Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN LABIO /DAN PALATOSKIZIS

Disusun Oleh :
Reza Sri Mulfia
Julita Kawaliang
Vicky Yunica
Fitri Andalia
Nurul Hafiza
Yovi Antika
Tengku Syahrizal

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES PAYUNG NEGERI PEKANBARU
RIAU
2018
KATA PENGANTAR

Penyusun ucapkan terimakasih kepada Allah Swt yang telah memberikan taufik dan
hidayah-Nya, sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Disini penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada bapak dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingannya dalam
menyelesaikan tugas ini. Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan
referensi dan menjadi gambaran bagi pembaca mengenai ilmu pendidikan khususnya yang
berkaitan dengan Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Labio /Dan Palatoskizis
Oleh karena itu, penulis mengaharapkan kritik dan saran yang mendukung, demi lebih
sempurnanyalaporan ini. Akhir kata, penulis hanya berharap agar hasil laporan ini dapat
berguna bagi semua pihak dan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi pembaca.

Pekanbaru, November 2018

Kelompok 6
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................

Daftar Isi...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang................................................................................................
B. Rumusan masalah...........................................................................................
C. Tujuan ............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Labio/palatoskizis..................................................................................
B. Etiologi labio/palatoskizis...................................................................................
C. Manifestasi klinik labio/palatoskizi....................................................................
D. Patofisiologi labio/palatoskizis............................................................................
E. Penatalaksanaan labio/palatoskizis......................................................................
F. Pathway labio/palatoskizis...................................................................................
G. Asuhan keperawatan pada pasien dengan labio/palatoskizis...............................

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ...............................................................................................................
B. Saran .....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur  bayi yang timbul
sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting
terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat,
hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang
dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan
sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa
kehamilannya.

Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam
minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik
untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya
diagnosisi pre - ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu
misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin. Penyebab
langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embrional dan fetaI
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor
secara bersamaan.

Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri
dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial,
hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali
penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Labiopalatoskiziz?
2. Bagaimana etiologi labiopalatoskizis?
3. manifestasi klinik labiopalatoskizi
4. Bagaimana patofisiologi labiopalatoskizis?
5. Bagaimana penatalaksanaan labiopalatoskizis?
6. Bagaimana Pathway tumor labiopalatoskizis
7. Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
abiopalatoskizis?

C. Tujuan

Tujuan Umum :

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pembuatan
makalah mata kuliah Sistem Neurobehaviour serta mempresentasikannya.

Tujuan Khusus :

Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk memahami definisi dari labiopalatoskizis


2. Mengetahui etiologi labiopalatoskizis
3. Dapat mengetahui manifestasi klinik labiopalatoskizis
4. Memahami patofisiologi labiopalatoskizis
5. Mengetahui penatalaksanaan labiopalatoskizis
6. Mengetahui dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
labiopalatoskizis
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Labioskizis Dan Atau Palatoskizis

Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (Celah langit-langit mulut/ palatum)


merupakan malformasi fasial yangterjadi dalam perkembangan embrio. Keadaan ini sering di
jumpai pada semua populasi dan dapat menjadi disabilitas yang berat pada orang yang
terkena. Keduanya dapat terjadi secara terpisah atau yang lebih sering lagi, secara bersamaan
labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis maksilaris dan
mediana, palatoskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum akibat kegagalan
penyatuan kedua sisinya.

Labioskizis dapat bervariasi dari lubang yang kecil hingga celah lengkap pada bibir
atas yang membentang ke dalam dasar hidung . Celah tersebut bisa unilateral atau bilateral.
Deformitas struktur dental menyertai labioskizis. Palatoskizis saja terjadi pada garis tengah
dan dapat mengenai palatum mole maupun durum (langit-langit lunak maupun keras) . Bila di
sertai dengan labioskizis, cacat ini dapat mengenai garis tengah dan meluas hingga palatum
mole pada salah satu atau kedua sisinya.

