indonesia sudah lebih tinggi daripada kematian akibat penyakit menular. pada tahun 1995
kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan tahun 2007 meningkat menjadi
59,5 persen, ini yang tercatat di pelayanan kesehatan bagaimana dengan yang tidak tercatat ? Ini
juga menjadi salah satu masalah PTM sekarang ini, pencatatan yang hampir tidak ada sama
sekali di pelayanan kesehatan, sehingga sulit menentukan besaran masalahnya dan menentukan
kebijakan di daerah maupun pusat.

PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan ketika
terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit
disembuhkan, dan biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada Faktor
yang spesifik dan dominan penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup banyak dan
saling berinteraksi. Berbagai penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah
pada perilaku yaitu merokok, minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi),
dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang bisa kita lakukan ya..dengan mengubah perilaku
kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat, sering berolahraga
dan hindari rokok dan minum alkohol.

Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new emerging
Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza (2004), H1N1
(2009). Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang berganti baju (baca:bermutasi)
itulah yang menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya dengan cepat. Akibatnya
angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi dan berlangsung sangat cepat.

Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali
merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu kemampuan mikroba
pathogen untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan teknologi dan perilakunya juga
memberikan peluang kepada mikroba untuk secara alamiah merekayasa dirinya secara genetik,
perubahan iklim global juga turut campur dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.

Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan


pemahaman teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran
penyakit secara global dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal. (Achmadi,2009)

Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu mewujudkan
Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk membantu pemerintah
mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat, Berperilaku bersih dan Sehat,
dan Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat. Karena dengan bergerak bersama-sama Kita bisa
mewujudkan MIMPI ITU, melihat INDONESIA SEHAT.

Sumber :
Horison Baru Kesehatan Masyarakat Indonesia (Umar Fahmi Achmadi)
Penyakit Tropis (Widoyono)
Sumber lain yang tidak bisa sy sebutkan semuanya
Home» Artikel» Fenomena Tripple Burden dan Agenda Siklik Infeksi Tropik

Fenomena Tripple Burden dan Agenda Siklik Infeksi Tropik


Asri Tadda ~ 19 Maret 2007 | Tidak ada Komentar

Karakteristik penyakit yang terjadi pada setiap negara berdasarkan tingkat perkembangannya
mencakup tiga domain penyakit (triple burden), yaitu penyakit infektif, penyakit kardiovaskular,
dan penyakit degeneratif.

Penyakit infektif banyak terjadi pada negara yang belum berkembang yang disebabkan oleh
antara lain masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pengetahuan publik akan
pentingnya kesehatan, sehingga hampir sebagian besar masyarakatnya berada pada status yang
sangat rentan untuk terinfeksi penyakit.

Pada sisi lain, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang kurang memadai
pada negara-negara yang belum berkembang turut memberi kontribusi berkembangnya penyakit-
penyakit infektif.

Penyakit kardiovaskular menjadi penyerta negara sedang berkembang. Negara ini memiliki
kecenderungan mengupayakan efisiensi dan efektivitas di mana setiap orang berkompetisi untuk
bekerja dan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk beraktivitas, sehingga sistem
pelayanan serba cepat pada fasilitas public service menjadi karakteristiknya.

Akibatnya, relatif tidak diperhatikannya lagi pola konsumsi/diet gizi yang sehat menjadi sumber
permasalahan kesehatan pada segmen negara ini.

Bingung mencari cream pemutih wajah yang komposisinya paling lengkap, aman dan nyaman
digunakan serta terdaftar resmi di Badan POM? Klik di sini untuk mendapatkan jawabannya!

Di negara inilah mulai muncul layanan fast food/junk food dan berbagai produk konsumsi
masyarakat dengan standarisasi kesehatan yang tidak mendapatkan perhatian yang serius,
sehingga prevalensi timbulnya penyakit kardiovaskular menunjukkan angka yang cukup
signifikan.

Pada sisi lain, tingkat pencemaran lingkungan di negara sedang berkembang terjadi secara
massif, antara lain karena masih minimnya penggunaan teknologi modern non polutif dan trend
industrialisasi yang secara psikologis menggembirakan banyak orang sehingga otomatis dampak
buruknya, seperti polusi belum menjadi ketakutan publik.

Sementara penyakit degeneratif menjadi ciri khas negara maju. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan serta ketersediaan sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan pada negara maju sedikit banyak telah meningkatkan angka
harapan hidup masyarakatnya, dan angka kematian dapat ditekan pada margin yang serendah-
rendahnya.

