Anda di halaman 1dari 41

1.

Inflamatory bowel disease


A. Definisi
Inflamatory bowel disease didefinisikan sebagai inflamasi kronis pada saluran
pencernaan. Secara umum, IBD terbagi menjadi 2 tipe, yakni Crohn's disease dan
kolitis ulseratif dengan karakteristik klinis dan patologis yang berbeda. UC terbatas
pada kolon, sedangkan CD mencakup semua segmen daripada traktus gastrointestinal
dari mulut sampai anus.
Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 1-2 juta penduduk di Amerika Serikat mengidap UC
ataupun DC, dengan angka insiden sekitar 70-150 kasus per 100000 individu.
Etiologi
Etiologi sebenarnya tidak pasti, ada penelitian yang memperkirakan teori
etiologic IBD, yaitu infeksi spesifik yang persisten, disbiosis (ratio abnormal daripada
agen mikroba yang menguntungkan dan komensal yang merugikan), fungsi barier
mukosa yang terganggu, dan clearance mikroba yang terganggu.
Patofisiologi
Patofisiologi IBD adalah inflamasi pada mukosa traktus intestinal
menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan, kemudian hilangnya air dan elektrolit
B. Crohn’s disease
CD dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran pencernaan, mulai dari
mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi,
striktur, dan fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh karena proses
inflamasi granuloma nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah
transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya mukosa dan
submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja merupakan cirri daripada UC.
Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan memiliki skip area antara satu atau lebih
dari area yang terkena penyakit. Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak
seperti batu bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal pada
mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap CD adalah penyakit
pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas pada usus halus (30%) dan terbatas
pada kolon (25%). Rectal sparing khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi.
Namun, komplikasi anorektal seperti fistula dan abses sering terjadi. Walaupun jarang
terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih proksimal, seperti
mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum.
C. Kolitis ulseratif
Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon bagian
proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar. Rektum
selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area” (area normal pada usus yang
diselang-selingi oleh area yang terkena penyakit), dimana skip area ini didapatkan
pada CD. 25% dari kasus UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan sisanya,
biasanya menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi pada 10% dari
kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah terlibat kecuali jika bagian akhir distal
daripada ileum mengalami inflamasi superfisial, maka dapat disebut dengan backwash
ileitis. Walaupun keterlibatan total dari kolon lebih sedikit, penyakit ini menyerang
serentak dan berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik, maka kolon akan menjadi
kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking, yang menyebabkan gambaran pipa
yang lebam/hitam pada barium enema
Manifestasi klinis
Manifestasi IBD umumnya tergantung pada area mana yang terlibat di saluran
pencernaan. Pasien-pasien dengan IBD dapat pula mengalami Irritable Bowel
Syndrome (IBS), dimana akan terjadi kram perut, kebiasaan buang air besar yang
tidak teratur, dan keluarnya mukus tanpa darah atau pus.
Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam, berkeringat, merasa lemas,
dan nyeri sendi. Demam ringan merupakan tanda pertama yang harus diwaspadai,
kemudian pasien dapat merasa kelelahan yang berhubungan dengan nyeri, inflamasi,
dan anemia.
Rekurensi dapat terjadi oleh karena faktor stres emosional, infeksi atau
berbagai penyakit akut lainnya, kehamilan, penyimpangan pola makan, penggunaan
cathartic atau antibiotik, ataupun penghentian penggunaan obat-obatan antiinflamasi
atau steroid. Pada anak-anak dapat terjadi keterlambatan tumbuh dan maturasi
seksualnya tertunda atau gagal. Pada 10-20% kasus terdapat manifestasi
ekstraintestinal seperti arthritis, uveitis, dan penyakit liver.Berak berdarah, terkadang
dengan tenesmus, khas terjadi pada UC, namun pada CD kadang-kadang juga dapat
terjadi. Sebagian besar pasien dengan CD dapat mengalami penyakit perianal seperti
fistula dan abses, kadang-kadang dapat juga mengalami nyeri perut kanan bawah akut
dan demam, mirip apendisitis dan obstruksi intestinal. Tidak jarang pasien didiagnosa
dengan IBS sebelum terdiagnosa IBD.
Kehilangan berat badan lebih sering terjadi pada CD daripada UC karena
terjadinya malabsorpsi yang berhubungan dengan penyakit pada usus halus. Pasien
bisa tidak mau makan karena ingin mengurangi gejala yang terjadi. Biasanya,
diagnosis dapat ditegakkan hanya setelah beberapa tahun mengalami nyeri perut
berulang, demam, dan diare.
Pada pemeriksaan fisik, demam, takikardi, dan dehidrasi dapat terjadi pada
pasien dengan IBD. Pasien dapat tampak pucat, merupakan tanda anemia. Faktor-
faktor inilah yang menjadi patokan untuk menentukan keparahan dari penyakit. Nyeri
tekan pada abdomen dapat terjadi sebagai tanda dari peritonitis lokal. Pasien dengan
megakolon toksik tampak terlihat sepsis, yang ditandai dengan demam tinggi, letargi,
menggigil, takikardi, meningkatnya nyeri pada abdomen, dan distensi abdomen.
Pasien dengan CD mungkin dapat ditemukan massa pada kuadran perut kanan
bawah. Komplikasi (seperti fisura atau fistula perianal, abses, dan prolaps rektum)
dapat ditemukan sampai pada 90% pasien dengan CD, dan tanda-tanda yang biasa
terjadi adalah kehilangan darah yang tidak biasanya, demam ringan, kehilangan berat
badan, dan anemia.
Pemeriksaan rektum sering ditemukan berak darah pada pemeriksaan
makroskop atau hemoccult. Pemeriksaan fisik juga sebaiknya dilakukan untuk
mencari manifestasi ekstraintestinal seperti iritis, episcleritis, arthritis, dan
keterlibatan dermatologi
D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan feses
Sebelum membuat diagnosis definitif IBD idiopatik, lakukan kultur feses
untuk mengevaluasi adanya leukosit, ova, maupun parasit, kemudian kultur
bakteri patogen, dan titer Clostridium difficile. Minimal pemeriksaan untuk toksin
C difficile dilakukan pada pasien dengan colitis yang meluas. Amebiasis biasanya
susah diidentifikasi dengan pemeriksaan feses, lebih baik dengan pemeriksaan
serologi. 50-80% kasus ileitis terminal akut disebabkan oleh infeksi
Yersiniaenterocolitis, yang nanti gambarannya adalah pseudoappendicitis.
Yersiniosis juga memiliki frekuensi tinggi terjadinya manifestasi sekunder, seperti
eritema nodosum dan monoarticular arthritis, yang mirip dengan IBD.
 Pemeriksaan Darah Lengkap
Komponen darah lengkap yang diperiksa berguna sebagai indikator
aktivitas daripada penyakit dan adanya defisiensi vitamin maupun zat besi.
Peningkatan jumlah sel darah putih umum pada pasien dengan penyakit inflamasi
yang aktif, dan bukan selalu mengindikasikan terjadinya infeksi.
Anemia sering terjadi, baik anemia oleh karena penyakit kronis (biasanya
dengan mean corpuscular volume [MCV] yang normal) ataupun anemia defisiensi
besi (dengan MCV yang rendah). Anemia dapat terjadi oleh karena kehilangan
darah yang akut maupun kronik atau karena malabsorpsi (zat besi, folat, vitamin
B12) atau karena penyakit kronis. Umumnya jumlah platelet normal, dapat sedikit
meningkat jika terjadi inflamasi aktif, khususnya jika terjadi perdarahan pada
saluran pencernaan. Laju endap darah (LED) merupakan penanda terjadinya
inflamasi, dimana jika terdapat inflamasi akan terjadi peningkatan nilai LED di
atas normal. LED dapat digunakan untuk menentukan apakah IBD aktif sedang
berlangsung atau tidak. Pasien dengan striktur cicatrix tidak mengalami
peningkatan LED.1,6
 Pemeriksaan Histologi
Kebanyakan perubahan mukosa yang terlihat pada pasien IBD sifatnya
nonspesifik, karena dapat terlihat pada sistem organ manapun yang terjadi proses
inflamasi aktif.
UC utamanya melibatkan mukosa dan submukosa, dengan pembentukan
abses crypt dan ulserasi mukosa. Mukosa secara tipikal terlihat granular dan
rapuh. Pada kasus yang lebih parah, terbentuk pseudopolip, yang terdiri dari area
dengan pertumbuhan hiperplastik dengan pembengkakan mukosa dikelilingi oleh
mukosa yang terinflamasi dengan ulkus yang dangkal. Pada UC yang parah,
inflamasi dan nekrosis dapat meluas di bawah lamina propia untuk melibatkan
submukosa dan otot-otot sirkuler dan longitudinal, walaupun ini sangat jarang
terjadi.
Inflamasi pada UC hampir selalu melibatkan rektum dan
berkesinambungan, hampir tanpa perluasan pada daerah kolon. Pengecualian
dapat terjadi jika inflamasi awal terlihat patchy pada colonoscopy yang dilakukan
di awal terjadinya proses UC. Inflamasi intestinal pada UC hanya melibatkan
kolon saja, sisanya tidak mengalami inflamasi. Biopsi dapat memperlihatkan
adanya infiltrasi neutrofil diikuti dengan abses crypt dan distorsi crypt. Tidak
terjadi granuloma pada UC. Pada CD, yang terlibat adalah seluruh dinding
intestinal tidak hanya mukosa dan submukosa seperti yang terjadi pada UC. Pada
biopsi biasanya terlihat adanya granuloma, yang biasanya dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis. Karena spesimen biopsi biasanya hanya diambil pada
jaringan mukosa superficial, sehingga sering sulit menegakkan diagnosis hanya
dengan pemeriksaan histologi saja. Namun, penyebab lain dari inflamasi dapat
diperkirakan dengan pemeriksaan ini.
 Pemeriksaan Serologi
Perinuclear antineutrophyl cytoplasmic antibodies (pANCA) dapat
ditemukan pada beberapa pasien dengan UC, dan anti-Saccharomyces cerevisiae
antibodies (ASCA) dapat ditemukan pada pasien CD. Kemudian, pada pasien
dengan seronegatif terlihat memiliki insiden yang lebih rendah untuk mengidap
penyakit yang resisten. Namun saat ini, markermarker tersebut sudah tidak cukup
sensitive lagi untuk digunakan sebagai screening test untuk IBD dan menegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan serologi saja tidak dibenarkan.
