Anda di halaman 1dari 20

Referat

Graves Ophthalmopathy

Disusun Oleh:

Greetty Permatahati

112018184

Dokter Pembimbing:

dr. Vanessa Maximiliane Tina, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT FMC BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 23 NOVEMBER – 26 DESEMBER 2020


BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena sebagian
besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves yang bersifat
autoimun. pada tahun 1835 Grave mengutarakan suatu penyakit akibat naiknya metabolisme
tubuh disertai dengan perubahan mata yang yang dinamakan Penyakit Grave atau exofthalmus
goiter. Meningkatnya metabolisme menimbulkan perubahan, ini dinamakan tirotoksikosis,
perubahan di mata dinamakan oftalmopati. Gejala tersebut disebabkan oleh karena pembentukan
tiroksin yang berlebihan. Pada penyakit Graves dapat ditemukan kelainan mata berupa edema
pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, dan penurunan visus. Penderita dengan penyakit Grave
klasik menunjukkan gejala pembesaran tiroid, tirotoksikosis, kelainan pada kelopak mata, dan
eksoftalmus yang dapat unilateral atau bilateral.1

Angka kejadian hipertiroidisme Graves di Amerika Serikat adalah sekitar seperempat dari
1% populasi penduduknya, dimana sekitar 80% pasien hipertiroidisme Graves mengalami
kelainan mata. Di Amerika Serikat, angka kejadian per tahun untuk oftalmopati Graves
diperkirakan sekitar 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk
untuk laki-laki. Prevalensi oftalmopati Graves lebih sering pada perempuan (2.5-6 kali lebih
sering dibanding laki-laki) dengan kisaran umur 30-50 tahun.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Bola Mata

Gambar 1. Anatomi bola mata3

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar
ke dalam, lapisan–lapisan tersebut adalah: (1) sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3)
retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar,
sklera, yang membentuk bagian putih mata.3
Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh
selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu:4
Tunika Fibrosa
Tunika fibrosa terdiri atas sklera dan kornea. Sklera merupakan jaringan ikat fibrosa
pelindung mata dibagian luar dimana hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat
dan berwarna putih serta berbatasan dengan kornea disebelah anterior dan duramater nervus
optikus disebelah posterior.
Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke
mata. Lapisan kornea dari anterior ke posterior terdiri dari lapisan epitel, lapisan bowman,
stroma, membran descemet dan lapisan endotel.

Lamina vaskulosa
Lamina Vaskulosa terdiri atas Koroid, korpus siliaris dan Iris. Koroid terdiri dari lapisan
luar berpigmen dan lapisan dalam yang kaya akan pembuluh darah. Korpus siliaris terdiri dari
korona siliaris, prosesus siliaris dan muskulus siliaris. Iris adalah diafragma berpigmen yang tipis
dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil. Iris membagi ruang diantara lensa dan
kornea menjadi bilik mata depan dan bilik mata belakang, serat-serat otot iris bersifat involunter
dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.
Tunika sensoria (retina)
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang
melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Permukaan luarnya melekat
pada koroid dan permukaan dalamnya kontak dengan korpus vitreum. Tiga perempat posterior
retina merupakan organ reseptor sedangkan bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan
hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya.

B. Definisi
Oftalmopati Grave dapat juga disebut sebagai thyroid associated orbitopathy
(TAO) atau orbitopathy dystyroid. Penyakit ini didefinisikan sebagai suatu kondisi
autoimun yang dihubungkan dengan status kadar tiroid yang tidak normal, dimana
terdapat inflamasi berat yang menyebabkan remodelling jaringan orbita, termasuk
akumulasi makromolekul ekstraseluler dan lemak.1 Kondisi ini ditandai dengan retraksi
kelopak mata, proptosis (penonjolan bola mata ke luar), miopati ekstraokluler restriktif,
dan neuropati optik.5

C. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari seluruh pasien dengan hipertiroidisme Graves, 80%


ditemukan mengalami kelainan mata. Angka kejadian oftalmopati Graves per tahun
mencapai 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk untuk
laki-laki. 2

Oftalmopati Graves cenderung lebih sering terjadi pada wanita (2.5-6 kali lebih
sering dibanding pria), akan tetapi kasus berat lebih sering ditemukan pada pria. Penderita
usia 30-50 tahun juga terbukti paling sering terkena penyakit ini, dengan kasus berat yang
sering dijumpai pada pasien di atas usia 50 tahun.2

D. Etiopatogenesis
Etiologi dari oftalmopati graves sama dengan penyakit graves yaitu autoimun.
Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didominasi oleh reaksi sel-sel inflamasi. Hal
ini adalah mekanisme khas pada penyakit autoimun. Endapan dari glikosaminoglikan
(GAGs) seperti asam hialuronat bersamaan dengan edema interstisial dan sebukan sel-sel
inflamasi dipertimbangkan menjadi penyebab berbagai jaringan di orbita dan disfungsi
otot ekstraokuler. Pembengkakan jaringan orbita menghasilkan edema kelopak mata,
kemosis, proptosis, dan penebalan otot ekstraokuler. Rokok merupakan faktor resiko
yang paling kuat untuk oftalmopati graves karena pada individu perokok dapat merusak
sistem imun dan paparan rokok banyak dihubungkan dengan penyakit autoimun.3
Berikut adalah proses di tingkat seluler dan biokimia dari patogenesis oftalmopati
graves:3
1. Sirkulasi sel T pada pasien penyakit graves secara langsung melawan self antigen
pada sel-sel folikuler tiroid. Pengenalan antigen ini pada fibroblast tibial dan pretibial.
Kemungkinan pengenalan ini juga terjadi di myosit ekstraseluler.
2. Sel T kemudian menginfiltrasi orbita dan kulit pretibial. Interaksi antara sel T CD4
yang teraktifasi dan fibroblast menghasilkan pengeluaran sitokin-sitokin pro inflamasi
ke jaringan sekitarnya.
3. Lebih lanjut sitokin-sitokin pro inflamasi merangsang produksi glikosaminoglikan
oleh fibroblas kemudian merangsang proliferasi fibroblas.
4. Peningkatan volume jaringan ikat dan pengurangan pergerakan otot ekstraokuler
dihasilkan dari stimulasi fibroblas. Proses yang sama juga terjadi di kulit pretibial
akibat pengembangan jaringan ikat kulit yang menyebabkan timbulnya dermopati
pretibial dengan karakteristik berupa nodul-nodul atau penebalan kulit.
Gambar 1. Patogenesis Oftalmopati Graves (diambil dari jurnal Mechanism of disease Grave’s
Ophthalmopathy, NEJM)

