Anda di halaman 1dari 16

ISLAM HUMANIS, HAM, DAN

HUMANISASI PENDIDIKAN
Eksposisi Integratif Prinsip Dasar Islam,
Kebebasan Beragama, Kesetaraan Gender,
dan Pendidikan Humanis
Mahmud Arif
Dosen FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
marifnurch@yahoo.co.id

Abstrak
Isu hak asasi manusia (HAM) telah mencuat sedemikian universal meski tidak bisa dinafikan
bahwa dalam sejarahnya isu ini bermula dari tradisi liberalisme Barat yang titik pijaknya individual.
Kebebasan dan kesetaraan sebagai elemen penting HAM ternyata belum diapresiasi secara semestinya
dalam sejarah panjang pelbagai peradaban sehingga masih ditemukan adanya sistem perbudakan.
Bahkan dalam kurun modern ini pun di sebagian wilayah, hak untuk memilih yang menjadi bagian
dari hak asasi belum juga dinikmati oleh kaum perempuan. Muncul tuduhan dari sebagian kalangan
di Barat bahwa Islam adalah agama anti HAM dan bias gender. Argumen yang dikemukakan, Islam
membenarkan tindak kekerasan atasnama agama, memasung kekebasan beragama, dan mentolerir
ketidakadilan terhadap perempuan. Diletakkan dalam konteks prinsip dasar takhfif wa raḥmah,
tuduhan tersebut nampak problematik, mengingat secara normatif ajaran Islam sangatlah menjunjung
tinggi penegakan HAM dan kesetaraan gender. Hanya saja, dalam realitas empirisnya tafsir keagamaan
tidak jarang justru ikut andil dalam pembentukan arus besar budaya yang memberangus kebebasan
beragama dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Sebagai salah satu produk tafsir keagamaan,
fikih misalnya diakui masih menyimpan banyak persoalan menyangkut kekebasan beragama dan
kesetaraan gender. Demikian halnya dengan dunia pendidikan nasional. Selama ini, dalam sistem
persekolahan di Indonesia masih banyak ditemukan faktor penyebab kegagalan bagi setiap upaya
mencapai tujuan pendidikan HAM. Ini berarti prinsip dasar tersebut perlu diejawantahkan dalam
sistem pendidikan melalui upaya memaksimalkan peran humanisasi dan hominisasi pendidikan.

Abstract
The issue of human rights has prevailed globally although it is can’t denied that historically that issue comes from
tradition of the West Liberalism based on individualism standpoint. In fact, freedom and equality as essential
part of human rights have not been appreciated yet suitably in the realm of long history of humankind so it was
still found the slavery system. Even in the modern time, at several regions, the right of vote consisting of human
right has not possessed by the women. There was a accusation from some scholars in the West that Islam is a
religion opposing to human rights and gender equality. They argue that Islam has justified any religious violence,
has cut religious freedom down, and has tolerated gender unequality. If it is viewed from the basic principle of
takhfif wa rahmah (giving easiness and love), such accusation looks obviously problematic, because Islamic tenets
normatively appreciate to establish human rights and gender equality. But empirically, religious interpretation
often contributes in mainstreaming culture that castrates any religious freedom and gender equality. As one of
religious interpretation product, fiqih (Islamic jurisprudence) for instance is claimed to contain many problems
relating to religious freedom and gender equality. Such is the case, the reality of our national education. For a
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

long time, in the Indonesian school system there are many factors causing failure of every endeavor for achieving
the aim of human right education. This means that such basic priciple must be reactualized in the education
system through hard efforts in humanizing education processes and pupil’s potencies.
Kata-Kata Kunci: HAM, Kebebasan Beragama, Kesetaraan Gender, Prinsip Takhfîf wa Raḥmah,
Humanisasi dan Hominisasi Pendidikan.

Pendahuluan tertutup. HAM diakui mempunyai korespodensi


Dalam khazanah dunia Islam, memang telah dengan perkembangan masyarakat; perbedaan
lama muncul pembahasan mengenai konsep “hak konsepsi mengenai HAM bisa dinilai wajar
dan kewajiban”, akan tetapi kajian persoalan HAM karena keragaman konteks kesejarahan. Di
kontemporer tidak sepenuhnya bisa diasaskan Barat, kemunculan HAM bermula dari semangat
pada konsep tersebut.1 Alasannya, konsep “hak kebangkitan dan pembebasan individu melawan
dan kewajiban” mempunyai akar filosofis yang segala bentuk otoritarianisme, kemudian HAM
berbeda dengan konsep HAM. Pada konsep hak mengalami perubahan dan perkembangan hingga
dan kewajiban, masih dimungkinkan seseorang memasuki era generasi HAM.3 Kini isu HAM
hanya dikenai kewajiban tanpa mendapatkan telah menjadi sedemikian universal meski tidak
hak dengan baik. Sekedar contoh, seseorang yang bisa dipungkiri bahwa dalam sejarahnya isu ini
berstatus hamba sahaya (budak) mengemban berangkat dari tradisi liberalisme Barat yang titik
kewajiban untuk mematuhi majikannya, akan pijaknya individual.4
tetapi secara bersamaan ia tidak memperoleh Kebebasan sebagai salah satu hal mendasar
hak menikmati kebebasan dan memiliki harta HAM, ternyata belum diapresiasi secara semestinya
benda. Dalam konsep hak dan kewajiban, hak-hak dalam sejarah panjang pelbagai peradaban sehingga
manusia (huqûq al-âdami) ditempatkan berada di masih ditemukan adanya sistem perbudakan.
bawah hak-hak Tuhan (huqûqullâh). Sementara itu, Bahkan dalam kurun modern sekarang pun di
HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap sebagian wilayah, masih ditemukan hak untuk
individu sejak dilahirkan di muka bumi sehingga memilih yang menjadi bagian dari hak asasi belum
hak tersebut bersifat kodrati, bukan pemberian juga dinikmati oleh kaum perempuan.5 Padahal
manusia atau negara.2 pasal 1 Deklarasi HAM secara tegas menyatakan,
HAM semula dikembangkan dari pemahaman “Semua umat manusia dilahirkan merdeka dan
mengenai Natural Rights yang menjadi kebutuhan sederajat dalam martabat dan hak-hak asasi.
universal manusia. Kendati demikian, hal ini Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani
tidak berarti rumusan HAM bersifat final dan serta semestinya bergaul satu sama lain dalam

3
1
M. Abid al-Jabiri, Fi Naqd al-Hâjah ila al-Ishlâh (Beirut: Satjipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia dalam
Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 2005), 140-143. Masyarakatnya”, dalam Muladi (editor), Hak Asasi Manusia,
2
Suwandi, “Instrumen dan Penegakan HAM di 219.
4
Indonesia”, dalam Muladi (editor), Hak Asasi Manusia: Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer (Yogyakarta:
Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan CAPS, 2011), 208.
5
Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2009), 39. al-Jabiri, Fi Naqd al-Hâjah, 133.