 Pemeriksaan Radiologi
1) Upright Chest dan Serial Abdomen
Modalitas ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya tanda obstruksi, evaluasi
colon yang edema dan ireguler, kadang terlihat pneumatosis coli (udara pada
dinding kolon), dan tanda megakolon toksik. Megakolon toksik merupakan
komplikasi UC yang mengancam nyawa dan memerlukan tindakan operasi
darurat, dan kelainan ini dominan terjadi pada kolon transversum
2) Barium Enema
Teknik pencitraan berikut salah satu dari studi pertama untuk melihat
karakteristik tipikal daripada IBD. Temuan normal pada barium enema biasanya
dapat mengeksklusi UC yang aktif, sedangkan temuan yang abnormal dapat
menjadi temuan yang diagnostic
Pada barium enema, beberapa temuan abnormal yang dapat dijumpai
disebutkan dengan beberapa istilah, yaitu:
 Lead-pipe atau stove-pipe appearance, menggambarkan UC kronik oleh
karena hilangnya haustrae kolon.
 Rectal sparing, menggambarkan colitis Crohn oleh karena adanya
perubahan inflamasi di bagian lain daripada kolon.
 Thumbprinting, mengindikasikan adanya inflamasi mukosa (dimana sering
juga terlihat pada abdominal flat plate).
 Skip lesion, menggambarkan area inflamasi yang diselingi dengan area
yang terlihat normal, menunjukkan colitis Crohn.
Barium bisa refluks ke ileum terminal pada beberapa kasus, dimana dapat
membantu diagnosis CD. Barium enema kontraindikasi terhadap pasien dengan
colitis sedang hingga berat, karena resiko perforasi dan dapat mencetuskan
megakolon toksik.
3) Computed Tomography Scanning
CT Scan abdomen dan pelvis digunakan secara terbatas untuk diagnosis IBD,
namun temuannya sangat menentukan IBD. Penebalan dinding pada CT Scan
tidak spesifik dan dapat terjadi bisa karena hanya kontraksi otot polos, khususnya
jika tidak ada perubahan inflamasi di ekstraintestinal. Namun, adanya perubahan
inflamasi (contohnya mesenteric fat stranding) secara signifikan meningkatkan
nilai prediktif CT Scan. CT Scan merupakan modalitas yang ideal untuk
menentukan apakah pasien memiliki abses dan bisa digunakan sebagai panduan
untuk mendrainase abses. Fistula juga dapat dideteksi dengan CT Scan
 Colonoscopy
Colonoscopy merupakan modalitas yang paling bernilai untuk diagnosis
dan penatalaksanaan IBD, walaupun ada beberapa batasannya. Yang terpenting,
tidak semua inflamasi mukosa merupakan IBD idiopatik. Infeksi juga dapat
menyebabkan inflamasi, begitu juga diverticulitis dan iskemia (jauh lebih sering
didiagnosa pada orang lanjut usia daripada IBD, walaupun memiliki gambaran
colonoscopy dan histologi yang mirip).
Jika digunakan dengan benar, colonoscopy membantu menentukan luas
dan derajat keparahan colitis, membantu dalam penatalaksanaan, dan dapat
mengambil sampel jaringan untuk membantu diagnosis. Colonoscope dapat
meraih ileum terminal dan mengevaluasi inflamasinya untuk membantu diagnosis
atau eksklusi CD. Inflamasi kadang-kadang terjadi di ileum terminal pada pasien
dengan UC.
Colonoscopy atau sigmoidoscopy dapat memperlihatkan bahwa rektum
hamper selalu terlibat pada UC, namun sering bertahan pada CD, dimana
umumnya lebih dominan pada kolon kanan. Penyakit dapat hanya terbatas pada
rektum (proctitis), pada rektum, sigmoid dan kolon descenden (colitis kiri), atau
seluruh kolon (pancolitis). UC tidak melibatkan segmen lain dari traktus
gastrointestinal. Colectomy merupakan terapi yang kuratif.
Colonoscopy dapat juga digunakan sebagai intervensi terapi pada pasien
dengan IBD. Yang paling sering adalah dilasi (pembesaran) striktur pada pasien
dengan CD.
Striktur pada kolon, anastomosis, hingga usus halus dapat didilasi
menggunakan dilator pneumatic. Injeksi steroid intralesi (bisa dengan
triamsinolon 5 mg pada keempat kuadran) dapat membantu mencegah reformasi
striktur.
Intervensi dengan colonoscopy harus hati-hati pada pasien IBD. Resiko
yang biasa terjadi adalah reaksi terhadap medikasi, perdarahan, dan perforasi.
Resiko perdarahan meningkat dengan adanya inflamasi. Resiko perforasi
meningkat terutama pada pasien dengan penggunaan steroid jangka panjang
 Sigmoidoscopy fleksibel
Modalitas ini digunakan untuk persiapan diagnosis pada pasien dengan
perdarahan rektum atau diare kronis. Namun karena terbatasnya panjang pipa (60
cm) alat ini hanya dapat membantu mendiagnosis UC distal atau proctitis, bukan
pancolitis.
E. Tata Laksana
Penatalaksanaan IBD dapat dengan terapi obat-obatan, pembedahan, maupun
kombinasi keduanya (lebih sering kombinasi). Pendekatan terapi farmakologi pada
pasien IBD yaitu terapi berdasarkan gejala dan pendekatan secara step-wise dengan
obat-obatan sampai respon yang diharapkan tercapai.
1) Terapi simtomatis
Karena biasanya pasien IBD memiliki gejala seperti diare, spasme atau
nyeri, ketidaknyamanan epigastrium, maka diberikan obat-obatan seperti antidiare,
antispasmodic, pereda asam lambung, dan lain-lain.
Loperamide dan kombinasi antara diphenoxylate dan atropine berguna
untuk penyakit yang ringan dengan tujuan mengurangi pergerakan usus dan
urgensi rektum. Cholestyramine mengikat garam empedu sehingga berguna untuk
mengurangi diare pada pasien dengan CD yang sudah direseksi ileumnya. Terapi
antikholinergik dicyclomide dapat membantu mengurangi spasme intestinal. Obat-
obatan ini bukan tanpa komplikasi, dan harus hati-hati penggunaannya.
Antidiare dan antikholinergik harus dihindari untuk penyakit akut yang
parah, karena obat-obat ini dapat mencetuskan terjadinya megakolon toksik.
Hindari juga penggunaan narkotik dalam waktu jangka panjang untuk
penatalaksanaan nyerinya. Suplemen zat besi perlu ditambahkan jika terdapat
perdarahan rektum yang signifikan.
2) Terapi Step-Wise
Pendekatan secara step-wise digunakan dengan cara memakai obat yang
paling ringan (atau sementara) terlebih dahulu, jika obat itu gagal, obat-obatan
pada tahap berikutnya yang digunakan.
a. Step I Aminosalisilat
Aminosalisilat digunakan untuk menangani perluasan IBD dan
mempertahankan remisi. Tidak ada aminosalisilat yang dibuktikan
memiliki efikasi yang lebih baik untuk pengobatan UC maupun CD
dibandingkan terapi lainnya. Terapi dengan obat ini lebih efektif pada
pasien dengan UC dibandingkan CD, namun dapat mencegah rekurensi
pada pasien CD yang sudah ditangani dengan pembedahan.
b. Step IA Antibiotik
Metronidazole dan ciprofloxacin merupakan antibiotik
tersering yang digunakan pada pasien IBD. Pada beberapa penelitian,
terapi antituberkulosis, makrolid, luoroquinolone dan rifaximin
(monoterapi maupun kombinasi) dapat menginduksi remisi pada CD
maupun UC yang aktif.biasanya pasien dengan UC menggunakan
antibiotik untuk perioperatif, sedangkan pada CD antibiotik digunakan
pada berbagai indikasi, paling sering adalah penyakit perianal. Bisa
juga untuk fistula, masa inflamatorik pada abdomen, dan ileitis.
Antibiotik ini banyak memiliki berbagai efek samping yang potensial
seperti mual, diare, anoreksia, infeksi monolial (candida), dan
neuropati perifer.
c. Step II Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan agen anti inflamasi yang bekerja
dengan cepat dan indikasinya untuk IBD yaitu pada penyakit dengan
perluasan akut saja, tidak untuk mempertahankan remisi. Penggunaan
kortikosteroid dibatasi oleh karena berbagai efek sampingnya, terutama
pada penggunaan jangka panjang. Komplikasi potensial dari
penggunaan kortikosteroid antara lain abnormalitas keseimbangan
cairan dan elektrolit, osteoporosis, nekrosis aseptik, ulkus peptikum,
katarak, disfungsi neurologi dan endokrin, komplikasi infeksius, dan
gangguan psikiatri (termasuk psikosis).
Rute administrasi kortikosteroid yaitu:
 Intravena, contohnya methylprednisolone, hydrocortisone.
Biasanya digunakan untuk pasien dengan sakit yang parah
dengan dosis awal biasanya 40 mg setiap 6 jam untuk
methylprednisolone, atau 100 mg tiap 8 jam untuk hidrokortison,
kemudian dosis selanjutnya di-tappering.
 Oral, contohnya prednisone, prednisolone, budesonide,
deksametason. Dosisnya bervariasi, yang sering adalah
prednisone 10-40 mg per hari untuk perluasan IBD sedang.
Budesonide merupakan kortikosteroid sintetik yang digunakan
untuk CD dengan keterlibatan pada ileum maupun ileoceccum.
Preparat ini tidak efektif untuk UC.
 Topikal (enema, supositoria, preparat foam). Preparat ini
digunakan pada pasien dengan penyakit pada kolon distal, untuk
penyakit yang aktif, dan sedikit peranannya untuk
mempertahankan remisi. Preparat ini efektif untuk IBD ringan
sampai sedang dengan keterlibatan pada kolon distal. Cortenema,
Cortifoam, dan suposituria Anusol-HC digunakan untuk penyakit
pada bagian distal seperti proctitis dan proctosigmoiditis.
d. Step III Immune modifier
MP dan azathioprine digunakan pada pasien IBD dengan remisi
yang sulit dipertahankan hanya dengan aminosalisilat saja. Terapi ini
bekerja dengan menyebabkan reduksi jumlah limfosit sehingga onsetnya
menjadi lebih lambat (dua sampai tiga bulan). Preparat ini digunakan
paling sering untuk pasien dengan penyakit yang refraktorius, terapi
primer untuk fistula, dan mempertahankan remisi.sebelum memulai terapi
ini, pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan genotip atau fenotip
thiopurine methyltransferase (TPMT) karena resiko terjadinya leukopenia
yang parah (menyebabkan komplikasi sepsis), juga diperlukan monitoring
terhadap parameter darah setiap bulannya, dan tes fungsi hati juga perlu
secara intermiten.
e. Step IV Terapi eksperimental
Terapi eksperimental yang digunakan pasien dengan CD yaitu
methotrexate, thalidomide, dan IL-11. Sedangkan untuk UC yang
digunakan cyclosporine A, nicotine patch, butyrate enema, dan heparin.
Terapi oksigen hiperbarik dapat juga membantu terapi IBD yang tidak
responsive dengan terapi lain.
3) Intervensi Pembedahan
Pendekatan dengan terapi pembedahan pada IBD bervariasi tergantung
pada penyakitnya. Yang terpenting, UC merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan dengan pembedahan karena terbatas pada kolon. Sedangkan CD
yang dapat melibatkan seluruh segmen saluran pencernaan dari mulut sampai
anus, pembedahan dengan reseksi bukan merupakan terapi yang kuratif. Perlu
diingat juga, intervensi pembedahan yang berlebihan dapat menyebabkan
crippling short bowel syndrome.

