Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Resistensi antibiotik di seluruh dunia, dilaporkan mengalami peningkatan

setiap tahun. Hal ini memiliki dampak buruk bagi berbagai sektor kehidupan

manusia, langsung dan tidak langsung. Gangguan kesehatan merupakan salah satu

dampak langsung, selain hambatan dalam pekembangan yang dapat disertai tidak

insekuritas dalam ketahanan pangan sebagai dampak tidak langsung. Rentang

gangguan yang besar seharusnya menjadikan peringatan untuk melakukan

berbagai tindakan nyata dalam mengantisipasi ancaman yang terus berlangsung

dari sistem kesehatan setiap negara (Klein, dkk, 2018).

Peningkatan resistensi kuman penyakit terhadap terapi yang diberikan

terutama antibiotik, dilaporkan distimulasi oleh penggunaan obat golongan ini

sejak tahun 2000 sebesar 66% (Klein, dkk, 2015). Penggunaan antibiotika tersebut

Sebagian besar diketahui merupakan tindakan yang tidak diperlukan (Shallcross,

dkk, 2014). Salah satu resistensi terhadap antibiotika didapati terjadi pada jenis

kuman Staphylococcus aureus sebagai salah satu penyebab infeksi saluran nafas

bagian atas (ISPA). Kemampuan untuk bertahan terhadap daya kerja antibiotika

tidak khusus pada satu jenis obat namun dilaporkan penyebab penyakit ini telah

resisten terhadap multiple golongan antibiotik (Klein, dkk, 2014).

Infeksi saluran pernapasan menjadi sumber penyebab paling umum

penggunaan antibiotika oleh tenaga kesehatan yang melakukan praktik

pengobatan. Penyakit ini mempunyai frekuensi tinggi diderita anak dari golongan

usia bawah lima tahun (balita). Hal ini dikarenakan perkembangan daya tahan

1
2

tubuh yang belum sempurna sehingga menjadi sangat rentan. Infeksi saluran

nafas, meskipun sebagian besar bersifat ringan dan terbatas, memiliki dampak

signifikan terhadap beban kesehatan dan ekonomi setiap negara yang mempunyai

prevalensi tinggi. Dampak terhadap kehidupan masyarakat tersebut menjadi

pendorong pemberian antibiotika pada infeksi saluran nafas terus melonjak,

meskipun pada beberapa negara telah diberikan panduan pengobatan yang

melarang meresepkan obat golongan ini. Dasar pelarangan dikarenakan sebagian

besar infeksi disebabkan oleh virus yang tidak dapat di hambat perkembangannya

dengan antibiotika (Biezen, et. al, 2016).

Pedoman klinis yang tersedia, diketahui belum konsisten dijalankan pada

negara-negara yang telah menyusun panduan minimalisasi antibiotika terutama

pada anak usia balita. Ketidaktepatan serta berlebihan dalam pemberian

antibiotika sangat penting diperhatikan pada golongan usia tersebut dikarenakan

tingginya frekuensi infeksi yang berasal dari masyarakat, harapan hidup yang

lebih lama, dan peningkatan risiko pajanan terhadap patogen yang resisten

antibiotik dalam kasus kontrol obat. Keragaman faktor yang mempermudah balita

mengalami infeksi seperti ISPA dan kemungkinan besar mengalami resistensi

karena penggunaan antibiotika yang tidak tepat, menjadi permasalahan kesehatan

yang memerlukan analisis mendalam (Rogawski, et. al, 2017).

Pemberian antibiotika difasilitas kesehatan seperti rumah sakit, tidak

merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhi

termasuk pengetahuan orangtua tentang manfaat antibiotika pada ISPA serta

adanya pemberian yang telah dimulai di tingkat fasilitas kesehatan pertama.

Pemberian antibiotika pada anak diketahui sama porsi pemberiannya pada kasus
3

infeksi saluran nafas bawah, dan beberapa kasus infeksi saluran pernafasan atas

seperti otitis media, sinusitis dan laringitis. Anak setidaknya mendapatkan

antibiotik paling sedikit satu kali dalam setahun dan pemberian tertinggi pada

anak usia dua tahun dibandingkan usia di atasnya. Keadaan yang terjadi di

fasilitas kesehatan tingkat pertama di Belanda ini menjadi gambaran pemberian

antibiotik yang memicu resistensi karena ISPA merupakan penyakit yang dapat

sembuh dengan sendirinya (Saunders, et.al, 2014).

