Anda di halaman 1dari 7

BAB II

HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA

A. Teori Religius dan Rasionalitas


1. Teori Rasionalitas dari Henry Nelson Wieman (1970, hal. 119)
Teori ini menyatakan bahwa setiap penghayatan manusia terhadap dunia luar
akan melahirkan dua pengalaman, yaitu pengalaman rasional dan pengalaman
religius.
2. Teori Transedental dari C.G. Jung
Teori ini didasarkan atas penelitian psikoanalisis yang melahirkan pernyataan
Jung bahwa “man himself is Partly empirical and partly transcendental”.
Dengan ungkapan lain dapat dinyatakan bahwa dalam manusia itu sudah
terkandung sebagiannya bersifat empirik dan sebagian lagi bersifat transenden.
Pernyataan Jung itu memantulkan pernyataan lain yang lebih tegas bahwa “the
psyche creates relity everyday” (Jolande Jacobi, 1973, hal. 7). Artinya sesuatu
yang bersifat jiwa, yakni sesuatu yang tidak nampak justru dapat menciptakan
hal lain yang nampak dalam kehidupan manusia sehari-hari.
3. Teori Mistik dari Santo Agustinus
Teori ini tergambar dalam pernyataannya yang diungkapkan oleh Ethel M.
Albert, et all (1969, hal 109), bahwa:
The intellectual knowledge of God htowefer, does not by itself suffice for the
perfect and ultimate comprhension of Him wich is man’s happines. For this
one must go beyond reason to mystical vision, the spiritual seeing of God
which trancends reason to mystical vision may be conceived as progressive
stops on the transcendental understanding of God, who is the essence of all
truth.nsenden dadn merupakan esensi dari seluruh kebenaran.1
Itu berarti bahwa pengetahuan intelektual saja tdak akan mencukupi untuk
menyempurnakan kebahagiaan hidup manusia dalam upayanya memahami
tuhan. Oleh karena itu, keyakinan, pengetahuan dan mistik merupakan cara-
cara tersusun sebagai langkah maju dalam upaya memahami tuhan yang tr
B. Hubungan Manusia dan Agama

1
[ CITATION Wil18 \l 1057 ] 25

1
Manusia dengan kemampuan akalnya dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi akal saja tidak mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang
dihadapi manusia. Dalam hubungan ini agama sangat berperan dalam
mempertahankan manusia untuk tetap menjaganya menjadi manusia.ilmu
pengetahuan dapat melahirkan sesuatu, misalnya dalam bidang bioteknologi
melalui rekayasa genetika. Ilmu pengetahuan dapat menghasilkan makhluk hidup
yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya sendiri yang akhirnya menjadikan
manusia sebagai budak-budak dari apa yang diciptakannya manusia menjadi
rendah dari nilai kemanusiaannya sebagai makhluk yang tinggi dan mulia.

Ilmu dan teknologi serta kemajuan peradaban manusia melahirkan jiwa yang
kering dan haus akan sesuatu sifat yang rohaniah. Kekecewaan dan kegelisahan
batin senantiasa menyertai perkembangan kesejahteraan manusia. Satu-satunya
cara untuk memenuhi perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan itu dalam
bentuknya yangsempurna dan memuaskan adalah perasaan dan keyakinan agama.

Agama memasuki pikiran manusia dimulai dalam bidang mistis,yang


kebutuhan manusia dalam hubungannya dengan hal-hal yang bersifat gaib yang
dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini manusia meyakini adanya
dewa-dewa yang mempengaruhi kehidupannya. Selanjutnya manusia
membutuhkan simbolitas dari kepercayaannya yang memiliki arti bagi kehiupan
manusia sehari-hari dimana sang dewa berada pada dunia yang jauh.

