Anda di halaman 1dari 11

PENATALAKSANAAN NON-BEDAH RINOSINUSITIS KRONIS DENGAN POLIP

HIDUNG BERDASARKAN PENILAIAN SITOLOGI KLINIS: PENDEKATAN


BERBASIS PRECISION MEDICINE

M. Gelardi, L. Iannuzzi, M. De Giosa, S. Taliente, N. De Candia, N. Quaranta, E. De Corso,


V. Seccia, dan G. Ciprandi

Ringkasan

Rinosinusitis kronis dengan polip hidung (Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps) -
CRSwNP) adalah gangguan inflamasi yang sering terjadi dan sangat mempengaruhi kualitas
hidup pasien. CRSwNP masih menjadi tantangan bagi dokter spesialis THT karena
patogenesisnya yang belum diketahui, sulit dikendalikan, dan sering kambuh. Kami menguji
hipotesis bahwa pendekatan terapeutik standar terbaru berdasarkan penilaian sitologi klinis
individu (clinical-cytological grading - CCG), dapat meningkatkan pengendalian penyakit
dan mencegah perlunya tindakan pembedahan. Kami menganalisis 204 pasien yang
menderita CRSwNP bilateral, 145 pasien yang menjalankan terapi secara teratur dan
menjalani check-up yang telah direncanakan dianggap sebagai “kasus”; 59 pasien yang tidak
menerima terapi seperti yang diindikasikan dianggap sebagai “kontrol". Setelah lima tahun
menjalankan pengobatan yang telah distandarisasi, 15 dari 145 pasien (10,5%) mengalami
perbaikan staging endoskopi, 61 dari 145 pasien (42%) tidak mengalami perbaikan staging
endoskopi, dan 69 dari 145 pasien (47,5%) mengalami perburukan staging endoskopi. Pada
kelompok kontrol, staging endoskopi 49 dari 59 pasien (83%) lebih buruk setidaknya dua
stage (p <0,05). “Kasus” dan “kontrol" dikelompokkan berdasarkan penilaian klinis dan
sitologi sebagai ringan, sedang dan berat. Setelah stratifikasi pasien, pada kelompok CCG
ringan (n = 27), 92% pasien memiliki kecenderungan konstan, tidak mengalami perburukan
dan tidak memerlukan pembedahan selama periode 5 tahun, sedangkan pada kelompok
kontrol CCG ringan, 1 dari 59 pasien (1,6%) memerlukan pembedahan (p <0,05). Pada
kelompok CCG sedang (n = 83), 44% pasien tidak mengalami perubahan ataupun perbaikan
staging endoskopi dan 3,6% membutuhkan pembedahan, vs 13,6% kontrol dengan CCG
sedang (p <0,05). Pada kelompok CCG berat (n = 35), meskipun tidak ada pasien yang
mencapai perbaikan staging endoskopi yang signifikan, 40% pasien dianggap "terkontrol
secara klinis", dan terdapat 5,7% pasien menjalani pembedahan vs 49% pasien pada
kelompok kontrol memerlukan pembedahan (p = 0,0000). Terakhir, analisis statistik
mengungkapkan tren yang jelas bahwa ukuran polip meningkat secara lebih cepat pada pada
kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok kasus/perlakuan, dan hal ini juga ditemukan
pada setiap subkelompok (rendah, sedang dan berat). Penelitian ini menunjukkan pendekatan
baru dalam penatalaksanaan CRS berdasarkan penilaian sitologi klinis yang memungkinkan
penentuan tingkat keparahan CRSwNP dan memungkinkan penyesuaian intensitas
pengobatan. Pendekatan ini membatasi penggunaan kortikosteroid sistemik hanya pada
CRSwNP sedang-berat dengan dosis yang rendah. Protokol penatalaksanaan kami tampaknya
meningkatkan kepatuhan pasien, meningkatkan pengendalian penyakit, dan menurunkan
kebutuhan tindakan pembedahan secara jangka panjang.
Kata kunci : Polip hidung, Clinical grading, Grading sitologi, Pengobatan

Pendahuluan

Rinosinusitis kronis dengan polip hidung (CRSwNP) adalah gangguan inflamasi yang sering
terjadi, mempengaruhi sekitar 4% populasi di seluruh dunia dan sangat mempengaruhi
kualitas hidup pasien yang mengalami kondisi ini. CRSwNP masih menjadi tantangan bagi
dokter spesialis THT karena patogenesisnya yang belum diketahui, serta sulit dikontrol dan
sering kambuh.