2. Definisi Sistem Porta, Hepatopetal, Dan Hepatofugal


A. Sistem Porta
Sistem porta adalah sirkulasi darah yang melewati vena porta. Vena porta
membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas, dan kandung empedu.
Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus halus,
kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena porta tidak mempunyai
katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh
arteri hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang
selanjutnya ke vena kava inferior (CDK, 2000) Vena porta terbentuk dari lienalis dan
vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati, darah ini mempunyai
kejenuhan 70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh limfe dan usus, guna darah ini
membawa zat makanan ke hati yang telah di observasi oleh mukosa dan usus halus.
Besarnya kira-kira berdiameter 1 mm. Yang satu dengan yang lain terpisah oleh
jaringan ikat yang membuat cabang pembuluh darah ke hati, cabang vena porta arteri
hepatika dan saluran empedu dibungkus bersama oleh sebuah balutan dan membentuk
saluran porta. Darah berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hati dan
setiap lobulus disaluri oleh sebuah pembuluh Sinusoid darah atau kapiler hepatika.
Pembuluh darah halus berjalan di antara lobulus hati disebut Vena interlobuler. Dari
sisi cabang-cabang kapiler masuk ke dalam bahan lobulus yaitu Vena lobuler.
Pembuluh darah ini mengalirkan darah dalam vena lain yang disebut vena sublobuler,
yang satu sama lain membentuk vena hepatika dan langsung masuk ke dalam vena
kava inferior. Empedu dibentuk di dalam sela-sela kecil di dalam sel hepar melalui
kapiler empedu yang halus/korekuli. Dengan cara berkontraksi, dinding perut berotot
pada saluran ini mengeluarkan empedu dari hati.
B. Hepatopetal
Hepatopetal yaitu aliran portal hepatofugal atau non-forward portal flow
(NFPF) adalah pola aliran abnormal dimana aliran vena portal berasal dari pinggiran
hati menuju porta dan mundur sepanjang vena portal. Fenomena ini tidak jarang
terjadi pada penderita penyakit hati.
C. Hepatofugal
Hepatofugal adalah kebalikan dari hepatopetal, yaitu menunjukkan aliran
darah menuju hati, yang merupakan arah normal aliran darah melalui vena portal.
Istilah ini biasanya digunakan saat membahas vena portal atau vena rekanalisasi
ligamentum teres pada pasien dengan dugaan hipertensi portal.

D. Etiologi hipertensi portal


Etiologi hipertensi portal dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu etiologi
prehepatic, etiologi posthepatic, dan etiologi intrahepatik. Pada hipertensi portal
prehepatic dan posthepatic, ada gangguan sistem vaskular yang menyebabkan
peningkatan tekanan sistem vena porta tanpa keterlibatan langsung parenkim hati.
1) Etiologi Prehepatik
Etiologi prehepatic biasanya diakibatkan oleh peningkatan aliran darah
atau obstruksi vena porta maupun vena lienalis. Peningkatan aliran darah
dapat disebabkan oleh idiopathic tropical splenomegaly, malformasi, atau
fistula arteri-vena. Sementara itu, obstruksi vena dapat disebabkan oleh
trombosis atau kompresi vena akibat tumor.
2) Etiologi Posthepatik
Etiologi hipertensi portal posthepatic adalah obstruksi vena hepar atau
vena kava inferior, misalnya pada sindrom Budd-Chiari. Selain itu, penyakit
jantung seperti perikarditis dan kardiomiopati restriktif juga dapat menjadi
penyebab.

3) Etiologi Intrahepatik
Penyebab intrahepatik dibedakan menjadi tiga bagian berdasarkan
level obstruksi dan peningkatan resistensi yang berhubungan dengan sinusoid
hepatik. Klasifikasinya adalah presinusoidal, sinusoidal, dan postsinusoidal.

E. Komplikasi Hipertensi Portal


Adanya hipertensi portal dapat menyebabkan aliran darah dari sistem saluran
cerna terhambat sehingga menimbulkan adanya stasis darah di sistem porta.
Komplikasi dapat muncul :
1) Sirosis hepatis
Sirosis hepatis terjadi karena adanya bendungan di sistem porta yang
mempengaruhi sistem hepatobilier. Akibatnya kondisi hepar menjadi tidak baik
dan terjadi sirosis.
2) Varises esofagus
Adanya hipertensi porta menyebabkan aliran darah ke esofagus menjadi
tidak lancar sehingga terjadi bendungan. Hal ini dapat menyebabkan vena-vena di
esofagus melebar sehingga terjadi varises esofagus. Apabila varises esofagus ini
ruptur dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian atas
3) Asites
Hipertensi porta menyebabkan adanya ekstravasasi cairan dari sistem porta
ke cavum abdomen sehingga dapat menimbulkan asites.

3. Hemoroid
A. Jenis Hemoroid
1) Hemoroid dibedakan antara yang interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidalis superior di atas linea dentata/garis
mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Hemoroid ekstern merupakan pelebaran
dan penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat di sebelah distal garis
mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus.
2) Venous drainage :
Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus saling berhubungan secara
longgar dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula dari
rectum sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid intern mengalirkan darah
ke v.hemoroidalis superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus hemoroid
eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik melelui daerah perineum
dan lipat paha ke v.iliaka.
B. Etiologi :
Sampai saat ini masih belum diketahui pasti, namun dengan beberapa fator
resiku yang mendukung diantaranya ;
 Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus
hemoroidalis kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
 Umur : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh,
juga otot sfingter menjadi tipis dan atonis.
 Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis.
 Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus mengangkat
barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
 Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan
intra abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun
dan sering mengejan pada waktu defekasi.
 Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh
karena ada sekresi hormone relaksin.
 Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada
penderita sirosis hepatis.
C. Komplikasi :
Hemoroid interna yang mengalami prolaps akan menjadi ireponibel sehingga
tak dapat terpulihkan oleh karena kongesti yang mengakibatkan edema dan
trombosis. Keadaan yang agak jarang ini dapat berlanjut menjadi trombosis
melingkar pada hemoroid interna dan hemoroid eksterna secara bersamaan. Keadaan
ini menyebabkan nyeri hebat dan dapat berlanjut, menyebabkan nekrosis mukosa dan
kulit yang menutupinya. Emboli septik dapat terjadi melalui sistem portal dan dapat
menyebabkan abses hati. Anemia dapat terjadi karena perdarahan ringan yang lama.
Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik pada hipertensi portal dan
apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan, darah yang keluar dapat
sangat banyak.

D. Terapi
1) Non Invasive Treatment
a. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet
Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat kedua
dapat ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat tentang
makan. Makanan sebaiknya terdiri atas makanan berserat tinggi seperti sayur
dan buah-buahan. Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun
lunak, sehingga mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengejan
berlebihan. Pasien juga harus mendapat edukasi agar jangan mengedan terlalu
lama, membiasakan selalu defekasi, jangan ditunda, dan minum air putih 8
gelas sehari
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang
bermakna kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang
mengalami prolaps oleh karena udem umumnya dapat dimasukkan kembali
secara perlahan disusul dengan tirah baring dan kompres lokal untuk
mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan dengan cairan hangat juga
dapat meringankan nyeri. 6 Obat Hydroksyethylen yang dapat diberikan
dikatakan dapat mengurangi edema dan inflamasi. Kombinasi Diosmin dan
Hesperidin (ardium) yang bekerja pada vascular dan mikro sirkulasi
dikatakan dapat menurunkan desensibilitas dan stasis pada vena dan
memperbaiki permeabilitas kapiler. Ardium diberikan 3x2tab selama 4 hari
kemudian 2x2 selama 3 hari dan selanjutnya 1x1tab.