234
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

semangat persaudaraan”. Deklarasi ini merupakan “atasnama Tuhan” untuk memaksa umat Islam
manifesto bersama dan menjadi panduan bagi tadi segera kembali ke jalan yang benar, dan jika
negara-negara di dunia, aktor-aktor dan institusi tidak mau, maka mereka akan memilih tindak
global dalam melindungi dan memperjuangkan kekerasan. Tak jarang, dakwah atau upaya amar
HAM.6 Seakan ingin mengkritik terhadap adanya makruf dan nahi munkar dilumuri oleh darah
pengebirian terhadap hak asasi perempuan, dan dibasahi derai air mata pihak-pihak yang
Dallal Kadhim Ubaid memasukkan hak untuk menjadi korban tindak kekerasan. Atas dasar itu,
memilih ke dalam bagian integral dari kebebasan mungkin saja telinga kita memerah mendengar
perempuan yang diakui Islam, dengan argumen tuduhan tersebut namun bagaimanapun kita
bahwa Nabi Saw sendiri telah memberikan hak tidak bisa begitu saja menyalahkannya. Tambah
politik kepada kaum perempuan dalam ikut lagi dengan maraknya aksi teror dan tindakan
mendeklarasikan dukungan (bai’at) dan tiada anarkhis “bernuansa agama” yang berlangsung di
larangan dalam Islam bagi kaum perempuan untuk pelbagai daerah belakangan ini, semisal: Ambon,
dipilih sebagai anggota legislatif.7 Poso, Cikeusik, Madura, Lampung, Lombok
Selama ini, muncul tuduhan dari sebagian NTB, dan Tanjung Balai, tuduhan tersebut seakan
kalangan di Barat bahwa Islam adalah agama memperoleh penguat. Sekelompok umat Islam
anti HAM dan sarang teroris. Argumen melakukan penyerangan dan pembakaran harta
tuduhan tersebut, Islam (baca: penganut Islam) benda, rumah, dan tempat ibadah kelompok umat
membenarkan tindak kekerasan atasnama agama, Islam yang lain. Salah satu pemicunya, kelompok
baik terhadap penganut agama lain maupun umat Islam yang diserang dianggap telah mengikuti
terhadap penganut Islam sendiri yang telah paham keagamaan yang menyimpang, sehingga
dianggap berpaham sesat dan menyimpang. perlu diluruskan secara paksa, diadili dan dihakimi.
Menganut sebuah agama pada dasarnya adalah hak Tentu saja kenyataan ini memantik kesadaran
asasi setiap orang, sehingga tidak dibenarkan siapa kita, jika demikian benarkah keberagamaan
pun melakukan campurtangan atau pemaksaan kita sudah sejalan dengan ajaran Islam yang
kehendak dalam masalah ini. Dengan tegas, al- berlandaskan, meminjam istilah Prof. Thahâ
Qur’an menyatakan “tidak ada paksaan untuk Jâbir al-‘Ulwânî,8 pada prinsip takhfîf wa rahmah
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah (memberi keringanan, kemudahan, dan kasih
jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah” sayang)?
(Qs. al-Baqarah [2]:256). Namun ajaran dasar al- Seakan ingin mengkonter tuduhan dari
Qur’an ini agaknya masih dilaksanakan setengah sebagian kalangan di Barat, Dr. Zaenab Abdus
hati oleh umat Islam. Buktinya, mereka belum Salâm Abu al-Fadhl secara elaboratif menguraikan
rela apabila ada umat Islam menganut paham pandangannya bahwa al-Qur’an itu pro HAM.9
yang dinilai sesat. Mereka pun segera bertindak
8
Thaha Jabir al-Ulwani, Lâ Ikrâha fi al-Dîn: Isykâliyyat
6
Budi Winarno, Isu-Isu Global, 209. al-Riddah wa al-Murtaddîn min Shadr al-Islâm Hatta al-Yaum
7
Dallâl Kâdhim ‘Ubaid, Mafhûm Hurriyat al-Mar’ah fi (Kairo: Maktabat al-Suruq al-Dauliyyah, 2003), 21
9
Dhau’ al-Fikr al-Tarbawi al-Islâmi (Beirut: Books Publisher, Lihat hasil kajian Zainab Abdus Salam yang berjudul,
2011), 130. ‘Inâyat al-Qur’ân bi Huqâq al-Insân: Dirâsah Maudhûiyyah wa

235
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

Menurut Dr. Zaenab, hukuman mati bagi sebagai wujud penunaian misi suci agama.
orang yang murtad bukanlah hukuman yang Anehnya, para pembaharu Muslim enggan
bersifat tetap dan final. Sebab, kendati dianggap mempersoalkan ketetapan hukuman mati tersebut
menyalahi konsensus, kenyataannya ada juga ahli dan menilainya sudah menjadi kesepakatan ulama
fiqih klasik yang berpendapat lain, yakni Imam yang tidak bisa diganggu gugat dan bersifat final.
Ibrahim al-Nakha’i. Ia berpendapat, orang yang Padahal ketetapan hukuman mati bagi orang yang
murtad hanya dikenai “sanksi” diminta untuk murtad selain bertentangan dengan ajaran dasar
bertaubat kembali ke Islam.10 Dalam kaitan ini al-Qur’an menyangkut kebebasan beragama, juga
dengan tegas Jabir al-‘Ulwani mengatakan, tidak menyimpan potensi pembenaran terhadap tindak
ditemukan argumen satupun dalam al-Qur’an kekerasan atasnama agama.12 Ajaran dasar al-
yang membenarkan dijatuhkannya hukuman Qur’an menyangkut kebebasan beragama adalah
duniawi (fisik) terhadap orang yang murtad. Al- bagian dari prinsip tetap (al-tsawâbit) yang berlaku
Qur’an hanya mengungkapkan bahwa hukuman kapan pun dan dimana pun, sedangkan hukuman
ukhrawi sepenuhnya menjadi hak prerogatif mati bagi orang yang murtad adalah bagian dari
Tuhan kelak di akhirat.11 Tentu saja, manusia tidak ketetapan yang bisa berubah (al-mutaghayyirât),
boleh mengambil alih hak tersebut dan kemudian sehingga seharusnya ketetapan yang bisa berubah
bertindak atasnama Tuhan untuk menghukum dikembalikan ke “pangkuan” prinsip tetap.
orang yang dinilai murtad. Penyimpangan-penyimpangan dalam penerapan
ketetapan yang bisa berubah merupakan alasan
Kebebasan Beragama dan Kesetaraan Gender hukum yang mengharuskan kita kembali ke
sebagai Bagian HAM prinsip tetap.13 Sayangnya, tidak sedikit ulama
yang nampak getol mempertahankan ketetapan
Ajaran dasar al-Qur’an mengenai kebebasan
yang bisa berubah dan mengalahkan prinsip tetap,
beragama seakan terciderai oleh adanya ketetapan
dengan menganggap ajaran al-Qur’an menyangkut
hukuman mati bagi orang yang keluar dari Islam
kebebasan beragama telah dianulir (dihapuskan),
(murtad). Terlebih lagi seringkali ketetapan
karena itu pemaksaan dibenarkan dalam agama.14
hukuman mati disalahgunakan oleh pemegang
kekuasaan untuk menyingkirkan lawan-lawan Jika ditelisik dengan perspektif Prof. Sa’id al-
politik, atau vonis murtad dijatuhkan secara ‘Asymawi, maka kecenderungan menganulir ajaran
“semena-mena” untuk membungkam nalar kritis dasar mengenai kebebasan beragama amat mungkin
dalam beragama. Di sini, dengan ketetapan hukum dilatarbelakangi oleh terjadinya pergeseran akidah
seperti itu argumen agama rawan dijadikan sebagai menuju ke ideologi di kalangan umat Islam. Hal ini
kedok meraih ambisi politik dan mengubah
12
Lihat Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3:
persepsi publik dari mengutuk tindak kekerasan Memahami Paradigma Fiqih Moderat, terj. Hasibullah Satrawi
menjadi “membenarkannya” karena diyakini dan Zuhairi Misrawi, (Jakarta: Erlangga, 2008), 36.
13
M. Abid al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huqûq al-Insân,
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1994), 186.
Fiqhiyyah, 2 jilid, (Kairo: Dar al-Hadits, 2010). 14
Lihat kritik yang ditujukan oleh Jamal al-Bannâ
10
Zainab Abdus Salam yang berjudul, ‘Inâyat..., 147. terhadap pendapat Imam Ibnu Hazm, dalam Jamal al-Banna,
11
Jabir al-Ulwani, Lâ Ikrâha fi al-Dîn, 83-84. Manifesto Fiqih Baru 3, 30.

