Pendahuluan
Hadis itu terdiri dari yang di terima (yakni yang sahih) dan yang di tolak
(yakni yang dha’if) itulah secara garis besar. Tetapi para ahli hadis membagi hadis
dalam tiga bagian: hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
Pada makalah ini kita akan membahas lebih lanjut tentang syarat-syarat
hadis khususnya untuk di katakan menjadi hadis sahih.
Para ulama hadis memberikan definisi hadis sahih sebagai “Hadis yang
sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW atau kepada sahabat atau kepada
tabi’in, bukan hadis yang syadz (Kontroversial) dan terkena illat, yang
menyebabkannya cacat dalam penerimaanya.”1
1
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Pustaka Firdaus, 1993), hal. 132
Contoh Hadis Sahih ialah:
: قال, (( ح ّدثنا عبد اهلل بن يوسف: قال, ما أخرجه البخاري يف صحيحه
قال, عن ابيه, عن حممد بن جبري ابن مطعم, عن ابن شهاب, أخربنا مالك
)) مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلّم قرأ يف املغرب بالطور.2
Kata sahih berasal dari bahasa arab ash-shahih bentuk pluralnya ash-
shihha berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Sedangkan
menurut istilah hadis sahih adalah hadis yang bersambung kepada nabi
Muhammad SAW, serta didalam hadis tersebut tidak terdapat keganjalan dan
cacat.
Dalam definisi diatas, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan atau
menjadi syarat-syarat hadis sahih ialah:
a. Sanad bersambung
b. Rawi adil
c. Rawi Dhabit
d. Tidak Janggal, dan
e. Tidak ada Illat
Sebuah hadis akan dikatakan sahih apabila memenuhi syarat tersebut. Jika
suatu sanad hadis tidak memenuhi kelima unaur tersebut maka kualitas hadis
tersebut merupakan tidak sahih.
2
Mahmud al-Thahanu, Taisiri Musthalahu al-Hadis, (Maktabatu al-Ma’arif Linasir Wa at-
Tauziq, 1425 H), hal. 44
Syarat-syarat Hadis Sahih
a. Sanad Bersambung
Yang dimaksud sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad
hadis menerima riwayat hadis dari periwayat hadis sebelumnya. Keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi seluruh
rangkaianperiwayatan dalam sanad mulai dari periwayat yang di sandari oleh al-
mukkhorij (penghimpun riwayat hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada
periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutandari Nabi,
bersambung dalam periwayatan.
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak,
diantanya dilihat bagaimana keadaan usia masing-masing dan tempat tinggal
mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu,
bagaimana pula cara mereka menerima atau menyampaikan. Misalnya,apakah
dengan cara sama’ (mendengar guru memberikan hadis dari perawi itu) atau
dengan munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya kepada
muridnya), atau dengan cara lain.3
Sesungguhnya hadis yang sahih ialah yang musnad yakni sanadnya yang
bersambung sampai yang teratas. Hadis sahih ini sifatnya juga bisa disebut
sebagai yang muttashil atau maushul (yang sambung).4
Sanad bersambung juga maksudnya adalah setiap rangkaian perawi dalam
sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui
diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab rijal. Biasanya
dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak
disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun
wafatnya.
Keterangan:
Sanad riwayat ini, bersambung dari no. 1 sampai no. 6, dan rawi-rawinya
orang-orang kepercayaan dengan sempurna, hanya Abdurrahman Bin Abdillah
Bin Dinar (no. 5) saja derajatnya ada kurang sedikit dari yang lain-lain karena
sanadnya termasuk dari derajat Dun-nya, tetapi tidak lemah.5
Derajat ini kurang hafalan dan ketelitiannya dibandingkan dari derajat
yang lainnya.Oleh Karena itu martabat bagi sanad hadis sahih juga boleh dibagi
kepada 3 derajat yaitu:6
1. ‘Ul-ya (yang tinggi)
5
T. M. Hasby, Ilmu Musthalaah Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 1996), hal.31-32
6
Ibid, hal. 50
2. Wush-tha (yang pertengahan)
3. Dun-nya (yang rendah)
b. Rawi adil
Yang dimaksud dengan istilah adil dalam periwayat disini, secara
terminologis mempunyai arti spesifik atau khusus yang sangat ketat dan berbeda
dengan istilah adil dam terminologi hukum.
Dalam periwayatan, seorang dikatakan adil apabila memiliki sifat-sifat
yang mendorong keterpeliharaan takwanya, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan semua larangan allah, baik akidahnya, terpelihara
dirinya dari dosa besar dan kecil, dana terpelihara akhlaknya termasuk hal-hal
yang menodai muru’ah, di samping itu ia harus muslim, balig, berakal sehar, dan
tidak fasik.
Secara umum telah mengemukakan cara menetapkan keadilan periwayat
hadis, yaitu berdasarkan:
1. Popularitas keutamaan periwayat dikalangan utama, periwayat yang
terkenal keutamaan pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan
al-Tsaury tidak lagi diragukan keadilannya.
2. Penilaian para kritikus periwayat hadis, penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat
hadis.
3. Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil, cara ini ditempuh bila para
kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi riwayat
tertentu. Jadi penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari
ulama, dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat.