2) Ambulatory Treatment
a. Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang
merangsang, misalnya 5% fenol dalam minyak nabati atau larutan
quinine dan urea 5%. Penyuntikan diberikan ke submukosa dalam
jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid interna dengan
tujuan menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik
dan meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari
garis mukokutan dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Apabila
penyuntikan dilakukan pada tempat yang tepat maka tidak ada
nyeri.Penyulit penyuntikan termasuk infeksi, prostatitis akut jika
masuk dalam prostat, dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang
disuntikan. Terapi ini cocok untuk hemorrhoid interna grade I yang
disertai perdarahan Kontra indikasi teknik ini adalah pada keadaan
inflammatory bowel desease, hipertensi portal, kondisi
immunocomprommise, infeksi anorectal, atau trombosis hemorrhoid
yang prolaps. Komplikasi sklerotherapy biasanya akibat penyuntikan
cairan yang tidak tepat atau kelebihan dosis pada satu tempat.
Komplikasi yang paling sering adalah pengelupasan mukosa, kadang
bisa menimbulkan abses.
Terapi suntikan bahan sklerotik bersama nasehat tentang
makanan merupakan terapi yang efektif untuk hemoroid interna derajat
I dan II, tidak tepat untuk hemoroid yang lebih parah atau prolaps.
b. Ligasi dengan gelang karet
Merupakan pilihan kebanyakan pasien dengan derajat I dan II
yang tidak menunjukkan perbaikan dengan perubahan diet, tetapi
dapat juga dilakukan pada hemorrhoid derajat III. Hemoroid yang
besar atau yang mengalami prolaps dapat ditangani dengan ligasi
gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan anoskop, mukosa di atas
hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap ke tabung
ligator khusus. Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan
secara rapat di sekeliling mukosa pleksus hemoroidalis tersebut. Pada
satu kali terapi hanya diikat satu kompleks hemoroid, sedangkan ligasi
berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2 – 4 minggu.
Penyulit utama dari ligasi ini adalah timbulnya nyeri karena
terkenanya garis mukokutan. Untuk menghindari ini maka gelang
tersebut ditempatkan cukup jauh dari garis mukokutan. Nyeri yang
hebat dapat pula disebabkan infeksi. Perdarahan dapat terjadi waktu
hemoroid mengalami nekrosis, biasanya setelah 7 – 10 hari. 6,9
c. Krioterapi / bedah beku
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah
sekali. Jika digunakan dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian
atas hemoroid pada sambungan anus rektum, maka krioterapi
mencapai hasil yang serupa dengan yang terlihat pada ligasi dengan
gelang karet dan tidak ada nyeri. Dingin diinduksi melalui sonde dari
mesin kecil yang dirancang bagi proses ini. Tindakan ini cepat dan
mudah dilakukan dalam tempat praktek atau klinik. Terapi ini tidak
dipakai secara luas karena mukosa yang nekrotik sukar ditentukan
luasnya. Krioterapi ini lebih cocok untuk terapi paliatif pada karsinoma
rektum yang ireponibel.9
d. Hemorroidal Arteri Ligation ( HAL )
Pada terapi ini, arteri hemoroidalis diikat sehingga jaringan
hemoroid tidak mendapat aliran darah yang pada akhirnya
mengakibatkan jaringan hemoroid mengempis dan akhirnya nekrosis. 9
e. Infra Red Coagulation ( IRC ) / Koagulasi Infra Merah
Dengan sinar infra merah yang dihasilkan oleh alat yang
dinamakan photocuagulation, tonjolan hemoroid dikauter sehingga
terjadi nekrosis pada jaringan dan akhirnya fibrosis. Sinar koagulator
infra merah (IRC) menembus jaringan ke submukosa dan dirubah
menjadi panas, menimbulkan inflamasi, destruksi jaringan di daerah
tersebut. Cara ini baik digunakan pada hemoroid yang sedang
mengalami perdarahan. . Daerah yang akan dikoagulasi diberi local
anestesi terlebih dahulu. Komplikasi biasanya jarang terjadi, umumnya
berupa koagulasi pada daerah yang tidak tepat.8
f. Generator galvanis
Jaringan hemoroid dirusak dengan arus listrik searah yang
berasal dari baterai kimia. Cara ini paling efektif digunakan pada
hemoroid interna.
g. Bipolar Coagulation / Diatermi bipolar
Prinsipnya tetap sama dengan terapi hemoroid lain di atas yaitu
menimbulkan nekrosis jaringan dan akhirnya fibrosis. Namun yang
digunakan sebagai penghancur jaringan yaitu radiasi elektromagnetik
berfrekuensi tinggi. Pada terapi dengan diatermi bipolar, selaput
mukosa sekitar hemoroid dipanasi dengan radiasi elektromagnetik
berfrekuensi tinggi sampai akhirnya timbul kerusakan jaringan. Cara
ini efektif untuk hemoroid interna yang mengalami perdarahan.

3) Terapi Bedah
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan
menahun dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga
dapat dilakukan dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat
sembuh dengan cara terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid
derajat IV yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong
segera dengan hemoroidektomi.
Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi
yang hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi
sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan
tidak mengganggu sfingter anus. Eksisi jaringan ini harus digabung dengan
rekonstruksi tunika mukosa karena telah terjadi deformitas kanalis analis
akibat prolapsus mukosa.
Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah
konvensional (menggunakan pisau dan gunting), bedah laser (sinar laser
sebagai alat pemotong) dan bedah stapler ( menggunakan alat dengan prinsip
kerja stapler).
a. Bedah konvensional

Saat ini ada 3 teknik operasi yang biasa digunakan yaitu :

 Teknik Milligan – Morgan


Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemoroid di 3 tempat
utama. Teknik ini dikembangkan di Inggris oleh Milligan dan Morgan
pada tahun 1973. Basis massa hemoroid tepat diatas linea mukokutan
dicekap dengan hemostat dan diretraksi dari rektum. Kemudian dipasang
jahitan transfiksi catgut proksimal terhadap pleksus hemoroidalis.
Penting untuk mencegah pemasangan jahitan melalui otot sfingter
internus.
Hemostat kedua ditempatkan distal terhadap hemoroid eksterna.
Suatu incisi elips dibuat dengan skalpel melalui kulit dan tunika mukosa
sekitar pleksus hemoroidalis internus dan eksternus, yang dibebaskan
dari jaringan yang mendasarinya. Hemoroid dieksisi secara keseluruhan.
Bila diseksi mencapai jahitan transfiksi cat gut maka hemoroid ekstena
dibawah kulit dieksisi. Setelah mengamankan hemostasis, maka mukosa
dan kulit anus ditutup secara longitudinal dengan jahitan jelujur
sederhana.
Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok hemoroid yang dibuang
pada satu waktu. Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari
eksisi tunika mukosa rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih baik
mengambil terlalu sedikit daripada mengambil terlalu banyak jaringan. 9
 Teknik Whitehead
Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini
yaitu dengan mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa
dari submukosa dan mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa
daerah itu. Lalu mengusahakan kontinuitas mukosa kembali.
 Teknik Langenbeck
Pada teknik Langenbeck, hemoroid internus dijepit radier dengan
klem. Lakukan jahitan jelujur di bawah klem dengan cat gut chromic no
2/0. Kemudian eksisi jaringan diatas klem. Sesudah itu klem dilepas dan
jepitan jelujur di bawah klem diikat. Teknik ini lebih sering digunakan
karena caranya mudah dan tidak mengandung resiko pembentukan
jaringan parut sekunder yang biasa menimbulkan stenosis.
b. Bedah Laser
Pada prinsipnya, pembedahan ini sama dengan pembedahan
konvensional, hanya alat pemotongnya menggunakan laser. Saat laser
memotong, pembuluh jaringan terpatri sehingga tidak banyak
mengeluarkan darah, tidak banyak luka dan dengan nyeri yang minimal.
Pada bedah dengan laser, nyeri berkurang karena syaraf rasa nyeri ikut
terpatri. Di anus, terdapat banyak syaraf. Pada bedah konvensional, saat
post operasi akan terasa nyeri sekali karena pada saat memotong jaringan,
serabut syaraf terbuka akibat serabut syaraf tidak mengerut sedangkan
selubungnya mengerut.
Sedangkan pada bedah laser, serabut syaraf dan selubung syaraf
menempel jadi satu, seperti terpatri sehingga serabut syaraf tidak terbuka.
Untuk hemoroidektomi, dibutuhkan daya laser 12 – 14 watt. Setelah
jaringan diangkat, luka bekas operasi direndam cairan antiseptik. Dalam
waktu 4 – 6 minggu, luka akan mengering. Prosedur ini bisa dilakukan
hanya dengan rawat jalan.

c. Bedah Stapler
Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse
Hemorrhoids (PPH) atau Hemoroid Circular Stapler. Teknik ini mulai
diperkenalkan pada tahun 1993 oleh dokter berkebangsaan Italia yang
bernama Longo sehingga teknik ini juga sering disebut teknik Longo. Di
Indonesia sendiri alat ini diperkenalkan pada tahun 1999. Alat yang
digunakan sesuai dengan prinsip kerja stapler. Bentuk alat ini seperti
senter, terdiri dari lingkaran di depan dan pendorong di belakangnya.
Pada dasarnya hemoroid merupakan jaringan alami yang terdapat
di saluran anus. Fungsinya adalah sebagai bantalan saat buang air besar.
Kerjasama jaringan hemoroid dan m. sfinter ani untuk melebar dan
mengerut menjamin kontrol keluarnya cairan dan kotoran dari dubur.
Teknik PPH ini mengurangi prolaps jaringan hemoroid dengan
mendorongnya ke atas garis mukokutan dan mengembalikan jaringan
hemoroid ini ke posisi anatominya semula karena jaringan hemoroid ini
masih diperlukan sebagai bantalan saat BAB, sehingga tidak perlu dibuang
semua.
Gambar. 2.1 Internal/External Hemorrhoids

Gambar.2.2 Dilator

Gambar. 2.3 Purse String

Gambar. 2.4 Closing PPH

Gambar. 2.5
Mucosa Pull
Gambar. 2.6. Staples

Mula-mula jaringan hemoroid yang prolaps didorong ke atas


dengan alat yang dinamakan dilator, kemudian dijahitkan ke tunika
mukosa dinding anus. Kemudian alat stapler dimasukkan ke dalam dilator.
Dari stapler dikeluarkan sebuah gelang dari titanium diselipkan dalam
jahitan dan ditanamkan di bagian atas saluran anus untuk mengokohkan
posisi jaringan hemoroid tersebut. Bagian jaringan hemoroid yang
berlebih masuk ke dalam stapler. Dengan memutar sekrup yang terdapat
pada ujung alat , maka alat akan memotong jaringan yang berlebih secara
otomatis. Dengan terpotongnya jaringan hemoroid maka suplai darah ke
jaringan tersebut terhenti sehingga jaringan hemoroid mengempis dengan
sendirinya.

Keuntungan teknik ini yaitu mengembalikan ke posisi anatomis,


tidak mengganggu fungsi anus, tidak ada anal discharge, nyeri minimal
karena tindakan dilakukan di luar bagian sensitif, tindakan berlangsung
cepat sekitar 20 – 45 menit, pasien pulih lebih cepat sehingga rawat inap
di rumah sakit semakin singkat. Meskipun jarang, tindakan PPH memiliki
resiko yaitu :

 Jika terlalu banyak jaringan otot yang ikut terbuang, akan


mengakibatkan kerusakan dinding rektum.
 Jika m. sfinter ani internus tertarik, dapat menyebabkan disfungsi baik
dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang.
 Seperti pada operasi dengan teknik lain, infeksi pada pelvis juga
pernah dilaporkan.
 PPH bisa saja gagal pada hemoroid yang terlalu besar karena sulit
untuk memperoleh jalan masuk ke saluran anus dan kalaupun bisa
masuk, jaringan mungkin terlalu tebal untuk masuk ke dalam stapler.

E. Tindakan pada hemoroid eksterna yang mengalami thrombosis

Keadaan ini bukan hemoroid dalam arti yang sebenarnya tetapi merupakan
trombosis vena hemoroid eksterna yang terletak subkutan di daerah kanalis analis.
Trombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena tersebut misalnya ketika
mengangkat barang berat, batuk, bersin, mengejan, atau partus. Vena lebar yang
menonjol itu dapat terjepit sehingga kemudian terjadi trombosis. Kelainan yang nyeri
sekali ini dapat terjadi pada semua usia dan tidak ada hubungan dengan ada/tidaknya
hemoroid interna, kadang terdapat lebih dari satu trombus.

