Anda di halaman 1dari 7

Teman lama

Oleh: Novia Fitriana

Mataku terbuka. Hujan menyambutku pagi ini dengan derasnya. Awan hitam seakan
berlomba-lomba menumpahkan setiap tetes airnya. Angin pun juga ikut berhembus,
sehingga sebagiannya memasuki celah-celah kamarku. Dingin. Dengan mata sayu
menahan kantuk, aku melihat ke sekeliling kamar mencari sesuatu. Kemudian mataku
terhenti ke sebuah benda lebar hangat berbentuk persegi di bawah samping tempat
tidurku. Tanganku tergerak mengambilnya.

Tidak ingin merepotkan diri dengan bangun pagi-pagi sekali, aku lebih memilih
merapatkan selimut hingga menutupi sebagian wajahku, lalu melanjutkan tidurku,
melanjutkan bunga tidur yang sempat terhenti karena terbangun.

"Bangun, Nesya!"

Samar-samar aku mendengar suara teriakan wanita. Tentu saja suara itu berasal dari
ibuku, siapa lagi memangnya yang dengan rajinnya membangunkanku di pagi hujan
seperti ini?

Aku tidak mengacuhkan panggilan itu dan memilih memejamkan mata untuk
mengarungi alam mimpi.

"Nesya, Nesya?! Ada yang mau ketemu kamu, nih." Ibu kembali berteriak. Bertemu
denganku? Pasti ibu berbohong, mana mungkin ada yang datang hujan-hujan begini? Ini
pasti hanya akal-akalan ibu. Oh ayolah, bu. Ini masih pagi, tidak bisakah ia membiarkan
aku tidur dengan tenang? Lagi pula ini hari minggu, aku ingin menghabiskan waktu
dengan rebahan.
Terdengar pintu kamarku diketuk, lalu tak lama terdengar kembali suara pintu terbuka
diiringi dengan langkah kaki. Namun, aku tetap dengan mata terpejamku dan masih
berusaha kembali ke alam mimpi.

"Tante bilang, hampir setiap pagi kamu kayak gini, apa kamu nggak malu sama
matahari yang udah bersinar?" Seketika mataku mengerjap saat mendengar suara itu.
"Siapa?!" tanyaku. Itu bukan suara ibuku, lalu siapa yang berbicara?

"Apa kabar, Queenesya? Maaf udah masuk kamar kamu tanpa izin."

Aku sedikit kaget mendengar sapaan itu. Suara yang ceria dan hangat. Aku menoleh ke
arah pintu yang terbuka, seorang gadis berdiri di sana. Rambut bergelombang dengan
mata besar berwarna coklat terang, hidung yang tak terlalu tinggi serta bibir tipisnya yang
tersenyum, memberi kesan ramah pada wajahnya.

"Tapi tadi tante bilang langsung masuk aja ke kamar kamu," ujarnya lagi.

Aku bingung harus membalas apa. Seingatku, aku tidak mengenal gadis yang aku tafsir
umurnya sekitar 15 tahun itu—se-usia denganku. Apa mungkin ia kerabat jauhku? Tetapi
ibu tidak memberitahu jika ada yang akan berkunjung.

Bangkit dari tempat tidur, aku mengernyit bingung menatapnya, lalu memperhatikan
setiap detail tubuhnya. Ditatap seperti itu, ia malah tersenyum ceria, seperti anak kecil
yang mendapat sebuah permen. Seharusnya ia tersinggung menerima tatapan seperti itu.
Dasar aneh.

"Sriani." Ia menyodorkan tangannya padaku, dan dengan sedikit ragu aku menjabat
tangannya.

Lagi-lagi aku mengernyit bingung. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Sri?" Gadis
itu terkekeh. Apa ada yang lucu dengan pertanyaanku?

"Bahasa kamu, kaku banget, sih." Aku menatapnya tidak suka. Apa-apaan? Ia
mengejekku? "Aku udah duga, pasti kamu lupa sama aku. Padahal waktu kecil kita sering
main sama-sama sebelum kamu pindah ke luar negeri." Oh pantas saja. Ibu pernah bilang
bahwa aku memilki sedikit gangguan dengan ingatanku, wajar saja aku tidak bisa
mengingat gadis ini.

"Tapi aku seneng banget waktu tahu kamu pindah ke Yogya lagi. Makanya aku
langsung ke sini." Aku hanya diam mendengarkan penjelasannya.

Sri merapatkan jaket abu-abu yang dikenakannya. Ia berjalan ke arah jendela dan
membuka lebih lebar tirainya. "Kasihan banget," gumamnya pelan, tetapi masih bisa aku
dengar. "Yuk, kita tolongin Rian!" seru Sri sembari menunjuk ke arah luar jendela.