Insidensi labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih kurang 1 dalam 800
kelahiran hidup. Insidensi palatoskizis saja adalah 1 dalam 2000 kelahiran hidup. Labioskizis
dengan atau tanpa palatoskizis saja lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan palatoskizis saja
lebih sering pada wanita. Defek ini tampaknya lebih sering terdapat pada orang asia dan
suku-suku tertentu penduduk asli Amerika dibandingkan pada orang kulit putih ; pada orang
kulit hitam, defek tersebut lebih jarang ditemukan

B. Etiologi

Mayoritas kasus tampaknya konsisten dengan konsep pewarisan multifaktor sebagaimana


terbukti melalui peningkatan insidensi pada kerabat dan kesesuaian yang lebih tinggi pada
kembar monozigot di bandingkan pada kembar dizigot. Banyak sindrom yang dikenali
meliputi defek ini sebagai gambaran klinis dan merupakan akibat dari abnormalitas
kromosom serta faktor lingkungan atau teratogen yang mungkin bertanggung jawab atas
terjadinya skizis (sumbing) pada suatu titik menentukan dalam perkembangan embrio. Perlu
di catat bahwa perbuatan merokok yang dilakukan ibu hamil dalam trimester pertama
diyakini merupakan penyebab 11% hingga 12% dari semua kasus labioskizis dan / atau
palatoskizis (Wyszinski,Duffy dan Beatty, 1997).

C. Patofisiologi

Labio/ palatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris dan


premaksilaris selama awal usia emberio. Labioskizis dan palatoskizis merupakan malformasi
yang berbeda secara emberional dan terjadi pada waktu yang berbeda selama proses
perkembangan emberio. Penyatuan bibir atas pada garis tengah selesai dilakukan pada
kehamilan antara minggu ketujuh dan kedelapan. Fusi palatum sekunder (palatum durum dan
mole) terjadi kemudian dalam proses perkembangan, yaitu pada kehamilan antara minggu
ketujuh dan kedua belas. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal, palatum tersebut
dipisahkan oleh lidah untuk waktu yang singkat. Jika terjadi kelambatan dalam migrasi atau
pemindahan ini, atau bila lidah tidak berhasil turun dalam waktuyang cukup singkat, bagian
lain proses perkembangan tersebut akan terus berlanjut namun palatum tidak pernah menyatu.

D. Evaluasi Diagnostik

Labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis dapat terlihat dengan mudah pada saat lahir
dan merupakan defek pada bayi yang menimbulkan reaksi emosional yang berat bagi orang
tuanya. Labioskizis bisa unilateral atau bilateral, dan terdapat variasi pada luas celah serta
derajat deformitas nasal. Palatoskizis dapat terjadi sebagai defek yang terpisah atau yang
menyertai labioskizis, Palatoskizis yang lebih jarang dijumpai dari pada labioskizis mungkin
tidak dapat terdeteksi jika tidak dilakukan pemeriksaan yang cermat untuk menilai rongga
mulut bayi. Deformitas dapat dikenali dengan meletakkan langsung jari tangan pemeriksaan
pada yang kontinu antara mulut dan kavum nasi. Intensitas palatoskizis akan memberikan
dampak pada proses menyusu; bayi tidak mampu menghasilkan tekanan negatif dalam
mengisap air susu. Keadaan ini akan memengaruhi pemberian susunya kendati pada
kebanyakan kasus, kemampuan bayi untuk menelan masih normal.

E. Penatalaksanaan Terapeutik

Celah bibir diperbaiki pada usia 8 sampai 12 minggu jika bayi telah menunjukkan
pertambahan berat badan yang baik. Ajuran biasanya diberikan apabila berat badan bayi 4.5
kg pada saat di lakukan perbaikan. Perbaikan celah bibir biasanya di lakukan oleh seorang
ahli.
Penanganan anak yang menderita palatoskizis berupa pembedahan dan biasanya tindakan
ini tidak meliputi intervensi jangka panjang kecuali mungkin operasi perbaikan jaringan
parutnya. Walaupun demikian, penatalaksanaan palatoskizis meliputi upaya-upaya prabedah
dari tim pelayanan kesehatan multidisiplin, termasuk dokter spesialis anak, bedah plastik,
ortodontik, THT (otorinolaringologi), patologi wicara/bahasa, audiologi, keperawatan dan
pekerjaan sosial untuk memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan medis ditujukan
kepada penutupan celah, pencegahan komplikasi dan percepatan tumbuh-kembang anak yang
normal

1. Koreksi dengan pembedahan: labioskizis

Penutupan defek pada bibir mendahului proses penutupan defek pada palatum yang
biasanya terjadi pada usia emberio 6 hingga 12 minggu. Koreksi dengan pembedahan
dilakukan ketika bayi tidak menderita infeksi oral, respiratori atau pun sistemik. Metode
perbaikan labioskizis meliputi satu dari beberapa jahitan putus-putus (Z-plasty) untuk
meminimalkan pembentukan tonjolan pada bibir akibat retraksi jaringan parut. Segera setelah
pembedahan, garis jahitan dilindungi terhadap tarikan/regangan dan trauma oleh alat logam
yang tipis serta berbentuk melengkung (Logam bow) yang direkatkan pada pipi dengan
plester atau oleh plester penahan berbentuk kupu-kupu; kedua lengan bayi difiksasi pada
sendi sikunya agar bayi tidak menggaruk luka insisi dengan kedua belah tangannya. Dalam
kondisi tanpa infeksi atau trauma, kesembuhan berlangsung dengan sedikit pembentukan
jaringan parut.