E. Diagnosis
1. Gejala dan Tanda
Gejala
Pasien biasa mengeluhkan rasa nyeri dan tidak nyaman pada mata, nyeri ini dapat
terjadi pada satu atau kedua mata. Rasa nyeri ini dikeluhkan pada sekitar 30% pasien
dengan oftalmopati Grave. Nyeri dapat terjadi karena pembengkakan orbita yang
menekan saraf di sekitar bola mata sehingga menimbulakn sensasi nyeri. Gejala lain yaitu
penglihatan kabur pada 75% pasien, diplopia (penglihatan ganda) 17,5% pasien,
lakrimasi dan fotofobia pada 15-20% pasien.3 Selain itu pasien juga menyampaikan
bahwa bola matanya lebih menonjol keluar dibandingkan sebelumnya (mata membelalak)
dan mata terasa kering.4
Keluhan lain yang terjadi pada pasien hipertiroid juga dapat dikeluhkan oleh pasien
seperti jantung berdebar-debar, mudah berkeringat, tidak tahan terhadap panas,
kelemahan otot, gemetar, penurunan berat badan, dan munculnya gondok. Keluhan
ektraokuler ini dapat menjadi petunjuk bahwa keluhan yang dirasakan pasien di mata
adalah akibat proses sistemik.4,5
Tanda
a. Proptosis
Proptosis adalah penonjolan bola mata ke luar atau dapat disebut eksoftalmus.
Proptosis terjadi pada 90-98% pasien dengan OG.1 Proptosis pada OG biasanya bilateral
namun mungkin juga asimetris. Proptosis yang dihubungkan dengan penyakit tiroid
ditandai dengan retraksi kelopak mata, dimana hal ini dapat menjadi pembeda dengan
proptosis yang terjadi karena penyebab lainnya.4 Proptosis terjadi karena isi orbita
dikurung oleh tulang orbita, bila terjadi penambahan massa orbita maka dekompresi
hanya dapat terjadi ke arah depan.5
b. Retraksi kelopak mata
Retraksi kelopak mata bagian atas sering merupakan tanda terjadinya TAO.
Retraksi kelopak mata terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya peningkatan stimulasi
simpatik dari otot Muller’s, kontraksi otot levator sehingga terjadi pemendekan
fungsional otot levator, bekas luka diantara fasia glandula lakrimalis dan otot levator
sehingga memberikan gambaran khas berupa kilauan temporal (lateral flare) dimana
sklera lebih banyak terlihat di sisi temporal.6,7
c. Lagoftalmus
Lagoftalmus adalah kelainan pada mata berupa kelopak mata tidak dapat menutup
dengan sempurna. Lagoftalmus terjadi karena proptosis dan retraksi kelopak mata.4 Mata
yang tidak dapat tertutup dengan sempurna dapat mengakibatkan mata bagian depan
terpapar oleh udara, sedangkan proses penggantian tears film oleh kelopak mata juga
terganggu. Akibatnya kornea mata menjadi kering dan mudah terjadi infeksi seperti
konjungtivitis dan keratitis.4,8
d. Diplopia
Diplopia adalah penglihatan ganda. Diplopia selalu dimulai dari tatapan lapang
pandang atas karena infiltrasi miopati menyerang otot rektus inferior. Namun akhirnya
semua otot ekstraokuler dapat terserang sehingga diplopia dapat terjadi di lapang pandang
manapun.4 otot ekstraokuler dapat membesar secara masif sehingga mempengaruhi
pergerakan bola mata yang juga dapar mengakibatkan diplopia.4,8
e. Neuropati Optik
Prevalensi neuropati optik dengan kehilangan penglihatan pada pasien OG kurang
dari 5%. Pembesaran otot ekstraokuler pada apeks orbita selain dapat mempengaruhi
pergerakan bola mata juga dapat menekan saraf mata. Penekanan saraf mata ini dapat
mengakibatkan munculnya tanda berupa gangguan persepsi warna, penurunan tajam
penglihatan, dan jika dibiarkan dapat mengakibatkan kebutaan.4,8,9

2. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Pada pemeriksaan vital sign dapat ditemukan takikardi karena stimulasi saraf
simpatis, tekanan darah dapat normal maupun meningkat, suhu dapat normal maupun
meningkat, frekuensi pernafasan dapat normal maupun meningkat.10
b. Pemeriksan sistemik
Pada pemeriksaan fisik sistemik harus dipastikan dulu kecurigaan terhadap
gangguan tiroid. Jika gangguan mata pada pasien berasal dari penyakit graves maka
ditemukan tanda-tanda sistemik seperti pretibial mixedema dan clubbing finger. Selain itu
munculnya gondok pada leher juga dapat memperkuat diagnosis OG.10

Gambar 2. Pretibial myxedema (diambil dari buku Harrison’s)


Gambar 3. Clubbing finger (Gambar diambil dari buku Harrison’s)