236
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

setidaknya diindikasikan dengan kuatnya orientasi dan peniadaan sanksi duniawi bagi orang yang
politis (kekuasaan), absolutis, dan totalistik murtad tidak diapresiasi dengan baik. Sebaliknya,
dalam beragama.15 Akibatnya, umat Islam mudah umat Islam terus bersikukuh dengan ketetapan
menganggap orang yang keluar dari Islam menjadi hukuman mati bagi orang yang murtad dan
ancaman bagi “kedaulatan” mereka sehingga melakukan tindak kekerasan kepada siapa saja
menjadi musuh mereka. Umat Islam cenderung yang berakidah lain.
tidak mentolerir seorang pun keluar dari keyakinan Diletakkan dalam konteks fiqih minoritas
yang dianut karena mereka melihatnya sebagai (fiqh aqalliyyah), apresiasi prinsip takhfif wa
suatu bentuk “pengkhianatan”. Mereka tidak rahmah sangatlah penting agar umat Islam sebagai
mengakui adanya kebenaran dan keselamatan warga minoritas di Barat tidak terus-menerus
sedikit pun di luar keyakinan mereka. Mereka dicurigai di tengah maraknya Islamphobia dan
mudah menganggap murtad orang yang berakidah kuatnya tuntutan penegakan HAM. Dengan
(berkeyakinan) lain dan melegalkan hukuman mati prinsip itu, umat Islam diharapkan menampilkan
bagi orang tersebut.16 wajah Islam yang utuh dan toleran, yakni corak
Dalam catatan sejarah, keberagamaan ideologis Islam yang menjunjung tinggi penegakan HAM,
telah mengubur semangat ajaran Islam yang mengingat penegakan HAM merupakan bagian
berlandaskan pada prinsip takhfîf wa rahmah, penting dari realisasi maqâshid al-syari’ah.18 Hal
digantikan dengan prinsip “membebani, ini dimungkinkan manakala umat Islam bersedia
memberatkan, dan membelenggu”, 17 dan menyapih fiqih dari nuansa ideologisnya agar
begitu gampangnya perbedaan menimbulkan tidak kehilangan humanitasnya. Kendati di
aneka pertikaian. Di samping faktor internal, tanah air umat Islam bukanlah warga minoritas,
sebagaimana diafirmasi analisis al-Bannâ dan diseminasi prinsip takhfîf wa rahmah ke masyarakat
al-‘Asymawi, keberagamaan semacam itu juga luas tetaplah krusial mengingat wajah Islam yang
dipengaruhi faktor eksternal, yakni infiltrasi toleran sedang diselimuti kabut beragam tindak
“israiliyyat” kedalam konstruksi keagamaan umat kekerasan dan teror yang dilakukan oleh sebagian
Islam yang memang masih mengakui syariat agama kelompok. Prinsip tersebut berguna untuk
terdahulu (syar’u man qablanâ) sebagai landasan. memformulasikan basis teologis dalam rangka
Tanpa disadari oleh umat Islam, kalangan Yahudi menguatkan paham keagamaan yang toleran
telah melakukan konspirasi untuk mencemari dalam menyikapi perbedaan keyakinan. Paham
kemurnian ajaran Islam. Hal ini ternyata dinilai keagamaan seperti ini perlu diinternalisasikan
cukup berhasil, terlihat pada gejala pengaburan melalui kegiatan pendidikan agar pengetahuan,
prinsip takhfîf wa rahmah dari ranah keberagamaan sikap, dan perilaku keagamaan pemeluk agama
umat Islam. Karena itu wajar, apabila ajaran menjadi toleran dan humanis serta tidak mudah
dasar al-Qur’an mengenai kebebasan beragama
18
Lihat Abd A’la, “Pengembangan Fiqh Minoritas,
15
M. Said al-‘Asymawi, al-‘Aql fi al-Islâm (Beirut: al- Representasi Islam yang Menyejarah” dalam A. Imam
Intisyar al-‘Arabi, 2004), 43-53. Mawardi, Fiqih Minoritas: Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi
16
al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3, 36. Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan (Yogyakarta:
17
Jabir al-Ulwani, Lâ Ikrâha fi al-Dîn, 26 LKiS, 2010), ix.

237
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

terjerat jaring-jaring “radikalisasi” agama yang sehingga melahirkan pelbagai pemasungan dan
terbukti telah berhasil menyusup tanpa disadari ketidakadilan, seperti: marginalisasi, subordinasi,
kedalam alam bawah sadar keberagamaan kita. stereotip, kekerasan, dan beban kerja.22 Ironisnya
Fanatisme sempit dan gejala apokaliptisisme19 dari hasil riset, di kawasan Arab yang secara
merupakan sebagian contoh bahaya laten yang historis lekat dengan tempat kelahiran dan
setiap saat berpotensi menyembul ke permukaan basis Islam, ternyata merupakan salah satu
dan menyulut tindak kekerasan atasnama agama. wilayah yang memiliki sikap paling “tradisional”
Selain kebebasan dalam beragama, prinsip terkait dengan peran sosial perempuan,23 dan
takhfîf wa rahmah juga menuntut adanya keadilan hal ini amat potensial bagi timbulnya pelbagai
dan kesetaraan. Menurut Syahrur, kebebasan dan ketidakadilan tersebut. Kondisi di Indonesia pun
keadilan/kesetaraan merupakan nilai fundamendal demikian, posisi sosial budaya antara laki-laki dan
yang berada di balik semua “revolusi” besar di perempuan masih menunjukkan ketidakadilan.24
dunia.20 Secara normatif, kedua nilai fundamental Dalam konteks ini, tafsir keagamaan tidak jarang
tersebut termaktub dalam sumber ajaran Islam. dipergunakan untuk menjustifikasi ketidakadilan
Hanya saja apresiasi terhadap kedua nilai itu dalam terhadap kaum perempuan. Sebagai salah satu
sejarah dunia Islam masih jauh dari gambaran ideal. produk tafsir keagamaan, fikih misalnya diakui
Hal ini tersirat misalnya dari pernyataan Khalifah masih menyimpan banyak persoalan menyangkut
Umar, “Kapan kalian memperbudak manusia, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. 25
padahal mereka dilahirkan dalam keadaan bebas- Persoalan ini terus hangat diperbincangkan
merdeka”. Di sini, Umar hanya mempersoalkan seiring kian menguatnya tuntutan pembaruan
perlakuan tidak adil yang dialami oleh para budak, fikih yang tanggap terhadap upaya penegakan
namun ia belum mempersoalkan lebih jauh adanya keadilan dalam segala lini kehidupan, termasuk
sistem “perbudakan”21 yang menyalahi prinsip terkait status dan peran perempuan, mengingat
kebebasan. Sepeninggal Umar, apa yang telah ia keadilan menjadi pilar kemaslahatan. Di kalangan
persoalkan tadi, yakni keadilan dan utamanya para ahli hukum Islam, upaya pembaruan telah
kebebasan, ternyata tidak juga kunjung terwujud dilakukan melalui dua macam, yaitu (1) intra-
dengan baik dalam tata kehidupan. Penyimpangan doctrinal reform yang menempuh pembaruan
terhadap prinsip kebebasan dan keadilan terus 22
Penjelasan tentang jenis-jenis ketidakadilan yang
berlanjut, dan terlihat sangat kentara pada banyak dialami perempuan tersebut; lihat, Mansour Fakih,
apa yang dialami banyak kaum perempuan Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), 12-23.
23
Tina Beattie, “Introduction to Part III” dalam Ursula
19
Apokaliptisisme adalah paham menganggap diri King and Tina Beattie (eds), Gender, Religion, and Diversity
sebagai pasukan pembela Tuhan yang dituntut untuk terus (London: Continuum International Publication Group,
berjuang memerangi musuh-musuhNya tanpa kenal ampun 2005), 188.
kendati harus menempuh tindak kekerasan. Sebab, jika hal 24
Francisia S.S.E. Seda, dkk., “Relasi Gender dalam
ini tidak dilakukan, maka justru musuh-musuhNya itulah Masyarakat Indonesia” dalam Paulus Wirutomo (ed), Sistem
yang akan balik melibas pasukan pembelaNya. Sosial Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2012), 179.
20
Muhammad Syahrur, al-Islâm: al-Ashl wa al-Shûrah 25
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru I: Memahami
(Beirut: Tuwa, 2014), 6. Diskursus al-Qur’an, terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi
21
Muhammad Syahrur, al-Islâm: ... 7. Misrawi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), xi.