2. Koreksi dengan pembedahan: palatoskizis

Umumnya koreksi palatoskizis ditunda sampai bayiberusia 12 hingga 18 bulan untuk


mendapatkan manfaat dari perubahan palatum yang berlangsung pada pertumbuhan normal.
Kebanyakan dokter bedah menyukai penutupan celah pada usia ini sebelum anak mengalami
penyimpangan pada kebiasaannya berbicara.

3. Prognosis

Kendati sudah dilakukan penutupan anatomik yang baik, mayoritas anak yang
menderita labio/palatoskizis akan memiliki gangguan bicara dalam derajat tertentu yang
memerlukan terapi wicara. Masalah fisik timbul karena inefisiensi fungsi otot pada palatum
mole serta nasofaring, kesejajaran gigi yang tidak baik dan gangguan pendengaran dengan
derajat yang bervariasi. Drainase telinga tengah yang tidak sempurna akibat inefisiensi fungsi
tuba eustachii turut memberikan kontribusi untuk terjadinya otitis media yang rekuren dengan
pembentukan jaringan parut pada membran timpani yang pada banyak anak dengan
palatoskizis menyebabkan gangguan pendengaran. Infeksi respiratori atas memerlukan
perhatian segera serta penuh, dan perawatan ortodontik serta prostodontik yang ekstensif
mungkin diperlukan untuk mengoreksi problem malposisi gigi serta arkus maksilaris.

Beberapa masalah jangka panjang yang lebih rumit berhubungan dengan penyesuaian
anak terhadap lingkungan sosialnya. Semakin baik perawatan fisiknya, semakin besar
kemungkinan terbentuknya penyesuaian emosional dan sosial kendati keberadaan defek serta
derajat disabilitas yang tersisa tidak selalu berhubungan langsung dengan penyesuaian yang
memuaskan. Defek fisik merupakan ancaman bagi citra diri, dan kualitas bicara yang
abnormal menjadi kendala yang menghalangi ekspresi soasial penyandangnya.