Gambar 4. Gondok (diambil dari www.zonakesehatan.info)

c. Pemeriksaan lokalis mata


Pada pemeriksaan organ mata dapat ditemukan tanda-tanda seperti dibawah
ini:8,9,11
Eksoftalmus
Eksoftalmus adalah penonjolan abnormal pada salah satu atau kedua bola mata.
Eksoftalmus ini merupakan tanda klasik pada oftalmopati graves.
Tanda pada kelopak mata
 Dalrymple’s Sign
Retraksi kelopak mata atas menghasilkan penampakan ketakutan
Gambar 5. Darlymple’s sign (diambil dari jurnal Thyroid Ophthalmopathy)
 Von Graefe’s Sign
Saat bola mata digerakkan ke bawah, kelopak mata atas tertinggal.

Gambar 6. Von Graefe’s sign (diambil dari


shamshadandwaseemeyehospital.blogspot.com)
 Enroth’s Sign
Kelopak mata terlihat penuh karena proses edema dan peradangan.
Gambar 7. Enroth’s sign (diambil dari jurnal Thyroid Ophthalmopathy)
 Gifford's Sign
Kelopak mata atas sulit untuk di eversi (dibalik)

 Stellwag’s Sign
Kelopak mata jarang sekali berkedip.
Tanda pada konjunctiva
Konjunctiva tampak mengalami injeksi dan iritasi sehingga terlihat berwarna
merah.
Gerakan bola mata
Gangguan pada gerakan bola mata dapat berupa kelemahan konvergensi yang
dikenal sebagai Morbius’s sign sampai bola mata tidak dapat digerakkan secara parsial
maupun total.

Gambar 8. Morbius’s sign (diambil dari jurnal Thyroid Ophthalmopathy)


Kornea
Infeksi pada kornea atau disebut dengan keratitis dapat terjadi karena mata pasien
jarang berkedip dan kornea terekspos oleh udara sehingga kornea menjadi kering dan
mudah terinfeksi.
Saraf mata
Pada penyakit oftalmopati grave dapat terjadi neuropati optik karena saraf dan
pembuluh darah pada mata mendapat tekanan langsung akibat pembesaran otot rectus.
Hal ini mengakibatka papiledema atau atrofi saraf optik yang dihubungkan dengan
gangguan penglihatan yang berjalan progresif.
Klasifikasi Ophtalmology Grave
The American Thyroid Association telah menggolongkan derajat keparahan dari
manifestasi oftalmopati grave yang terjadi pada mata dari skala 0 sampai 6 yang dikenal
sebagai “NO SPECS” criteria12

Class Sign
0 No sign or symptoms
1 Only signs (lid retraction or lag), no symptoms
2 Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 Proptosis (>22 mm)
4 Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 Corneal involvement
6 Sight loss

 Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat.
 Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti
dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
 Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
 Kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada
musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas.
Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan
bola mata kesamping.
 Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
 Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus optikus, yang akan menyebabkan kebutaan.13

