Anda di halaman 1dari 48

KANKER PARU

Definisi

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan
yang berasal dari paru itu sendiri (primer) maupun keganasan dari luar paru (metastasis). Dalam
pengertian klinis yang dimaksud dengan kanker paru primer adalah tumor ganas yang berasal
dari epitel bronkus (karsinoma bronkus).

Etiologi

Penyebab pasti dari kanker paru belum diketahui secara jelas. Paparan atau inhalasi
berkepanjangan terhadap suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama
disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Dari beberapa
kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan
merokok. Lombard dan Doering telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok
dibandingkan yang tidak merokok.

a. Merokok
Kanker paru beresiko 10 kali lebih tinggi dialami perokok berat dibandingkan dengan
bukan perokok. Peningkatan faktor resiko ini berkaitan dengan riwayat jumlah merokok
dalam tahun (jumlah bungkus rokok yang digunakan setiap hari dikali jumlah tahun
merokok) serta faktor saat mulai merokok (semakin muda individu mulai merokok,
semakin besar resiko terjadinya kanker paru). Faktor lain yang juga dipertimbangkan
termasuk didalamnya jenis rokok yang diisap (kandungan tar, rokok filter dan kretek).
b. Polusi udara
Ada berbagai karsinogen telah diidentifikasi, termasuk didalamnya adalah sulfur, emisi
kendaraan bermotor, dan polutan dari pengolahan dan pabrik. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa insiden kanker paru lebih besar didaerah perkotaan sebagai akibat penumpukan
polutan dan emisi kendaraan.
c. Polusi lingkungan kerja
Pada keadaan tertentu, karsinoma bronkogenik tampaknya merupakan suatu penyakit
akibat polusi di lingkungan kerja. Dari berbagai bahaya industri, yang paling berbahaya
adalah asbes yang kini banyak sekali diproduksi dan digunakan pada bangunan. Resiko
kanker paru diantara para pekerja yang berhubungan atau lingkungannya mengandung
asbes ±10 kali lebih besar daripada masyarakat umum. Peningkatan resiko ini juga
dialami oleh mereka yang bekerja dengan uranium, kromat, arsen (misalnya insektisida
yang digunakan untuk pertanian), besi, dan oksida besi. Resiko kanker paru akibat kontak
dengan asbes maupun uranium akan menjadi lebih besar lagi jika orang itu juga perokok.
d. Penyaki-penyakit paru
Kehadiran penyakit-penyakit paru tertentu, khususnya chronic obstructive pulmonary
disease (COPD), dikaitkan dengan suatu risiko yang meningkat sedikit (empat sampai
enam kali risiko dari seorang bukan perokok) untuk mengembangkan kanker paru bahkan
setelah efek-efek dari menghisap rokok serentak telah ditiadakan.
e. Rendahnya asupan vitamin A
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perokok yang dietnya rendah vitamin A
dapat memperbesar resiko terjadinya kanker paru. Hipotesis ini didapat dari berbagai
penelitian yang menyimpulkan bahwa vitamin A dapat menurunkan resiko peningkatan
jumlah sel-sel kanker. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama vitamin A yang turut
berperan dalam pengaturan diferensiasi sel.
f. Faktor herediter
Terdapat juga bukti bahwa anggota keluarga dari penderita kanker paru memiliki resiko
yang lebih besar mengalami penyakit yang sama. Walaupun demikian masih belum
diketahui dengan pasti apakah hal ini benar-benar herediter atau karena faktor-faktor
familial

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sesak nafas, batuk, nyeri dada, nyeri tulang
belakang, hemoptisis, anoreksia, penurunan berat badan yang signifikan, lemah badan, dan
obstruksi vena cava.

Manifestasi kanker paru


1) Gejala awal Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi
bronkus
2) Gejala umum
a) Batuk Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk
mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai
titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon terhadap
infeksi sekunder
b) Infeksi saluran nafas bawah berulang
c) Hemoptisis Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang
mengalami ulserasi
d) Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan
e) Kelelahan
f) Suara serak
g) Nyeri atau disfungsi pada organ yang jauh menandakan metastasis

Manifestasi kanker baru

berdasarkan fase metastase tumor

1) Local (tumor tumbuh setempat)


a) Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
b) Hemoptisis
c) Terdengar wheezing, stridor karena adanya obstruksi jalan nafas
d) Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
e) Atelektasis
2) Infasi local
a) Nyeri dada
b) Dispnea karena efusi pleura
c) Invasi ke pericardium sehingga menyebabkan temponade atau aritmia
d) Suara serak karena adanya penekanan pada nervus (laryngeal recurrent)
3) Gejala terjadinya metastasis
a) Menyebar ke otak, tulang, hati, adrenal
b) Limfadenopati servikal dan supraklavikula
4) Sindrom paraneoplastik : terdapat pada 10% kanker paru
a) Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
b) Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
c) Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati periferd) Endokrin : sekresi
berlebih hormone paratiroid (hiperkalsemia)

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker paru antara lain
pemeriksaan laboratorium, radiologi, trans thoracal biopsy (TTB), fine needle aspiration biopsy
(FNAB), dan pemeriksaan histopatologik.

a. Foto dada secara postero-anterior


Pada foto dada PA dapat dilihat adanya gambaran massa di daerah hilus atau parahiler
atau apeks, lesi parenkim, obstruksi, kolaps didaerah peripleura dan pembesaran
mediastinum.
b. Pemeriksaan CT-scan dan MRI
Pemeriksaan CT-scan dada lebih sensitif dibandingkan dengan fotodada PA karena dapat
mendeteksi massa ukuran 3 mm. MRI dilakukan untuk mengetahui penyebaran tumor ke
tulang belakang
c. Pemeriksaan Bone scaning
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui adanya metastasis tumor ke tulang. Zat
radioaktif yang dialirkan pada pembuluh darah yang melayani tulang yang dicurigai telah
mengalami metastasis akan diserap oleh sel kanker yang kemudian di scan akan
memperlihatkan gambaran berbeda dari sel normal sekitarnya.
d. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan pemeriksan sitologi sputum terutama pada kasus
tumor paru yang menginvasi saluran nafas dengan gejala batuk. Dalam pemeriksaan
mikroskopis akan ditemukan gambaran sel-sel kanker dalam sputum. Pemeriksaan ini
tidak invasif
e. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan standar baku penegakan diagnosis kanker paru.
Pengumpulan bahannya dapat melalui bronkoskopi, biopsi transtorakal, torakoskopi,
mediastinoskopi dantorakotomi. Hasil pemeriksaan dapat mengklasifikasikan tipe kanker.
SCLC ditandai dengan gambaran yang khas dari sel kecil mirip gandum dengan
sitoplasma yang sedikit dalam sarang-sarang atau kelompok tanpa organisasi skuamosa
atau glandular. Pada SCC ditandai dengan variasi sel-sel neoplasma yang berkeratin yang
berdiferensiasi baik sampai dengan tumor anaplastik dengan beberapa fokus diferensiasi.
Pada adenokarsinoma ditandai dengan sel-sel kanker berbentuk sel kelenjar dengan
produksi musin dan dikelilingi dengan jaringan desmoplastik di sekitarnya. Sedangkan
pada karsinoma sel besar menunjukkan gambaran histologi yang aneh dan tidak khas
selain ketiga jenis lainnya, bisa dalam bentuk skuamosa dan glandular dengan
diferrensiasi buruk dengan seldatia, sel jernih dan varian sel berbentuk kumparan di
dalamnya.
f. Pemeriksaan Serologi
Beberapa petanda kanker paru yang dipakai sebagai penunjang diagnosis yaitu CEA
(carcinoma embryonic antigen), NSE (neuron-spesific enolase) dan Cyfra 21-1
(Cytokeratin fragment 19)
g. Bronkoskopi
Dilakukan dengan memasukkan alat bronkoskof ke dalam bronkus untuk melihat secara
langsung tumor atau kanker pada saluran nafas dan juga dapat digunakan untuk
mengambil bahan biopsi. Jika kanker terdapat pada saluran nafas maka akan tampak
jaringan kanker yang mengisi ruang saluran nafas di antara sel normal.
h. Thorakosintesis
Dilakukan apabila kanker yang mengenai jaringan paru telah menimbulkan efusi pleura
atau suatu ruang dalam paru yang terisi cairan eksudat atau transudat akibat invasi sel-sel
kanker
i. Pemeriksaan laboratorium lainnya
Pada pemeriksaan darah lengkap dan serum penderita kanker paru dapat ditemukan
adanya tanda-tanda yang terkait dengan paraneoplastik sindrom dan adanya metastasis
seperti : anemia, trombosis, granulositosis, sitopenia dan leukoeritroblastosis (pada
pemeriksaan sumsum tulang), hiperkalsemia, hipofosfatemia,hiponatremia dan
hipokalemia.