Hanya saja, peningkatan angka harapan hidup masyarakat di negara-negara maju berjalan seiring
dengan munculnya penyakit-penyakit degeneratif akibat kelanjutan usia (geriatrikal disease).

Di samping itu, penyakit degeneratif antara lain juga disebabkan oleh beban psikologis dan
kejenuhan akibat statisnya peradaban di model negara seperti ini.

Fenomena triple burden ini sebenarnya dapat kita jadikan sebagai parameter penilaian
keberhasilan program pembangunan suatu negara, khususnya sektor kesehatan.

Dengan mengasumsikan bahwa sektor kesehatan tidaklah berdiri sendiri, tetapi bagian integral
dari kompleksitas aspek kehidupan masyarakat, maka kita dapat saja menggeneralisir penilaian
bahwa keberhasilan pembangunan kesehatan merupakan refleksi kesuksesan pembangunan suatu
negara secara menyeluruh.

Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa jenis penyakit dominan yang berkembang di
sebuah negara menunjukkan tingkat keberhasilan pembangunan negara tersebut.

Berdasarkan hal di atas, sebagai negara yang “sedang berkembang”, Indonesia logikanya tinggal
bergelut dengan penyakit kardiovaskular saja, di mana penyakit infektif tidak lagi menjadi
domain problem kesehatannya, sehingga fokus pengembangan kebijakan kesehatan dapat
dilakukan secara baik dan terencana, di samping mempersiapkan program preventif
berkembangnya penyakit degeneratif pada tahap berikutnya. Tetapi pada kenyataan bercerita
lain.

Saat ini kita diperhadapkan pada kompleksitas masalah kesehatan dengan domain penyakit
infektif tropik dan kecenderungan berkembangnya penyakit kardiovaskular.

Pun tidak ketinggalan indikasi munculnya beragam penyakit degeneratif. Secara periodik setiap
tahunnya kita selalu diperhadapkan dengan endemi malaria dan demam berdarah, di lain pihak
kita juga tidak pernah bisa terbebas dari kasus kematian akibat penyakit gangguan
kardiovaskular, misalnya stroke, hipertensi, tuberculosis dan beragam penyakit lainnya.
Beberapa kasus menunjukkan indikasi bahwa penyakit degeneratif mulai berkembang di negara
kita.

Realitas objektif yang demikian mensyaratkan munculnya bermacam pertanyaan yang akan
meredefenisikan makna pembangunan nasional kita, mungkin ada yang ‘salah’ dalam paradigma
pembangunan kesehatan yang selama ini kita langsungkan.

Mengapa setiap tahun kita masih dipusingkan dengan penanganan kasus demam berdarah dan
malaria, sementara pada dasarnya burden fase infektif ini telah lama berlangsung, bahkan sejak
masa penjajahan Belanda dulu?
Mengapa kebijakan pembangunan tidak memfokuskan diri menyelesaikan kasus ini terlebih
dahulu sebelum membuat program mega trend lainnya? Bukankah semua ini menunjukkan
bahwa negara kita belumlah pantas disebut “negara sedang berkembang”, tetapi masih sebagai
“negara belum berkembang”?

Pada sekitar tahun 80-an, Indonesia sempat ngetrend dengan julukan ‘Macam Asia’. Dengan
standar keberhasilan pada konteks 80-an, untuk kawasan Asia Tenggara, kita adalah jawaranya.
Prestasi pembangunan kita berada jauh di atas negara lainnya pada hampir semua sektor
kehidupan, termasuk kesehatan.

Tetapi selama kira-kira satu dekade berikutnya (90-an), ternyata Malaysia telah mampu bersaing
dengan kita, bahkan pada bidang tertentu, kita malah telah tertinggal. Setengah dekade
berikutnya, hampir sebagian besar negara Asia Tenggara bahkan telah jauh meninggalkan
Indonesia, yang rupanya tetap stagnasi dengan program pembangunan non-sistemiknya.

Filipina, Thailand, bahkan Brunai Darussalam dan Vietnam pun telah menunjukkan prestasi
gemilang pembangunan nasionalnya. Angka HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan
WHO pada tahun 2002 saja menunjukkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya, (urutan 110 dari 175 negara, sedangkan Vietnam di urutan 95).

Kondisi ini cukup ironis mengingat usia bangsa ini telah melewati setengah abad. Seharusnya
dengan usia yang sudah ‘matang’ itu, kita telah menjadi negara termaju, minimal di Asia
Tenggara. Tapi nyatanya?