CRSwNP ditandai oleh fenotipe yang berbeda tergantung pada: komorbiditas, temuan
endoskopi, gambaran radiologi, dan gambaran sitologi. Dalam hal ini, penilaian sitologi
klinis (CCG) telah diusulkan untuk menentukan indeks prognostik kekambuhan, seperti yang
dilaporkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Indeks prognostik kekambuhan polip hidung berdasarkan penilaian klinis dan
sitologi.

Penatalaksanaan CRSwNP terdiri dari kombinasi terapi medikamentosa, tindak lanjut yang
cermat, dan pembedahan yang sesuai; strategi ini harus bersifat individual untuk setiap
pasien. Pendekatan yang paling umum meliputi kortikosteroid (CS), baik topikal maupun
sistemik, dan functional endoscopic sinus surgery (FESS). Meskipun terapi medikamentosa
biasanya dapat memberikan kontrol penyakit yang memuaskan pada sebagian besar pasien,
beberapa pasien tetap memerlukan terapi pembedahan. Namun demikian, 15-87% dari pasien
yang menjalani operasi memiliki kemungkinan untuk mengalami relaps/kekambuhan. Oleh
karena itu, diperlukan algoritma terapeutik berdasarkan fenotipe CRSwNP. Strategi yang
tepat sangat diperlukan untuk menghindari pengobatan yang tidak adekuat atau berlebihan,
mencegah kekambuhan, dan meminimalisir efek samping pengobatan.

Penelitian ini mempelajari hipotesis bahwa pendekatan terapeutik standar terbaru untuk
CRSwNP berdasarkan penilaian klinis dan sitologi dapat meningkatkan pengendalian
penyakit dan berpotensi mencegah pembedahan dan kekambuhan.

Bahan dan metode

Terdapat 204 pasien (117 laki-laki, 87 perempuan, usia rata-rata 41 tahun, rentang usia 28-
71) yang menderita CRSwNP bilateral dievaluasi pada penelitian ini. Diagnosis CRSwNP
ditegakkan berdasarkan anamnesis (termasuk sensitivitas acetylsalicylic acid/ASA/aspirin),
endoskopi hidung, pemeriksaan sitologi, dan alergi.

Sitologi hidung dilakukan dengan mengikis bagian tengah dari inferior turbinate (konka
nasalis inferior) dengan perangkat Rhino-Probe® (Arlington Scientific), sesuai dengan
kriteria yang telah divalidasi. Pola inflamatorik dari peradangan yang terjadi pada 91 dari 204
(44,6%) pasien adalah eosinofil; pada 37 dari 204 (18,1%) adalah sel mast; pada 73 dari 204
(35,7%) adalah campuran sel mast dan eosinofil; dan 3 dari 204 (1,4%) pasien adalah
neutrofil. Kami tidak pernah mengamati perubahan pola inflamasi selama bertahun-tahun.

Skin prick test dilakukan sesuai dengan kriteria yang telah divalidasi. Alergi terdeteksi pada
93 dari 204 (45%) pasien, 71 dari 204 (34,8%) merupakan poly-sensitised, 32 dari 204
(15,7%) pasien merupakan asmatik; 23 dari 204 (11,3%) pasien memiliki intoleransi aspirin
(ASA), dan 59 dari 204 pasien (28,9%) memiliki sensitivitas ASA terkait asma.

Penilaian klinis dan sitologi serta indeks prognostik relaps polip hidung dilaporkan pada
Gambar 1. Algoritma diagnostik dan terapeutik kami ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Algoritma diagnostik dan terapeutik untuk poliposis hidung.