Tatalaksana

Pengobatan kanker paru dibagi berdasarkan jenisnya antara NSCLC dan SCLC. Umumnya terapi
yang diberikan berdasarkan stadium kanker itu sendiri, yaitu antara lain pembedahan,
radioterapi, dan kemoterapi. Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien kanker paru
mulai dari stadium III A dan untuk pengobatan paliatif

a. Keperawatan
1) Kuratif Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup
klien.
2) Paliatif Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
3) Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal Mengurangi dampak fisis maupun
psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
4) Suporotif Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian
nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
b. Medis
1) Pembedahan Indikasi
a) Tumor stadium I
b) Stadium II jenis karsinoma dan karsinoma sel besar tidak dapat di bedakan
(undifferentiated)
c) Dilakukan secara khusus pada stadium III
Secara individual yang mencakup 3 kriteria :
 Karakteristik biologis tumor
Hasil baik (Tumor dari skuamosa atau epidermoid), hasil cukup
baik (adenokarsinoma dan karsinoma sel besartak terdiferensiasi),
Hasil buruk (oat cell)
 Letak tumor dan pembagian stadium klinis menentukan teknik
reseksi terbaik yang dilakukan
 Keadaan fungsional penderita
Terdapatnya penyakit degeneratif lain atau penyakit gangguan
kardiovaskuler, operasi harus dipertimbangkan masak-masak.
2) Toraktomi eksplorasi
Untuk mengkonfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya
karsinoma, untuk melakukan biopsi.
3) Pneumonektomi (pengangkatan paru)
Karsinoma bronkogenik bilamana dengan lobektomi tidak semua lesi bisa
diangkat
4) Lobektomi (pengangkatan lobus paru)
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau
bula emfisematosa, abses paru, infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois
5) Reseksi segmental
Merupakan pengangkatan satu atau lebih segmen paru
6) Reseksi baji
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metasmetik atau penyakit peradangan
yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru-paru berbentuk
baji (potongan es)
7) Dekortikasi
Merupakan pengangkatan bahan-bahan fibrin dari pleura viscelaris).
8) Radiasi
Indikasi dan syarat pasien dilakukan tindakan radiasi adalah : a) Pasien dengan
tumor yang operabel tetapi karena resiko tinggi maka pembedahan tidak dapat
dilakukan b) Pasien kanker jenis adenokarsinoma atau sel skuamosa yang
inoperabel yang diketahui terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada hilus
ipsilateral dan mediastinal. c) Pasien dengan karsinoma bronkus dengan histology
sel gandum atau anaplastik pada satu paru tetapi terdapat penyebaran nodul pada
kelenjar getah bening dibawah supraklavikula d) Pasien kambuh sesudah
lobektomi atau pneumonektomi tanpa bukti penyebaran diluar rongga dada
9) Kemoterapi
a) Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas
serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.
b) Pada karsinoma sel skuamosa sangat responsive pada kemoterapi.
c) Sedangkan pada non small cell carcinoma kurang memberi hasil yang
baik.
d) Syarat untuk pelaksanaan radioterapi dan kemoterapi: (1) Hb > 10 gr%,
(2) Leukosit > 4000/dl, (3) Trombosit > 100.000/dl e) Skala Karnofsky
Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi terjadinya
melosupresi dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.

Komplikasi

a. Efusi pleura
Hal ini dapat menyebabkan cairan menumpuk di ruangan yang mengelilinggi paru-paru
di rongga dada ruangan pleura.
b. Metastase pada tulang pinggang/tulang punggung
Ini sering menyebar (bermetasis) ke area lain tubuh, biasanya berlawanan dengan paru-
paru,seperti tulamg otak, hati dan kelenjer adrenal.kanker yang meluas dapat
menyebabkan rasa sakit, sakit kepala, mual atau tanda tanda dan gejala lain bergantungan
pada organ yang terkena
c. Sesak nafas
Orang dengan kanker paru dapat mengalami sesak napas jika kanker berkembang untuk
menutup saluran udara yang utama.
d. Batuk darah
Penyakit ini dapat menyebabkan perdarahan di saluran napas,yang dapat membuat anda
batuk (Hemnoptisis).
e. Nyeri
Kanker paru-paru yang dapat meluas ke lapisan Kanker paruparu atau bagian lain dari
tubuh dapat menyebabkan rasa sakit.
KANKER GINJAL

Definisi Kanker Ginjal

Kanker ginjal adalah penyakit dimana sel ginjal menjadi ganas (kanker) dan tumbuh tidak
terkendali membentuk tumor. Hampir semua kanker ginjal pertama kali muncul di lapisan
tabung kecil (tubulus) di ginjal. Jenis kanker ginjal ini disebut karsinoma sel ginjal. Carcinoma
sel ginjal adalah tumor malignoma renal, yang sering ditemukan diperensim renal dan
menimbulkan gejala yang baru.

Kanker ginjal merupakan sebagian besar tumor ginjal yang solid (padat) dan jenis kanker
ginjal yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel ginjal (adeno karsinoma
renalis/hipemefroma). Kanker ginjal atau hipemefroma merupakan jenis kanker yang terdapat
pada bagian ginjal atau disebut tubulus renal proksimal. Kanker ginjal merupakan suatu
keganasan pada parenkim ginjal yang berasal dari tubulus proksimalis ginjal. Stadium dari
adenokarsinoma ginjal terbagi atas empat stadium:
Klasifikasi

1. Klasifikasi TNM [JACC edisi 6 (tahun 2002)]

T : tumor primer

Tx : tumor primer tak dapat dinilai

T0 : tak ada bukti tumor primer

T1 : diameter terbesar tumor < 7,0 cm, terlokalisasi dalam ginjal

T1a : diameter terbesar tumor < 4,0 cm, terlokalisasi dalam ginjal

T1b : diameter terbesar tumor 4,0-7,0 cm, terlokalisasi dalam ginjal

T2 : diameter terbesar tumor > 7,0 cm, terlokalisasi dalam ginjal


T3 : tumor menginvasi trunkus venosus, kelenjar adrenal atau jaringan
perirenal, tapi belum menembus fasia Gerota

T3a : tumor langsung menginvasi jaringan perirenal atau kelenjar adrenal, tapi
belum menembus fasia Gerota

T3b : secara makroskopik tumor menginvasi vena renal aau vena kaya
subfrenik

T3c : secara makroskopik tumor menginvasi bena kava inferior, berekstensi ke


supradiafragma atau menginvasi dinding vena kava inferior

T4 : tumor menginvasi jaringan parirenal, menembus fasia Gerota

N : kelenjar limfe regional

Nx : kelenjar limfe regional tak dapat dinilai

N0 : tak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1 : metastasis ke satu kelenjar limfe regional

N2 : metastasis ke banyak kelenjar limfe regional

M : metastasis jauh

M0 : tak ada metastasis jauh

M1 : ada metastasis jauh

Penggolongan stadium

I : T1 N0 M0
II : T2 N0 M0

III : T1 N1 M0

T2 N1 M0

T3 N1 M0

T3a N1 M0

T3b N0 M0

T3b N1 M0

T3c N0 M0

T3c N1 M0

IV : T4 N0 M0

T4 N1 M0

T apapun N2 M0

T apapun N apapun M1

2. Klasifikasi stadium Robson

Kini sudah jarang dipakai, tapi literatur yang melaporkan kasus di masa lalu sering memakai
sistem klasifikasi ini.

Stadium I : tumor terlokalisasi dalam ginjal

Stadium II : tumor menginvasi lemak perirenal, tapi belum menembus fasia Gerota

Stadium III : tumor telah menginvasi menembus fasia Gerota


IIIa : secara makroskopik tumor mengenai vena renal, vena kava
(supra dan subdiafragma serta atrium kanan)

IIIb : metastasis kelenjar limfe regional

IIIc : sekaligus terdapat invasi vena dan metastasis kelenjar limfe

Stadium IV : menginvasi organ sekitar atau metastasis jauh

IVa : menginvasi organ sekitar (kecuali kelenjar adrenal)

IVb : metastasis jauh

Etiologi Kanker Ginjal

Penyebab pasti belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor lingkungan dan genetic yang
menjadi faktor resiko terbentuknya karsinoma sel ginjal, meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Merokok.
Perokok memiliki sekitar dua kali lipat risiko dari non-perokok.
2) Kontak dengan bahan kimia tertentu.
Pekerja yang melakukan kontak dengan bahan kimia seperti pewarna aniline
(senyawa organik buatan yang digunakan dalam pekerjaan kulit dan kayu) dan
logam berat memiliki risiko lebih tinggi.
3) Obesitas.
Mereka yang mengalami obesitas akan memiliki ririko yang jauh lebih tinggi
terkena kanker ginjal. Risiko obesitas terkait dengan risiko darah tinggi
(hipertensi).
4) Penyakit ginjal stadium akhir yang memerlukan dialysis (pengobatan yang
melakukan beberapa hal yang dilakukan oleh ginjal sehat).
5) Asupan obat penghilang rasa sakit kronis, seperti parasetamol, dan obat anti
pembengkakan tanpa steroid (NSAID) seperti ibuprofen dan aspirin.
6) Kanker ginjal bawaan.
Sebagian besar dari mereka yang terkena penyakit memiliki bentuk kanker ginjal
yang sporadis atau bukan bawaan dari kanker ginjal. Suatu bentuk bawaan dari
penyakit terjadi pada sebagian kecil pasien (kurang dari lima persen dari total)
karena adanya gen yang rusak. Kondisi yang diwariskan ini mempengaruhi
seseorang terkena kanker ginjal yang meliputi sindrom von Hippel-Lindau (VHL)
[kelainan bawaan yang ditandai dengan pembentukan tumor dan kantung berisi
cairan (kista) di berbagai bagian tubuh], tuberous sclerosis (penyakit genetik
multi-sistem langka yang menyebabkan tumor tidak berbahaya tumbuh di otak
dan organ penting lainnya seperti ginjal, jantung, mata, paru-paru, dan kulit),
sindrom Birt-Hogg-Dube (kondisi bawaan yang terkait dengan beberapa tumor
kulit, kista paru-paru yang tidak berbahaya, dan suatu peningkatan risiko baik
tumor ginjal dan kanker ginjal yang tidak berbahaya), dan sel jernih bawaan non-
VHL dan kanker sel ginjal papiler

Manifestasi klinis kanker ginjal

Gejala kanker ginjal dimulai dari gejala-gejala yang spesifik. Ciri-cirinya sangat halus sehingga
tidak disadari bagi mereka yang berpotensi menderitanya. Meski tidak dimulai dari gejala khas,
namun beberapa indikasi seperti adanya: Kerusakan struktur fungsional ginjal Proliferasi sel
tidak terkendali Abnomalitas pertumbuhan sel Kadmium masuk ke pembuluh darah Kanker
Ginjal Gangguan filtrasi ginjal Edema Peningkatan volume intestisial Retensi Na Penurunan
produksi hormone eritropoetin Penurunan Hb Penurunan produksi eritrosit MK: Kelebihan
volume cairan MK: Nyeri kronis Nyeri pada pinggang Pembesaran tumor pada ginjal Gangguan
keseimbangan elektrolit Penekanan saraf di pinggang MK: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang
dari kebutuhan tubuh Penurunan nafsu makan Mual dan muntah Hematuria Pembuluh darah
pecah Penekanan pada pembuluh darah MK: Intoleransi aktivitas Pembentukan senyawa
nitrosamin Masuk ke dalam sel Mutasi DNA Tidak berfungsinya VHL Retensi pembuluh darah
Penurunan laju filtrasi glomerolus Penurunan aliran darah ke ginjal Peningkatan HIF MK:
Ansietas Perubahan status MK: Risiko kesehatan perdarahana) Benjolan di perut, benjolan pada
perut bawah cukup sulit diraba secara fisik. Pada stadium rendah kadangkala tidak teraba secara
fisik
a) Kencing darah
b) Nyeri dibagian pinggang menjadi gejala umum kanker ginjal. Sementara rasa sakit di
pinggang baru terasa ketika pertumbuhan tumor semakin membesar, terasa sebagian sakit
tumpul (sakit terasa monoton dan terus-menerus)

Tanda dan gejala lain yang muncul

a) Nyeri atau fraktur tulang akibat lesi yang bermetastasis


b) Edema di kaki bagian kanan atas
c) Demam kemungkinan karena hemoragi atau nekrosis
d) Hyperkalemia (berkembang dengan cepat, kemungkinan akibat produksi hormone
paratiroid ektopik oleh tumor)
e) Hepertensi (akibat kompresi arteri renal yang disertai dengan iskemia parenkimal renal)
f) Mual dan muntah
g) Retensi urin
h) Berat badan menurun

Meski tidak spesifik, tanda-tanda umum penyakit kanker ginjal yang sering dijumpai pada
penderita kanker ginjal adalah:

1) Gatal dan Ruam.


Muncul rasa gatal, kulit ruam, karena fungsi ginjal dalam membuang limbah dan
kotoran terganggu. Akibatnya akan menimbulkan rasa gatal pada kulit gatal ringan
atau gatal yang berlebih. Kadangkala ketika digaruk sampai menimbulkan luka serta
pembengkakan di berbagai bagian tubuh.
2) Tubuh menjadi kedinginan dan menggigil.
Dingin adalah efek dari berkurangnya kemampuan ginjal dalam memproses aliran
darah. Terjadi juga anemia karena otak tidak tersedia oksigen yang cukup. Akibatnya,
kepala sering menderita pusing, hilang keseimbangan, susah berkonsentrasi, dan
tubuh terasa dingin selama beberapa waktu.
3) Timbul sesak nafas.
Sesak nafas terjadi karena ada penimbunan cairan yang berlebih karena
ketidakmampuan ginjal akibat sakit sehingga menutup beberapa saluran seperti
saluran di paru-paru, dan bagian tubuh yang lain. Kanker Ginjal juga akan
menyebabkan anemia akibat kekurangan oksigen untuk bernafas. Pasien susah tidur
karena susah bernafas, aktifitas tubuh terasa berat, perut terasa kembung terus
menerus.
4) Urine penderita berpenyakit ginjal biasanya berubah.
Urine ditandai dengan saat buang air seni terasa sakit, jumlah urine sedikit, sering
terbangun ingin kencing saat tidur (mirip gejala diabetes), dan perubahan warna
struktur air seni (warna urine jauh lebih pekat). Hanya saja mulai ada darah dalam
urine, darah berwarna merah muda, merah atau kehitaman. Hal ini terjadi karena
ginjal mulai tidak berfungsi dengan baik.
5) Sakit pinggang.
Kondisi sakit pinggang, nyeri yang terjadi pada punggung, terutama di bawah tulang
rusuk, yang kadangkala muncul dan tidak hilang-hilang. Tanda-tanda rasa sakit kronis
berawal dengan sakit yang muncul sesekali saja, namun dengan berkembangnya
penyakit akan membuat rasa sakit berlangsung lebih sering/kerap dan lebih lama.
6) Bau mulut dan keringat yang tidak enak.
Hal ini terjadi karena proses adanya gangguan detoksifikasi (lewat mulut, keringat)
yang menumpuk pada mulut dan kulit.
7) Pembengkakan Kaki, Tangan, Muka.
Pembengkakan tubuh terjadi karena cairan oedema yang tertimbun dalam tubuh
tertentu akibat terganggunya sistem organ sekresi. Pembengkakan terjadi pada bagian
tubuh spesifik seperti pergelangan kaki, tangan, atau muka.
8) Nyeri pada bagian tubuh dan tanda spesifik lain.
Sakit dan nyeri terjadi pada punggung, tubuh terasa lemah, tidak bertenaga, serta
tidak dapat bekerja berat. Didahului dengan rasa gatal-gatal, perut mual, muntah,
nafsu makan menyusut, serta turunnya berat badan. Umumnya juga disertai dengan
naiknya tekanan darah, anemia, sulit tidur, sesak nafas

Pemeriksaan Diagnostik Kanker Ginjal


Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada pasien dengan kanker ginjal antara lain:

a. Pemeriksaan radiologi
PIV biasanya dikerjakan atas indikasi adanya hematuria, tetapi jika diduga ada massa
pada ginjal, pemeriksaan dilanjutkan dengan CT scan atau MRI. Dalam hal ini USG
hanya dapat menerangkan bahwa ada massa solid atau kistik. CT scan merupakan
pemeriksaan pencitraan yang dipilih pada karsinoma ginjal. Pemeriksaan ini mempunyai
akurasi yang cukup tinggi dalam mengetahui adanya penyebaran tumor pada vena renalis,
vena cava, ekstensi perirenal, dan metastasis pada kelenjar limfe retroperitonereal. MRI
dapat mengungkapankan adanya invasi tumor pada vena renalis dan vena cava tanpa
membutuhkan kontras, tetapi kelemahanya adalah kurang sensitive mengenali lesi solid
yang berukuran kurang dari 3 cm.
1) IVP (Intrevenous Pyelograf)
Memperlihatkan ketidakserasian tepi-tepi ginjal dan memberi gambaran adanya
dugaan tumor ginjal. Tumor kecil pada parenkin tidak akan jelas, tapi bisa diperjelas
dengan CT scan.
2) Foto thoraks (Rontgen)
Merupakan pemeriksaan untuk mengevaluasi ada tidaknya metastasis ke paru-paru.
Arteriografi khusus hanya diindikasikan untuk pasien dengan tumor Wilms bilateral
atau termasuk horseshoe kidney.
3) Ultrasonografi
Merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat membedakan tumor solid dengan
tumor yang mengandung cairan. Dengan pemeriksaan USG, tumor Wilms nampak
sebagai tumor padat di daerah ginjal. USG juga dapat digunakan sebagai pemandu
pada biopsi. Pada potongan sagital USG bagian ginjal yang terdapat tumor akan
tampak mengalami pembesaran, lebih predominan digambarkan sebagai massa
hiperechoic dan menampakkan area yang echotekstur heterogenus.
4) CT Scan
Untuk membuat diferensiasi carcinoma sel-sel ginjal dan kista renal. Memberi
beberapa keuntungan dalam mengevaluasi tumor Wilms. Ini meliputi konfirmasi
mengenai asal tumor intrarenal yang biasanya menyingkirkan neuroblastoma; deteksi
massa multipel; penentuan perluasan tumor, termasuk keterlibatan pembuluh darah
besar dan evaluasi dari ginjal yang lain. CT scan memperlihatkan massa heterogenus
di ginjal kiri danmetastasis hepar multiple. CT scan dengan level yang lebih tinggi
lagi menunjukkan metastasishepar multipel dengan thrombus tumor di dalam vena
porta.
5) Angiografi
Untuk diferensiasi kista dengan tumor.
b. Pemeriksaan Laboratorium:
1) Analisis urin
2) Pemeriksaan sel darah lengkap
3) Blood Gas Analysis
4) Pemeriksaan kimia darah lengkap dan koagulasi darah
5) Laju endap eritrosit
6) Kadar human chronic gonadotropin (HCG)
7) Kadar kortisol
8) Kadar renin
9) Kadar hormon adenokortikotropin.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan kanker ginjal adalah untuk menghilangkan anker tersebut


sebelum terjadi metastasis. Nefrektomi radikal merupakan terapi pilihan jika tumornya dapat
diangkat. Tindakan ini mencakup pengangkatan ginjal (serta tumornya, kelenjar adrenal, lemak
perirenal; disekitarnya serta fasia Gerota dan nodus limfatikus. Terapi radiasi, hormonal ataupun
kemoterapi dapat dilakukan bersama-sama pembedahan. Menurut Gitayulia (2011),
penatalaksanaan dari kanker ginjal antara lain:

1. Operasi
Operasi adalah perawatan yang paling umum untuk kanker ginjal. Perawatan jenis ini
merupakan suatu tipe dari terapi lokal yang dilakukan dengan merawat kanker ginjal dan
area yang dekat pada tumor. Operasi untuk mengangkat ginjal disebut nephrectomy.
Adapun tipe operasi pengangkatan ginjal ini tergantung pada stadium dari tumor yaitu :
a. Radical nephrectomy.
Ahli bedah mengangkat seluruh ginjal bersama kelenjar adrenal dan beberapa jaringan
disekitar ginjal. Beberapa simpul getah bening di area itu juga diangkat
b. Simple nephrectomy.
Ahli bedah hanya mengangkat ginjal. Biasanya tindakan ini dilakukan pada penderita
kanker ginjal stadium I.
c. Partial nephrectomy.
Ahli bedah hanya mengangkat bagian dari ginjal yang mengandung tumor. Operasi ini
dilakukan ketika seseorang itu hanya mempunyai satu ginjal, ketika kanker sudah
memengaruhi kedua ginjal, maupun penderita yang ukuran tumor ginjalnya kurang dari 4
cm atau ¾ inci.
Efek samping dari operasi adalah lamanya waktu untuk sembuh. Lama waktu yang
diperlukan untuk kesembuhan pun berbeda untuk setiap orang. Pasien sering tidak
nyaman selama beberapa hari pertama meskipun telah menggunakan obat penghilang
nyeri.
2. Arterial embolization
Arterial embolization adalah tipe terapi lokal yang menyusutkan tumor dan dilakukan
sebelum tindakan operasi. Tujuannya adalah agar operasi dapat berjalan lebih mudah.
Ketika operasi tidak mungkin dilakukan, maka embolization digunakan untuk membantu
menghilangkan gejala – gejala kanker ginjal.
Cara ini dilakukan dengan memasukkan tabung yang sempit ke dalam suatu pembuluh
darah di kaki. Tabung dialirkan keatas hingga ke pembuluh darah besar utama atau arteri
ginjal yang menyediakan darah pada ginjal. Lalu disuntikkan suatu senyawa ke pembuluh
darah untuk menghalangi aliran darah ke dalam ginjal. Setelah arterial embolization
penderita biasanya merasakan nyeri punggung atau mengalami demam. Efek – efek
lainnya mual dan muntah. Namun masalah – masalah ini bisa segera menghilang.
3. Terapi radiasi
Terapi radiasi ( radioterapi ) adalah tipe lain dari tipe lokal yang yang menggunakan sinar
bertenaga tinggi untuk membunuh sel – sel kanker, serta memengaruhi sel – sel kanker di
area yang dirawat. Pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit atau klinik dalam lima
hari setiap minggu selama beberapa minggu.
Efek samping dari terapi radiasi tergantung pada jumlah radiasi yang diberikan dan
bagian tubuh yang dirawat. Pasien bisa menjadi sangat lelah selama terapi radiasi,
terutama pada minggu – minggu pertama perawatan. Terapi radiasi pada ginjal dan area –
area yang berdekatan memungkinkan terjadinya mual, muntah, diare atau tidak nyaman
ketika BAK. Selain itu juga menyebabkan kekurangan jumlah sel darah putih sehat yang
sebenarnya membantu melindungi tubuh terhadap infeksi. Efek lainnya kulit diarea yang
dirawat akan memerah, kering dan peka (Heri Saputra, 2010).
4. Terapi biologis
Terapi biologis adalah suatu tipe dari terapi sistematis atau terapi yang menggunakan
senyawa – senyawa yang berjalan melalui aliran darah, mencapai dan memengaruhi sel –
sel di seluruh tubuh. Terapi biologis menggunakan kemampuan alamiah tubuh atau
sistem imun untuk melawan kanker.
Terapi biologis mungkin menyebabkan gejala – gejala seperti flu, kedinginan, demam,
nyeri – nyeri otot, kelemahan, kehilangan nafsu makan, mual, muntah dan diare. Pasien –
pasien juga mungkin memperoleh suatu ruam kulit atau skin rash. Persoalan – persoalan
ini dapat menjadi parah, namun mereka menghilang setelah perawatan dihentikan.
5. Kemoterapi
Kemoterapi adalah tipe dari terapi sistemis dengan menggunakan obat – obatan. Obat –
obatan anti kanker memasuki aliran darah dan mengalir ke seluruh tubuh. Meskipun
berguna untuk kanker – kanker yang lain, obat – obatan tersebut telah menunjukkan
penggunaan yang teratas terhadap kanker.
Efek samping dari kemoterapi tergantung pada obat – obatan spesifik dan jumlah yang
diterima. Pada umumnya, obat – obatan anti kanker memengaruhi sel – sel yang
membelah secara cepat, terutama sel – sel darah. Sel – sel ini melawan infeksi, membantu
darah untuk menggumpal atau membantu, dan membawa oksigen ke seluruh tubuh.
Ketika obat – obat memengaruhi sel – sel darah, pasien lebih mudah mendapat infeksi,
memar berdarah, juga merasa sangat lemah dan lelah. Kemoterapi dapat menyebabkan
kerontokan rambut. Rambut tumbuh kembali, namun adakalanya rambut yang baru
memiliki warna dan tekstur yang agak berbeda. Kemoterapi dapat menyebabkan nafsu
makan yang buruk, mual, muntah, diare, atau luka – luka mulut dan bibir. Namun, efek –
efek samping ini dapat dikontrol dengan menggunakan obat – obatan.
Jenis obat kemoterapi yang diberikan pada kanker ginjal yaitu:
a. Interferon alfa : diberikan secara subkutan dan dosis bersifat individualistic. Efek
sampingnya adalah gejala flu seperti demam, fatigue, sakit kepala, anoreksia,
menggigil, depresi, letargi, pusing, mual, muntah, konstipasi, stomatitis, pruritus,
nyeri di tempat suntikan, dan peningkatan enzim hati.
b. Interleukin-2 (IL-2) : diberikan secara intravena (dalam pembuluh darah) atau
suntikan subkutan (di bawah kulit) dua kali sehari.efek sampingnya adalah mual,
kelelahan, kebingungan, depresi, mudah tersinggung dan insomnia.
6. Nutrisi
Pasien perlu makan dengan baik selama terapi kanker. kecukupan kalori dibutuhkan
untuk menjaga berat badan dan protein untuk mempertahankan kekuatan. Nutrisi bisa
membuat penderita kanker merasa lebih baik dan mempunyai lebih banyak energi.
Masalahnya pasien kanker sering kali sulit untuk makan karena tidak merasa nyaman
atau lelah.
7. Nefrostomi
Nefrostomi merupakan suatu tindakan diversi urine menggunakan tube, stent, atau kateter
melalui insisi kulit, masuk ke parenkim ginjal dan berakhir di bagian pelvis renalis atau
kaliks. Nefrostomi biasanya dilakukan pada keadaan obstruksi urine akut yang terjadi
pada sistem saluran kemih bagian atas, yaitu ketika terjadi obstruksi ureter atau ginjal.
Nefrostomi dapat pula digunakan sebagai prosedur endourologi, yaitu intracorporeal
lithotripsy, pelarutan batu kimia, pemeriksaan radiologi antegrade ureter, dan
pemasangan double J stent (DJ stent). Nefrostomi ini biasanya dilakukan untuk
mengobati penderita kanker ginjal atau orang dengan kerusakan ginjal yang parah.
Nefrostomi juga dilakukan untuk mengambil ginjal yang sehat untuk donor pada
transplantasi ginjal.

Menurut Robert R. Cillio (2012), perawatan yang harus dilakukan pada tindakan
nefrostomi adalah:
1. Untuk nefrostomi dengan indikasi infeksi maka pemberian antibiotika sejak sebelum
tindakan diteruskan. Pedomannya adalah:
a. Jenis antibiotika berdasarkan kultur dan antibiogram
b. Bila belum ada kultur dan antibiogram
1) Kombinasi ampicillin atau derifatnya dan aminoglikosida
2) Cephalosporin generasi III, untuk kasus gagal ginjal berat Bila tidak
infeksi cukup diberikan obat golongan nitrofurantorin atau asam
nalidisat peri operatif.
2. Perhatikan kateter / pipa drainage, jangan sampai tersumbat
3. Perhatikan dan catat secara terpisah produksi cairan dari nefrostomi.
4. Usahakan diuresis yang cukup.
5. Periksa kultur urin dari nefrostomi secara berkala.
6. Bila ada boleh spoelling dengan larutan asam asetat 1% seminggu 2x
7. Kateter diganti setiap lebih kurang 2 minggu. Bila nefrostomi untuk jangka lama
pertimbangkan memakai kateter silikon.
8. Pelepasan kateter sesuai indikasi
9. Pelepasan drain bila dalam 2 hari berturut-turut setelah pelepasan kateter produksinya
< 20 cc/24 jam.
10. Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi. Perawatan
postprosedural dan tinjak lanjut yang dilakukan pada tindakan nefrostomi:
a. Bed rest selama 4 jam
b. Melanjutkan diet yang disarankan untuk postprosedural
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 30 menit selama 4 jam pertama
postrosedural dan kemudian dilakukan setiap shift
d. Terapi antibiotik jika diidentifikasi ataupun diduga terjadi infeksi
e. Pembilasan kateter dengan 5 ml larutan NaCl isotonik bakteriostatik
kemudian diaspirasi setiap 6-12 jam.
f. Pantau output urine

8. Sistostomi
Sistostomi adalah prosedur di mana kandung kemih dan kulit dihubungkan dengan
pembedahan untuk mengeringkan urin melalui tabung yang keluar di dinding perut. Ini
perlu dilakukan pada pasien yang tidak dapat berkemih secara normal akibat sumbatan
pada kandung kemih atau kondisi medis lainnya yang mengganggu bagian dari saluran
kemih atau fungsi normal ginjal yang menyebabkan urin pasien tertahan. Penggunaan
tabung sistostomi, yang juga dikenal dengan sebutan kateter suprapubik, salah satu
pengalihan saluran kemih yang rendah resiko dan dapat digunakan sementara maupun
jangka panjang. Sistotomi adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang pada
buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan untuk mengeluarkan urine.
Kateterisasi suprapubik umumnya digunakan untuk drainase urine jangka pendek. Jika
usia pasien atau kondisi komorbid tidak memungkinkan untuk dilakukannya operasi
koreksi, maka kateter temporer ini dapatdipertahankan lebih lama, atau dapat diganti
dengan kateter suprapubik yang permanen

Komplikasi

Komplikasi yang muncul akibat kanker ginjal menurut Nursalam, 2008 yaitu:

1. Metastase yang kuat ke berbagai organ meliputi paru, hati, otak, dan tulang melalui
saluran limfe atau melalui sistem vena berupa:
a. Sumbatan arteri.
b. Perdarahan.
c. Kehilangan fungsi ginjal.
2. Komplikasi pembedahan karena nefrektomi meliputi atelektasis, pneumonia, hemoragis,
infeksi, dan ileus paralitik

KANKER MAMAE

a. Definsi
Kanker payudara adalah keganasan pada sel-sel yang terdapat pada jaringan payudara, bisa
berasal dari komponen kelenjarnya (epitel saluran maupun lobules nya) maupun komponen
selain kelenjar seperti jaringan lemak, pembuluh darah, dan persarafan jaringan payudara.
b. Faktor resiko
Penyebab spesifik ca mammae masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor yang
diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ca mammae antara lain :
- Faktor reproduksi
Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya ca mammae adalah
nuliparitas, menarche pada umur muda, menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan
pertama pada umur tua. Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya umur.
- Penggunaan hormon
Hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya ca mammae. Peningkatan ca mammae
yang signifikan terdapat pada pengguna terapi estrogen replacement. Suatu meta analisis
menyatakan bahwa walaupun tidak terdapat risiko ca mammae pada pengguna kontrasepsi
oral, wanita yang menggunakan obat ini untuk waktu yang lama mempunyai risiko tinggi
untuk mengalami ca mammae sebelum menopause. Sel-sel yang sensitif terhadap
rangsangan hormonal mungkin mengalami perubahan degenerasi jinak atau menjadi ganas.
- Riwayat keluarga dan faktor genetik
Riwayat keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan
dilaksanakan skrining kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko keganasan pada
wanita yang keluarganya menderita kanker payudara, ditemukan bahwa kanker payudara
berhubungan dengan gen tertentu. Apabila terdapat BRCA 1, yaitu suatu gen kerentanan
terhadap kanker payudara, probabilitas untuk terjadi kanker payudara 60% pada umur 50
tahun dan 85% pada umur 70 tahun.
- Faktor umur
Semakin bertambahnya umur meningkatkan risiko kanker payudara. Wanita yang paling
sering terserang kanker payudara adalah usia di atas 40 tahun, meski wanita berumur di
bawah 40 tahun juga dapat terserang kanker payudara, namun risikonya lebih rendah
dibandingkan wanita di atas 40 tahun.
c. Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam proses yang rumit yang disebut
transformasi, yang terdiri dari dua tahap:
1. Fase Inisiasi
Kanker initerjadi pada kantung susu, yaitu penghubung antara kelenjar yang memproduksi
susu (alveolus) dan putting susu. Dalam kondisi ini, kanker belum menyebar ke bagian luar
jaringan kantung susu.
2. Fase Promosi
Pada tahap promosi ini, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi
ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi, karena
diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan (gabungan dari sel yang peka dan
suatu karsinogen).
d. Klasifikasi kanker payudara
Berdasarkan WHO Histological Klassification of breast tumor, kanker payudara di
klasifikasikan sebagai berikut:
1. Kanker Payudara Non-Invasif
Kanker yang terjadi pada kantung (tube) susu {penghubung antara alveolus (kelenjar yang
memproduksi susu) dan putting payudara}. Dalam bahasa kedokteran disebut ‘ductal
carcinoma in situ’ (DCIS), yang mana kanker belum menyebar ke bagian luar jaringan
kantung susu.
2. Kanker payudara invasif
Sel kanker merusak saluran dan dinding kelenjar susu serta menyerang lemak dan jaringan
konektif payudara di sekitarnya. Kanker dapat bersifat invasive (menyerang) tanpa selalu
menyebar (metastatik) ke simpul limfe atau organ lain dalam tubuh.
e. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala umum kanker payudara yang menjadi keluhan, sebagai berikut :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis payudara dapat berupa benjolan pada payudara, umumnya berupa benjolan
yang tidak nyeri pada payudara. Benjolan itu mula-mula kecil, semakin lama akan semakin
besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan 10 perubahan pada kulit payudara atau
pada putting susu.
2. Erosi atau eksema puting susu
Kulit atau putting susu menjadi tertarik ke dalam (retraksi), berwarna merah muda atau
kecoklat-coklatan sampai menjadi odema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk (peau
d’orange), mengkerut atau timbul borok (ulkus) pada payudara. Borok itu makin lama
makin besar dan mendalam sehingga dapat menghancurkan seluruh payudara, sering
berbau busuk, dan mudah berdarah.
Sedangkan jika berdasarkan fasenya tanda dan gejala kanker payudara terdiri dari:
- Fase awal
Fase awal kanker payudara asimptomatik (tanpa tanda gejala). Tanda dan gejala yang
paling umum benjolan dan penebalan payudara. Kebanyakan sekitar 90% ditemukan oleh
penderita sendiri. Pada stadium dini, kanker payudara tidak menimbulkan keluahan.
- Fase lanjut
Kanker payudara fase lanjut sangat mudah dikenali dengan mengetahui criteria operbilitas
heagensen sebagai berikut:
a) Terdapat odemaluas pada kulit payudara (lebih 1/3 luas kulit payudara).
b) Adanya nodul satelit pada kulit payudara.
c) Adanya odem lengan.
d) Terdapat nodul supraklavikula.
f. Stadium dan grade kanker payudara
Stadium atau grade penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penilaian atau
pemeriksaan dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya,
sudah sejauh manakah tingkat penyebaran atau perkembangan kanker tersebut. Stadum
atau Grade hanya dilakukan pada kanker ganas dan tidak ada pada kanker jinak.
- Stadium 0
Disebut Ductal Carsinoma In Situ atau non invasive Cancer yaitu kanker tidak menyebar
keluar dari pembuluh darah/saluran payudara dan kelenjar-kelenjar (lobules) susu pada
payudara.
- Stadium I
Ukuran tumor diameter <2cm, tidak terdapat metastasis pada aksila/ketiak dan tidak
meluas pada kulit atau otot.
- Stadium II A
Pada stadium ini tumor lebih kecil atau sama dengan 2 cm dan telah ditemukan pada titik-
titik saluran getah bening di ketiak (axillary limph nodes). Diameter tumor lebih lebar dari
2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm, belum menyebar ke titik-titik pembuluh getah bening pada
ketiak (axillary limph nodes). Tidak ada tanda-tanda tumor pada payudara tapi ditemukan
pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak.
- StaBenjolan pada stadium dua telah ber ukuran kurang lebih dua namun tidak lebih dari
lima sentimeter dengan penyebaran sudah sampai ke kelenjar susu dan daerah ketiak. Pada
stadium ini kemungkinan sembuh adalah 30-40%. Jika sudah diketahui penderita kanker
pada stadium 2 maka biasanya dilakukan operasi dengan pengangkatan sel-sel kanker yang
ada pada tubuhdium II B.
- Stadium III A
Tumor dengan diameter > 5 cm tapi masih bebas dari jaringan sekitarnya dengan atau
tanpa metastasis aksila yang masih bebas satu sama lain, atau tumor dengan metastasis
aksila yang melekat.
- Stadium III B
Tumor telah menyebar ke kulit payudara, dinding dada, atau nodus limfe mamae internal,
termasuk inflamasi kanker payudara.
- Stadium IV
Pada stadium kanker sudah begitu parah sudah menjalar ke bagian tubuh lain. Sehingga
tidak ada jalan lain selain pengangkatan payudara. Kanker juga telah bermetafisis yaitu
kanker telah menyebar dari payudara dan kelenjar getah bening di sekitar ketiak ke bagian
lainnya seperti paru, tulang, hati dan otak kanker pada payudara itu bisa membengkak dan
pecah, kalo sudah begini bau busuk dan anyir akan keluar dari buah dada.
g. Penegakan diagnosa
1. Anamnesa
- Anamnesa terhadap keluhan di payudara atau ketiak apakah ada benjolan, rasa sakit,
edema lengan atau kelainan kulit.
- Anamnesa terhadap keluhan di tempat lain berhubungan dengan metastasis sepeti nyeri
tulang vertebrata, sesak, batuk dan lain-lain.
- Anamnesa terhadap faktor-faktor resiko (usia, riwayat keluarga, riwayat kanker individu
dan konsumsi lemak).
2. Pemeriksaan fisik
Ketepatan mendiagnosa kanker payudara dengan pemeriksaan fisik sekitar 70%.
Pemeriksaan fisik dilakukan terhadap status lokalis payudara kanan atau payudara kiri atau
bilateral dan penderita harus diperiksa dalam posisis duduk atau terlentang. Kemudian
payudaradiperiksa sehubungan dengan perubahan kulit, perubahan putting susu, status
kelenjar getah bening dan pemeriksaan pada lokasi metastasis jauh.
3. Pemeriksaan biopsi jarum halus
Pemeriksaan ini dilakukan pada lesi yang secara klinis dan radiologi di curigai ganas.
Biopsi jarum halus dilakukan dengan menusuk tumor dengan jarum halus dan disedot
dengan spuit 10 cc sampai jaringan tumor lepas dan masuk ke dalam jarum. Kemudian
jaringan tumor diperiksa dilaboratorium oleh ahli Patologi Anatomi untuk mengetahui
apakah jaringan tersebut ganas (maligna) atau jinak (benigna).
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan menggunakan Mammografi dan USG
(Ultrasonografi) payudara. Mammografi merupakan tindakan pemeriksaan payudara
dengan menggunakan sinar X berintensitas rendah. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
melihat ada tidaknya benjolan pada payudara. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
perempuan dengan keluhan perihal payudara, baik setelah ditemukan maupun sebelum
ditemukan adanya benjolan dan sebagai check up kanker payudara.
American Cancer Sosiety dalam programnya menganjurkan sebagai berikut :
(a) Untuk perempuan berumur 35-39 tahun, cukup dilakukan 1 kali mammografi dasar
(Baseline mammogram).
(b) Untuk perempuan berumur 40-50 tahun, mammografi dilakukan 1 atau 2 tahun sekali.
(c) Untuk perempuan berumur diatas 50 tahun, mamografi dilakuakn setahun sekali.
h. Tatalaksana
Terapi pada kanker payudara harus didahului dengan diagnosa yang lengkap dan akurat
( termasuk penetapan stadium ). Diagnosa dan terapi pada kanker payudara haruslah
dilakukan dengan pendekatan humanis dan komprehensif. Terapi pada kanker payudara
sangat ditentukan luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari agen biomolekuler atau
biomolekuler-signaling.Terapi pada kanker payudara selain mempunyai efek terapi yang
diharapkan, juga mempunyai beberapa efek yang tak diinginkan (adverse effect), sehingga
sebelum memberikan terapi haruslah dipertimbangkan untung ruginya dan harus
dikomunikasikan dengan pasien dan keluarga. Selain itu juga harus dipertimbangkan
mengenai faktor usia, co- morbid, evidence-based, cost effective, dan kapan menghentikan
seri pengobatan sistemik termasuk end of life isssues.
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling awal dikenal untuk pengobatan kanker
payudara. Terapi pembedahan dikenal sebagai berikut :
- Terapi atas masalah lokal dan regional : Mastektomi, breast conserving surgery, diseksi
aksila dan terapi terhadap rekurensi lokal/regional.
- Terapi pembedahan dengan tujuan terapi hormonal : ovariektomi, adrenalektomi, dsb.
- Terapi terhadap tumor residif dan metastase.
- Terapi rekonstruksi, terapi memperbaiki kosmetik atas terapi lokal/regional, dapat
dilakukan pada saat bersamaan (immediate) atau setelah beberapa waktu (delay).
Jenis pembedahan kanker payudara
1. Mastektomi
 Mastektomi Radikal Modifikasi (MRM)
MRM adalah tindakan pengangkatan tumor payudara dan seluruh payudara termasuk
kompleks puting-areola, disertai diseksi kelenjar getah bening aksilaris level I sampai II
secara en bloc. Indikasi: Kanker payudara stadium I, II, IIIA dan IIIB. Bila diperlukan pada
stadium IIIb, dapat dilakukan setelah terapi neoajuvan untuk pengecilan tumor.
 Mastektomi Radikal Klasik (Classic Radical Mastectomy)
Mastektomi radikal adalah tindakan pengangkatan payudara, kompleks puting-areola, otot
pektoralis mayor dan minor, serta kelenjar getah bening aksilaris level I, II, III secara en
bloc. Jenis tindakan ini merupakan tindakan operasi yang pertama kali dikenal oleh Halsted
untuk kanker payudara, namun dengan makin meningkatnya pengetahuan biologis dan
makin kecilnya tumor yang ditemukan maka makin berkembang operasi operasi yang lebih
minimal Indikasi:
- Kanker payudara stadium IIIb yang masih operable
- Tumor dengan infiltrasi ke muskulus pectoralis major
 Mastektomi dengan teknik onkoplasti
Rekonstruksi bedah dapat dipertimbangkan pada institusi yang mampu ataupun ahli bedah
yang kompeten dalam hal rekonstruksi payudara tanpa meninggalkan prinsip bedah
onkologi. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan jaringan autolog seperti
latissimus dorsi (LD) flap atau transverse rectus abdominis myocutaneous (TRAM) flap;
atau dengan prosthesis seperti silikon. Rekonstruksi dapat dikerjakan satu tahap ataupun
dua tahap, misal dengan menggunakan tissue expander sebelumnya.
 Mastektomi Simpel
Mastektomi simpel adalah pengangkatan seluruh payudara beserta kompleks puting-
areolar,tanpa diseksi kelenjar getah bening aksila. Indikasi:
- Tumor phyllodes besar
- Keganasan payudara stadium lanjut dengan tujuan paliatif menghilangkan tumor.
- Penyakit Paget tanpa massa tumor
- DCIS
2. Breast Conserving Therapy (BCT)
Pengertian BCT secara klasik meliputi : BCS (=Breast Conserving Surgery), dan
Radioterapi (whole breast dan tumor sit). BCS adalah pembedahan atas tumor payudara
dengan mempertahankan bentuk (cosmetic) payudara, dibarengi atau tanpa dibarengi
dengan rekonstruksi. Tindakan yang dilakukan adalah lumpektomi atau kuadrantektomi
disertai diseksi kelenjar getah bening aksila level 1 dan level 2. Tujuan utama dari BCT
adalah eradikasi tumor secara onkologis dengan mempertahankan bentuk payudara dan
fungsi sensasi. BCT merupakan salah satu pilihan terapi lokal kanker payudara stadium
awal. Beberapa penelitian RCT menunjukkan DFS dan OS yang sama antara BCT dan
mastektomi. Namun pada follow up 20 tahun rekurensi lokal pada BCT lebih tinggi
dibandingkan mastektomi tanpa ada perbedaan dalam OS. Sehingga pilihan BCT harus
didiskusikan terutama pada pasien kanker payudara usia muda. Secara umum, BCT
merupakan pilihan pembedahan yang aman pada pasien kanker payudara stadium awal
dengan syarat tertentu. Tambahan radioterapi pada BCS dikatakan memberikan hasil yang
lebih baik.
Indikasi :
- Kanker payudara stadium I dan II.
- Kanker payudara stadium III dengan respon parsial setelah terapi neoajuvan.
Kontra indikasi :
- Kanker payudara yang multisentris, terutama multisentris yang lebih dari 1 kwadran dari
payudara.
- Kanker payudara dengan kehamilan
- Penyakit vaskuler dan kolagen (relatif)
- Tumor di kuadran sentral (relatif)

2. Terapi sistemik

a. Kemoterapi
 Kemoterapi yang diberikan dapat berupa obat tunggal atau berupa gabungan beberapa
kombinasi obat kemoterapi.
 Kemoterapi diberikan secara bertahap, biasanya sebanyak 6 – 8 siklus agar mendapatkan
efek yang diharapkan dengan efek samping yang masih dapat diterima
 Hasil pemeriksaan imunohistokimia memberikan beberapa pertimbangan penentuan
regimen kemoterapi yang akan diberikan.
 Beberapa kombinasi kemoterapi yang telah menjadi standar lini pertama (first line)
adalah:
 CMF
- Cyclophospamide100 mg/m2, hari 1 s/d 14 (oral)(dapat diganti injeksi 500 mg/m2, hari 1
&8)
- Methotrexate 50 mg / m2 IV, hari 1 & 8
- 5 Fluoro-uracil 500 mg/m2 IV,hari 1 & 8 Interval 3-4 minggu, 6 siklus
 CAF
- Cyclophospamide 500 mg/m2, hari 1
- Doxorubin 50 mg/m2, hari 1
- 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2, hari 1
 CEF
- Cyclophospamide 500 mg/m2, hari 1
- Epirubicin 70 mg/m2, hari 1
- 5 Fluoro Uracil 500 mg/m2, hari 1 Interval 3 minggu / 21 hari, 6 siklus

DIABETES MELLITUS TIPE 2


A. Etiologi
Diabetes tipe 2 (DT2) disebabkan oleh gabungan dari resistensi perifer terhadap kerja
insulin dan respons sekresi insulin kompensatorik yang tidak adekuat oleh sel beta
pankreas (defisiensi insulin relatif). Sekitar 80% hingga 90% pasien diabetes melitus
adalah diabetes tipe 2.
Diabetes tipe 2 merupakan prototipe penyakit multifaktorial kompleks. Faktor
lingkungan, seperti gaya hidup yang banyak duduk dan kebiasaan makan/diet, secara
meyakinkan berperan, seperti yang akan dibahas dalam kaitannya dengan obesitas.
Faktor genetik juga terlibat dalam patogenesis, seperti yang dibuktikan oleh angka
konkordansi penyakit sebesar 35% hingga 60% pada kembar monozigot dibandingkan
dengan hampir separuh pada kembar dizigotik. Konkordansi ini bahkan lebih besar dari
diabetes tipe I, memberi dugaan bahwa mungkin pada diabetes tipe 2 peran komponen
genetik lebih besar.
B. Patofisiologi Diabetes Mellitus Dihubungkan Dengan Faktor Resiko
Diabetes tipe 2 merupakan prototipe penyakit multifaktorial kompleks. Faktor
lingkungan, seperti gaya hidup yang banyak duduk dan kebiasaan makan/diet, secara
meyakinkan berperan, seperti yang akan dibahas dalam kaitannya dengan obesitas.
Faktor genetik juga terlibat dalam patogenesis, seperti yang dibuktikan oleh angka
konkordansi penyakit sebesar 35% hingga 60% pada kembar monozigot dibandingkan
dengan hampir separuh pada kembar dizigotik. Konkordansi ini bahkan lebih besar dari
diabetes tipe I, memberi dugaan bahwa mungkin pada diabetes tipe 2 peran komponen
genetik lebih besar. Bukti tambahan akan adanya dasar genetik muncul dari penelitian
genome-wide berskala besar belakangan ini, yang telah mengidentifikasi lebih dari
selusin lokus kerentanan yang disebut gen "diabetogenik". Akan tetapi, berbeda dengan
diabetes tipe I, penyakit ini tidak terkait dengan gen yang terlibat dalam toleransi dan
pengaturan imun (contoh, HLA, CTLA4), dan tidak terdapat bukti adanya autoimun
yang mendasari. Dua defek metabolik yang menjadi ciri diabetes tipe 2 adalah (1)
penurunan kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap insulin (resistensi
insulin) dan (2) disfungsi sel beta yang bermanifestasi sebagai sekresi insulin inadekuat
pada keadaan resistensi insulin dan hiperglikemia. Resistensi insulin mendahului
berkembangnya hiperglikemia dan biasanya diikuti oleh hiperfungsi kompensatorik sel
beta dan hiperinsulinemia pada tahap awal terjadinya diabetes.
- Resistensi Insulin
Resistensi insulin didefinisikan sebagai gagalnya jaringan sasaran untuk
berespons secara normal terhadap insulin. Hal ini menyebabkan berkurangnya
uptake glukosa di otot, berkurangnya glikolisis dan oksidasi asam lemak di hati, dan
ketidakmampuan untuk menekan glukoneogenesis hepatik. Bermacam-macam defek
fungsional telah dilaporkan pada jalurpengisyaratan insulin pada keadaan resistensi
insulin (contoh, berkurangnya aktivasi reseptor insulin yang tergantung fosforilasi
dan komponen di bawahnya), yang melemahkan transduksi isyarat. Hanya beberapa
faktor yang berperan penting dalam timbulnya resistensi insulin seperti obesitas. 7
- Obesitas dan Resistensi Insulin
Hubungan antara obesitas dengan diabetes tipe 2 telah diketahui sejak beberapa
dekade sebelumnya, di mana obesitas viseral sering ditemukan pada sebagian besar
pasien. Resistensi insulin ditemukan bahkan pada obesitas sederhana yang tidak
diikuti oleh hiperglikemia, menunjukkan adanya suatu abnormalitas yang mendasar
pada pengisyaratan insulin dalam keadaan kelebihan lemak. Istilah sindrom
metabolik telah dipakai untuk sekelompok temuan yang didominasi oleh obesitas
viseral, diikuti oleh resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan faktor risiko
kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi dan profil lemak yang abnormal. Tanpa
adanya penurunan berat badan dan modifikasi gaya hidup, orang dengan sindrom
metabolik memiliki risiko bermakna untuk menjadi diabetes tipe 2 yang nyata,
menekankan pentingnya obesitas pada patogenesis penyakit ini. Risiko diabetes
meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh (suatu pengukuran
kandungan lemak tubuh), mengasumsikan adanya hubungan yang terkait dosis
antara lemak tubuh dan resistensi insulin. Walaupun banyak hal mengenai aksis
adipo insulin belum dipahami, pengetahuan tentang beberapa jalur putatif yang
menyebabkan resistensi insulin terus bertambah.
Peran asam lemak bebas (ALB) / free fatty acids (FFA) yang berlebihan:
Penelitian potong lintang telah menunjukkan adanya korelasi terbalik antara ALB
plasma puasa dan sensitivitas insulin. Kadar trigliserida intrasel sering sangat
meningkat pada jaringan otot dan hati pada orang obese, diduga dikarenakan
kelebihan ALB beredar yang disimpan pada organ ini. Trigliserida intrasel dan
produk metabolisme asam lemak merupakan penghambat kuat pengisyaratan insulin
dan akan berakibat terjadinya keadaan resistensi insulin. Efek lipotoksik dari ALB
diperantarai oleh menurunnya aktivitas protein penting pada pengisyaratan insulin. 7
Peran adipokin: Jaringan lemak tidak hanya merupakan suatu depot penyimpanan
lemak yang pasif; namun dapat juga berperan sebagai organ endokrin fungsional,
dengan melepaskan adipokin sebagai respons terhadap rangsangan ekstrasel atau
perubahan status metabolik. Oleh karena itu adiposit juga melepaskan dan
sitokinproinflamasi lainnya ke dalam sirkulasi sebagai respons terhadap ALB
berlebihan, yang meningkatkan resistensi insulin perifer. Sebaliknya, adiponektin
merupakan suatu adipokin dengan aktivitas mensensitisasi insulin, yang mungkin
bekerja dengan menekan respons inflamasi.

Gambar patofisiologi yang menyebabkan resistensi insulin.


- Disfungsi Sel Beta
Disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2 mencerminkan ketidakmampuan sel ini
untuk beradaptasi terhadap tuntutan resistensi insulin perifer jangka panjang dan
peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, awalnya sekresi insulin
lebih tinggi untuk setiap kadar glukosa dibanding kontrol. Keadaan hiperinsulinemik
ini merupakan kompensasi untuk resistensi perifer dan sering dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma agar normal selama bertahun-tahun. Namun,
akhirnya kompensasi sel beta menjadi tidak cukup dan timbul progresi menjadi
hiperglikemia, yang diikuti oleh hilangnya massa sel beta secara absolut.
Mekanisme molekuler yang mendasari disfungsi sel beta pada diabetes tipe 2
bersifat multifaktorial dan pada banyak kasus, tumpang tindih dengan faktor yang
berimplikasi pada resistensi insulin. Oleh karena itu, nutrien yang berlebihan seperti
ALB dan glukosa dapat meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi oleh sel beta,
yang menimbulkan rekruitmen sel mononukleus (makrofag dan sel T) ke dalam sel
pulau Langerhans, menyebabkan produksi sitokin yang lebih bersifat lokal. Akibat
dari lingkungan mikro inflamasi yang abnormal ini adalah disfungsi sel beta dan
akhirnya kematian sel beta. Penggantian sel yang mati ini oleh amiloid merupakan
suatu ciri yang ditemukan pada pasien yang menderita diabetes tipe 2 dalam waktu
panjang dan ditemukan pada lebih dari 90% pulau Langerhans diabetik yang
diperiksa (lihat selanjutnya). Polipeptida amiloid pulau Langerhans (islet amyloid
polypeptide, IAPP), juga dikenal sebagai amilin, disekresi oleh sel beta bersama
dengan insulin, dan agregasi abnormalnya menimbulkan amiloid. IAPP juga
mengikat inflammasome dan meningkatkan sekresi sehingga mempertahankan
serangan gencar inflamasi yang akan mematikan sel beta yang dapat bertahan pada
stadium lanjut penyakit.
C. Mekanisme terjadinya keluhan terhadap pasien diabetes mellitus
Pada defisiensi insulin akut, ketiadaan efek-efek hormone ini pada metabolism
glukosa menyebabkan hiperglikemia. Akumulasi glukosa ekstrasel menyebabkan
hiperosmolaritas. Di ginjal, maksimum transport glukosa terlampaui sehingga glukosa
diekskresikan di urin. Hal ini menyebabkan diuresis osmotic disertai hilangnya air
(poliuria), Na+ dan K+ melalui ginjal, dehidrasi dan rasa haus. Meskipun K+ keluar
melalui ginjal sering tidak terjadi hipokalemia karena sel-sel mengeluarkan K+ akibat
berkurangnya aktivitas kontrareseptor Na+-K+-2Cl- dan Na+KTPase.
Diabetes melitus tipe 2 juga dapat bermanifestasi sebagai polyuria dan polidipsia,
namun tidak seperti pada diabetes tipe 1, pasien sering berusia lebih dari 40 tahun dan
sering obese. Dengan peningkatan obesitas dan gaya hidup yang banyak duduk pada
masyarakat Barat, diabetes tipe 2 sekarang makin sering ditemukan pada anak-anak dan
dewasa muda. Pada beberapa kasus, pasien datang ke dokter oleh karena rasa lemah dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Namun, diagnosis paling sering
ditegakkan setelah suatu pemeriksaan rutin darah atau urin pada orang yang tidak
bergejala. Pada keadaan dekompensasi, pasien diabetes tipe 2 dapat berkembang menjadi
koma non-ketotik hiperosmolar. Sindrom ini timbul oleh karena dehidrasi berat akibat
diuresis osmotik yang menetap dan kehilangan cairan urin oleh hiperglikemia kronik.
Secara khas, pasien yang terkena adalah penderita diabetes berusia lanjut yang menjadi
lumpuh karena stroke atau infeksi dan tidak mampu mempertahankan asupan air yang
cukup. Tidak adanya ketoasidosis dan gejalanya (nausea, muntah, kesulitan bernapas)
memperlambat pengenalan keseriusan keadaan ini hingga terjadi dehidrasi berat dan
koma.
Gambar gangguan metabolik yang menyebabkan diabetes.8

D. Algoritma Penegakan diagnosis pada pasien diabetes mellitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil. Untuk
diagnosis, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Untuk memastikan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan oleh laboratorium klinik terpercaya
(yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun
demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan juga dipakai bahan
darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan, dapat diperiksa glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Ada perbedaan antara uji diagnosis DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM. Sedangkan
uji penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tanpa disertai gejala namun
memiliki resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada orang
yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan
dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapat keluha seperti:
- Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel kriteria diagnostic DM.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl;
- Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT;
- Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan pradiabetes.9

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus


Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
gejala klasik DM (B) yaitu:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
k. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1
tahun. Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah
kapiler seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan

diagnosis DM (mg/dl).

E. Tatalaksana Farmakologi dan Non Farmakologi


Terapi farmakologi
Profil obat anti hiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia.9

Golongan generik Nama Mg/ta Dosis Lam Fre Waktu


dagang b haria a k/
n kerja hari
(mg) (jam
)

sulphonylrea glibenclami glinadil 5 2,5 - 12- 1-2 Sebelum


de condiabe 5 20 24 makan

glipizine Glucotro 5 - 10 5-20 12-


l-xl 16

Glinide repaglinide dexanor 0,5-1- 1-16 4 2-4


m 2

nateglinide starlix 60-120 180- 4 3


360

Biguanide metformin efomet 500- 500- 6-8 1-3 Bersama/sesud


850 3000 ah makan

Thiazolidinedio ploglitazon gliabetes 30 15-45 24 1 Tidak


ne bergantung
makan

Penghambat acarbose acrios 50-100 100- 3 Bersama


alfa-glukosidase 300 suapan pertama

Penghambat vildaglibtin galvus 50 50- 12- 1-2 Tidak


DPP-IV 100 24 bergantung

Penghambat dafagliflozin forxigra 5-10 24 1 jadwal makan

SGLT – 2

Obat antihiperglikemi oral.


Jenis Insulin Awitan Puncak Efek Lama Kerja Kemasan
(onset)

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Lispro 5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam Pen/cartridge

(Humalog®) Pen, vial

Insulin Aspart Pen

(Novorapid®)

Insulin Glulisin

(Apidra®)

Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler)

Humulin® 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam Vial,

Actrapid® pen/cartridge

Sansulin®

Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)

Humulin® 1,5-4 jam 4-10 jam 8-12 jam Vial,

Insulatard® Pen/cartridge

Insuman Basal®

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)

Insuline 1-3 jam Hampir 12-24 jam Pen


Glargine tanpa puncak

(Lantus®)

Insulin Determir

(Levermir®)

Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin Analog)

Degludec 30-60 menit Hampir Sampai 48


(Tresiba®) tanpa puncak jam
2. Terapi Kombinasi Terapi

Dengan

Tabel daftar obat insulin berdasarkan lama kerjanya.4

Algoritma penatalaksanaan diabetes mellitus.

Terapi Non – Farmakologi


1. Edukasi
Perilaku hidup sehat bagi penyandang diabetes mellitus adalah memenuhi anjuran:
- Mengikuti pola makan sehat
- Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
- Menggunakan obat DM dan obat lainnya pada keadaan khusus secara aman dan
teratur
- Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) dan memanfaatkan hasil
pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan
- Perawatan kaki berkala.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing masing individu.
a. Komposisi makanan yang dianjurkan tdd:
- Karbohidrat:
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan energy
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang DM dapat
makan sama dengan makanan keluarga
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan makanan selingan seperti buah
- Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 – 25% kebutuhan kalori.
o Komposisi yang dianjurkan:
Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda <10%
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah susu full cream dan daging
berlemak.
o Komsumsi kolesterol dianjurkan <200 mg/hari.
- Protein
o Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energy
o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, tahu, tempe.
- Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu: <2300 mg perhari.
o Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoate dan natrium nitrit.
- Serat
o Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan.
b. Kebutuhan kalori
Beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM,
antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kal/KgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, BB dll.9
- Perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
BBI = 90% x (TB dlm cm – 100) x 1 Kg.
o Bagi pria dengan tinggi badan dibawah 160, dan wanita dibawah 150
cm rumus dimodifikasi menjadi :
BBI = (TB dlm cm – 100)x 1 kg
BB Normal : BB ideal +- 10%
Kurus : kurang dari BBI – 10%
Gemuk : lebih dari BBI + 10%.
- Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT)
Rumus :
IMT = BB (Kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT:
BB kurang <18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB lebih > 23.0

Faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:


- Jenis kelamin : Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25
kal/kgBB sedangkan pria sebesar 30 kal/kgBB.
- Umur :
o Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk
setiap decade
o Pasien usia diantara 60 – 69 tahun dikurangi 10%
o Pasien usia diatas 70 th dikurangi 20%
- Aktivitas fisik atau pekerjaan
o Penambahan 20 % pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai
kantor, guru, irt
o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang; pegawai industry
ringan, mahasiswa, militer tidak perang
o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,
militer pada latihan.
o Penambahan sejumlah 50% pada kativitas sanga berat : tukang becak,
tukang gali.
- Berat badan
o Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi 20% - 30%
tergantung tingkat kegemukan.
o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30%
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikiti 1000 – 1200 kal perhari
untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
F. Komplikasi Diabetes Mellitus akut dan kronis
a. Komplikasi akut
1. Ketoasidosis Diabetik
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
3. Hipoglikemia
b. Komplikasi kronis
1. Retinopati Diabetikum
2. Neuropati Diabetikum

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta. 2008.
2. Black, M. Joyce. Keperawatan Medikal Bedah, Ed. 8. Singapore: Elseveir. 2014.
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PERKENI; 2015.

Anda mungkin juga menyukai