Khusus para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama menilai mereka bersifat
adil. Karenannya, dalam proses penilaian periwayatan hadis, pribadi sahabat Nabi
tidak dikritik oleh ulama hadis.7
7
Ibid, hal. 67-68
Seluruh periwayat dalam sanad hadis sahih bersifat adil adalah periwayat
yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama islam, mukallaf, melaksanakan
ketentuan agama, memelihara kehormatan diri.8
Apabila salah seorang diantaranya kehilangan salah satu sifat adil atau
sifat cermat, hadisnya dianggap dha’if dan tidak sahih lagi. Dalam pembicaraan
mengenai syarat-syarat rawi-rawi yang dimaksudkan dengan adil dan cermat telah
kita ketahui.9
Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang
menjaga ketakwaan dan menjahui dosa kecil. Artinya orang adil adalah orang
yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa
nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut adil, yaitu:
1. Muslim
2. Menjahui perbuatan fasiq
3. Bukan orang yang ceroboh
4. Mukallaf (baligh dan berakal)
5. Menjaga muru’ah. Muru’ah disini artinya sangat lokalistik, sesuai dengan
ada dan kebiasaan daerah perawi hidup.
1. Bukhari
2. Abdullah Bin Yusuf
3. Malik
4. Nafi
5. Abdullah (yaituIbnu ‘Umar)
6. Rasulullah SAW
c. Rawi Dhabit
Dhabit menurut bahasa ialah yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang
hafal dengan sempurna.
Sedangkan menurut istilah adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa
yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia
menghendaki.
Sebagai ulama menyatakan, orang yang dhabit ialah orang yang
mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan
pemahaman yang mendetail dan kemudian dia hafal secara sempurna, dan dia
memiliki kemampuan itu sedikitnya mulai ia mendengar riwayat itu sampai ia
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.
Dari definisi diatas bisa dipahami bahwa seseorang bisa disebut dhabit,
apabila:
10
Ibid, hal. 30
1. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah
didapatkannya (diterimanya).
2. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
3. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu
dengan baik:
Kapan saja dia menghendakinya
Sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain
Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini
menjadi du, yaitu Dhabit shadr atau disebut juga dengan Dhabit fuad, dan kedua
Dhabit kitab.
11
Ibid, hal. 69-70
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabit yaitu memiliki ingatan dan
hafalan yang sempurna. Periwayat memahami dengan baik apa yang di
riwayatkan serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki.12
Rawi-rawi yang ada dalam sanad hadis diatas, kalau disusun dengan tertib,
akan menjadi seperti berikut :
1. Bukhari
2. Abdullah Bin Yusuf
3. Malik
4. Nafi
5. Abdullah (yaituIbnu Umar)
6. Rasulullah SAW
Rawi-rawi diatas juga termasuk dari dhabit karena para rawi-rawi tersebut
memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna.
Adapun Rasulullah yang tidak kita ragukan lagi tentang ingatan dan
hafalan beliau.13
12
Ibid, hal. 68
13
Ibid, hal. 30
d. Tidak Janggal
Yang dimaksud dengan tidak ganjal disini, ialah suatu hadis yang
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkannya oleh perawai lain yang lebih
kuat atau lebih tsiqah.
Melihat definisi diatas dapat dipahami bahwa hadis yang tidak ganjal
adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat
atau yang lebih tsiqah.
Untuk mengetahui bahwa suatu hadis syadz atau tidak harus diadakan
penelitian,yaitu:
1. Semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya
memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan
2. Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya
3. Apabila seluruh periwayat bersifat tsiqah dan ternyata ada seorang
periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad
yang menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya
disebut sanad mahfuz.
Yang dimaksud dari tidak janggal disini ialah sanad dan matan hadis yang
sahih itu terhindar dari syadz (Kontroversial), yakni hadis yang tidak menyalahi
hadis yang derajatnya lebih kuat.
Syadz berarti hadisnya tidak berlawanan dari hadis yang diriwayatkan oleh
orang yang lebih benar dibandingkan dirinya. Hadis yang dianggap syadz atau
janggal karena apabila perawi berbeda dengan rawi lainnya yang lebih kuat
posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih
banyak, maka para rawi yang lainnya itu harus diunggulkan dan hal tersebut
14
Ibid, hal. 71
disebut syadz. Maka karena itu timbullah penilain negatif terhadap periwayatan
hadis yang bersangkutan.
15
Ibid, hal. 72
16
Ibid, hal. 68
2. Hadis shahih lighairihi adalah hadis yang sahihnya lantaran dibantu oleh
keterangan yang lain, yaitu jadi sah karena di kuatkan dengan jalan atau
keterangan lain. Jadi, disimpulkan sebelum sampai kepada kualitas sahih,
kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadis
tersebut meningkat menjadi hadis shahih lighairihi.17
Penutup
a. Sanad bersambung
b. Rawi adil
c. Rawi Dhabit
d. Tidak Janggal, dan
e. Tidak ada Illat.
Jika ada sebuah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat
hadis tersebut, maka hadis tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hadis sahih.
Menurut macam-macam bagiannya hadis sahih terbagi atas dua bagian,
yaitu:
1. Hadis Shahih Lighairihi, dan
2. Hadis Shahih Lidzatihi
Perbedaan antara hadis shahih lighairihi dan hadis shahih lidzatihi yaitu
terlihat pada syarat-syarat yang terdapat pada hadis tersebut.
Syafe’i, Rachmat. Al-hadis Akidah, Akhlaq, Sosial, Dan Hukum. Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000.
Bi-Ibnu Hajar al-‘Asyiqalani, Ahmad bin ‘Ali as-Syafi’i al-Ma’rufa. Bulughu al-
Maram min Adillati al-Ahkam, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1422 H –
2002 M.