Pendekatan terapeutik standar berdasarkan penilaian klinis dan sitologi (CCG) diikuti oleh
145 dari 204 pasien yang secara teratur menerima terapi dan menjalankan check-up yang
telah direncanakan, dan dianggap sebagai kelompok “kasus”; 59 dari 204 pasien yang tidak
menerima terapi seperti yang diindikasikan dan hanya menerima kortikosteroid topikal,
dianggap sebagai kelompok “kontrol”.

Pasien yang menjalani perawatan berdasarkan CCG dan kontrolnya dikelompokkan


berdasarkan penilaian klinis dan sitologi. Kelompok pasien dan kontrol dibagi menjadi tiga
kelompok berdasarkan CCG: kelompok A derajat ringan (CCG 1-3); kelompok B derjat
sedang (CCG 4-6); dan kelompok C derajat berat (CCG 7-10). Pada kelompok “kasus”, 27
dari 145 pasien (18%) dikategorikan CCG ringan; 83 dari 145 (57%) CCG sedang, dan 35
dari 145 (24%) CCG berat. Dalam kelompok “kontrol”, 15 dari 59 pasien (25%)
dikategorikan CCG ringan, 32 dari 59 (54%) CCG sedang, dan 12 dari 59 (20%) adalah CCG
berat.

Terapi medikamentosa diresepkan berdasarkan penilaian klinis dan sitologi (CCG)


dilaporkan pada Gambar 3. Irigasi hidung menggunakan saline isotonik, pada tekanan rendah
dan volume besar dilakukan oleh semua pasien. Pada pasien derajat ringan, mometasone
furoate (200 mcg/hari) diresepkan selama 15 hari/bulan, dan montelukast 10 mg/hari jika
terjadi asma. Pada pasien derajat sedang, antihistamin dan imunoterapi alergen akan
diberikan jika diindikasikan; mometasone diresepkan selama 20 hari/bulan; dan
kortikosteroid oral yaitu prednison diberikan 12,5 mg/hari selama 6 hari/bulan. Pada pasien
dengan derajat berat, prednison 25 mg diresepkan per 3 hari, dilanjutkan dengan 12,5 mg
selama 3 hari/bulan. Kontrol hanya diberikan kortikosteroid local mometasone furoate (200
mcg/hari) yang diresepkan selama 15 hari/bulan.

Gambar 3. Diagram alir pengobatan polip hidung berdasarkan grading yang diusulkan.

Endoskopi hidung dilakukan dengan fiberscope fleksibel berdiameter 3,4 mm (Vision-


Sciences® ENT-2000). Penelitian ini menggunakan klasifikasi endoskopi poliposis nasal
yang diusulkan oleh Meltzer (stage 0: tidak ada polip yang terlihat dan meatus media terbuka;
stage 1: polip kecil terlihat di meatus media; stage 2: meatus media terisi penuh oleh
polipoid; stage 3: polip memanjang keluar dari meatus media namun tidak melibihi konka
inferior; stage 4: poliposis hidung masif yang mengisi seluruh rongga hidung dan daerah
spheno-ethmoidal).

Para pasien di follow-up selama 5 tahun. Outcome pasien dievaluasi pada awal penelitian
(T0), setelah 1 tahun (T1), dan setelah 5 tahun (T2).

Dewan Peninjau Policlinico Bari telah menyetujui prosedur tersebut dan semua pasien telah
memberikan persetujuan tertulis.

Analisis statistik

Data berasal dari uji klinis ordinal longitudinal. Analisis statistik terutama ditujukan untuk
mengevaluasi efektivitas protokol terapeutik yang telah dikalibrasi, berdasarkan CCG versus
terapi kortikosteroid topikal. Sampel populasi dibagi menjadi tiga subkelompok menurut skor
CCG (A, B, dan C).
Sebagai analisis data eksplorasi awal, respon ukuran polip diskrit (Υ it) diplot sebagai fungsi
waktu (τ) dikondisikan pada terapi/perlakuan (tr) dan pada subsampel A, B, dan C. Presentasi
tren yang telah diringkas lebih lanjut dihasilkan dalam boxplot yang telah dikondisikan.