Keadaan ini ditandai dengan adanya benjolan di bawah kulit kanalis analis
yang nyeri sekali, tegang dan berwarna kebiru-biruan, berukuran dari beberapa
milimeter sampai satu atau dua sentimeter garis tengahnya. Benjolan itu dapat
unilobular, dan dapat pula multilokuler atau beberapa benjolan. Ruptur dapat terjadi
pada dinding vena, meskipun biasanya tidak lengkap, sehingga masih terdapat lapisan
tipis adventitiia menutupi darah yang membeku.

Pada awal timbulnya trombosis, terasa sangat nyeri, kemudian nyeri berkurang
dalam waktu dua sampai tiga hari bersamaan dengan berkurangnya udem akut. Ruptur
spontan dapat terjadi diikuti dengan perdarahan. Resolusi spontan dapat pula terjadi
tanpa terapi setelah dua sampai empat hari

4. Perdarahan Peranal
A. Macam perdarahan GIT yaitu perdarahan saluran cerna dapat menunjukkan
manifestasi klinis berupa: melena (tinja berwarna hitam atau seperti ter); hematokezia
(darah segar per rektum berwarna merah cerah atau sedikit gelap); atau hematemesis
(muntah darah dengan material muntahan berwarna merah terang atau merah gelap
seperti bubuk kopi)

B. Patogenesis Serta Sumber Perdarahan Tersebut

Penyebab dari perdarahan saluran cerna bawah pada orang dewasa diantaranya
diverticular disease,inflammatory bowel disease,benign anorectal diasease,
neoplasia, coagulopathy, dan arteriovenous malformation. Sedangkan, penyebab
perdarahan saluran cerna bagian bawah yang sering pada anak-anak yaitu
intussusception, polyps and polyposis syndromes, IBD, dan Meckel diverticulum.
Penyebab lain, yang jarang, juga telah ditemukan, diantaranya adalah perdarahan dari
diverticulosis usus halus, Dieulafoy lesions pada colon dan usus halus, portal
colopathy dengan varices colon dan rectal, endometriosis, solitary rectal ulcer
syndrome, dan vasculitides dengan ulserasi usus halus dan kolon, radiation-induced
disorders, nonsteroidal anti-inflammatory drug–associated disorder, Osler-Weber-
Rendu syndrome, aortoenteric fistula, vasculitis, dan mesenteric ischemia.

1) Divertikulitis

Diverticulosis adalah kondisi yang diperoleh secara umum pada


kalangan masyarakat Barat. Sekitar 50% orang dewasa yang lebih tua dari 60
tahun memiliki bukti radiologis dari diverticulosis. Diverticulosis colon
merupakan penyebab yang paling umum dari perdarahan saluran cerna bagian
bawah, yang bertanggung jawab untuk 40% sampai 55% dari kasus
perdarahan dari semua kasus. Divertikula kolon merupakan lesi yang
diperoleh secara umum dari usus besar pada perut. Meskipun 40% pasien
setelah hidup selama 5 dekade memiliki divertikula, kejadian ini terus
meningkat menjadi 80% pada usia kehidupan dekade ke-9. Perdarahan
merupakan faktor penyulit sebanyak 3% sampai 5% dari pasien dengan
diverticulosis. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan ialah pecahnya secara
asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri marginal pada kubah
divertikulum atau pada margin antimesenterikus. Divertikula paling sering
terletak pada kolon sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya
disebabkan oleh faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan
abrasi dari pembuluh darah, sehingga terjadi perdarahan.

Perdarahan jarang diakibatkan oleh peradangan diverlikulitis klinis.


Perdarahan divertikular berhenti secara spontan pada 90% pasien. Jarang
terjadi dilakukannya transfusi lebih dari 4 unit sel darah merah (Packed Red
Cells= PRC). Meskipun divertikula colon sebelah kiri lebih umum terjadi,
namun perdarahan cenderung lebih umum terjadi pada divertikular kolon
kanan. Perdarahan dari lesi kolon kanan dapat lebih banyak dan menghasilkan
volume yang lebih besar daripada divertikula sisi sebelah kiri. Setelah
terjadinya episode awal pendarahan, perdarahan ulang (rebleeding) mungkin
terjadi kembali pada 10% pasien pada tahun pertama, setelah itu, risiko untuk
perdarahan ulang (rebleeding) meningkat menjadi 25% setalah 4 tahun.
Dengan prevalensi diverticulosis kolon, dan fakta bahwa sebagian besar
episode perdarahan cenderung berhenti secara spontan, banyak episode dari
perdarahan saluran cerna bagian bawah yang disebabkan diverticulosis kolon
dianggap sebagai dugaan, bukan diagnosis definitif.

Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang terletak di


submukosa, yang dapat pecah pada bagian puncak atau leher dari divertikulum
tersebut. Sampai dengan 20% dari pasien dengan penyakit divertikular
mengalami pendarahan. Sebanyak 5% pasien, pendarahan karena penyakit
divertikular dapat terjadi secara massif. Perdarahan dari penyakit divertikular
berhenti secara spontan pada 80% pasien. Meskipun diverticulosis terjadi pada
kolon kiri, sekitar 50% dari perdarahan divertikular berasal dari divertikulum
yang terletak proksimal dari fleksura lienalis. Divertikula yang terletak pada
sisi kanan dapat mengekspos bagian yang lebih besar dari vasa recta menjadi
luka, karena mereka memiliki bagian leher yang lebih luas dan bagian kubah
yang lebih besar dibandingkan dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri.

2) Arteriovenous Malformation (Angiodysplasia)

Angiodisplasia bertanggung jawab atas 3% sampai 20% dari kasus


perdarahan saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia, yang juga disebut
sebagai malformasi arteriovenosa, adalah distensi atau dilatasi dari pembuluh
darah kecil pada submukosa saluran pencernaan. Pada pemeriksaan histologis
spesimen pembedahan atau otopsi dari angiodisplasia diketahui bahwa mukosa
diatasnya sering tipis, dan terjadi erosi dangkal. Angiodisplasia diidentifikasi
terjadi pada 1% sampai 2% kasus dari evaluasi otopsi dan terjadi peningkatan
jumlah seiring dengan bertambahnya usia pasien. Angiodisplasia dapat terjadi
sepanjang saluran pencernaan dan merupakan penyebab paling umum dari
perdarahan dari usus kecil pada pasien berusia di atas 50 tahun.

Angiodisplasia tampak jelas pada kolonoskopi berwarna merah, lesi


rata dengan diameter sekitar 2 sampai 10 mm. Lesi tampak seperti bintang,
oval, tajam, atau tidak jelas. Meskipun angiografi mampu mengidentifikasi
lesi, namun colonoskopi adalah metode yang paling sensitif untuk
mengidentifikasi angiodisplasia. Penggunaan meperidin selama kolonoskopi
dapat menurunkan kemampuan untuk mengidentifikasi angiodisplasia karena
terjadi penurunan aliran darah mukosa. Studi lain telah mengidentifikasi
bahwa penggunaan antagonis narkotika dapat meningkatkan ukuran
angiodisplasia dan meningkatkan tingkat deteksi. Pada angiografi,
angiodisplasia tampak sebagai suatu dilatasi atau distensi, secara perlahan
mengosongkan vena atau sebagai malformasi arteri dengan cepat, mengisi
vena lebih awal. Lebih dari setengah angiodisplasia terdapat pada lokasi colon
kanan, dan pendarahan dari angiodisplasia berhubungan dengan distribusi ini.
Angiodisplasia dapat berhubungan dengan kondisi medis, termasuk stadium
akhir dari penyakit ginjal, stenosis aorta, penyakit von Willebrand, dan lain-
lain. Masih belum jelas apakah hubungan ini mencerminkan kecenderungan
perdarahan yang lebih besar pada angiodisplasia dalam kondisi ini atau
apakah, sebenarnya, perdarahan angiodisplasia lebih umum terjadi karena
penyebab strukturalnya.

Angiodisplasia usus merupakan malformasi arteri yang terletak di


sekum dan kolon ascenden. Angiodisplasia usus merupakan lesi yang
diperoleh dan mempengaruhi orang tua berusia lebih dari 60 tahun. Lesi ini
terdiri dari kelompok-kelompok pembuluh darah yang berdilatasi, terutama
pembuluh darah vena, pada mukosa dan submukosa kolon. Angiodisplasia
colon yang diduga terjadi sebagai akibat dari proses yang kronis, intermiten,
obstruksi bagian rendah dari submukosa vena sambil mereka menembus
lapisan otot dari colon. Temuan karakteristik angiographik meliputi adanya
kelompok-kelompok kecil arteri arteri selama tahap penelitian, akumulasi
media kontras dalam lempeng vaskular, opacification awal, dan opacification
persisten karena keterlambatan pengosongan vena. Jika angiografi mesenterika
dilakukan pada saat pendarahan aktif, ekstravasasi media kontras dapat dilihat.

Tidak seperti pendarahan divertikular, angiodisplasia cenderung


menyebabkan pendarahan dengan episode lambat tetapi berulang. Oleh karena
itu, pasien dengan angiodisplasia muncul dengan anemia dan episode pingsan.
Angiodisplasia yang menyebabkan hilangnya darah dalam jumlah besar jarang
didapat. Angiodisplasia dapat dengan mudah diketahui oleh kolonoskopi
dengan gambaran potongan kecil berwarna merah dengan ukuran 1.5-2-mm
pada mukosa. Pendarahan lesi aktif dapat diobati dengan elektrokoagulasi
colonoskopi.

3) Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan


saluran cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi
tanda, melainkan berkembang dalam perjalanan penyakitnya, dan
penyebabnya diduga berdasarkan riwayat pasien. Sampai dengan 20% kasus
perdarahan saluran cerna bagian bawah akut disebabkan oleh salah satu
kondisi peradangan. Kebanyakan pendarahan berhenti secara spontan atau
dengan terapi spesifik pada penyebabnya.

Perdarahan merumitkan jalannya kolitis ulserativa hingga 15% kasus.