a. Hubungan Manusia dan Agama dalam tipe Hubungan Sebab Akibat


Manusia lahir dan hidup bukan di awang-awang atau ruang tanpa
udara. Ia menyaksikan kehadirannya di tengah-tengah dunia yang penuh
dengan berbagai makhluk dan benda alam. Dari salah satu kesadarannya
manusia sampai pada kesimpulan bahwa adanya buah mangga merupakan
akibat adanya pohon mangga, adanya baju karena ada yang menjahit, adanya
anak karena ada ibu dan bapaknya, dan seterusnya. Pada tingkat yang paling
tinggi, kristalisasi semua kenyataan alam yang dihayati oleh manusia akan
mengkondisi yang merangsang dan menantang dirinya untuk
mempertanyakan. Segala kondisi yang hadir di sekeliling manusia akan
merangsang kesadaran dan daya nalarnya sebagai wujud nyata akibat adanya
sesuatu Yang Maha Penyebab, yaitu Tuhan

2
Dilihat dari prosesnya, hubungan manusia dan agama pada tipe ini
akan berlangsung melalui empat fase, yaitu:
1) Fase Pertemmuan Dengan Yang Maha Kuasa
Kebutuhan manusia terhadap agama mendorongnya untuk mencari agama
yang sesuai dengan harapan-harapan rohaniahnya. Dalam kaitan ini
manusaia berusaha mencari keterangan tentangthan,agama satu-satunya
institusi yang memberikan jawaban tentang Tuhan dan tidak dengan ilmu
pengetahuan.
Kebenaran tentang Tuhan yang datang dari Tuhan sendiri merupakan
kebenaran yang bersifat mutlak. Persoalannya tidak setiap orang dapat
mengetahuinya langsung dari Tuhan; Tuhan akan memberikan informasi
tentang dirinya melalui orang yang dipilihnya sendiri,yaitu para rasul
seperti difirmankannya :
Dan tidak ada bagi seseorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau
dengan mengutus seseorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-izinnya apa yang pernah diakehendaki.
Sesungguhnya dia maha tinngi lagi maha bijaksana (QS. Asy-Syura
42:51).
Informasi yang benar tentang Tuhan harus melalui rasul yang dipercaya
dan dipilih Tuhan untuk menerangkan tentang dirinya. Di sinilah Al-Quran
menunjukan Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir yang menerima
informasi dan ditunjuk pula untuk menejelaskannya kepada manusia
lainnya. Hal ini difirmankan Allah dalam Al-Quran
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tidaklah
yang diucapkannya itu (Al-Quran ) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS.An-Najm, 53:2-4)
Dengan demikian, erat sekali hubungannya anatar kebenaran tentang
Tuhan dengan keyakinan terhadap rasul yang membawa beritanya.
Penghayatan tentang Tuhan dapat dikembangkan melalui pemahaman dan
pengahayatan terhadap ayat-ayat kauniyah berupa fenomena alam semesta
yang membuktikan kebenaran kekuasaan Allah. Apabila terjadi perpaduan

3
antara penghayatan terhadap ayat-ayat kauniyah, lahirlah keimanan yang
kuat terhadap Allah.
Puncak pengalaman manusia mengenai keterlibatannya terhadap
penghayatan kehadiran diri dan rangsangan alam sekitarnya adalah
perasaan bertemu dengan yang maha kuasa.urutan dan rentetan
kesadarannya melahirkan suatu perasaan bahwa tuhan adalah sebab segala-
galanya,sementara manusia dunia tempat tinggalnya merupakan akibat
nyata dari ke-mahakuasaanya karena yang ditemuinya itu merupakan
sesuatu yang maha abstrak,tentu sampainya ke sana bukan hal yang mudah
dan sederhana,tetapi justru merupakan hasil ikhtiarnya yang melibatkan
seluruh integritas kemanusiaanya yang sangat dalam. Namun akbat
kemanusiaanya juga,sedemikiannya dalam perasaan bertemu dengan maha
kuasa itu, bisa jadi akan dilahirkan suatu abstraksi khusus tentang yang
maha kuasa,seolah olah dia itu adalah sesuatu yang manusiawi dalam hal
ini WILLIAM JAMES (1958,hal.60) menggambarkan bahwa apapun yang
kita ketahui tentang yang mahakuasa sebenarnya merupakan akibat
abstraksi manusia mengenai alam jagat raya ini sebab yang mengenai
maha kuasanya sendiri,sesungguhnya manusia tidak pernah melihtnya
secara langsung,mengingat dia itu tidak merupakan sesuatu yang tidak
bertubuh,bertangan atau berkaki. hanya saja manusia memahaminya
seolah-olah di itu dalam pengertian manusiawi.