238
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

dengan cara menggabungkan secara eklektis hasil kajian H.A.R. Tilaar dkk., terungkap bahwa
pendapat pelbagai mazhab fikih yang ada, dan (2) setidaknya ada 4 (empat) hal yang menjadi penyebab,
extra-doctrinal reform yang menampilkan penafsiran yaitu: (1) pengembangan kurikulum khususnya
baru terhadap teks.26 Ditinjau dari sudut politics of yang berkenaan dengan nilai-nilai HAM tidak
sexuality, formulasi tafsir keagamaan dalam fikih didasarkan atau tidak mengacu pada dokumen
“seksis” berkepentingan untuk menata distribusi HAM universal, (2) meskipun nilai-nilai HAM
“kekuasaan” dalam relasi laki-laki dan perempuan tergolong ranah kemampuan afektif, namun dalam
yang memihak dan tidak berkeadilan. Relasi ini implementasinya di satuan-satuan pendidikan
kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajar sama seperti ranah kognitif, (3) pendekatan
(natural) dan bahkan kodrati karena itu tidak perlu ekspositori dan metode ceramah yang lebih
lagi dipermasalahkan.27 diandalkan guru-guru dalam proses pembelajaran
Muncul banyak teori dalam menganalisis tidak hanya merefleksikan perlakuan kognitif
persoalan ketidakadilan tersebut, diantaranya: tadi, tetapi juga mengindikasikan kurangnya
teori peran, teori gender, dan teori sosialisasi.28 penguasaan materi pendidikan HAM, dan (4)
Berdasarkan teori-teori ini, ketidaksetaraan antara banyak pengalaman peserta didik di pelbagai
laki-laki dan perempuan bukanlah hal kodrati lingkungan hidupnya yang bertentangan dengan
(natural) melainkan dibentuk melalui pelbagai nilai-nilai HAM.29 Ketika sistem persekolahan
saluran sosio-kultural. Pendidikan merupakan kurang pro HAM, besar kemungkinan sistem
saluran sosio-kultural penting karena proses persekolahan pun kurang responsif terhadap
transfer pengetahuan, transformasi nilai, dan keadilan gender. Sebab, keadilan gender yang
interaksi sosial berlangsung intensif di dalamnya. menuntut dihapuskannya kesenjangan antara laki-
Produk tafsir keagamaan seperti fikih memperoleh laki dan perempuan, dan dibukanya kran akses,
realisasi konkretnya dalam proses pendidikan pemberdayaan dan kesempatan yang setara antara
yang memang sarat kegiatan internalisasi dan keduanya, merupakan bagian integral nilai-nilai
inkulturasi, baik di dalam kelas maupun di luar HAM. Atas dasar ini, sistem persekolahan tidak
kelas. Sepantasnya, jika muncul tuntutan terhadap bisa dianggap pro HAM apabila akses pendidikan
dunia pendidikan di tanah air yang pro HAM bagi perempuan misalnya terbukti masih timpang
dan keadilan gender. Sebab, selama ini dalam (rendah) dibandingkan dengan akses pendidikan
sistem persekolahan di Indonesia masih banyak bagi laki-laki. Dengan adanya ketimpangan akses
ditemukan faktor penyebab kegagalan bagi setiap tersebut, perempuan terhalangi untuk mampu
upaya mencapai tujuan pendidikan HAM. Dari meraih hak-haknya di ranah publik seperti
kepemimpinan dan kiprah dalam organisasi.30
26
M. Atho Mudzhar, “Wanita dalam Hukum Keluarga
di Dunia Islam Modern” dalam M. Atho Mudzhar, dkk.,
(eds), Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan 29
HAR. Tilaar, dkk., Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia
dan Kesempatan, (Yogyakarta: Suka Press, 2001), 150. dalam Kurikulum Persekolahan Indonesia, (Bandung: PT.
27
Lihat Susan M. Shaw dan Janet Lee, Women’s Voices Alumni, tt.), 100-102.
and Feminist Visions, (New York: McGraw-Hill, 2009), 170. 30
Amany Lubis, “Gender Gap in Leadership Roles
28
Partini, Bias Gender dalam Birokrasi (Yogyakarta: Tiara in the Educational and Political Fields” dalam M. Atho
Wacana, 2013), 15-17. Mudzhar, dkk., (eds), Women in Indonesian Society: Access,

