Kejadian kasus stunting di dunia pada anak dibawah 5 tahun mencapai
21,3% pada tahun 2019 (WHO, 2020). Cakupan Presentase balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2019 adalah 12,8% dan 17,1%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 dengan persentase balita usia 0-59 bulan sangat pendek sebesar 11,5% dan balita pendek sebesar 19,3% (Kemenkes, 2020). Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2019 memiliki cakupan presentase balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan sebesar 17,4% dan 18,5%. Kondisi ini mengalami peningkatan dari tahun 2018 dengan presentase balita sangat pendek 16,00 % dan balita pendek 26,70% (Dinkes NTT, 2019). Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 menyatakan bahwa sebanyak 3 dari 10 anak Indonesia bertubuh pendek. Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan anak stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana tentu akan sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif (KOMINFO, 2019). Sunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study), sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) (TNP2K, 2017). Stunting dalam jangka pendek menggangu perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, gangguan metabolisme dalam tubuh, dan dalam jangka panjang stunting dapat mengakibatkan penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua (KEMENDES PDTT, 2017). Faktor determinan terjadinya anak stunting diantaranya adalah asupan energi dan protein. Kecukupan energi pada anak dapat berasal dari ASI. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang penting untuk anak. Anak usia 0-6 bulan memerlukan ASI eksklusif dikarenakan ASI merupakan makanan terbaik untuk anak. Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif tahun 2019 yaitu sebesar 67,74%, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang sebesar 68,74 % (Kemenkes, 2020). Cakupan pemberian ASI eksklusif di provinsi NTT tahun 2019 sebesar 75,52 %, mengalami peningkatan dibanding tahun 2018 yang sebesar 52,67 % (Dinkes NTT, 2019). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri & Ayudia (2020) tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59 bulan, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting, dimana kejadian stunting 38,89 kali beresiko pada anak yang tidak ASI eksklusif dari pada anak ASI eksklusif. Penelitian lain yang dilakukan Sampe et al., (2020) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting dimana balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berpeluang 61 kali lipat mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI eksklusif. Selain ASI eksklusif, lama pemberian ASI dan riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Di Indonesia, prevalensi balita dengan berat lahir rendah rendah (≤ 2500 gr) cukup tinggi sebesar 6,2% dan untuk provinsi NTT sendiri sebesar 8,2 % (Riskesdas, 2018). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Angriani et al., (2019) mengenai hubungan lama pemberian ASI dan berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Puskesmas Siulak Mukai Kabupaten Kerinci menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki status gizi normal (TB/U) 63,5 %, lama pemberian ASI ≥2 tahun 67,6 % dan berat lahir ≥2500 gram (66,2 %), dan hasil analisa chi-square menunjukkan ada hubungan signifikan antara lama pemberian ASI dengan kejadian stunting dan berat lahir dengan kejadian stunting. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahayu et al., (2015) tentang riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun di wilayah Puskesmas Sungai Karias, Hulu Sungai Utara menunjunkkan bahwa Anak dengan BBLR memiliki risiko 5,87 kali untuk mengalami stunting. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka stunting yaitu dengan kegiatan intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan hingga sampai dengan usia 6 tahun. Kebijakan ini didukung melalui Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Sehat, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi (KEMENDES PDTT, 2017). Puskesmas Baumata sebagai salah satu puskesmas di Kabupaten Kupang Provinsi NTT memiliki angka stunting yang masih fluktuatif. Hal ini dapat dilihat dari kasus stunting dimana pada tahun 2019 terdapat 395 kasus dengan 220 kasus balita pendek dan 175 kasus balita sangat pendek (Laporan PSG, 2019) Kemudian tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 76 kasus balita sangat pendek dan 195 balita pendek (Laporan PSG, 2020) dan pada bulan februari 2021 mengalami peningkatan kembali 180 balita sangat pendek (Laporan PSG, 2021). Berdasarkan uraian dan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Hubungan Berat Badan Lahir, ASI Eksklusif Dan Lama Pemberian ASI Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Puskesmas Baumata”.
B. Road Map Penelitian
Berdasarkan kajian referensi dari penelitian yang terdahulu meliputi:
1. Putri & Ayudia (2020) mengenai Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting usia 6-59 bulan di Kota Padang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting dimana kejadian stunting 3,89 kali beresiko pada anak yang tidak ASI eksklusif dari pada anak ASI eksklusif. 2. Sampe et al., (2020) mengenai Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Balita menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan anatara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting dimana balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berpeluang 61 kali lipat mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI eksklusif. 3. Angriani et al., (2019) mengenai hubungan lama pemberian ASI dan berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Puskesmas Siulak Mukai Kabupaten Kerinci menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki status gizi normal (TB/U) 63,5 %, lama pemberian ASI ≥2 tahun 67,6 % dan berat lahir ≥2500 gram (66,2 %), dan hasil analisa chi-square menunjukkan ada hubungan signifikan antara lama pemberian ASI dengan kejadian stunting dan berat lahir dengan kejadian stunting. 4. Rahayu et al., (2015) tentang riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun di wilayah Puskesmas Sungai Karias, Hulu Sungai Utara menunjunkkan bahwa Anak dengan BBLR memiliki risiko 5,87 kali untuk mengalami stunting.
Dalam keempat penelitian terdahulu memiliki perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti sekarang dimana pada penelitian ini mengukur tiga variabel yaitu Berat Badan Lahir, ASI Eksklusif Dan Lama Pemberian Asi Terhadap Kejadian Stunting, selain itu tujuan penelitian, tempat dan waktu penelitian juga berbeda. Tahapan perencanaan dalam penelitian ini meliputi tahapan persiapan (persiapan proposal, seminar proposal, mengurus surat izin penelitian, melakukan kaji etik), tahapan pelaksanaan (pengumpulan data, pengelohan data, uji plagiat), tahap pelaporan (daftar laporan, seminar hasil, laporan akhir) dan diakhir luaran dari penelitian ini yaitu publikasi ilmiah jurnal nasional terakreditasi.
C. Urgensi Penelitian
Penelitian ini penting dilakukan karena kejadian stunting di Indonesia
masih tinggi terkhususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga dengan adanya penelitian ini bisa mengetahui apakah ada hubungan dari berat badan lahir, ASI Eksklusif dan lama pemberian ASI terhadap kejadian stunting. Ketiga hal ini berhubungan dengan asupan kecukupan gizi anak. Jika ditemukan ada hubungan dapat dijadikan masukan dalam intervensi yang bisa diberikan kepada masyarakat terutama ibu dari masa sebelum hamil dapat lebih memperhatikan gizinya sehingga pada saat hamil memiliki gizi yang baik dan bisa berdampak pada berat badan bayi yang dilahirkan dalam kategori normal. Selain itu juga setelah bayi lahir ibu dapat memberikan ASI Eksklusif sehingga program pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dan ASI diteruskan sampai 2 tahun dapat semakin gencar dilakukan dengan tetap memperhatikan juga makanan pendamping ASI.