Siklus Infeksi Tropik (Kasus Kota Makassar)

Sebagai daerah tropis, Makassar – sebagaimana daerah lain di Indonesia, mengalami musim
pancaroba minimal sekali dalam setahun. Tenggang waktu pergiliran musim ini, banyak
berpengaruh pada kondisi lingkungan sekitar.

Musim penghujan yang hadir pada penghujung tahun dan sekitar awal tahun baru di daerah ini,
kerap kali menitipkan bencana banjir berkepanjangan akibat minimnya daerah resapan air dan
terbatasnya kapasitas drainase kota. Pada daerah-daerah dataran rendah, genangan air banjir bisa
bertahan hingga beberapa pekan lamanya, mengakibatkan kerugian materi maupun non materi
yang cukup berarti.

Buruknya status lingkungan di kota ini – tak jauh berbeda dengan kota lain di Indonesia – kian
digenapkan oleh kesan semrawut tata kota yang tak jelas wawasan kesehatannya. Permukiman-
permukiman yang banyak menutupi daerah resapan air, menumpuknya sampah rumah tangga di
kanal-kanal dalam kota serta tinggi-rendahnya aliran drainase kota adalah beberapa penyebab
rutinitas banjir.

Dalam perspektif kesehatan, kondisi lingkungan yang tidak “bersahabat” seperti itu, merupakan
setting yang sangat kondusif bagi perkembangan penyakit-penyakit infeksi. Secara bersamaan,
imunitas tubuh akan menurun akibat labilnya cuaca dan suhu sekitar yang lebih diperparah jika
kita tidak menjaga kesehatan dengan cara yang benar. Kondisi seperti ini memungkinkan
penyakit diare, ISPA, demam berdarah, dan malaria terjadi dalam skala massif bahkan tidak
mustahil menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).

Tahun 2003 lalu, kota Makassar diperangah oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah
(DHF/Dengue Haemorragic Fever) yang meminta ratusan korban. Karena banyak menyerang
anak-anak, sebagian besar bangsal perawatan anak rumah sakit di kota ini penuh terisi anak-anak
DBD.

Ironisnya, sebagian besar kasus terjadi pada keluarga miskin yang bermukim di kawasan kumuh
padat penduduk di dalam kota. Selain itu, insiden penyakit diare seakan tak mau ketinggalan.
Tak berlebih jika mengatakan bahwa insiden penyakit dan orang yang sakit berbanding lurus
dengan tingkat banjir dan daerah lokasi banjir.

Lain lagi dengan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yang banyak menyerang
anak-anak dan usia tua. Tingginya tingkat infektif penyakit ini menyebabkan prevalensinya
cukup besar terlebih dalam kondisi lingkungan yang lembab akibat hujan dan banjir.

Karena terlanjur, Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Kesehatan, akhirnya tak dapat
berbuat banyak, apalagi untuk mencegah perjangkitan saat itu. Program pengobatan dan
perawatan menjadi pilihan satu-satunya. Padahal, masukan dan saran dari berbagai pihak, telah
disuarakan jauh sebelum musim pancaroba tiba.

Berbagai dalih dikeluarkan, sekadar memperkuat alasan untuk hanya berkutat mengobati dan
menanggulangi bencana yang ada. Banyaknya korban dan atas desakan dari berbagai pihak,
komitmen untuk memperbaiki program promosi dan preventif (pencegahan) pada masa
mendatang, akhirnya muncul juga dari dinas kesehatan kota.

Beberapa bulan sebelum memasuki pancaroba tahun 2004, pihak dinas kesehatan kota menggelar
program pemberantasan demam berdarah. Perang melawan demam berdarah didengungkan
melalui upaya penyemprotan rumah-rumah penduduk (fogging), abatesasi (pemberian bubuk
abate di setiap penampungan air dalam rumah) maupun pemusnahan jentik-jentik nyamuk.

Sekian dana dianggarkan untuk tekad membebaskan Makassar dari demam berdarah pada tahun
2004. Bahkan, KKN Profesi Kesehatan Universitas Hasanuddin pun diturunkan ke dalam kota
untuk membantu pihak pemerintah kota berperang melawan DBD, khususnya untuk
memberantas jentik-jentik nyamuk Aedes aegypty – penyebab tunggal demam berdarah (DHF).