239
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

Memfungsikan pendidikan untuk perlu diperjuangkan adalah tegaknya keadilan


mempromosikan penegakan HAM mengandung sosial. Secara eksplisit, Islam menyampaikan
arti kita berupaya memaksimalkan peran tuntutan pemenuhan keadilan dalam semua
pendidikan dalam memanusiakan manusia, laki- aspek kehidupan, antara lain: dalam relasi laki-
laki dan perempuan. Dalam kaitan ini, pendidikan laki dan perempuan, relasi penguasa dan rakyat,
mengemban peran humanisasi dan hominisasi. perlindungan hukum, dan akses pendidikan. Di
Dengan peran humanisasi, pendidikan dituntut sini, keadilan sosial dimaknai sebagai tujuan dan
untuk mengembangkan segenap potensi diri proses sekaligus. Sebagai tujuan, keadilan sosial
kemanusiaan peserta didik, baik fisik, intelektual, adalah peranserta yang penuh dan setara semua
emosional maupun spiritual yang memang warga masyarakat yang saling mempengaruhi satu
secara fitrah ia telah diciptakan Tuhan dalam sama lain dalam memenuhi kebutuhan mereka.
sebaik-baik bentuk (fî ahsani taqwîm). Sedangkan Sebagai proses, keadilan sosial menghendaki
dengan peran hominisasi, pendidikan diharapkan upaya pencapaian tujuan berlangsung secara
mampu mengembangkan sisi perikemanusiaan demokratis, dan peranserta yang melibatkan
peserta didik sehingga aktualisasi potensi dirinya semua pihak secara inklusif dan kolaboratif
(individuasi) tetaplah dalam kerangka partisipasi. dalam rangka mewujudkan perubahan menuju
Toleransi, keadilan, kerjasama, dan kepedulian tatanan berkeadilan.32 Diletakkan dalam konteks
merupakan sebagian contoh nilai yang perlu pendidikan, keadilan sosial setidaknya perlu
diinternalisasikan dalam proses hominisasi agar direalisasikan melalui integrasi nilai, keadilan
peserta didik tumbuh menjadi pribadi yang pedagogik, dan pemberdayaan kultur lembaga
senantiasa pandai nguwongke orang lain, tidak pendidikan yang sejalan dengan tuntutan keadilan
egoistis, sektarian, dan anti sosial. Hal ini penting sosial.
mengingat pribadi yang unggul bukanlah individu Sementara itu, Sa’id al- Asymawi
yang menonjol kemampuan dirinya namun ia menggarisbawahi sisi lain yang erat terkait
cenderung meremehkan kemampuan orang lain; dengan keadilan,33 bahwa Islam adalah syari’at
atau individu yang suka menghargai kemampuan al-raḥmah,34 yaitu tuntunan yang memadukan
orang lain, akan tetapi ia sendiri hanya berpuas diri antara kebenaran dan cinta, antara memaafkan
dengan kemampuan yang serba pas-pasan. dan bertindak secara makruf. Ini mengandung arti,
ide penerapan syariat seharusnya dipahami sebagai
Islam Humanis, Filosofi “Rahim”, dan
32
Humanisasi Pendidikan Karen L St. Clair dan James E. Groccia, “Change to
Social Justice Education” dalam Kathleen, dkk., (eds), Social
Dalam buku Manifesto Fiqih Baru, Jamal al- Justice Education: Inviting Faculty to Transform Their Institutions,
(Virginia: Stylus Publishing, 2009), 70-71.
Banna menyebut Islam sebagai syariat keadilan.31 33
Keterkaitan keadilan dan kasih sayang tergambar dari
Maka dari itu, salah satu hal prinsipil yang ungkapan Khalid M. Khalid, “Kasih sayang adalah sistem
pendekatan Nabi, dan keadilan adalah syariat beliau”. Lihat
Khalid M. Khalid, Insâniyyatu Muhammad (Kairo: Dar al-
Empowerment and Oppotunity (Yogyakarta: Suka Press, 2002), Ma’arif, tt.), 13 dan 57.
43-44. 34
M. Sa’id al-‘Asymawi, Jauhar al-Islâm (Beirut: al-
31
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru I, x Intisyâr al-‘Arabi, 2004), 28-29.

240
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

upaya mengaktualisasikan nilai-nilai rahmah raḥmah,37 dan hal ini menyiratkan arti esoterik
dalam kehidupan nyata dan menjadikannya bahwa dari perempuan dilahirkan sifat kasih
sebagai prinsip umum untuk menata segala sayang. Akan tetapi ajaran dasar agama tersebut
aspek kehidupan sehingga tidak ada eksploitasi, ternyata belum sepenuhnya selaras dengan tafsir
kekerasan, ketimpangan, dan dominasi. Karena itu, eksoterik dan perilaku keagamaan. Dengan akhlak
ketika syariat ditegakkan, maka ia dituntut mampu kasih sayangnya, Nabi saw secara tegas menyeru
menjamin terhadap pemberian kemudahan kita untuk menghargai perempuan yang saat itu
hidup manusia, pemeliharaan kemaslahatan masih dianggap konco wingking, seperti terungkap
publik, dan tiadanya represi kepada umat Islam. dalam salah satu sabda beliau, “Kaum perempuan
Dalam uraiannya mengenai sekelumit akhlak adalah saudara kandung kaum laki-laki” (HR. Abu
Nabi Saw, Dr. Ahmad Fakîr meletakkan raḥmah Dawud dan al-Turmuzi).38 Akan tetapi sungguh
pada urutan pertama yang menandai keluhuran mengejutkan “agama” justru ikut andil dalam
akhlak beliau.35 Nilai-nilai raḥmah diejawantahkan arus besar budaya yang tidak adil terhadap kaum
Nabi dalam banyak hal, antara lain: penghapusan perempuan.
beban tuntutan yang akan memberatkan umat. Mengejawantahkan raḥmah dalam pendidikan
Hal ini terlihat dari sikap Nabi menahan diri dari setidaknya bisa melalui: tujuan, isi, cara/pendekatan,
melakukan suatu amalan karena khawatir nanti tindakan, dan iklim/suasana. Mengejawantahkan
diwajibkan bagi umat, dan sikap beliau menahan melalui tujuan adalah merumuskan tujuan
diri dari menjawab sebagian permasalahan karena pendidikan berlandaskan pada nilai kasih sayang.
khawatir bisa memberatkan umat. Dengan tujuan semacam ini, pendidikan tidak
Dalam kaitan itu, menarik untuk digarisbawahi lagi mengabdi pada keuntungan material semata
ucapan Moriz Winterniz, sebagaimana dikutip karena akan bisa menghasilkan manusia serakah,
Annemarie Schimmel, “Wanita selalu menjadi konsumtif, dan hedonis. Pendidikan juga tidak
sahabat agama, tetapi umumnya agama bukan mengajarkan kekerasan baik verbal maupun
sahabat bagi wanita”. 36 Ajaran dasar agama non verbal karena akan mendorong timbulnya
(Islam) mengenai kasih sayang (raḥmah) sangat perilaku tidak santun, anarkhis, bahkan sadistis
dekat dengan karakter perempuan yang banyak dan dehumanistik. Mengejawantahkan melalui
dihiasi oleh sifat kasih sayang, sehingga dialah
37
yang dinilai layak menjadi “sekolah pertama” Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
editor J. Milton Cowan, (Beirut: Libraire Du Liban, 1960),
(al-madrasah al-ûlâ) bagi anak-anaknya. Secara 331-332; M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: tafsir
linguistikal, rahim sebagai salah satu organ khusus Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,
cet. II, 2002), 212. Kata “rahim” dalam bahasa Indonesia,
reproduksi perempuan berasal dari akar kata al- antara lain, mengandung arti: tempat janin, kandungan,
dan bersifat belas kasih. Lihat Tim Penyusun, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 921.
35
Ahmad Fakîr, Qabasun min al-Akhlâq al-Nabawiyah 38
Husein Muhammad mengutip hadis tersebut sebagai
(Kairo: Dar al-Salam, 2007), 29-30. salah satu argumen bahwa ajaran Islam sangat dekonstruktif
36
Annemarie Schimmel, “Kata Pengantar” dalam terhadap pilar-pilar peradaban yang diskriminatif dan
Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang misoginis. Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:
Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta:
Astuti dan M.S. Nasrulloh (Bandung: Mizan, 1997), 15. LKiS, cet. IV, 2007), 22.

241
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

isi mengandung arti mengintegrasikan nilai-nilai praktik pendidikan yang berlangsung cenderung
kasih sayang kedalam muatan materi pendidikan dehumanistik dan amoral karena tidak lagi
hingga menjadi bagian dari hal yang dipelajari, “berpusat pada hati” atau mengerdilkan domain
ditanamkan, dihayati, dipraktikkan, diamalkan, afektif. Mengingat begitu pentingnya masalah hati
dibudayakan, dan dievaluasi. Mengejawantahkan dan domain afektif, karya-karya pendidikan Islam
melalui cara/pendekatan dapat dimaknai sebagai klasik memberikan perhatian besar terhadap hal
rangkaian proses metodis yang menunjang upaya ini. Baik guru maupun peserta didik misalnya,
penanaman nilai kasih sayang, baik secara langsung diharuskan untuk meluruskan niat; guru
maupun tidak langsung. Mengejawantahkan diharuskan mampu mengemban tugas dengan
melalui tindakan adalah aktualisasi konkret nilai tulus dan penuh kasih sayang; peserta didik
kasih sayang dalam proses interaksi edukatif, diajarkan untuk memiliki rasa respek terhadap
semisal secara tulus guru membantu peserta ilmu dan guru; orientasi pendidikan pun adalah
didik yang mengalami kesulitan belajar, langkah membersihkan hati, selain mencerdaskan akal
afirmatif merespons ketidakadilan, layanan dan mengasah keterampilan. Ini adalah sebagian
yang berpusat pada pesrta didik, dan kesediaan contoh dari penjabaran makna pendidikan yang
saling membatu antar peserta didik dalam proses berpusat pada hati.
kegiatan belajar. Selanjutnya, mengejawantahkan Prof. Athiyah al-Abrasyi menegaskan bahwa
melalui iklim/suasana adalah menciptakan miliu pendidikan akhlak adalah ruh pendidikan
dan kultur kelas, sekolah, madrasah, PT, keluarga, Islam. Pendidikan akhlak tidak mungkin
dan sejenisnya yang kondusif dan kontributif berhasil jika mengabaikan masalah hati/domain
bagi tumbuh berkembangnya kasih sayang, afektif, semisal: jujur, hormat, peduli, tulus, dan
semisal suasana kekeluargaan, suasana saling asih, pema’af. Kegagalan pendidikan agama dalam
asah, dan asuh, kesetaraan gender, dan suasana membina akhlak peserta didik lebih disebabkan
kooperatif-kolaboratif. terabaikannya masalah hati tersebut sehingga
Kasih sayang (raḥmah) merupakan nilai inti proses yang berjalan sejatinya sebatas kognitif,
humanisasi, dan kasih sayang juga merupakan dan aspek yang digarap pun berkutat pada head
nilai dasar akhlak mulia. Fenomena kekerasan dan hand, minim heart. Agaknya karena alasan
dan pencabulan yang kini mencoreng citra dunia ini, pemerintah memberlakukan kurikulum 2013
pendidikan karena terasa kian marak dari hari untuk menggantikan KTSP yang dinilai kurang
ke hari adalah indikator kuat atas redupnya atau berhasil dalam pembentukan karakter. Salah satu
pudarnya nilai kasih sayang dalam menjiwai letak perbedaan kurikulum 2013 dan KTSP adalah
praktik pendidikan yang berlangsung di pelbagai pada penjabaran standar kompetensi lulusan
institusi. Barangkali nilai kasih sayang telah (SKL). SKL dijabarkan kedalam kompetensi inti
tergerus oleh hiruk pikuk persiapan UN, kegiatan (KI) dan kompetensi dasar (KD), sebelumnya
proyek anggaran, penambahan penghasilan, SKL dijabarkan menjadi standar kompetensi
kegiatan seremoni, kegiatan persaingan untuk (SK) dan kompetensi dasar (KD). Kompetensi
saling menjatuhkan, dan sebagainya, sehingga inti mencakup empat aspek kompetensi, yakni

242
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

(1) kompetensi inti spiritual, (2) kompetensi memaafkan kesalahannya secara legowo.41 Dengan
inti sosial, (3) kompetensi inti pengetahuan, memperhatikan bukti kuat akhlak kasih sayang
dan (4) kompetensi inti keterampilan. Dengan Nabi tersebut, setidaknya terdapat tiga hal yang
keempat aspek tersebut, rumusan kompetensi bisa diambil pelajaran untuk diteladani, yakni
inti bermaksud menampilkan kompetensi secara (1) janganlah kita bersikap egoistik dengan
integratif dan memayungi semua matapelajaran hanya mementingkan diri sendiri dan abai
agar mendukung pencapaian kompetensi inti terhadap kebaikan orang lain terlebih kalangan
tersebut. yang membutuhkan, (2) janganlah kita mudah
menyalahkan, merendahkan, dan menzalimi orang
Meneladani Akhlak Nabi yang Humanis- lain, (3) utamakan pendekatan nirkekerasan dalam
Egaliter menyelesaikan perselisihan, dan (4) upayakan
segala sikap dan perilaku yang kita perbuat bisa
Secara tegas, al-Qur’an menyebut misi risalah
memberi manfaat bagi kehidupan bersama. Tindak
Nabi saw adalah rahmat bagi semesta alam. Karena
kekerasan atasnama agama atau atasnama “sesuatu
itu, Dr. Ahmad Fakir menempatkan raḥmah
yang diagamakan” boleh jadi adalah manifestasi
(kasih sayang) pada urutan pertama dari sekian
ketidaksanggupan mengapresiasi akhlak kasih
karakteristik akhlak mulia beliau. Termasuk
sayang dalam beragama. Padahal Nabi secara
kedalam bukti kuat akhlak Nabi ini adalah (1)
tegas pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak
beliau menghilangkan beban dan kesulitan dari
mengasihi, ia pun tidak akan dikasihi”,42 yang
umatnya dalam menetapkan taklif syar’i, (2) beliau
selain hal ini menandaskan pentingnya kasih
menghindari melakukan sesuatu karena khawatir
sayang, juga sekaligus mempertegas adanya prinsip
akan diwajibkan bagi umatnya, dan (3) beliau
moral atau kausalitas moral.
menolak menjawab sebagian persoalan karena
khawatir akan memberatkan umatnya.39 Kasih Prinsip/kausalitas moral tersebut berlaku
sayang diletakkan pada urutan pertama dari universal, artinya berlaku kapan pun, dimana
akhlak Nabi Saw mengandung arti begitu jelasnya pun, dan bagi siapa pun. Tanpa pandang bulu,
keberadaan akhlak ini dalam perilaku keseharian seseorang yang meski berkulit hitam legam dan
beliau dan ajaran Islam yang didakwahkannya. miskin papa sekalipun namun ia memiliki hati
Menurut Khalid M. Khalid, bagi Nabi saw kasih 41
M. Jawwad Mughniyah, Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm
sayang (raḥmah) bukanlah kebaikan “pelengkap”, (Ttp: Mu’asasat Dar al-Kitab al-Islami, 2007), 244.
tetapi suatu kewajiban mendasar dan tuntutan 42
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Hal yang melatarbelakangi munculnya hadis ini adalah
kehidupan.40 Akhlak kasih sayang mengajarkan bahwa pada suatu hari Nabi saw mencium Hasan, cucu
“kebajikan plus” karena dengan akhlak ini beliau, dengan penuh kasih sayang, sedang di hadapan
kita dituntut untuk mampu lebih bersemangat beliau terdapat al-Aqra’ bin Habis yang lagi duduk, lalu
al-Aqra’ berkata, “Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh
membalas kebaikan orang lain secara tulus dan anak, tetapi saya belum pernah mencium seorang pun
dari mereka”. Nabi memandang ke arahnya dan bersabda,
“Barangsiapa yang tidak mengasihi, ia pun tidak akan
dikasihi”. Lihat Jamal Abdur Rahman, Tahapan Mendidik
39
Ahmad Fakir, Qabasun min al-Akhlâq, 33. Anak: Teladan Rasulullah, terj. Bahrun Abu Bakar I.Z.,
40
Khalid M. Khalid, Insâniyyatu Muhammad, 21 (Bandung: Irsyad Baitus Salam, cet. XIII, 2008), 105.