2) Fase Mengembangkan Hubungan


Pengalaman bertemunya dengan yang maha kuasa itu lambat laun akan
berkembang dan secara tidak langsung akan menunjukan dinamika
hubungan anatara yang mengalami dengan sesuatu yang dialaminya,antara
akibat dengan sebabnya bedanya hasil perbuatan manusia dengan dirinya
sendiri akan merangsanag untuk memnumbuhkan perasaan ada jarak
antara aku dengan dia yang dialami sedemikian kuatnya terbayang dalam
diri seseorang,sehingga pada gilirannya akan menimbulkan lebarnya emosi
kemanusiaan yang memantulkan bayangan betapa hebatnya kekuasaan dan
keagunggan yang maha lain itu. Itulah sebabnya pisikolog NICO
SYUKUR DISTER (1982 hal.33) menyatakan bahwa pengalaman
keagamaan boleh dikatakan sebagai suatu schok yang disebabkan oleh

4
yang maha lain.tanda-tanda yang adanya maha lain sendiri adalah adanya
gejala kehidupan yang sementara dan fana ini konsekuensinya yang maha
lain itu harus suci,kudus dan kramat,ia bisaterdapat dalamsuatu dzat
berpribadi yang lebih tinggi dan luhur serta bersifat ilahi atau juga dapat
hadir tersebar dimna-mana yang kudus dan suci itu terkadang-kadang
objek fujaan kadang-kadang merupakan daya kekuatan yang dirayakan
secara ritus sehingga manusia merasa terintegrasi.dari sana berkembanglah
berbagai upaya manusia untuk memelihara hubungannya dengan tuhan dan
agamanya.

3) Fase Hubungan yang Situasional


Pengalaman manusia dalam menghayati posisinya sebagaiakibat dari
adanya yang maha sebab berjalannya dan berkembangnya terus sepanjang
hayatnya namun seirama dengan kenyataan alam dan lingkungan yang
dihadapinya pengalaman keagamaan seseorang akan sangat
situasional.artinya apabila kita memprihatikan sejarahnya,kebudayaan
yang dilahirkannya serta sosiologinya,ternyata pengalaman keagamaannya
dan bentuk-bentuk pengabdian manusia kepada yang maha kuasa
senantiasa berhubungan erat dengan ruang dan waktu serta situasi yang
dihadapinya.
Mengenai hal ini GERLAD R.LESLIE (1973,hal 531) menjelaskan
hubugan timbal balik antara keyaqinan,tingkah laku dan situsi yang
dihadapi oleh manusia ia menegaskan bahwa keyaqinan agama itu jelas
akan mempengaruhi tingkah laku manusia.tingkah laku sendiri akan
membentuk situasi tertentu akan mewujudkan tuntutan manusia dengan
kehidupan sosialnya. sebaliknya keyaqinanpun biasanya
dimiliki,disediakan dan merupakan sumbangan dari suatu masyarakat bagi
individu anggota-anggotanya,sehingga menjadi suatu ukuran penilaian
terhadap pristiwa-pristiwa yang berlangsung disekitarnya.
b. Hubungan Manusia dan Agama Dalam Tipe Hubungan Atas Bawah

c. Hubungan Manusia dan Agama Dalam Tipe Hubungan Fungsional


Dilihat dari sudut pandang dari sudut fungsional, pentingnya agama dalam
kehidupan manusia berkaitan dengan hadirnya berbagai dengan unsur pengalaman