Aku sedikit mengintip siapa yang dimaksud oleh gadis itu. Netraku menangkap seorang
anak kecil yang terjatuh dari sepeda di bawah guyuran hujan. Namun, tidak lama
kemudian seorang

wanita paruh baya berlari dari arah belakangnya dengan membawa payung berwarna biru
menghampiri anak itu. Terlihat raut cemas menghiasi si wanita paruh baya.

"Udah ada yang nolongin." Aku mengedikkan bahu sembari hendak berjalan ke kamar
mandi.

"Kalo gitu, kita jenguk, yuk? Kayaknya kakinya tadi berdarah." Sri berbalik dan
memandangiku dengan penuh harap.

Aku balik menatapnya. Menjenguk? Ide buruk. Aku tidak pandai berbasa-basi, dan
berinteraksi dengan orang lain? Sesuatu yang sangat aku hindari. Sebenarnya dengan Sri
juga, maksudku, aku tidak ingat. Entah ia benar teman kecilku atau orang asing, dan ia
masuk ke kamarku seperti sekarang ini sangat mengganggu waktuku. "Kamu aja."

Malas sekali jika harus ke rumah anak itu. Walaupun jarak rumah anak kecil itu tadi
hanya berbeda satu rumah denganku, aku tidak ingin repot-repot mengunjunginya. Lagi
pula ia hanya terjatuh dari sepeda, jadi kurasa tak terlalu parah hingga aku harus
menjenguk keadaannya.

"Oke ... mau jalan-jalan, nggak?" tawarnya. Aku memutar bola mata malas.

Banyak orang yang mencoba berbasa-basi dengan bersikap sok ramahnya. Aku
mengerti mereka hanya berusaha bersikap baik, tetapi bagiku mereka itu pengganggu.
Aku mengabaikan tawarannya, lalu memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri,
dan aku harap ketika aku keluar kamar mandi, ia sudah pergi dari kamarku.

"Aku anggap kamu mau. Aku tunggu kamu di luar," ujarnya seraya meninggalkan
kamarku.

"Tap–"

"Nggak ada penolakan, Nes!" teriaknya memotong ucapanku.

Tanganku meremas handuk yang aku pegang, seakan menyalurkan kemarahan yang
akan meledak. Seharusnya aku langsung menolaknya. Mungkin ia pikir dengan aku ke
kamar mandi berarti aku sedang bersiap-siap dan mengiyakan ajakannya. "Hah, nggak
mau, hujan!"

***

Awan hitam telah pergi. Kini sang matahari mulai menampakkan wujudnya untuk
kembali menyinari bumi, burung-burung berkicauan seakan bernyanyi dengan merdunya.
Air hujan, kini tersisa hanya embun. Entah sekarang bagaimana, alam berpihak
mendukung Sri untuk mengajakku keluar meninggalkan kasur empukku.

"Kami pergi, Tante." Sri menyalami tangan ibuku. "Kamu nggak salim?" tanyanya
seakan menyindirku.

Aku menyalami tangan ibu mengikuti Sri. Setelahnya kami berdua pergi memasuki
mobil milikku di bagian penumpang.

"Jalan, pak," perintahku. Kemudian mobil melaju meninggalkan rumah. Di perjalanan


aku lebih banyak diam dan sesekali menjawab tak semangat pertanyaan yang dilontarkan
Sri. Membosankan. Aku ingin kembali ke rumah dan menonton Drama Korea
kesukaanku!

***

Kupikir Sri akan mengajakku jalan-jalan ke mall agar bisa membeli barang-barang
bermerk dengan harga fantastic. Atau mungkin ke sebuah kafe yang menjual minuman
berkafein yang tengah viral itu. Namun, ternyata dugaanku salah. Ia malah mengajakku
ke salah satu tempat pembuatan batik di Yogyakarta ini.

Kakiku melangkah memasuki tempat ini. Mengikuti Sri menelusuri setiap wanita yang
sedang memegang canting untuk melukiskan malam di atas kain yang terdapat pola
bergambar. Sri tersenyum ramah ke setiap orang yang bersitatap dengannya. Beda sekali
denganku, aku malah sangat menghindari kontak mata dengan orang-orang di sini.

Aku melihat Sri berinteraksi, sepertinya dengan pemilik tempat ini. Entah apa yang ia
bicarakan. "Nesya, sini!" Ia berteriak memanggil namaku, dengan malas aku
menghampirinya. "Nah, ini Nesya, kami berdua mau belajar membatik, Budhe." Mataku
melotot mendengar ucapan Sri. Apa?!

Wanita itu tersenyum senang. "Wah, jarang-jarang, loh, remaja se-usia kalian mau
belajar membatik. Biasanya 'kan pada nongkrong di mall sebelah," ucapnya dengan logat
jawa yang kental.

Sri tersenyum senang, seakan bangga dengan aksinya. Namun, berbeda denganku, aku
masih mencerna semuanya. Membatik? Ide gila!