243
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

yang penuh kasih dan perilaku penyayang kepada oleh Nabi saw meliputi aktivitas rileksasi untuk
sesama ---sesuai prinsip moral tersebut--- niscaya menyenangkan suasana batin (nasyâth tarwîhî)
ia akan dikasihi oleh Tuhan dan makhlukNya dan aktivitas pengajaran serius (nasyâth ta’lîmi).43
yang lain. Ibarat hukum alam, kausalitas moral Dengan demikian, praktik pendidikan Nabi tidak
pun berlaku “pasti” sehingga manakala sebab- hanya mementingkan keseriusan dalam rangka
sebab moralnya terpenuhi, maka akibatnya akan upaya pengajaran, melainkan juga memperhatikan
terjadi. Sesuai hukum alam gravitasi, seseorang keceriaan suasana batin. Sebab, kejenuhan,
yang memanjat pohon tinggi secara sembrono, kebosanan, keterpaksaan diri, dan ketertekanan
ketika terpelanting maka ia akan terjatuh ke bawah batin akan berdampak negatif terhadap proses
dan bisa saja kepala membentur batu. Akibatnya kegiatan pendidikan yang dialami peserta didik
langsung dirasakan, yaitu gegar otak dan luka sehingga tidak mampu membuahkan hasil belajar
parah. Itulah ilustrasi keberlakuan hukum alam seperti yang diharapkan. Keceriaan suasana batin
yang time respond-nya sangat mungkin seketika. bermanfaat untuk memompa semangat peserta
Sementara itu, keberlakuan hukum moral boleh didik dan sekaligus menstimuli kelancaran
jadi time respond-nya membutuhkan waktu cukup aktivitas psikis dalam mencerna apa yang diterima
lama kendati bersifat “pasti”. Dalam sebuah selama proses kegiatan pendidikan. Peserta didik
hadis, Nabi Saw pernah bersabda, “Berbaktilah bukanlah robot yang berjalan secara mekanistis;
kepada kedua orangtuamu, niscaya anak-anakmu ia adalah individu manusiawi yang memiliki
akan berbakti kepadamu”. Hadis ini merupakan perasaan, kemauan, dan kesadaran. Humanisasi
contoh lain dari prinsip/hukum moral yang menuntut kegiatan pendidikan untuk peduli
mengandung kausalitas moral universal, yakni pada sisi “kemanusiawian” peserta didik tersebut,
siapa pun orangnya yang bersedia berbakti kepada termasuk peserta didik yang masih berupa anak
orangtuanya, maka anak-anaknya kelak akan kecil sekalipun. Sepantasnya, Nabi saw pernah
berbakti kepadanya. Kesediaan seseorang berbakti mengingatkan orangtua yang telah merenggut
kepada kedua orangtuanya menjadi sebab yang anaknya yang pipis dari gendongan beliau karena si
akan menimbulkan akibat berupa lahirnya anak/ orangtua tersebut takut jika pipis anaknya sampai
keturunan yang mau berbakti. Hanya saja, time mengotori baju beliau, “Kotornya bajuku masih
respond-nya mungkin baru terjadi setelah 10, 15, bisa dibersihkan, namun tidak demikian dengan
atau 20 tahun lagi. Inilah yang disebut dengan renggutanmu yang bisa mencemari jiwa anak
kebenaran etis yang sejatinya memiliki regularitas ini”. Nabi sangat menekankan pentingnya kasih
dalam keberlakuannya sebagaimana kebenaran sayang karena hal ini akan sangat berpengaruh
ilmiah. terhadap pembentukan kepribadian anak/peserta
Prinsip kasih sayang dapat diupayakan melalui didik. Pendidikan akhlak hanya akan berhasil jika
kegiatan pendidikan yang memadukan secara berangkat dari landasan kasih sayang, diantaranya
fungsional proses pelaksanaan kegiatan secara serius stimulasi suasana batin peserta didik secara positif.
dengan proses rileksasi. Dalam pelbagai riwayat
43
Abdurrahman al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah al-
hadis, aktivitas pendidikan yang dicontohkan Islāmiyyah wa Asālibuha (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet.
II, 1983), 189.

244
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

Akhlak humanis-egaliter Nabi tidak hanya Simpulan


ditunjukkan dengan perhatian besar beliau terhadap Hasil kajian normatif mengafirmasi bahwasanya
kalangan anak-anak, tetapi juga terhadap kaum Islam adalah agama yang pro HAM. Akan tetapi
“terpinggirkan” saat itu. Memang pada masa Nabi, tidak sedikit kasus negatif di lapangan yang seolah
perempuan masih termasuk kaum terpinggirkan mementahkan statemen konklusif tersebut.
yang perlu dilindungi dan diberdayakan. Karena Kebebasan sebagai salah satu hal mendasar
itu, beliau tidak henti-hentinya menyeru umatnya HAM ternyata belum diapresiasi dengan baik
untuk memperlakukan perempuan dengan baik, dalam sejarah panjang peradaban Islam sehingga
adil, dan penuh kasih sayang. Melalui salah satu masih ditemukan sistem perbudakan, pemaksaan
sabdanya, Nabi menandaskan, “Ingatlah, aku atasnama agama, dan pemasungan hak asasi
berpesan agar kalian berbuat baik terhadap kaum kaum perempuan. Sewajarnya, muncul tuduhan
perempuan karena mereka sering menjadi sasaran dari sebagian kalangan di Barat bahwa Islam
pelecehan di antara kalian. Padahal sedikit pun adalah agama anti HAM dan bias gender. Hal ini
kalian tidak berhak memperlakukan mereka mendorong sebagian pemikir muslim kontemporer
kecuali untuk kebaikan itu” (HR. Al-Turmudzi).44 mengkritisi secara serius adanya kekeliruan
Sejalan dengan konsep dahulukan akhlak di pemahaman dan praktik keagamaan umat Islam
atas fiqih yang disuarakan kembali Jalaluddin dan sekaligus merespons secara bernas pelbagai
Rakhmat,45 seharusnya akhlak humanis-egaliter tuduhan miring dari “luar”. Sebagian mereka
yang diteladankan Nabi menjadi spirit kita dalam mengintrodusir prinsip keadilan dan kasih sayang
membangun relasi gender yang berkeadilan untuk mengapresiasi kembali ajaran dasar Islam.
dan mengembangkan perilaku keagamaan yang Dengan prinsip itu, umat Islam diharapkan
toleran. Sebab, akhlak itu berlaku universal,46 menampilkan wajah Islam yang utuh, humanis,
yakni nilai-nilai etisnya perlu terus direalisasikan dan toleran, yakni wajah Islam yang menjunjung
dan difungsikan untuk memandu penerapan tinggi penegakan HAM, termasuk kesetaraan
ketentuan hukum partikular. gender, mengingat penegakan HAM menjadi
bagian penting dari realisasi maqâshid al-syari’ah.
44
Lihat uraian hadis tersebut dalam Husein Muhammad, Tanpa kebebasan dan keadilan/kesetaraan,
Fiqh Perempuan, v dan 176. Hadis itu termuat dalam kitab penegakan HAM hanyalah utopia. Kebebasan
Sunan al-Turmudzi. Ada riwayat hadis yang diawali dengan
redaksi serupa, yakni “Saling berpesanlah untuk berbuat dan keadilan merupakan nilai fundamendal yang
baik kepada kaum perempuan karena mereka diciptakan berada di balik semua “revolusi” besar di dunia.
dari tulang rusuk yang bengkok” (H.R. Bukhari, Muslim
Secara normatif, kedua nilai fundamental tersebut
dan Turmudzi). Sebagaimana diterangkan oleh Quraish
Shihab, hadis semacam ini sering dipahami secara harfiah termuat dalam sumber ajaran Islam. Sayangnya,
dan digunakan untuk menjustifikasi adanya kelemahan apresiasi terhadap kedua nilai itu dalam sejarah
kodrati perempuan. Lihat M. Quraish Shihab, Perempuan
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), 43-44. dunia Islam memang masih jauh dari gambaran
45
Konsep tersebut diuraikan panjang lebar dalam ideal.
Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih
(Bandung: Mizan, 2007). Memfungsikan pendidikan untuk
46
M. Sa’id al-Asymawi, Ma’âlim al-Islâm (Beirut: al- mempromosikan penegakan HAM mengandung
Intisyâr al-‘Arabi, 2004), 274.