Kolektomi darurat pada kasus pendarahan terus-menerus terjadi sebanyak 6%
sampai 10% dari kolektomi darurat bedah pada pasien dengan penyakit ini.
Penyakit Crohn, cenderung kurang menyebabkan perdarahan colon dan terjadi
pada sekitar 1% dari pasien dengan kondisi ini. Penyebab infeksi meliputi
Escherichia coli, tifus, sitomegalovirus, dan Clostridium difficile. Cedera
radiasi paling umum terjadi pada rectum setelah radioterapi panggul untuk
prostat atau keganasan ginekologi. Pendarahan biasanya terjadi 1 tahun setelah
pengobatan radiasi, tetapi dapat juga terjadi hingga 4 tahun kemudian. Pasien
dengan imunosupresi atau mempunyah immunodeficiency syndrome (AIDS)
beresiko terjadinya perdarahan saluran cerna bagian bawah karena penyebab
yang unik. Sitomegalovirus adalah penyebab paling umum; sarcoma Kaposi’s,
histoplasmosis, dan perianal fistula dan fissures juga menjadi masalah dan
lebih cenderung terjadi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia akibat
AIDS.

Perdarahan masif karena IBD jarang terjadi. Colitis menyebabkan


diare berdarah pada banyak kasus. Pada hingga 50% pasien dengan kolitis
ulserativa, perdarahan gartointestinal bagian bawah ringan-sedang muncul,
dan sekitar 4% pasien dengan kolitis ulserativa terjadi perdarahan yang masif.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah pada pasien dengan penyakit
Crohn’s jarang terjadi, tidak seperti pada pasien dengan kolitis ulserativa,
hanya 1-2% pasien dengan penyakit Crohn’s terjadi perdarahan yang masif.
Pada sumber lain mengatakan hanya kurang dari 1% pasien saja. Walaupun
begitu, kejadian tersebut membutuhkan operasi darurat. Frekuensi perdarahan
pada pasien dengan penyakit Crohn’s, lebih umum terjadi secara signifikan
dengan adanya keterlibatan kolon dibandingkan dengan hanya keterlibatan
usus kecil saja.

Kolitis iskemik, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera


iskemik pada sistem pencernaan, sering melibatkan daerah batas air
(watershed), termasuk fleksura lienalis dan rectosigmoid junction. Pada
kebanyakan kasus, faktor presipitasinya tidak dapat diketahui. Iskemia kolon
merupakan penyakit pada orang tua lanjut usia dan umumnya terjadi setelah
dekade keenam pasien. Iskemia menyebabkan peluruhan mukosa dan
peluruhan ketebalan parsial dinding kolon, edema, dan pendarahan. Kolitis
iskemik tidak berhubungan dengan kehilangan darah yang signifikan atau
hematochezia, walaupun sakit perut dan diare berdarah adalah manifestasi
klinis yang utama.

4) Benign Anorectal Disease

Penyakit anorektal jinak (misalnya, hemorrhoid, fissure ani, fistula


anorektal) dapat menyebabkan perdarahan rektum intermiten. Pendarahan
anus yang masif disebabkan penyakit anorektal jinak juga telah dilaporkan.
Tinjauan database VA menunjukkan bahwa 11% dari pasien dengan
perdarahan saluran cerna bagian bawah terjadi dari penyakit anorektal. Pasien
yang memiliki varises rektum dengan hipertensi portal dapat membuat
pendarahan masif saluran cerna bagian bawah tanpa rasa sakit, sehingga
pemeriksaan awal anorectum menjadi penting. Jika diketahui terjadi
pendarahan aktif, mengobatinya harus agresif. Perhatikan bahwa penemuan
penyakit anorektal jinak tidak mengenyampingkan kemungkinan pendarahan
yang lebih proksimal dari saluran cerna bagian bawah.
Hemorrhoid biasanya dicatat pada pemeriksaan fisik lebih dari separuh
pasien dengan perdarahan saluran cerna bawah. Kurang dari 2% perdarahan
disebabkan oleh lesi ini. Kecuali tanda tegas perdarahan yang jelas pada
anoscopi, dan pemeriksaan pasien untuk pendarahan saluran cerna bagian
bawah yang disebabkan oleh sumber lain harus dihilangkan. Pasien dengan
hipertensi portal dapat membuat perdarahan yang masif dari hemorrhoid,
seperti juga pada pasien trombositopenia terkait HIV dengan hemorrhoid.

Skin tag anal mempunyai ciri-ciri terdiri dari lipatan kulit yang
berbatasan dengan anus. Ciri-ciri tersebut menghasilkan haemorrhoid
eksternal trombosis, atau jarang dikaitkan dengan penyakit radang usus.
Haemorrhoid internal berada di atas linea dentata yang dilapisi oleh sel epitel
transisional dan slindris.

5) Neoplasma

Neoplasma kolon, termasuk polip adenomatosa, polip juvenile, dan


karsinoma, muncul dalam bentuk dan sifat yang bermacam-macam. Biasanya,
perdarahan dari lesi ini lambat, ditandai dengan pendarahan samar dan anemia
sekunder. Neoplasma ini juga dapat berdarah dengan cepat, namun, dan pada
beberapa bentuk, sampai dengan 20% dari kasus perdarahan akut pada
akhirnya ditemukan muncul karena polip kolon atau kanker. Sedangkan, Polip
juvenile merupakan penyebab perdarahan kedua paling umum pada pasien
lebih muda dari usia 20 tahun.

Adenokarsinoma kolorektal adalah kanker paling umum ketiga di


Amerika Serikat. Karsinoma kolorektal menyebabkan perdarahan samar, dan
pasien biasanya dating dengan anemia dan episode syncop. Insidensi
terjadinya perdarahan yang masif disebabkan karsinoma kolorektal bervariasi
5-20% dalam bentuk yang berbeda. Perdarahan postpolipektomi dilaporkan
terjadi hingga 1 bulan berikutnya yang diikuti reseksi kolonoskopi. Insidensi
yang dilaporkan adalah antara 0,2-3%. Perdarahan postpolipektomi dapat
dikelola oleh elektrokoagulasi pada letak polipektomi/pendarahan dengan
menggunakan baik snare maupun forsep biopsi panas atau dengan suntikan
epinefrin.1,3,9,12
6) Penyakit vascular

Penyebab vaskuler dari pendarahan saluran cerna bagian bawah akut


meliputi vasculitides (polyarteritis nodosa, granulomatosis Wegener’s,
rheumatoid arthritis, dan lain-lain), yang disebabkan oleh ulserasi punktata
dari usus besar dan usus kecil. Iskemia kolon dengan ulserasi dan kerapuhan
mukosa dapat juga menyebabkan perdarahan akut, yang sering kali muncul
pada sakit perut akut dan sepsis. Iskemia mesenterika akut dapat didahului
dengan sebuah episode hematochezia yang muncul dengan sakit perut yang
parah, penyakit pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya, risiko emboli
arteri, atau hiperkoagulabilitas. Meskipun pendarahan merupakan unsur dalam
pengelolaan klinis pasien ini, namun jarang kontrol perdarahan menjadi fokus
utama dari terapinya. Sebaliknya pemulihan perfusi visceral adalah tujuan
terapi utama.

C. Ciri-Ciri Keganasan Perdarahan Peranus


Perdarahan saluran cerna bawah yang massive merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. Terkadang manifestasi perdarahan saluran cerna bagian bawah yang
massive adalah feses yang berwarna merah marun atau merah muda yang berasal dari
rectum juga muncul pada perdarahan saluran cerna bagian bawah lainnya. Perdarahan
akut dan hebat pada umumnya disebabkan oleh angiodysplasia dan diverticulosis.
Sedangkan yang kronik intermiten disebabkan oleh hemoroid dan keganasan kolon.

5. Pankreatitis
Pankreatitis akut adalah peradangan akut, non-bakterial pada organ pankreas.
Pankreatitis terjadi akibat autodigesti enzim pankreas yang teraktivasi. Hal ini
mengakibatkan terjadinya edema, kerusakan vaskuler, perdarahan, dan nekrosis organ
pankreas. Ekspresi yang berlebihan dari sitokin inflamasi seperti interleukin(IL)-1,IL-6,
IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF)-α dapat dengan serius merusak sistem
mikrosirkulasi endotelium dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Inflamasi yang
persisten dapat menyebabkan hipoksia dan systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) yang dapat meningkatkan mortalitas dan menjadi pankreatitis akut berat. Sekitar
75-85% penyebab pankreatitis akut dapat diidentifikasi. Obstruksi batu di duktus
koledukus dan alkohol, serta penyebab lainnya. Etiologi pankreatitis akut oleh karena
penyakit biliari dan kecanduan alkohol. Pankreatitis akut oleh karena alkoholik empat kali
lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hiperlipidemia juga dapat menjadi
penyebab pankreatitis akut terutama pada derajat sedang dan berat. Pankreatitis akut
idiopatik pada laki-laki mencapai 16,1% sedangkan pada perempuan mencapai 16.6%.
Pankreatitis akut juga dapat terjadi setelah melakukan Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) yang lebih sering terjadi pada perempuan (6%)
dibandingkan laki-laki (1.8%). Akut pankreatitis lebih banyak berkembang menjadi
pankreatitis derajat ringan dan sedang. Sedikit yang berkembang menjadi bentuk
pankreatitis berat5.Mayoritas kasus pankreatitis akut adalah derajat ringan (61,2%),
derajat sedang (30%), dan derajat berat (8,8%).3Pankreatitis akut dapat menyebabkan
gagal organ multipel atau perubahan nekrotik dari pankreas sehingga meningkatkan
mortalitas dan morbiditas5. Pada pankreatitis akut berat lebih dari 50% menunjukkan
gejala gagal organ pada hari keempat saat dirawat di rumah sakit.Dalam 72 jam11
orangakan berkembang menjadiAcute Kidney Injury (AKI) dan 6 orang akan mengalami
gagal ginjal.Untuk derajat ringan mortalitasnya mencapai 2,22% sedangkan untuk derajat

berat mencapai 45,63%5. Kematian 1-2 minggu pada pankreatitis akut oleh karena gagal
organ multipel. Kematian pankreatitis akut berat pada minggu pertama lebih dari
setengahnya.
Berdasarkan penelitian kohort, mortalitas pankreatitis akut secara keseluruhan
mencapai 2,83% (17 kematian/600 pasien). Untuk derajat berat pankreatitis akut
mencapai 28,3%, sedang 0,6%, dan ringan 0,3%.

A. Etiologi dan Patogenesis pankreatitis tidak seluruhnya dimengerti, namun hal yang
mungkin penting adalah terhalangnya aliran getah pankreas dan/atau refluks cairan
empedu ke dalam duktus pankreatikus. Beratnya kerusakan pada pankreas bervariasi
mulai dari peradangan ringan dengan edema hingga nekrosis. Pada pankreatitis
kronik, peradangan yang terus berlangsung menyebabkan fibrosis yang mula-
mulaterjadidi sekitar duktus asinus namun kemudian di dalam sel-sel asinar.