Model marjinal logit kumulatif yang dijelaskan dalam ([1], [3]) diberlakukan pada data untuk
setiap sub-sampel A, B, dan C. Variabel respons berulang Υ it adalah ukuran polip diskrit dari
setiap subjek dalam penelitian, diklasifikasikan pada skala ordinal lima tingkat dengan
kemungkinan nilai y = 0, 1, 2, 3, 4 (0 = rendah; 4 = tinggi), pada waktu t = 0 (klasifikasi
dasar) dan pada dua waktu tindak lanjut: satu tahun (t = 1) dan lima tahun (t = 5).

Data diperoleh dan dianalisis menggunakan perangkat lunak R 3.0.1 (R Core Team 2015
https://www.R-project.org).

Hasil

Setelah satu tahun pengobatan yang telah distandarisasi (T1), pada kelompok kasus, 10 dari
145 (6,8%) mengalami perbaikan staging endoskopi setidaknya satu stage, 75 dari 145
(51,7%) tidak mengalami perubahan staging endoskopi, dan 50 dari 145 (34,48%) mengalami
perburukan staging endoskopi tidak lebih dari satu stage. Pada kelompok kontrol, 22 dari 59
(37,2%) tidak mengalami perubahan staging endoskopi, sedangkan 37 dari 59 (62,7%)
mengalami perburukan staging sebanyak satu hingga dua stage.

Setelah lima tahun pengobatan standar (T2), pada kelompok kasus, 15 dari 145 (10,3%)
mengalami perbaikan staging endoskopi, 61 dari 145 (42%) tidak mengalami perubahan
staging endoskopi, dan 69 dan 145 (47,5%) mengalami perburukan staging endoskopi. Pada
kelompok kontrol, staging endoskopi 49 dari 59 (83%) lebih buruk setidaknya dua stage.

Outcome setelah pengobatan menurut stadium sitologi klinis dilaporkan pada Tabel 1. Pada
kelompok A (CCG ringan), 92% pasien tidak mengalami perubahan ataupun perbaikan
staging endoskopi; tidak ada pasien dalam kelompok ini yang membutuhkan pembedahan;
pada kelompok kontrol CCG ringan, 1 dari 59 (1,6%) membutuhkan pembedahan (p <0,05).
Pada kelompok B (CCG sedang), 44% pasien tidak mengalami perubahan ataupun perbaikan
staging endoskopi dan 3 dari 83 pasien (3,6%) membutuhkan FESS vs 8 dari 59 (13,55%)
pada kelompok kontrol (p <0,05). Dalam kelompok C (CGG berat), tidak ada pasien yang
mengalami perbaikan staging endoskopi, 40% pasien tidak mengalami perburukan; 2 dari 35
pasien (5,7%) membutuhkan pembedahan vs 20 dari 59 (33,8%) pada kelompok kontrol.
Selama lima tahun masa tindak lanjut, 5 dari 145 pasien yang menjalani terapi (3,4%)
menjalani FESS, yang terdiri dari 3 pasien dengan CCG sedang dan 2 pasien dengan CCG
berat; sedangkan pada kelompok kontrol, 29 dari 59 (49%) menjalani tindakan pembedahan
(p = 0,0000).
Tabel I. Hasil 5 tahun tindak lanjut setelah pengobatan berdasarkan staging endoskopi, yang
distratifikasi menurut penilaian sitologi klinis.

Gambar 4 menunjukkan plot respon ukuran polip diskrit (Yit), untuk setiap subjek (ι), sebagai
fungsi waktu (τ), dikondisikan pada kelompok (kontrol, perlakuan) dan pada subsampel (A,
B, C). Dari plot, terlihat tren yang jelas yaitu rata-rata ukuran polip meningkat secara lebih
cepat pada kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok perlakuan, pada setiap sub
sampel. Gambar 5 menunjukkan ringkasan tren yang sama dengan boxplot.

Gambar 4. Plot ukuran polip diskrit untuk setiap subjek, sebagai fungsi waktu, dikondisikan
pada kelompok dan subsampel.
Gambar 5. Boxplot dari ukuran polip yang dipisahkan untuk setiap subjek, sebagai fungsi
waktu, dikondisikan pada kelompok dan subsampel.