245
Musâwa, Vol. 15 No. 2 Juli 2016

arti kita berupaya memaksimalkan peran Dallâl Kâdhim ‘Ubaid, Mafhûm Hurriyat al-Mar’ah
pendidikan dalam memanusiakan manusia, fi Dhau’ al-Fikr al-Tarbawi al-Islâmi, Beirut: Books
Publisher, 2011.
laki-laki dan perempuan. Dalam konteks ini,
pendidikan mengemban peran humanisasi Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
editor J. Milton Cowan, Beirut: Libraire Du
dan hominisasi. Dengan peran humanisasi, Liban, 1960.
pendidikan dituntut untuk mengembangkan
HAR. Tilaar, dkk., Dimensi-Dimensi Hak Asasi
segenap potensi diri kemanusiaan peserta didik,
Manusia dalam Kurikulum Persekolahan Indonesia,
baik fisik, intelektual, emosional maupun spiritual Bandung: PT. Alumni, tt.
yang memang secara fitri ia telah diciptakan
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai
Tuhan dalam sebaik-baik bentuk. Sementara itu, atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta:
dengan peran hominisasi, pendidikan diharapkan LKiS, cet. IV, 2007.
mampu mengembangkan sisi perikemanusiaan Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas
peserta didik sehingga aktualisasi potensi diri Fiqih, Bandung: Mizan, 2007.
(individuasi) tetaplah dalam kerangka partisipasi. Jamal Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak:
Di sini, akhlak humanis-egaliter Nabi layak Teladan Rasulullah, terj. Bahrun Abu Bakar I.Z.,
direaktualisasi untuk diteladani. Akhlak ini tidak Bandung: Irsyad Baitus Salam, cet. XIII, 2008.
hanya ditunjukkan dengan perhatian besar beliau Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3: Memahami
terhadap kalangan anak-anak, tetapi juga terhadap Paradigma Fiqih Moderat, terj. Hasibullah
Satrawi dan Zuhairi Misrawi, Jakarta: Erlangga,
kaum “terpinggirkan” saat itu dan perempuan 2008.
masih termasuk ke dalamnya sehingga perlu
------------------ , Manifesto Fiqih Baru I: Memahami
dilindungi dan diberdayakan. Akhlak berlaku Diskursus al-Qur’an, terj. Hasibullah Satrawi dan
universal, yakni nilai-nilai etisnya perlu terus Zuhairi Misrawi, Jakarta: Penerbit Erlangga,
diejawantahkan dari apa yang diteladankan Nabi 2008.
dan difungsikan untuk memandu penerapan Kathleen, dkk., (eds), Social Justice Education:
ketentuan hukum partikular-kontekstual. Inviting Faculty to Transform Their Institutions,
Virginia: Stylus Publishing, 2009.
Khalid M. Khalid, Insâniyyatu Muhammad, Kairo:
Daftar Pustaka
Dar al-Ma’arif, tt.
A. Imam Mawardi, Fiqih Minoritas: Fiqh al-Aqalliyat
dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke M. Abid al-Jabiri, al-Dimuqrathiyyah wa Huqûq
Pendekatan, Yogyakarta: LKiS, 2010. al-Insân, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-
‘Arabiyyah, 1994.
Abdurrahman al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah al-
Islāmiyyah wa Asālibuha, Beirut: Dar al-Fikr ------------------- , Fi Naqd al-Hâjah ila al-Ishlâh, Beirut:
al-Mu’ashir, cet. II, 1983. Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 2005.

Ahmad Fakîr, Qabasun min al-Akhlâq al-Nabawiyah, M. Atho Mudzhar, dkk., (eds), Wanita dalam
Kairo: Dar al-Salam, 2007. Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan
Kesempatan, Yogyakarta: Suka Press, 2001.
Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer,
Yogyakarta: CAPS, 2011. ----------------- , (eds), Women in Indonesian Society: Access,
Empowerment and Oppotunity, Yogyakarta: Suka
Press, 2002.

246
Mahmud Arif — Islam Humanis, Ham, Dan Humanisasi Pendidikan

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Paulus Wirutomo (ed), Sistem Sosial Indonesia,
Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Jakarta: UI Press, 2012.
Paramadina, cet. II, 2002.
Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan
M. Jawwad Mughniyah, Falsafat al-Akhlâq fi al-Islâm, tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi
Ttp: Mu’asasat Dar al-Kitab al-Islami, 2007. Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrulloh,
Bandung: Mizan, 1997.
M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera
Hati, 2005. Susan M. Shaw dan Janet Lee, Women’s Voices and
Feminist Visions, New York: McGraw-Hill, 2009.
M. Sa’id al-‘Asymawi, Jauhar al-Islâm, Beirut: al-
Intisyâr al-‘Arabi, 2004. Thaha Jabir al-Ulwani, Lâ Ikrâha fi al-Dîn: Isykâliyyat
al-Riddah wa al-Murtaddîn min Shadr al-Islâm
----------------- , Ma’âlim al-Islâm, Beirut: al-Intisyâr al- Hatta al-Yaum, Kairo: Maktabat al-Surûq al-
‘Arabi, 2004. Dauliyyah, 2003.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Muhammad Syahrur, al-Islâm: al-Ashl wa al-Shûrah, Ursula King and Tina Beattie (eds), Gender,
Beirut: Tuwa, 2014. Religion, and Diversity, London: Continuum
Muladi (editor), Hak Asasi Manusia: Hakekat, International Publication Group, 2005.
Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum Zainab Abdus Salam, ‘Inâyat al-Qur’ân bi Huqâq
dan Masyarakat, Bandung: Refika al-Insân: Dirâsah Maudhûiyyah wa Fiqhiyyah, 2
Aditama, 2009. jilid, Kairo: Dar al-Hadits, 2010.
Partini, Bias Gender dalam Birokrasi, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2013.

247

Anda mungkin juga menyukai