Tabel 1. Etiologi Pankreatitis

B. Patogenesis Pankreatitis
Pankreatitis akut dimulai sebagai suatu proses autodigesti di dalam
kelenjar akibat aktivasi prematur zimogen (prekursor dari enzim digestif) dalam
sel-sel asinar pankreas1. Enzim ini dikeluarkan melalui duktus pankreas.
Gangguan sel asinar pankreas dapat terjadi karena beberapa sebab. Obstruksi duktus
pankreatikus. Penyebab tersering obstruksi adalah batu empedu kecil
(microlithiasis) yang terjebak dalam duktus. Sebab lain adalah karena plug protein
(stone protein) dan spasme sfingter Oddipada kasus pankreatitis akibat konsumsi
alkohol. Stimulasi hormon Cholecystokinin (CCK) sehingga akan mengaktivasi
enzim pankreas. Hormon CCK terstimulasi akibat diet tinggi protein dan
lemak (hipertrigliseridemia) dapat juga karena alkoho. Iskemia sesaat dapat
meningkatkan degradasi enzim pankreas. Keadaan ini dapat terjadi pada
prosedur operatif atau karena aterosklerosis pada arteri di pankreas.Gangguan di
sel asinarpankreas akan diikuti dengan pelepasan enzim pankreas, yang
selanjutnya akan merangsang sel-sel peradangan (makrofag, neutrofil, sel-sel
endotel) untukmengeluarkan mediator inflamasi (bradikinin, platelet activating
factor (PAF) dan sitokin proinflamasi (TNF-, IL-1 beta, IL-6, IL-8 dan intercellular
adhesive molecules (ICAM 1) sertavascular adhesive molecules (VCAM) sehingga
menyebabkan permeabilitasvaskular meningkat, teraktivasinya sistem
komplemen,dan ketidakseimbangan sistem trombofibrinolitik(perdarahan). Neutrofil
mempermudah pelepasan superoksida dan enzim proteolitik (Cathepsins B, D,
dan G; kolagenase; sertaelastase). Kondisi tersebut akhirnya memicu terjadinya
gangguan mikrosirkulasi, stasis mikrosirkulasi, iskemia dan nekrosis sel-sel
pankreas. Kejadian di atas tidak saja terjadi lokal di pankreas tetapi dapat pula
terjadi di jaringan/organ vital lainnya sehingga dapat menyebabkan komplikasi
lokal maupunsistemik.
Secara ringkas progresi pankreatitis akut dapat dibagi menjadi 3 fase
berurutan, yaitu :
a. inflamasi lokal pankreas,
b. peradangan sistemik atau systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
c. disfungsi multi organ atau multiorgan dysfunctions (MODS).
Berat ringannya pankreatitis akut tergantung dari respons inflamasi
sistemik yang diperantarai oleh keseimbangan sitokin proinflamasidan
antiinflamasi,dan ada tidaknya infeksi baik lokal maupun sistemik. Pada keadaan
dimana sitokin proinflamasi lebih dominan daripada sitokin antiinflamasi (IL-10, IL-1
receptor antagonist (IL-1ra)) dan soluble TNF receptor (sTNFR) keadaanyang
terjadi adalah pankreatitis akut berat.
Gambar 1. Patogenesis Pankreatitis

C. Tatalaksana
1) Penatalaksanaan Pankreatitis Akut Ringan.
Penatalaksanaan pada pasien pankreatitis akut meliputi non-operasi
dan operasi. Pada tiga hari pertama penting untuk menentukan tingkat
keparahan pankreatitis, memberikan terapi suportif dan evaluasi respons
terapi. Pasien dengan skor APACHE > 8, komorbid berat dan gagal organ
perlu dirawat di ruang perawatan intensif.1,7Hidrasi intravena agresif sedini
mungkin, kontrol nyeri, dan bowel rest merupakan salah satu penatalaksanaan
non-operasi. Pankreatitis akut ringan dapat dirawat di rumah tapi
kebanyakan memerlukan perawatan di rumah sakit. Nutrisi dan hidrasi
dapat diberikan melalui cairan yang jernih dan kontrol nyerinya dengan
narkotik oral. Hal ini perlu dilakukan karena kehilangan cairan sering akibat
muntah, penurunan intake oral, cairan pada ruang ketiga, peningkatan
kehilangan cairan melalui respirasi, dan diaphoresis.6Hidrasi akan mencegah
komplikasi serius dari nekrosis pankreatik. Hidrasi yang agresif dilakukan
dalam 12-24 jam perawatan dengan monitoring hematokrit, BUN, dan
kreatinin. Pemberian cairan dengan cairan Ringer Laktat lebih baik
dibandingkan dengan Normal salin 0,9% oleh karena dapat lebih merusak
sel asinar pankreas dan menimbulkan gap non-anion, serta hiperkloremia
asidosismetabolik.
Awalnya diberikan 20 ml per kg dalam waktu 60 sampai 90 menit.
Lalu diikuti 250-500 ml per jam untuk 48 jam selanjutnya untuk
mempertahankan urine output 0,5 ml per kg/jam dan menurunkan kadar
BUN. Hati-hati apabila ada komorbid penyakit jantung dan ginjal.1Pada
kondisi usus harus diistirahatkan dalam waktu yang lama dapat diberikan
nutrisi parenteral. Akan tetapi, nutrisi parenteral dapat menyebabkan
atrofi jaringan limfoid usus (GALT), terganggunya fungsi limfosit sel T dan
sel B, menurunnya aktivitas kemotaksis lekosit dan fungsi
fagositosis, serta meningkatnya permeabilitas dinding usus yang dapat
mempermudah terjadinya translokasi bankteri, endotoksin, dan antigen yang
masuk ke dalam sirkulasi.
Meta analisis menunjukkan nutrisi melalui nasojejunal dapat
menurunkan infeksi, menurunkan intervensi bedah, dan memperpendek
lama perawatan di rumah sakit dibandingkan melalui nasogastric tube
(NGT). Hal ini karena pemberian nutrisi melalui NGT lebih berisiko
menyebabkan pneumonitis aspirasi dan meningkatkan sekresi enzim.
Nasogastrik dan nasojejunal memiliki keamanan dan efektivitas yang
mirip. Pemberian cairan oral dapat dilakukan bila nyeri sudah terkontrol
atau tidak memerlukan obat-obatan narkotik. Diet yang dianjurkan yaitu
bentuk cair atau padat lunak kemudian bertahap dengan rendah lemak diet
regular.
Pada pankreatitis akut berat diberikan nutrisi enteral. Nutrisi parenteral
dapat diberikan apabila nutrisi enteral tidak bisa diberikan. Nutrisi enteral
dapat ditunda pada pasien syok,perdarahan gastrointestinal masif,
obstruktif intestinal, fistula jejunum, dan enteroparalisis berat. Sekitar 1/3
pankreatik nekrotik akan mengalami infeksi. Penyebab infeksi terbanyak
yaitu Escherechia coli (34%), Enterococcus (25%), Klebsiella sp. (15%),
Staphylococcus epidermidis (15%), Staphylococcus aureus (14%),
Pseudomonas (7%), dan Candida sp. (11%). Lebih banyak infeksi
monomikrobial (66%) dibandingkan polimikrobial (34%).
Infeksi dapat pada pankreas (nekrosis infeksi) dan ekstrapankreas
(kolangitis, infeksi yang didapat dari kateter, bakteremia, infeksi saluran
kencing, dan pneumonia). Nekrosis infeksi 27% terjadi dalam 14 hari, studi
lain menunjukkan bahwa setengah dari infeksi dapat terjadi dalam 7 hari
setelah masuk rumah sakit.
Berdasarakan review Cochrane, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pemberian profilaksis antibiotik dan nonprofilaksis
antibiotik terhadap mortalitas dan nekrosis pankreatitis. Namun pemberian
imipenem/cilastatin (Primaxin) sebagai monoterapi dapat menurunkan infeksi
pankreas.Imipenen dengan dosis 0,5 gram/8 jam intravena. Sedangkan
menurut The American Gastroenterological Association guidelines
merekomendasikan profilaksis antibiotik pada infeksi ekstrapankreas tapi
tidak pada pankreatitis akut berat atau nekrosis steril. Menurut Gang et al,
dalam 10 tahun perawatan 47 dari 80 pasien sukses diobati dengan
pemberian antibiotik pada infeksi nekrosis pankreas. Mortalitas dengan
penggunaan antibiotik hanya 23% jika dibandingkan dengan metode
operasi yaitu mencapai54%.
Antibiotik yang bisa digunakan yaitu karbapanem, quinolon,
metronidazol dan sefalosporin dosis tinggi. Adanya nekrosis terinfeksiharus
dipertimbangkan pada pasien dengan pankreatitis atau nekrosis ekstra-
pankreas yang tidak membaik setelah perawatan selama 7–10 hari. Pada
pasien ini diperlukan tindakan aspirasi jarum halus dengan panduan
Ultrasonography (USG) atau CT scan sebagai dasar panduan pemberian
antibiotik atau antibiotik empiris segera diberikan seandainya tidak
dilakukan aspirasi jarum halus. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas sebagai
pedoman pemberian antibiotik yang tepat. Dalam 48-72 jam perawatan
dilakukan monitoring keadaan pasien. Tekanan darah, denyut nadi,
saturasi oksigen, jumlah urin diperiksa setiap satu hingga dua jam.
Kebutuhan cairan tubuh dinilai setiap 6 jam selama 24-48 jam. Jika
terjadi hipotensi, hipoksemia, atau oligouria yang menunjukkan tidak
responsif terhadap pemberian cairan, maka sebaiknya dikirim ke unit
intensif.
Pemeriksaan fisik dilakukan setiap 4-8 jam, perhatikan adanya
gangguan status mental atau kekakuan pada perut yang dapat
menunjukkan abdominal compartment syndrome atau cairan dalam rongga
ketiga. Pemeriksaan darah lengkap, kalsium, magnesium, glukosa serum,
dan tingkat BUN sebaiknya diperiksa setiap 12 jam (tergantung kondisi
pasien). Computed tomography (CT) awal dilakukan setelah 72-96 jam
dari onset sakit. CT dapat diulang apabila respon terhadap standar terapi
tidak bagus untuk mengevaluasi komplikasi atau perburukan pankreatitis.
Hasil dari pemeriksaan CT dapat dinilai berdasarkan CT Severity Indeks
(CSI). Skor ≥5 menunjukkan mortalitasnya 15 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan skor dibawah 5.
Penatalaksanaan bedah sering dilakukan pada pankreatitis yang
berhubungan dengan batu empedu.Kolesistektomi pada dalam 48 jam setelah
keluhan dapat mengurangi waktu dirawat di rumah sakit. Selain itu,
kolesistektomi yang dilakukan seawal mungkin tidak meningkatkan risiko
komplikasi sekunder dari operasi. Operasi tidak dilakukan pada
pankreatitisakut nekrosis sampai inflamasinya berkurang dan akumulasi cairan
tidak lagi meningkatkan ukurannya.
Penatalaksanaan operasi melalui ERCP berkorelasi dengan
koledokolitiasis. Tetapi konsensus menyarankan pelaksanaan ERCP tidak
rutin dilakukan. Pada kolangitis akut atau serum bilirubin >5 mg/dl ERCP
masih bermanfaat. ERCP dapat digunakan mengidentifikasi disrupsi ductus
pankreatik pada pankreatitis akut berat dan intervensi pada sindrom dislokasi
ductus.
ERCP dapat mengurangi perkembangan pankreatitis akut menjadi
berat jika dilakukan prosedur ini dalam 72 jam setelah masuk rumah sakit.
ERCP juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kolangitis sebesar
61%. Komplikasi yang ditimbulkan dalam 24 jam setelah dirawat di
rumah sakit dengan ERCP lebih rendahdibandingkan dengan tidak
dilakukan prosedur ini yaitu 15%:54%. Selain itu, ERCP juga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada komplikasi pankreatitis
akut hingga 96,97%. Tetapi sebaiknya prosedur ini tidak dilakukan pada
pankreatitis akut berat. ERCP dengan sphincterotomy dapat menurunkan
mortalitas hingga 4%. Pada pankreatitis akut berat atau nekrosis infeksi
atau koleksi cairan persisten diperlukan aspirasi perkutan dengan bantuan CT
atau operasi debridement.
Gambar 2. Alur penanganan Pankreatitis