Estimasi GEE dari parameter relevan βtr dan βtt/tr, estimasi kesalahan standar terkait
berdasarkan matriks kovarians sandwich, statistik-z Wald dan nilai-p, untuk setiap subsampel
A, B dan C, dilaporkan dalam Tabel II.

Tabel II. Estimasi parameter, kesalahan standar, statistik-z, dan nilai-p untuk setiap
subsampel.

Pada setiap subkelompok, pengaruh perlakuan terkalibrasi pada waktu t = 1 tahun


menunjukkan hasil positif dan signifikan secara statik pada a = 0.05 (H0: βtr = 0 ditolak),
begitu juga dengan pengaruh interaksi (H0: βtt/tr = 0 ditolak).

Untuk subsampel A, estimasi peluang kumulatif subjek dalam kelompok perlakuan adalah
49,88 (t = 1 tahun) dan 1026,38 (t = 5 tahun) kali subjek dalam kelompok kontrol. Untuk
subsampel B, perkiraan peluang kumulatif subjek dalam kelompok perlakuan adalah 96,97 (t
= 1 tahun) dan 861,61 (t = 5 tahun) kali subjek dalam kelompok kontrol. Untuk subsampel C,
perkiraan peluang kumulatif subjek pada kelompok perlakuan adalah 45,20 (t = 1 tahun) dan
267,24 (t = 5 tahun) kali subjek pada kelompok kontrol.
Diskusi

Berbagai penelitian mengenai CRSwNP telah dilakukan untuk mencoba mengklarifikasi


etiologi penyakit. Meskipun beberapa hipotesis telah dipostulasikan, belum ada hipotesis
yang diterima secara universal oleh komunitas ilmiah internasional. Selain itu, meskipun
terapi medikamentosa dan surgikal untuk polip hidung semakin baik, belum ada upaya
signifikan yang dilakukan untuk menentukan fenotipe penyakit ini.

Dari sudut pandang sitologi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa CRSwNP sangat terkait
dengan immune-inflammatory state, yang ditandai dengan terdapatnya eosinofil dan sel mast,
dan kadang-kadang terkait dengan terdapatnya neutrofil walaupun lebih jarang. Dari sudut
pandang klinis, telah diketahui bahwa CRSwNP umumnya terkait dengan komorbiditas
lainnya (alergi, asma, intoleransi ASA) yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis penyakit
ini.

Semua faktor tersebut mengkonfirmasi kesan klinis bahwa ada beberapa fenotipe yang
berbeda dari penyakit ini dan bahwa modalitas pengobatan harus disesuaikan dengan
fenotipe-fenotipe tersebut. Bukti terbaru menunjukkan kemungkinan "pengobatan presisi",
berdasarkan fenotipe spesifik setiap pasien, yang memungkinkan pengobatan yang
disesuaikan, meminimalisir efek kolateral, dan mengurangi risiko pengobatan yang
kurang/berlebihan. Selain itu, dalam skenario penyakit kronis, klinisi wajib menentukan
diagnosis yang paling tepat karena hal ini dapat membantu klinisi menentukan terapi secara
lebih akurat, dengan hasil yang lebih memuaskan dan kepatuhan jangka panjang yang lebih
baik terhadap pengobatan.

Studi ini merupakan studi longitudinal inovatif pertama berbasis terapi medikamentosa yang
"dipersonalisasi" sesuai dengan penilaian sitologi klinis (CCG), dan oleh karena itu, terapi
telah disesuaikan untuk setiap pasien.

Dalam model kami, setiap pasien dengan CRSwNP memiliki identitas unik, tidak hanya
berdasarkan fitur klinis, seperti ukuran polip dan penyakit penyerta, tetapi juga berdasarkan
infiltrat seluler. Kombinasi dari semua elemen ini menentukan perjalanan klinis CRSwNP.
Oleh karena itu, kelompok yang berbeda dibagi lagi berdasarkan CCG, suatu sistem
stratifikasi untuk CRSwNP yang pertama kali kami kembangkan dan terapkan dalam praktik
klinis kami pada tahun 2009, untuk menghubungkan fenotipe yang berbeda dengan modalitas
pengobatan yang berbeda pula.