5
hidup yang berakar pada ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang
memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Pertama, agama,
berfungsi sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau
oleh manusia sehingga segala depresi dan frustasi dapat dialami bagai suatu yang
bermakna. Kedua, agama berfungsi sebagai sarana ritual yang memungkinkan
terjalinnya, sehingga memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia untuk
mempertahankan moralnya (Thomas F.o’dea,1992,hal.25).
Fungsi agama yang akan semakin terasa manakala kita menyadari bahwa manusia
merupakan makhluk yang menurut Abraham Maslow pada fase yang paling dasar
sangat bergantung pada makanan, air, udara temperatur,istirahat dan keterhindaran
dari sakit.fase kedua dari manusia mendambakan pemuasaan seksual, kegiatan,
penjelajahan, manipulasi dan kesenangan.fase ketiga manusia butuh keamanan,
keselamatan dan perlindungan.fase keempat manusia juga ingin mewujudkan rasa
cinta,rasa memiliki dan kedekatan dengan orang lain.fase kelima manusia
terdorong untuk memelihara diri dan harga dirinya,dan fase keenam manusia itu
terkait untuk mengaktualisasikan diri (klash,1970,hal.23)
d. Hubungan Manusia dan Agama Dalam Tipe Hubungan Pengabdian

Menurut Henry Wieman (1970, hal. 362) tanda dan keagamaan seseorang
yang paling puncak adalah wujud nyata mengamalkan agamanya, sesudah ia
mempercayai kekuatan Yang Maha Kuasa, kepercayaan digerakkan oleh motivasi
intrinsiknya, dan percaya bahwa dengan mendasarkan pada hal itu manusia akan
memperoleh kebaikan dan dapat menghindarkan dari sesuatu yang merugikan atau
menyakitkan. Karena itu hubgan manusia dengan agama tidak hanya bersifat
simbolik semata-mata, tetapi bahkan orang merasakan keterlibatannya seluruh
integritas kemanusiaannya, manakala ia mampu mangamalkan ajaran-ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut William James tingkah laku
dan pengabdian seseorang terhadap Yang Maha Kuasa merupakan bukti yang
meyakinkan bahwa ia adalah Kristen (Islam, Yahuudi, atau yang lain)

Tahap terakhir pergulatan manusia dengan agama ketika manusia berusaha


mencari ukuran dan kriteria segala sesuatu termasuk di dalamnya tentang Tuhan.
Tahap-tahap pergumulan manusia dengan kepercayaan-kepercayaan tentang Tuhan
itu melalui usaha-usaha sesuai dengan tingkat kemampuan mereka menunjukan
bahwa agama bagi manusia merupakan kebutuhan yang tidak bisa diabaikan

6
sepanjang sejarahnya. Hal ini menunjukan bahwa agama merupakan bagian yang
inherent dalam diri manusia atau disebut juga fitrah manusia.

Kefitrian agama bagi manusia menunjukan bahwa manusia tidak dapat


melepaskan diiri dari agama karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Wiliam
James menyatakan bahwa manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap
merupakan salah satu faktor pendorong manusia untuk beragama.lebih lanjut ia
mengatakan bahwa kendatipun benar menyatakan bahwa hal-hal fisik dan material
merupakan sumber tumbuhnya berbagi keinginan batin, namun banyak pula yang
keinginan tumbuh dari alam dibalik alam material ini buktinya, banyak perbuatan
manusia tidak kesesuaian dengan perhitungan-perhuitungan material. Pada setiap
keadaan dan perbuatan keagamaan, kita selalu dapat melihat berbagai bentuk sipat
seperti ketulusan, keikhlasan dan kerinduan, keramahan, kecintaan dan berbagai
kepribadian dan kerakteristik yang tidak selaras dengan semua gejala semua umum
kejiwaan manusia. Kebutuhan manusia terhadap agama tidak bisa digunakan dengan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Demikianlah boleh dikatakan dari manapun kita memulai,akan sulit sekali


manusia melepaskan diri dari kaitanya terhadap tuhan dan agamanya dari prihatin ke
senang muncullah ide tentang tuhan dan agama.dari tidak terasa dan tidak terpikir
sampai sadar dan mengerti mengenai keberadaan diri,hadir pula tantangan untuk
meyakini tuhan sebagai prima kuasanya dari perasaan paling hina daritumbuhnya
kebanggan mengenai hebatnya manusia juga membayang adanya penyebab dan
penentu kehinaan sekaligus sebagai pengangkat hebatnya dirinya.

Anda mungkin juga menyukai