Secara klinis terjadinya eksoftalmus dibagi menjadi 2 tipe yaitu:7


a. Thyrotoxic exophthalmus (Exophthalmic goitre)
Terjadinya eksoftalmus pada tipe ini disebabkan karena bertambahnya hormon
tiroid dalam sirkulasi darah sehingga menambah sympathetic tone dan spasme otot
polos mata. Pada tipe ini kebanyakan pada kondisi hipertiroid.
b. Thyrotropic exophthalmus (Exopthalmic ophthalmoplegia)
Terjadinya eksoftalmus pada tipe ini karena bertambahnya stimulasi hormon
tiroid pada sirkulasi darah dan gagalnya efek inhibitor hormon tiroid pada kelenjar
pituitari sehingga menyebabkan reaksi berlebihan pada jaringan orbita. tipe ini
biasanya terjadi pada status eutiroid atau hipotiroid.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes fungsi tiroid
Seperti pada penyakit hipertiroid didapatkan kadar T3 dan T4 yang meningkat,
FT4 meningkat, dan TSH menurun.10
b. Pemeriksaan visual
Pada pemeriksaan visus bisa didapatkan penurunan visus sampai pada kebutaan.
Sedangkan pada pemeriksaan persepsi warna dapat pula pasien salah mengenali warna
karena terdapat gangguan pada penglihatan warna.4
c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi perubahan pada otot ekstraokuler yang terjadi
pada kasus derajat 0 dan 1 dan dapat membantu diagnosis secara cepat. Selain ketebalan
otot, erosi dinding temporal orbita, penekanan lemak retroorbita dan inflamasi saraf optik
juga dapat terlihat pada beberapa kasus.
d. Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography merupakan alat pencitraan yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi oftalmopati graves. Computed tomography lebih sensitif
daripada magnetic resonance imaging (MRI) dalam mendeteksi pembesaran otot
ekstraokuler. Pemeriksaan ini penting terutama jika pada pasien direncanakan tindakan
operatif untuk dekompresi.1 pada pemeriksaan CT scan dapat terlihat empat tanda
kardinal dari kelainan pada orbita yaitu proptosis, penebalan otot bola mata, penebalan
saraf optik, dan prolaps septum orbita ke arah anterior karena hipertrofi jaringan lemak
dan atau penebalan otot.9
Gambar 9. Potongan koronal pembesaran otot rektus medial dan rektus inferior bilateral
(diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

Gambar 10. Potongan sagital eksoftalmus, pembesaran otot rektus medial dan rektus
lateral bilateral (diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)
Gambar 11. Potongan sagital oftalmopati graves setelah terapi glukokortikoid intravena
(diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

F. Diagnosis Banding
1. Selulitis orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar intraorbita
di belakang septum orbita. Kuman penyebab biasanya adalah pneumokok,
streptokok, atau stafilokok dan berjalan akut. Bila terjadi akibat jamur dapat berjalan
kronik. Masuknya kuman ini ke dalam rongga mata dapat langsung melalui sinus
paranasal, penyebaran melalui pembuluh darah atau akibat trauma.
Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah, kelopak mata
edema, mata proptosis, tajam penglihatan menurun. Tanda-tanda tersebut muncul
pada bola mata yang sakit saja sedangkan pada OG biasanya gejala muncul pada
kedua mata. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis sebagai penanda
infeksi sedangkan pada OG tidak, dan pemeriksaan T3, T4 dan TSH dalam batas
normal.2,5

2. Tumor orbita
Tumor orbita adalah tumor yang terletak di rongga orbita. Rongga orbital dibatasi
sebelah medial oleh tulang yang membentuk dinding luar sinus ethmoid dan sfenoid.
Sebelah superior oleh lantai fossa anterior, dan sebelah lateral oleh zigoma, tulang
frontal dan sayap sfenoid besar. Sebelah inferior oleh atap sinus maksilari. Tumor
orbita terdiri dari primer dan sekunder yang merupakan penyebaran dari struktur
sekitarnya, atau metastasase.
Gejala klinis terdiri atas proptosis yang biasanya unilateral sesuai tempat tumor
menyerang. Proptosis kedepan adalah gambaran yang sering dijumpai, berjalan
bertahap dan tak nyeri dalam beberapa bulan atau tahun (tumor jinak) atau cepat (lesi
ganas). Nyeri orbital terlihat jelas pada tumor ganas yang tumbuh cepat
Pembengkakan kelopak mungkin jelas pada pseudotumor, eksoftalmos endokrin atau
fistula karotid-kavernosa. Palpasi bisa menunjukkan massa yang menyebabkan
distorsi kelopak atau bola mata. Ketajaman penglihatan mungkin terganggu langsung
akibat terkenanya saraf optik atau retina, atau tak langsung akibat kerusakan vaskuler.
Saat dilakukan pemeriksaan CT scan terlihat lokasi massa tumor orbita dan dapat
membedakan apakah proptosis disebabkan oleh karena pembesaran otot dan lemak
seperti pada OG atau karena adanya tumor. Pemeriksaan T3, T4 dan TSH juga pada
kadar yang normal.2,5