Pendekatan kami telah memberi kami keuntungan dalam merawat pasien dengan CCG
rendah dengan steroid topikal eksklusif, sedangkan pasien dengan CCG lebih tinggi (> 4)
dirawat dengan steroid sistemik, namun dengan dosis dan durasi pengobatan yang secara
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan pada literatur.
Faktanya, kami hanya memberikan prednisone tidak lebih dari 75 mg dan 112,5 mg per bulan
(dalam satu minggu terapi) pada kelompok CCG sedang dan berat, yang merupakan dosis
yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang disarankan oleh Hissaria (50 mg per hari
selama 2 minggu, dengan dosis total 700 mg prednison per bulan), Vaidayanathan (25 mg per
hari selama 2 minggu, dengan dosis total prednison 350 mg per bulan), dan Alobid
(prednison 170 mg dalam satu minggu). Kami percaya bahwa penggunaan steroid sistemik
yang rasional dan tertimbang adalah salah satu elemen kunci untuk mendapatkan kepatuhan
pasien yang tinggi terhadap pengobatan, terutama pada pasien-pasien yang berisiko
mengalami komorbiditas terkait steroid (misalnya: diabetes, hipertensi, glaukoma, dan
gastritis). Kepatuhan terhadap terapi serta informasi dasar tentang fitur penyakit, ditambah
dengan petunjuk penggunaan steroid hidung, menurut pendapat kami, merupakan salah satu
kemungkinan alasan rendahnya persentase prosedur pembedahan pada pasien CRSwNP
kami. Selain itu, penelitian kami menunjukkan bahwa penggunaan steroid yang
dipersonalisasi, dengan posologi dan interval waktu yang kami gunakan, mampu mengontrol
CRSwNP jauh lebih baik pada kelompok CCG dibandingkan pada kelompok kontrol (p =
0,0000). Steroid, baik topikal maupun sistemik, adalah agen utama yang bertanggung jawab
untuk mengurangi infiltrat inflamasi, terutama ketika eosinofil dan sel mast hadir sama-sama
hadir. Telah terbukti bahwa keberadaan sel mast dan eosinofil adalah faktor utama yang
bertanggung jawab atas CCG yang tinggi.

Pada kelompok dengan CCG ringan, 92% pasien memiliki kecenderungan konstan, tidak
memburuk dan tidak memerlukan pembedahan selama periode 5 tahun, sedangkan pada
kelompok kontrol CCG ringan, 1 dari 59 pasien (1,6%) memerlukan pembedahan ( p <0,05).
Pada kelompok dengan CCG sedang (n = 83), 44% pasien tidak mengalami perubahan
ataupun perbaikan staging endoskopi dan 3,6% membutuhkan pembedahan, vs 13,55% pada
kelompok kontrol CCG sedang (p <0,05). Pada kelompok dengan CCG berat, meskipun tidak
ada pasien yang mencapai perbaikan staging endoskopi yang signifikan, 40% pasien
dianggap "terkontrol secara klinis", yaitu dengan fungsi pernapasan yang cukup, tidak
terdapatnya komplikasi, dan kualitas hidup yang baik. Pada pasien dengan CCG berat, 5,7%
pasien menjalani operasi yang dilakukan pada kasus CRSwNP obstruktif, yang disertai
komplikasi atau kualitas hidup yang rendah, tetapi persentase ini secara signifikan lebih
tinggi (49%) pada kelompok kontrol, dan perbedaannya adalah signifikan secara statistik (p =
0,0000). Terakhir, analisis statistik mengungkapkan tren yang jelas bahwa ukuran polip
meningkat secara lebih cepat pada kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok
perlakuan, untuk setiap subkelompok (rendah, sedang dan berat).