F. Manifestasi Klinis
1. Celah bbibir unilateral atau bilateral yang terlihat (dapat merupakan celah lengkap
melalui lubang hidung atau celah tidak lengkap pada bagian bibir)
2. Celah palatum dapat teraba dan/atau terlihat
3. Celah alveolus (sepanjang gusi, yang dapat mengganggu tulang dan jaringan lunak)
4. Distorsi nasal
5. Kesulitan untuk menyusu/makan
G. Komplikasi
1. Kesulitan berbicara bisa berupa hipernasalitas,artikulasi kompensatori
2. Maloklusi dapat terjadi, dengan pola erupsi gigi dan perkembangan pertemuan
mandibula dan maksila yang abnormal
3. Kerusakan gigi yang berat umum ditemukan
4. Otitis media kronis, sekunder akibat disfungsi tuba eustachius yang dapat
mengakibatkan penurunan pendengaran
5. Gangguan harga diri dan citra tubuh dapat terjadi
H. Uji Laboratorium Dan Diagnostik
1. Evaluasi tim multi disiplin untuk melakukan konseling pada orang tua tentang kondisi
dan mempersiapkan mereka untuk merencanakan pembedahan
2. Uji laboratorium dan diagnostik lain jika terdapat kelainan lain
3. Evaluasi audiologi untuk menentukan terjadi penurunan pendengaran dan perlunya
penggunaan slang penyeimbangan tekanan
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Karena cacat bibir terlihat dengan jelas pada saat lahir, pengkajiannya terdiri atas
uraian mengenai lokasi serta luas cacat atau defek tersebut, dan keberadaan
palatoskizis diperkirakan dengan melihatnya langsung pada saat bayi menangis.
Palatoskizis tanpa labioskizis dapat ditemukan dengan cara palpasi memakai jari
tangan pada saat dilakukannya pemeriksaan bayi baru lahir.
b) Dampak emosional kelahiran anak cacat kosmetik maupun fungsional sungguh
bersifat traumatik bagi keluarganya. Sebagian konsekuensinya, pengkajian
keperawatan dilakukan berkaitan dengan reaksi emosional keluarga terhadap anak
dan defeknya.
c) Kaji aktivitas menyusu untuk menentukan apakah bayi menerima asupan kalori
yang adekuat untuk pertumbuhan dan lakukan kerjasama dengan keluarga untuk
menyusun metode makan yang terbaik.
d) Kaji interaksi orang tua dengan bayi
e) Kaji satus pernafasan
f) Kaji tanda-tanda infeksi
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a) Dx : Perubahan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d cacat fisik
Tujuan : Pasien mengonsumsi makanan dengan gizi yang adekuat
KH : Bayi memperlihatkan peningkatan BB yang tepat, bayi mengonsumsi nutrien
dengan jumlah yang memadai
Intervensi :
i. Berikan diet yang sesuai dengan usia
ii. Bantu ibu dalam menyusui bayinya
iii. Pantau BB bayi untuk menilai kecukupan asupan gizinya
iv. Stimulasi refleks let-down secara manual atau dengan pompa payudara
sebelum menyusui bayi
v. Modifikasi teknik pemberian susu agar sesuai dengan keadaan defek
vi. Gunakan alat khusus untuk pemberian susu yang mengimbangi kesulitan
bayi dalam menyusui
vii. Coba berikan susu kepada bayi dengan menggunakan dot
viii. Atur posisi dot atau puting diantara lidah bayi dan palatum yang ada untuk
mempermudah penekanan dot/puting
ix. Bila menggunakan alat tanpa dot (mis : breck feeder, semprit asepto)
upayakan agar susu formula terkumpul dibelakang lidah untuk
mempermudah bayi menelan
x. Serdawakan bayi dengan sering karena adanya kecendrungan untuk
menelan udara dengan jumlah yang berlebihan
xi. Dorong orang tua memulai pemberian susu segera mungkin kepada bayi
b) Dx : Resiko trauma pada tempat pembedahan b.d prosedur bedah, gangguan
fungsi menelan
Tujuan : pasien tidak mengalami trauma pada tempat pembedahan, pasien
memperlihatkan bukti tidak adanya aspirasi
KH : luka operasi tidak terganggu/rusak, anak dapat menangani sekret yang
dikeluarkan dan susu formula tanpa aspirasi
Intervensi :
i. Atur posisi bayi agar berbaring terlentang atau miring atau duduk pada
kursi bayi (labiokizis) untuk mencegah trauma pada tempat pembedahan
ii. Pertahankan alat pelindung bibir (labioskizis) untuk melindungi jahitan
luka
iii. Gunakan teknik pemberian susu yang nontraumatik untuk meminimalkan
resiko trauma
iv. Lakukan imobilisasi siku bayi untuk mencegah bayi menyentuh luka
operasi
v. Hindari penempatan alat-alat di dalam mulut sesudah operasi palatoskizis
(kateter hisap, tong spatel, sedotan, dot) untuk mencegah trauma pada
tempat operasi
vi. Cegah bayi agar tidak menangis dengan keras dan terus menerus
vii. Bersihkan jahitan operasi dengan hati-hati sesudah pemberian susu dan
jika diperlukan dengan cara yang diperintahkan oleh dokter bedah
(labioskizis)
viii. Ajarkan prosedur membersihkan dan menahan gerakan bayi yang
mengenai luka operasi, khususnya ketika bayi akan dipulangkan sebelum
jahitan luka dilepas
ix. Atur posisi untuk memungkinkan drainase mukus (semifoler, baring
setengah miring)
c) Dx : Perubahan nutrisi ; kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan makan sesudah
prosedur pembedahan
Tujuan : pasien mengkonsumsi makanan dengan gizi yang adekuat
KH : bayi dapat mengonsumsi nutrien dengan jumlah yang adekuat, keluarga
memeragakan kemampuan untuk melaksanakan perawatan pascabedah, bayi
memperlihatkan kenaikan BB yang tepat
Intervensi :
i. Pantau pemberian cairan IV
ii. Berikan diet yang sesuai dengan usia dan sebagaimana diprogramkan
untuk periode pasca bedah
iii. Libatkan keluarga dalam menentukan metode pemberian susu yang terbaik
iv. Modifikasi teknik pemberian susu
v. Ajarkan teknik pemberian susu dan pengipasan kepada keluarga
d) Dx : Nyeri b.d prosedur pembedahan
Tujuan : pasien mengalami tingkat kenyamanan yang optimal
KH : bayi tampak merasa nyaman dan beristirahat dengan tenang
Intervensi :
i. Kaji prilaku dan tanda vital untuk menemukan bukti adanya rasa nyeri
ii. Lepas alat penahan secara periodik sambil melakukan terus pengawasan
iii. Peluk bayi dan laksanakan tindakan yang memberikan stimulasi taktil serta
intervensi nonfarmakologis lainnya
iv. Libatkan orang tua dalam perawatan bayinya untuk mberikan rasa nyaman
dan aman
v. Berikan terapi analgesia/pemberian sedatif sesuai program
e) Dx : Resiko perubahan prilaku orang tua b.d cacat fisik yang sangat nyata pada
bayinya
Tujuan : pasien (keluarga) memperlihatkan penerimaan terhadap bayinya
KH : keluarga membicarakan perasaan dan kekhawatirannya mengenai cacat yang
disandang anaknya, koreksi dan prospek dimasa mendatang. Keluarga
memperlihatkan sikap menerima bayinya
Intervensi :
i. Berikan kesempatan kepada keluarga dalam mengungkapkan perasaan
mereka
ii. Perlihatkan perilaku menerima bayi dan keluarganya
iii. Tunjukkan lewat prilaku bahwa anak merupakan insan yng berharga
iv. Jelaskan hasil operasi untuk mengoreksi cacat
v. Atur pertemuan dengan orang lain yang pernah mengalami situasi serupa
dan dapat mengatasinya dengan berhasil
3. Evaluasi
Keefektifan intervensi keperawatan ditentukan oleh pengkajian ulang yang kontinu
dan evaluasi perawatan yang berdasarkan pada pedoman yang ada
Perawatan prabedah :
a) Mengamati dan mewawancarai anggota keluarga mengenai pemahaman, perasaan
serat kekhawatiran mereka terhadap defek dan pembedahan yang diantisipasi serta
interaksinya dengan bayi
b) Mengamati bayi selama pemberian susunya
c) Menyelesaikan pembuatan daftar isian prabedah

Perawatan pascabedah :

a) Melakukan inspeksi luka operasi, termasuk alat pelindungnya


b) Mengamati indikator perilaku dan fisiologik rasa nyeri
c) Mengamati bayi selama pemberian susu, asupan dan timbang BB setiap hari
d) Mengamati luka operasi untuk menemukan bukti adanya infeksi, perdarahan atau
iritasi
e) Mengamati dan mewawancarai keluarga mengenai pemahaman dan kekhawatiran
mereka terhadap bayinyaa
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Labioskizis / Palatoskisis adalah merupakan konginetal anomali yang berupa adanya


kelainan bentuk pada struktur wajah. Patofisiologi Kegagalan penyatuan atau perkembangan
jaringan lunak dan atau tulang selama fase embrio pada trimester pertama. Kegagalan bibir
sumbing adalah terbelahnya / bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan
maksilaris untuk menyatu selama masa kehamilan 6 – 8 minggu. Pada Palato Skisis
kegagalan penyatuan palatum pada masa kehamilan 7 – 12 minggu. Penggabungan keduanya
7 dan 8 minggu masa kehamilan. Manifestasi Klinis Pada labio skisis : Distorsi pada hidung,
Tampak sebagian atau keduanya, Adanya celah pada bibir. Pada palato skisis :Tampak ada
celah pada tekak (uvula), Adanya rongga pada hidung, Distorsi hidung, Teraba ada celah /
terbakarnya langit-langit saat diperiksa dengan jari, Kesukaran dalam menghisap atau makan

Penatalaksanaan : Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan. Prioritas pertama


adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat, Mencegah komplikasi, Fasilitas
pertumbuhan dan perkembangan, Pembedahan

B. Saran

Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa, dosen pembimbing, tenaga kesehatan,


masyarakat, maupun instansi kesehatan untuk melakukan pencapaian kualitas keperawatan
secara optimal sebaiknya proses keperawatan selalu dilaksanakan secara berkesinambungan
karena perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan karena bagaimanapun
teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan
tidak tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Wong, Donna L, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta : EGC.

Yuliani, Rita, Suriadi, (2001), Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi I, Jakarta : CV. Sagung
Seto.

Wyszinski,Duffy dan Beatty. (1997), Perawatan Anak Sakit, Jakarta : EGC.

Adele Pilliteri, Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak, EGC, Jakarta.

Cecily L. Betz. Linda, Linda A. Sowden, Buku Saku Keperawatan Pediatri, EGC,
Kedokteran : Jakarta, 2002.

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15, 2000, EGC : Jakarta.s

Wyszinski,Duffy dan Beatty, 1997).

Anda mungkin juga menyukai