G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Glukokortikoid
Glukokortikoid digunakan untuk GO di dua pengaturan klinis yang berbeda: 1)
grave oftalmopati berat; dan 2) grave oftalmopati ringan, yang terapi radioiodine
diberikan untuk mengobati hipertiroidisme bersamaan. Glukokortikoid masih merupakan
pengobatan yang efektif untuk grave oftalmopati berat. IV glukokortikoid harus
digunakan pada dosis yang jauh lebih rendah dari sebelumnya (4.5- ke 6-g dosis
kumulatif), mungkin dengan dosis kecil prednison oral (atau setara) pada periode
interpulse dan selama beberapa minggu setelah selesainya pengobatan iv . Penilaian yang
cermat dari pasien sebelum pengobatan untuk identifikasi faktor risiko kemungkinan
toksisitas hati adalah wajib. Pasien dengan ophthalmopathy ringan jarang memerlukan
perawatan agresif. tindakan lokal, termasuk fotofobia, air mata buatan dan salep untuk
sensasi berpasir dan lakrimasi, dan prisma untuk diplopia ringan, biasanya cukup untuk
mengendalikan manifestasi okular ringan. kontrol Prompt disfungsi tiroid dan menahan
diri dari merokok. Glukokortikoid biasanya tidak diindikasikan pada pasien dengan grabe
oftalmopati ringan.9 Pasien dengan neuropati optik yang mengancam membutuhkan
terapi segera dengan glukokortikoid intravena atau oral dosis tinggi. Terapi inisial
menggunakan 1 g metilprednisolon intravena 3 hari bertutut-turut. Dosis selanjutnya
tergantung pada respon terapi. Jika tidak ada peningkatan setelah 1 sampai 2 minggu
pasien dipertimbangkan dilakukan operasi dekompresi. Sumber lain menyebutkan
orbitopati fase akut biasanya dapat ditangani dengan pengobatan oral. Dosis awal 1-1,5
mg/kgBB prednison. Dosis ini dipertahankan selama 2 sampai 4 minggu sampai respon
klinis dirasakan. Dosis kemudian dikurangi secara bertahap (tapppering off) sesuai respon
klinis dari fungsi saraf optik.3,4
Sumber lain menyebutkan, bila proses penyakit bertambah berat sehingga mata
sukar untuk menutup dengan sempurna, pergerakan bola mata terhambat, dan terlihat
adanya ancaman terjadinya ulkus kornea dan gangguan visus maka dapat diberikan
Prednison 40-80 mg/hari atau Methylprednisolon acetate 16-24 mg diberikan
retrobulber.7,14

b. Terapi lain
Suatu penelitian tidak menunjukkan keuntungan penggunaan analog somatostatin
(ocreotide dan lantreotide) untuk oftalmopati Graves. Siklosporin meskipun menunjukkan
bahwa obat ini tidak lebih efektif dari glukokortikoid namun dapat membantu
mengurangi dosis glukokortikoid.7 Penggunaan kombinasi siklosporin dan glukokortikoid
juga dilaporkan lebih unggul dibandingkan penggunaan glukokortikoid tunggal.1

2. Nonmedikamentosa
a. Terapi radiasi
Dasar penelitian mengenai keuntungan pemakaian terapi radiasi untuk oftalmopati
graves sebenarnya terbatas, namun rasionalitas penggunaan terapi ini berdasarkan pada
efek antiinflamasi non spesifik dan sensitifitas limfosit di orbita yang tinggi. Dengan
kemajuan teknologi teknik ini tidak meningkatkan resiko katarak atau keganasan namun
dapat menimbulkan retinopati. Karena adanya efek samping tersebut sehingga pada
pasien diabetes mellitus penggunaan terapi radiasi merupakan kontraindikasi relatif.1
b. Operasi
Sekitar 20% pasien dengan oftalmopati graves mengalami penanganan bedah.
Dari 20% pasien yang menjalani operasi tersebut, hanya 2,5% yang membutuhkan semua
tipe pembedahan. Pembedahan harus ditunda hingga penyakit telah stabil kecuali jika
intervensi darurat dibutuhkan untuk mengembalikan hilangnya penglihatan akibat
neuropati kompresif. Pembedahan strabismus dan perbaikan kelopak mata tidak
dipertimbangkan hingga keadaan eutiriod telah dipertahankan dan tanda-tanda oftalmik
telah stabil selama 6-9 bulan.
Indikasi operasi pada oftalmopati graves meliputi neuropati, diplopia, kornea
yang terpapar, dan cosmesis. Secara luas tindakan operasi dapat berupa dekompresi orbita
untuk proptosis, perbaikan strabismus untuk memperbaiki adanya diplopia, dan koreksi
kelopak mata yang abnormal untuk kepentingan kosmetik. Secara tradisional, dekompresi
orbita, jika diperlukan, dilakukan paling awal, diikuti operasi perbaikan strabismus, dan
terakhir perbaikan posisi kelopak mata. . Pada suatu tinjauan 7% pasien menjalani
dekompresi orbital, 9% menjalani pembedahan strabismus, dan 13% pembedahan keopak
mata.3,4
c. Perubahan pola hidup
Beberapa tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati graves tidak
menjadi lebih berat. Kontrol penyakit tiroid merupakan langkah pertama, dan kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Krassas dan
Wiersinga, terdapat hubungan yang positif antara merokok dan penyakit tiroid autoimun
sehingga penghentian kebiasaan merokok sangat penting dalam membantu penanganan
penyakit ini. Pada pasien dengan proptosis juga sebaiknya kornea diproteksi dengan
poenggunaan kacamata atau tetes mata (artificial tears) agar kornea selalu basah.3,4

H. Prognosis
Prognosis dari oftalmopati graves dipengaruhi oleh beberapa faktor. Usia salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki
penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas waktu yang lama. Pada
orang dewasa, manifestasinya sedang sampai berat dan lebih sering menyebabkan
perubahan struktur karena gangguan fungsional. Diagnosis yang ditegakkan secara lebih
dini diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses penyakit dan mengontrol
perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas penyakit dan mempengaruhi
prognosis dalam jangka waktu yang lama.3

Daftar Pustaka

1. Rajat M., Weis E. 2012. Thyroid Associated Orbitopathy. Indian J Ophtalmol. 2012;60(2):
89-93
2. Swierzeski SJ. Graves’ Ophthalmopathy (GO). Diunduh dari
http://www.visionchannel.net/graves/index.shtml.
3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2014.h.38
4. Vaughan & Asbury’s. General ophthalmology. 18th ed. The McGraw-hill Companies:
2011.p.135
5. Lubis, Rodiah R. 2009. Graves Ophthalmopaty. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara: Medan
6. Noorsanti AD. Karakteristik grave’s opthalmopathy di pusat mata nasional rumah sakit mata
cicendo bandung. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran; 2013.h.1-2.
7. Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophtalmology: a systematic approach. 7th ed. China: Elsevier.
2011.
8. Edsel Ing, Hampton R. Thyroid-Assiciated Orbitopathy. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com.
9. Nurwasis dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi RSU dr Soetomo Edisi III. Bagian SMF
Ilmu Penyakit Mata: Surabaya
10. Tjokroprawiro A., Setiawan PB., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam FK Unair. Airlangga University Press: Surabaya.
11. Bahn, Rebecca S. Mechanism of disease grave’s ophthalmopathy. N Engl J Med. 2010;
362:726-38.
12. Khurana AK. Comprehensive ophtalmology. New Delhi: New Age International;
2007.p.390-2.
13. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill Medical;
2008.p.2233-37.
14. Farida Siti, Sakti PT. Oftalmopati pada penyakit graves.Jurnal Kedokteran :2016;5(3).h27-
30.

Anda mungkin juga menyukai