Dalam studi terbaru oleh Oscarsson et al., pasien dengan CRSwNP yang tidak diobati
diobservasi selama 13 tahun tanpa intervensi terapeutik khusus. Hal yang menarik adalah
mereka menunjukkan bahwa CRSwNP merupakan suatu entitas kronis, dengan perjalanan
penyakit yang bervariasi selama bertahun-tahun, yang tidak selalu berkembang menjadi
kondisi yang lebih serius. Meskipun tidak secara spesifik ditunjukkan oleh penulis, jelas
bahwa terdapat fenotipe CRSwNP klinis, dengan "tingkatan" yang lebih rendah dan
perjalanan penyakit yang lebih jinak.
Salah satu aspek CRSwNP yang paling menantang adalah kekambuhannya setelah operasi,
yang masih sering terjadi meskipun teknik bedah dan modalitas terapi semakin membaik.
Hopkins et al. menggambarkan tingkat revisi sebesar 4% pada 12 bulan pasca operasi, yang
meningkat menjadi 11% pada tindak lanjut 36 bulan. Masterson et al. melaporkan tingkat
revisi sebesar 12,3%, sedangkan pada tahun 2012, EPOS menggambarkan persentase
kekambuhan yang sangat bervariasi, mulai dari 4% hingga 60%, dengan rata-rata 20%.
Menurut pendapat kami, heterogenitas yang meningkat pada kekambuhan CRSwNP ini
mencerminkan variabilitas penilaian CCG pada pasien, yang hanya dapat dihipotesiskan
dalam penelitian sebelumnya, namun dapat dibuktikan pada kelompok pasien yang lebih
besar. Persentase rendah pasien yang memerlukan tindakan pembedahan pada penelitian
kami menunjukkan bahwa pendekatan khusus yang kami lakukan berhasil, dan bahwa ini
adalah konsekuensi dari penentuan fenotipe CRSwNP yang adekuat. Selain itu, kami percaya
bahwa konseling yang tepat, informasi yang sesuai, dan saran yang berguna untuk mengelola
gejala CRSwNP adalah elemen dasar untuk manajemen efektif dari penyakit yang kompleks
ini. Di sisi lain, saat ini tersedia data-data dari berbagai penelitian mengenai kemungkinan
terapi penargetan untuk endotipe CRS dengan NP yang berbeda, dengan fokus pada sitokin
yang menonjol, yang merupakan fitur kunci CRSwNP eosinofilik. Dengan ketersediaan
berbagai hmAbs untuk secara khusus menargetkan sitokin dan reseptornya, kami tidak dapat
mengecualikan perbaikan pendekatan kami yang mengintegrasikan indikasi, dan khususnya
untuk mengendalikan penyakit yang berat.

Kesimpulan

Saat ini, personalised medicine mewakili tingkatan terbaru dalam kemajuan medis. Walaupun
beberapa kondisi gangguan pernafasan dan gangguan pada kepala dan leher telah berhasil
dieksplorasi, CRSwNP masih menjadi suatu kondisi yang belum jelas sepenuhnya. Dalam hal
ini, fenotipe CRSwNP adalah upaya yang bermanfaat untuk menyesuaikan pengobatan
terbaik dan untuk menghindari pengobatan yang kurang atau berlebihan. Studi ini adalah
studi longitudinal pertama yang bertujuan untuk mengkalibrasi terapi medikamentosa
berdasarkan CCG. Setiap fenotipe mewakili cirikhas dari mekanisme patofisiologis yang
terlibat dalam CRSwNP, yang spesifik untuk setiap pasien. CCG memungkinkan kita untuk
menentukan tingkat keparahan CRSwNP dan menyesuaikan intensitas pengobatannya.
Pendekatan ini membatasi penggunaan kortikosteroid sistemik hanya pada CRSwNP sedang-
berat. Selain itu, jadwal yang diusulkan terdiri dari CS dosis rendah dibandingkan dengan
yang dilaporkan sebelumnya. Protokol kami tampaknya meningkatkan kepatuhan pasien,
mengurangi ketidaknyamanan akibat komorbiditas, serta meningkatkan tingkat pengendalian
penyakit dan mengurangi kebutuhan pembedahan secara jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai