A. Pendahuluan
Dari An Nawas bin Sam’an radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: Kebajikan itu keluhuran akhlaq. Dalam hadist ini
memiliki kandungan hadist yang dimana terdapat petunjuk tentang urgensi
akhlak dalam agama ini (islam), karena Nabi SAW memberitakan bahwa
seluruh kebajikan terdapat dalam keluhuran akhlak. Dengan demikian,
seorang yang baik adalah orang yang luhur aklaknya.
Mengapa adab dan akhlak penting bagi umat muslim? Adab dan akhlak
sangat penting dalam kehidupan, baik itu kehidupan sendiri, keluarga ataupun
sosial. Dan yang lebih penting lagi adalah adab kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dengan adab seorang muslim yang sejati akan menjadi mulia dihadapan Allah
dan Rasul-Nya juga dihadapan manusia. Bahkan Allah subuhanahu wa ta’ala
menjadikan akhlaq yang baik sebagai barometer sempurnanya iman seorang
hamba, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi Wasallam Bersabda: Kaum Mukminin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (H.R
Tirmidzi (1162), Abu Dawud (4682))
Apasih adab dan akhlak itu? “adab dan akhlak islamiyah” ialah etika dan
moral yang di anjurkan di dalam islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, dengan mengikuti contoh dari tauladan Nabi Muhammad SAW, yang
dalam akidah islamiyah sebagai umat paling sempurna.
Perkataan akhlak berasal daripada perkataan (al-akhlaaqu) yaitu kata
jama daripada perkataan (al-khuluqu) bererti tabiat, kelakuan, perangai,
tingkahlaku, matuah, adat kebiasaan, malah ia juga bereti agama itu sendiri.
Sedangkan me nurut istilah seperti yang dikatakan Imam Ghazali
rahimahullahu ta’ala bahwa “ akhlak ialah suatu keadaan yang tertanam di
dalam jiwa yang menampilkan perbuatan-perbuatan dengan senang tanpa
memerlukan pemikiran dan penelitian. Apabila perbuatan yang terkeluar itu
baik dan terpuji menurut syara dan aqal, perbuatan itu dinamakan akhlak
yang mulia. Sebaliknya apabila terkeluar perbuatan yang buruk, ia dinamakan
akhlak yang buruk.
Mengutip dari buku Prof. Yunahar Ilyas, disebutkan bahwa akhlak
manusia kepada Allah adalah diwujudkan melalui takwa. Takwa merupakan
konsep konkret hubungan antara Sang Pencipta yakni Allah dengan manusia
sebagai hamba-Nya. Hubungan tersebut bersifat hubungan aktif yang
menimbulkan konsekuensi logis berupa hubungan manusia dengan sesama
dan terhadap alam lingkungannya.
Dalam Ruh ad-Din al-Islam, ulama mendefinisikan takwa sebagai upaya
manusia dalam menanamkan rasa takut terhadap hal-hal yang dimurkai Allah.
Selain itu, takwa juga berfungsi sebagai benteng penjagaan atau proteksi diri
dari azab Allah.
Berbicara mengenai takwa, disebutkan dalam surah al-Baqarah: 177
dengan istilah “al-birru” yang berarti kebaikan. Ayat tersebut mengandung
empat komponen takwa, di antaranya; pertama, mengimani adanya Allah, hari
kiamat, malaikat, kitab dan para nabi-Nya sebagai bentuk hubungan vertikal
manusia kepada Allah. Kedua, berinfak atau bersedekah kepada kerabat, anak
yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta dan hamba sahaya sebagai
bentuk hubungan horizontal manusia terhadap sesama. Ketiga, bentuk
religiusitas seorang hamba yang diwujudkan dengan ibadah (melaksanakan
salat, menunaikan zakat) serta amanah dalam menepati janji. Keempat,
bersikap sabar dalam kemelaratan dan penderitaan sebagai bentuk mentalitas
seseorang yang bertakwa. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa takwa
adalah suatu integrasi hubungan antara iman (kepada Allah), Islam (bentuk
ibadah mahdah) dan ihsan (sosial kemasyarakatan).
Takwa ini juga disinggung dalam surah Ali-Imran: 102 yang mana Allah
memerintahkan orang-orang mukmin supaya bertakwa dengan “sebenar-
benar takwa”. Merujuk pada hadis masyhur Nabi, “bertakwalah kamu kepada
Allah dimana saja kamu berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan
akhlak yang baik”, dipahami bahwa maksud sebenar-benar takwa adalah suatu
bentuk perilaku yang melampui dimensi ruang dan waktu, dengan kata lain
bukan parsial (setengah-setengah). Sebagai contoh orang yang sholeh ketika di
dalam masjid, namun rendah moralnya ketika berada di ruang publik belum
dapat disebut dengan takwa yang sesungguhnya.
Di antara perwujudan orang bertakwa adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam surah al-Anfal: 29 berupa “furqan”. Di era ketika kebenaran
tidak lagi dikembalikan pada validitas wahyu melainkan justru disandarkan
kepada nalar manusia, sangat diperlukan kecerdasan mental spritual,
intelektual dan emosional untuk memilah antara haq dan yang batil. Dengan
kata lain, orang bertakwa dengan kemampuan furqan-nya akan mampu
mengambil posisi yang tepat dari berbagai persoalan ambigu.
Dalam surah al-A’raf: 96 disinggung pula bahwa makna takwa adalah
suatu hal yang memunculkan keberkahan dalam arti kebermanfaatan bagi
lingkungan. Ketika takwa sudah terinstal atau tertanam pada diri manusia,
maka akan selalu didapati kemudahan, solusi dalam kehidupan dan tentunya
ampunan terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, puncak
keimanan kepada Allah adalah melalui ketakwaan.