Evaluasi penggunaan obat untuk meminimalkan penggunaan yang tidak

tepat dan berlebihan diantaranya dari golongan antibiotik seperti dilaporkan oleh

negara-negara lain, telah disusun oleh Pemerintah Indonesia dengan mengacu

pada WHO tentang Rational Use of Medicine (RUM). Panduan ini meliputi enam

langkah untuk menentukan aspek-aspek yang harus dipenuhi sebelum obat

digunakan atau diresepkan kepada pasien. Panduan ini dijabarkan dengan

penggunaan alat monitor dari Gyssesns sehingga dapat diketahui tingkat ketepatan

dari obat yang telah diberikan. Enam langkah tepat tersebut meliputi tepat pasien,

indikasi, obat, pemberian dosis dan lama pemberian, biaya dan informasi

(Kemenkes, 2011).

Penggunaan skala Gyssens untuk melihat tingkat rasionalitas penggunaan

antibiotik pada pasien anak rawat inap memperlihatkan rasionalitas masih

memerlukan usaha-usaha optimal. Pemeriksaan terhadap 385 regimen

menunjukkan bahwa 23,9% penggunaan antibiotik rasional. Jenis

ketidakrasionalan, yaitu kategori V (8,6%); kategori IV A (22,3%); kategori IV C

(20%); kategori IV D (1,6%); kategori II A (44,4%); kategori IV B (37,7%)

(Purwaningsih, dkk, 2015).


4

Pengkajian dan analisis lain untuk melihat rasionalitas penggunaan

antibiotik didapatkan bahwa terdapat peran apoteker dalam pemenuhan syarat

pemberian obat. Bagian tersebut merupakan rekomendasi apoteker yang dapat

menurunkan masalah ketidaktepatan dosis (29,73%) menjadi 0%), ketidaktepatan

lama pemberian (51,35% menjadi 5,41%), dan ketidaktepatan pemilihan obat

(18,92% menjadi 5,41%). Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) terhadap

lama rawat kelompok rekomendasi (R) adalah Rp 2.481.456 lebih rendah

dibandingkan kelompok non rekomendasi (NR) adalah Rp 2.640.703, sedangkan

ACER terhadap hasil terapi (sembuh) kelompok rekomendasi (R) Rp 9.369.404

lebih rendah dibandingkan kelompok non rekomendasi (NR) Rp 17.985.054.

Hasil penelitian memperlihatkan bawah penggunaan antibiotik di RSUP

Fatmawati tepat dan bijak (Kristiiani, dkk, 2018).

Komitmen politis untuk mengatasi resistensi karena penggunaan antibiotik

tidak rasional yang dibuat pada Majelis Kesehatan Dunia dan Majelis Umum ke-

71, Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk penerapan secara ketat penggunaan

antibiotika pada anak usia balita dan anak dengan kasus ISPA, kenyataannya tidak

ada sistem yang efektif telah diusulkan untuk melacak kemajuan pada skala

global. Hambatan utama untuk bertindak adalah kerumitan dalam mengevaluasi

dan mengkomunikasikan masalah resistensi antibiotik, terutama mengingat

serangkaian besar kombinasi antibiotik dan bakteri. Data menunjukkan bahwa di

dunia sampai dengan tahun 2018 dilaporkan terdapat 500.000 jiwa mengalami

resistensi antibiotik di antara dengan dugaan infeksi bakteri di 22 negara (WHO,

2018).
5

Indonesia seperti dilaporkan WHO, tergolong negara dengan penggunaan

antibiotika tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugiarti, dkk (2015)

menunjukkan alasan penggunaan antibiotika tidak tepat terkait dengan prevalensi

ISPA tinggi pada anak usia balita. ISPA merupakan penyebab kematian tertinggi

pada bayi sebesar 98%. Pemberian antibiotika pada balita dengan infeksi saluran

nafas non pneumonia yang tidak memerlukan pengobatan tersebut didapati

sebesar 53,95% (Riswaanto, dkk, 2016).

Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi

ISPA tertinggi di Indonesia sekitar 25,5% dengan porsi terbesar didapati pada

anak usia 1-4 tahun sekitar 41%. Hasil ini telah mengalami pengurangan berarti

pada tahun 2018 menjadi sekitar 9,3% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan

(Riskesdas, 2018). Hasil penelitian terhadap anak usia balita di berbagai fasilitas

kesehatan primer seperti yang dilaporkan oleh Sauriasari, dkk (2017)

menunjukkan pemberian antibiotika pada infeksi saluran nafas masih tinggi

(59,6%).

Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus ISPA

tinggi dengan prevalensi di atas rata-rata nasional sebesar 9,5% (Riskesdas, 2018).

Data laporan penggunaan antibiotika pada anak balita tidak dilaporkan secara

spesifik namun bila didasarkan pada prevalensi anak balita yang mengalami ISPA

dapat diperkirakan bahwa penggunaan antibiotika tergolong tinggi seperti halnya

hasil penelitian pada provinsi lain.

Hasil survey awal yang telah penulis lakukan dengan melihat dan

melakukan analisis terhadap data pasien dalam rekam medis menemukan

sebanyak 14 anak usia balita dengan ISPA (37,83%) dari total 37 pasien selama 6
6

dari bulan Januari sampai dengan Juni 2019, mendapatkan antibiotika. Kategori

klasifikasi didapatkan pemberian natibiotik tergolong IV A (Ada antibiotik lain

yang spektrumnya lebih sempit) dan IV C (Ada antibiotik lain yang lebih murah).

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui

rasionalitas penggunaan antibiotik pada balita penderita ISPA di Instalasi Rawat

Jalan RSUD Kota Langsa.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah

Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Balita Penderita ISPA di Instalasi Rawat

Jalan RSUD Kota Langsa ?

1.3. Hipotesa

Ha : Ada rasionalitas penggunaan antibiotik pada balita penderita ISPA di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Langsa.

Ho : Tidak ada rasionalitas penggunaan antibiotik pada balita penderita ISPA

di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Langsa.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rasionalitas penggunaan

antibiotik pada balita penderita ISPA di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Langsa.

1.4.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan

antibiotik pada balita penderita ISPA dari aspek tepat indikasi di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Kota Langsa.


7

b. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan

antibiotik pada balita penderita ISPA dari aspek tepat obat di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Kota Langsa.

c. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan

antibiotik pada balita penderita ISPA dari aspek tepat dosis di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Kota Langsa.

d. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan

antibiotik pada balita penderita ISPA dari aspek tepat interval waktu di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Langsa

e. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan

antibiotik pada balita penderita ISPA dari aspek tepat lama pemberian obat

di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kota Langsa

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Peneliti

Menambah pengetahuan mengenai pengobatan ISPA, dan pengalaman

tentang rasionalitas penggunaan antibiotik dalam menjalankan peran dan fungsi

tenaga teknis kefarmasian

1.5.2. Pendidikan Kesehatan

Untuk menambah bahan pembelajaran dan referensi dalam penulisan

skripsi selanjutnya dan sebagai informasi tentang rasionalitas penggunaan

antibiotik.

1.5.3. Rumah Sakit

Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan

melihat pola dan ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada
8

balita dan digunakan sebagai acuan untuk mencegah timbulnya resistensi kuman

terhadap antibiotik.

1.6. Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari

hal-hal yang khusus. Adapun kerangka konsep dalam peneltian dapat dilihat pada

gambar 1.1 berikut :

Independent Dependen

Rasionalitas penggunaan antibiotik


pada balita penderita ISPA : Rasional
1. Tepat indikasi
2. Tepat obat
3. Tepat dosis
4. Tepat interval waktu Tidak Rasional
5. Tepat lama pemberian obat

Gambar 1.1. Kerangka Berfikir

Anda mungkin juga menyukai