D. Penatalaksanaan Pankreatitis Akut Berat


Pada saat ini terapi pankreatitis akut berat telah bergeser dari tindakan
pembedahan awal ke perawatan intensif agresif. Seiring dengan berkembangnya
radiologi dan endoskopi intervensi, tindakan bedah dapat diminimalisasi.
Intervensi untuk mengatasi komplikasi lokal pankreatitis akut berat adalah:
1) ERCP dan sfingterotomiuntuk menghilangkan sumbatan dan evakuasi batu di
duktus koledokus,
2) kolesistektomi laparoskopi ditujukan untuk mengangkat batu empedu,
3) drainase cairan menggunakan kateter perkutan baik dengan panduan USG
maupun CT scanatau transluminal endoskopik,
4) nekrosektomi melalui transluminal endoskopik, nekrosektomi transabdomen
laparoskopi, atau debridement retroperitoneal yang dipandu dengan video
(video-assisted retroperitoneal debridement),
5) laparotomi terbuka direkomendasikan untuk mengevakuasi timbunan cairan
yang sudah dibungkus dengan kapsul yang tebal (walled–off).
Tindakan bedah terbuka menjadi pilihan utama apabila rumah sakit tidak
mempunyai fasilitas, peralatan dan keterbatasan sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi metode invasif minimal. Indikasi intervensi pankreatitis akut
adalah
1) pankreatitis nekrosis terinfeksi,
2) pankreatitis nekrosis steril dengan penyulit (misalnya adanya obstruksi duktus
koledokus, gastric outlet obstruction),
3) gagal organ multipel yang tidak membaik dengan terapi yang diberikan selama di
ICCU,
4) pseudokista pankreas simptomatik,
5) pankreatitis biliar akut dengan kolangitis,
6) pankreatitis akut dengan batu empedu.
International Association of Pancreatology (IAP) (2013) dan ACG
(2013) merekomendasikan agar segera dilakukan tindakan kolesistektomi pada
pasien dengan pankreatitis biliar ringan sebelum pasien keluar dari rumah sakit.
ERCP direkomendasikan pada pankreatitits biliar akut ringan yangdisertai kolangitis
dan dilakukan segera (<24 jam). Kolestektomi sebaiknya ditunda khususnya
pada pasien pankreatitis akut berat atau pada keadaan dimana cairan dan
jaringan nekrotik belum terkapsulasi. Pada pasien pankreatitis biliar yang sudah
menjalanitindakan sfingterotomi dan layak menjalani pembedahan,
kolesistektomi disarankan, mengingat ERCP dan sfingterotomi mencegah
rekurensi dari pankreatitis biliar. Tindakan kolesistektomi pada pasien
peripankreatitis sebaiknya ditunda sampai terbentuk cairan yang terkapsulasi atau 6
minggu setelah onset sakit ERCP direkomendasikan pada pankreatitis biliar akut yang
terbukti disertai batu di duktus koledokus.
Indikasi Intervensi Pankreatitis Nekrosis Tindakan debridement
(necrosectomy) merupakan bakuemas pada pankreatitis nekrosis akut terinfeksi
dan nekrosis peripankreatik. MenurutIAP (2013) indikasi intervensi baik itu
melalui prosedur radiologi, endoskopis atau pembedahan pada pankreatitis nekrosis
adalah

1) kecurigaan atau sudah terbukti adanya pankreatitis nekrosis yang terinfeksi


dengan pemburukan keadaan klinis, khususnya dilakukan setelah jaringan
nekrosis sudah terkapsulasi dengan dinding yang tebal (walled-off necrosis),
2) pankreatitis nekrosis steril dengan gagal organ yang terus berlangsung
beberapa minggu setelah onset pankreatitis akut, khususnya dilakukan setelah
jaringan nekrosis sudah dikapsulasi dengan dinding yang tebal (walled-off
necrosis).

Pankreatitis nekrotika akut steril tidak perlu tindakan bedah, cukup


konservatif kecuali terjadi pankreatitis akut fulminan. Indikasi intervensi
pankreatitis nekrosis steril adalah
1) Obstruksi biliar, intestinal atau gastric outlet karena tekanan jaringan
nekrotik dan cairan yang terkapsulasi (walled–off necrosis),
2) Pasien dengan walled–off necrosis tanpa tanda infeksi namun masih
mengalami gejala persisten (misalnya nyeri perut),
3) Sindrom kebocoran duktus pankreatikus (disconnected duct) dengan gejala
persisten (misalnya nyeri atau obstruksi) dengan nekrosis tanpa adanya
infeksi (kira kira > 8 minggu setelah onset pankreatitis akut).

Waktu intervensi pankreatitis nekrotik menentukan respon klinis. Pendapat


bahwa intervensi harus dilakukan sedini mungkin pada kasus pankreatitis nekrotik
terinfeksi mulai ditinggalkan. Dari studi retrospektif disimpulkan bahwa 53 pasien
dengan pankreatitis nekrotikan terinfeksi yang diobati secara operatif, penundaan
pembedahan menurunkan 22% kematian. Meskipun pasien dengan pankreatitis
nekrosis yang tidak stabil memerlukan tindakan debridement segera, konsensus
terkini merekomendasikan agar pasien yang stabil harus diberikan antibiotik
terlebih dahulu sebelum intervensi untuk menekan reaksi inflamasi. Apabila
keadaan pasien masih belum membaik dan nekrosis infeksi belum mereda,
nekrosektomi invasif minimal melalui radiologi, endoskopis atau laparoskopi
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Prosedur invasif minimal pada
pankreatitis nekrosis terinfeksi menurunkan komplikasi utama (gagal organ,
perforasi organ viseral atau perdarahan) dan kematian dibandingkan pembedahan
terbuka. Menurut IAP (2013), untuk pasien yang terbukti atau dicurigai menderita
pankreatitis nekrosis infeksi, tindakan intervensi (drainase kateter perkutan,
nekrosektomi/ drainase transluminal endoskopis, invasif minimal atau
nekrosektomi terbuka) sedapat mungkin ditunda paling tidak 4 minggu sejak onset
sakit sampai jaringan nekrotik dan cairan sudah terkapsulasi menjadi walled–off
necrosis.8Pada umumnyapankreatitis edematosa interstisial dengan timbunan
cairan akan diresorpsi dalam waktu 7–10 hari, hanya 6,8% kasus kemudian
menjadi pseudokista. Pseudokista asimptomatik tidak memerlukan intervensi,
tetapi dalam perjalanannya pseudokista dapat berubah karakter menjadi
simptomatik. Apabila pseudokista menimbulkan gejala pilihan terapi adalah
dekompresi melalui drainase perkutan atau endoscopic cyst gastrostomydengan
panduan ultrasound endoskopi. Tindakan bedah terbuka menjadi pilihan apabila
pseudokista bersifat kompleks, multipel, atau adanya komplikasi seperti fistula,
ruptur dan perdarahan.

E. Komplikasi
Komplikasi pankreatitis akut dibagi menjadi komplikasi gagal organ dan
sistemik serta komplikasi lokal. Sistem organ yang dinilai sehubungan dengan gagal
organ adalah respirasi, jantung dan ginjal. Frekuensi terjadinya gagal organ pada
pasien dengan pankreatitis akut berat yaitu gagal organ multipel (27%), gagal
respirasi (46%), gagal ginjal (16,2%), gagal jantung (17,6%), gagal hati
(18,9%), dan perdarahan saluran cerna (10,8%).
Komplikasi lokal secara morfologi pankreatitis akut dibedakan menjadi
dua, yaitu pankreatitis edematosa interstisial dan pankreatitis nekrosis. Bentuk
dari komplikasi lokal pankreatitis edematosa interstisial adalah timbunan akut
cairan peripankreatik (acute collection of peripancreatic fluid) dan pesudokista
pankreas (pancreatic pseudocyst). Pada pasien yang menderita pankreatitis akut,
organ pankreas mengalami pembesaran difus oleh karena proses edema inflamasi.
Pada pemeriksaan CECT parenkim pankreas memperlihatkan gambaran homogen,
terkadang ditemukan cairan di bagian tepi atau yang dikenal sebagai acute
collection of peripancreatic fluid. Sementara itu, gejala klinis pankreatitits
edematosa interstisial biasanya akan berkurang dalam minggu pertama. Namun
apabila akumulasi cairan tersebut tidak diserap, cairan akan dilapisi oleh dinding
inflamasi yang dikenal sebagai pseudokista pancreas.

Anda mungkin juga menyukai