Saat kembali memasuki pancaroba, riuh-rendah perang melawan demam berdarah akhirnya
menuai hasil. Lagi-lagi kita belum berhasil, kalau tak mau disebut: gagal.

Bangsal-bangsal perawatan anak di sejumlah rumah sakit di kota ini, kembali harus disiapkan
menampung pasien DBD, diare, dan ISPA. Tidak nampak signifikan hasil perang melawan DBD
pada bulan-bulan sebelumnya. Padahal, kita telah mengeluarkan begitu banyak uang rakyat.

Kredibelitas pemerintah kota, dalam hal ini dinas kesehatan, kembali dipertanyakan. Betapa
tidak, klaim-klaim bahwa upaya pencegahan telah optimal dilakukan ternyata tidak terbukti di
lapangan. Pun jika ada, relatif sudah terlambat. Rumah-rumah penduduk yang bersticker “bebas
jentik”, hampir semuanya masih menjadi sarang nyamuk demam berdarah.

Konyolnya, tidak sedikit rumah yang tak berpenghuni justru bertuliskan “bebas jentik”.
Ternyata, sebagian besar rumah penduduk bahkan tidak pernah diperiksa kondisi penampungan
dan jentik-jentiknya, lalu dengan serta-merta dipasangi sticker “bebas jentik”.

Tak banyak yang berubah, malah mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Musim penghujan
belum seberapa lama, genangan air di sana-sini mulai bermunculan.

Prevalensi diare, seakan tetap tidak mau kalah, meningkat drastis – membawa banyak korban.
ISPA apalagi. Kota ini nyaris menjadi kota yang sedang menuju sakit. Pemerintah kota agaknya
masih menunggu terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD dan diare untuk dapat
memastikan, bahwa siklus infeksi tropik, kembali berulang.

Sementara rumah sakit selalu terjaga menerima pasien demam dengue (Dengue Fever/DF) –
predileksi demam berdarah (Dengue Haemmorragic Fever/DHF), ISPA, dan diare. Kita memang
terbukti kalah perang, juga rugi uang.

Jika dikaji, secara tidak langsung dinas kesehatan kota tengah merakit bom waktu. Sejumlah
anggaran pemberantasan demam berdarah menjadi layak untuk dipertanyakan pemanfaatan dan
hasil yang didapatkan.

Pemasangan sticker bebas jentik di rumah-rumah penduduk yang ternyata menjadi rumah pasien
DBD, kian menguatkan kesan bahwa dinas kesehatan kota telah melakukan kebohongan publik –
bahkan tindak penipuan terhadap masyarakat.

Program pemberantasan jentik pada bulan-bulan yang lalu, terbukti gagal. Jentik nyamuk yang
dulu coba diperangi, kini telah dewasa dan setelah meminta korban, kembali akan melahirkan
jentik-jentik baru untuk korban berikutnya di waktu mendatang.

Dari perspektif hukum, pemerintah kota harus mempertanggungjawabkan hal ini. Jika saja
kedewasaan hukum telah berkembang begitu baik di negara kita – seperti halnya di luar negeri,
tidak mustahil dapat dilakukan semacam class action dari masyarakat, untuk menuntut
pemerintah kota atas tindakan yang telah dilakukannya. Secara moral politis, kepercayaan
masyarakat atas stakeholder kesehatan kota praktis menurun, jika tak hilang sama sekali.

Momentum siklik infeksi tropik saat ini, layak menjadi bahan refleksi bagi kita semua, untuk
segera bercermin betapa masih buruknya sistem kesehatan di kota ini. Sekadar mengingatkan,
insiden penyakit infeksi seperti DBD, ISPA, dan diare, hanya bagian kecil dari problem
kesehatan kita saat ini.

Karena kredibelitas terbangun melalui kinerja yang dihasilkan, maka dengan demikian, dinas
kesehatan kota Makassar (perlu dipahami bahwa kasus Kota Makassar sesungguhnya tidak jauh
berbeda demean kasus yang terjadi di kota lainnya di Indonesia) kembali menanggung beban
ganda; menyelesaikan pengobatan dan perawatan pasien DBD, ISPA, dan diare saat ini,
sekaligus mempersiapkan program pencegahan untuk masa mendatang.

Pertanyaannya, setelah program perang melawan DBD kita dengung-dengungkan saat ini,
masihkah kita harus mengulang episode endemik sporadis DBD, diare, dan ISPA pada masa-
masa mendatang

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih
banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.

Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada
peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan
berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka

adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga
atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di
pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Anda mungkin juga menyukai