Wanita yang dipanggil Budhe itu menuntun kami untuk duduk. Salah seorang pengrajin
diperintah Budhe untuk mengajarkan kami, ia mulai dengan mengambil dua buah canting,
lalu memberikannya padaku dan Sri.

Pengrajin tersebut mulai menyelupkan canting ke dalam lilin yang telah dipanaskan,
lalu ia mulai membatik di atas kain mori mengikuti gambar motif yang ada. Ia melakukan
dengan lihai dan telatennya. Sri mengikuti setiap langkah yang diinterupsi pengrajin
tersebut. Dengan malas, aku pun mengikuti interupsi tersebut. Pertama mencobanya aku
menumpahkan lilinnya, di percobaan kedua lilinnya tak sesuai dengan pola motif.
Rasanya aku ingin menyerah, ini sulit!

Namun, ketika melihat Sri berhasil membatik, membuat semangatku muncul. Entahlah,
rasanya aku tidak ingin kalah darinya. Aku mencoba kembali menyelupkan canting ke
dalam lilin, dengan sangat perlahan dan hati-hati aku mulai mengikuti pola-pola yang
tergambar di atas kain mori.
"Kamu bisa, Nes. Mudah, kok." Sri menyemangatiku, bukannya senang, aku sedikit
kesal. Ini tidak semudah yang dikatakan.

"Aku nyerah." Ini benar-benar sulit. Sri kembali menyemangati, pengrajin yang
mengajari kami juga ikut menyemangatiku. Merasa tak enak, aku mengambil canting
yang tadi aku letakkan di nampan.

Aku terus mencoba walaupun membutuhkan waktu yang lama, tetapi pada akhirnya.
"Yeah, berhasil," sorakku dengan senangnya seperti memenangkan sebuah pertandingan.
Aku pandangi hasil membatikku, tidak buruk untuk pemula sepertiku, meskipun hasilnya
belum bisa dikatakan bagus. Ini juga baru tahap pertama, masih ada tahap-tahap
selanjutnya untuk membatik.

"Aku tahu kamu bisa, Nes. Mudahkan?"

Aku rasa benar, memang tak begitu sulit ketika aku berusaha lebih keras lagi. Aku
tersenyum hangat dan mengangguk. "Ya."

Sri menatapku. "Seharusnya kamu juga menampilkan senyum itu ke orang-orang


tadi."

Kenapa? Maksudku. "Kita nggak kenal mereka, ngapain juga coba? Di luar negeri
tempat aku tinggal kemaren aja, kalau senyum sama orang yang nggak dikenal dianggap
nggak sopan." Benarkan? Mereka juga belum tentu menganggap itu hal baik, malah
menurutku itu menunjukkan kesan sok ramah, yang padahal tidak sama sekali.

"Senyum itu ibadah, Nes. Nggak rugi, loh, senyum sama orang-orang yang nggak
dikenal. Malahan dapet pahala. Lagian ini Indonesia, bukan luar negeri, Nes."

Aku mencerna apa yang diucapkan gadis di hadapanku. “Kamu benar.” Aku sedang
tidak di luar negeri. Ini Indonesia, di mana orang-orangnya selalu menunjukkan keramah-
tamahan meskipun tidak saling kenal. Tinggal terlalu lama di negeri orang membuatku
lupa tata krama di tanah air sendiri.

Aku kembali tersenyum, lalu merangkul Sri. Dipikir-pikir, asik juga mengobrol
dengannya. “Kita pulang?” ajaknya.
Aku sedikit berpikir akan suatu hal. “Gimana kalo kita beli sesuatu dulu, setelah itu
kita jenguk Rian.” Sri tampak berbinar-binar menatapku. “Ayo!” ucap Sri dengan
semangatnya.

Setelah berpamit kepada Budhe, dan berterima kasih dengan pengrajin, akhirnya aku
dan Sri beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Kami berjalan menyusuri setiap toko-
toko yang ada, mencari sesuatu untuk dibawa ke rumah Rian. Hingga akhirnya kami
memilih membeli buah-buahan sebagai bawaan.

“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum pada penjual buah. Mulai hari ini aku akan
belajar selalu tersenyum kepada setiap orang yang bertemu denganku. Meskipun aku
tidak mengenalnya.

***

Setelah pulang dari rumah Rian, aku membersihkan diri dan berbaring di atas tempat
tidur. Jika dipikir-pikir, ternyata menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang
bermanfaat lebih seru dibanding ketika aku hanya rebahan dan menonton Drama Korea.
Satu hal juga yang aku pelajari hari ini. Kita harus bersikap ramah kepada siapa pun dan
selalu mengikuti tata karma di mana kamu berada. Seperti peribahasa “Di mana bumi
dipijak, di sana langit dijunjung”.

Anda mungkin juga menyukai