Anda di halaman 1dari 3

DITA TRIANI / XII MIPA F / 11

TOKOH PAHLAWAN NASIONAL / DAERAH


1. Frans Kaisiepo
Pahlawan ini yang berasal dari Irian. Namanya diabadikan menjadi nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak, di salah satu kapal yaitu
KRI Frans Kaisiepo, dan wajahnya pun tertera dalam mata uang Rp10.000,00. Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921.
Pada usia 24 tahun, ia mengikuti kursus Pamong Praja di Jayapura yang salah satu pengajarnya adalah Soegoro Atmoprasodjo, yang merupakan
mantan guru Taman Siswa. Sejak bertemu dengan beliau, jiwa kebangsaan Frans Kaisiepo semakin tumbuh dan kian bersemangat untuk
mempersatukan wilayah Irian ke dalam NKRI. Frans Kaisiepo wafat tanggal 10 April 1979. Atas jasa dan perjuangannya selama mempertahankan
keutuhan bangsa Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.

2. K.H Hasyim Asy’ari


K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur tanggal 14 Februari 1871. Pondok Pesantren Tebuireng didirikan pada tahun 1899 serta
memelopori pendirian organisasi massa Islam Nahdhatul Ulama (NU) tanggal 31 Januari 1926. K.H. Hasyim Asy’ari wafat tanggal 25 Juli 1947.
Wafatnya beliau terjadi ketika utusan Bung Tomo serta pemimpin Hizbullah Surabaya Kyai Gufron bertamu ke pesantren Tebuireng. Kedatangan
dua tamu tersebut berupaya memberitahu K.H. Hasyim Asy’ari bahwa pasukan Belanda melakukan Agresi Militer I dan menduduki kota Malang
yang sebelumnya dikuasai pasukan Hizbullah. Berita itu mengejutkan K.H. Hasyim Asy’ari dan membuat beliau jatuh pingsan di atas kursinya.
Dokter segera didatangkan namun sayangnya ia sudah wafat akibat pendarahan otak. Pemerintah RI lantas menghargai jasa-jasanya dan
pengabdiannya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, yang menyatakan bahwa
Pemerintah RI menganugerahi K.H. Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

3. Jenderal TNI Gatot Soebroto


Jenderal TNI (Purn.) Gatot Soebroto lahir di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907. Jenderal Gatot Subroto dikenal sebagai
tentara yang aktif di tiga zaman. Beliau pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL), masa pendudukan Jepang, dan pasca Indonesia merdeka
beliau berperan dalam menumpas pemberontakan PKI.
Pada tanggal 11 Juni 1962 Gatot Soebroto wafat pada usia 54 tahun akibat serangan jantung. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah
Letnan Jenderal. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, ia dianugerahi gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gatot Soebroto
adalah tentara asli indonesia. darma baktinya kepada nusa dan bangsa ia tunjukkan dengan prestasi yang luar biasa.
Semua pemberontakan di tanah air mulai dari PKI Madiun 1948, DI/TII, dan PRRI Permesta berhasil ditumpas oleh beliau. Selama hidupnya
sosok Gatot Soebroto merupakan sosok yang dianggap gila karena ucapannya yang terkadang kasar namun karena sikapnya tersebut ia sangat
dekat dengan para bawahannya di militer.

4. Laksamana Madya TNI Yos Sudarso


Laksamana Madya TNI Yos Sudarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24 November 1925. Laksamana Madya TNI Yos Sudarso bertugas
di angkatan laut pada dua zaman. Ia bertugas sejak masa Pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan. Laksamana Madya TNI Yos Sudarso
wafat dalam pertempuran di Laut Aru tanggal 15 Januari 1962. Ia meninggal ketika melaksanakan operasi rahasia untuk menyusupkan
sukarelawan ke Irian menggunakan KRI Macan Tutul.

5. Jenderal Sudirman
Biografi Jendral Sudirman singkat dimulai dari awal hidup dan pendidikannya. Sudirman (Soedirman) lahir di Purbalingga, Jawa Tengah
pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya Karsid Kartawiraji merupakan seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas dan ibunya Siyem
merupakan keturunan Wedana Rembang. Sejak kecil Sudirman diasuh oleh seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo. Sudirman tidak
diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. Saat berusia tujuh tahun, Sudirman terdaftar di sekolah
pribumi (hollandsch inlandsche school). Sudirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun
kedelapan, Sudirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena
diketahui tidak terdaftar. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. Selama
menempuh pendidikan di sana, ia pun turut serta dalam kegiatan organisasi Pramuka Hizbul Wathan.
Pada 1936, Sudirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo.
Setelah menikah, Sudirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Sudirman dan Alfiah
Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat
orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.
Pada 1936, Sudirman kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi
guru HIS Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut. Sebagai guru, Sudirman mengajarkan murid-
muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Meski bergaji kecil, Sudirman
tetap mengajar dengan giat. Dalam beberapa tahun Sudirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru. Selama
mengajar, Sudirman sangat disegani oleh masyarakat. Pada zaman penjajahan Jepang tepatnya 1944, Sudirman bergabung dengan tentara
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Sudirman dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih
bersama orang lain dengan pangkat yang sama.
Pasca Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Kemudian beliau diangkat
menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah menyelesaikan pendidikannya. Setelah Indonesia Mengikrarkan proklamasi pada 1945, Jenderal
Sudirman melarikan diri ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno. Sang Proklamator menugaskan Jenderal Sudirman untuk
mengawasivproses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Ia
lalu menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Sudirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan
suara buntu dua tahap. Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Sudirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan
Sekutu di Ambarawa. Perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda dari bulan November sampai Desember 1945
adalah perang besar pertama yang ia pimpin. Karena ia berhasil memperoleh kemenangan pada pertempuran ini, Presiden Soekarno pun
melantiknya sebagai Jenderal.
Pada 18 Desember 1945, Sudirman resmi diangkat menjadi panglima besar TKR setelah penarikan tentara Inggris lantaran diserang
sejumlah pasukan yang diperintahkan. Biografi Jenderal Sudirman tidak lengkap jika tak membahas perang gerilya yang ia lakukan. Selang tiga
tahun, Sang Jenderal menjadi saksi kegagalan negosiasi dalam Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville dengan tentara kolonial Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia. Sudirman juga menghadapi upaya kudeta tahta kepemimpinan pada 1948.
Pada Desember 1948 Sudirman melakukan perlawanan terhadap Agresi Militer II Belanda yang terjadi di Yogyakarta. Beserta sekelompok
kecil tentara dan dokter pribadinya, Jenderal Sudirman melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh
bulan. Hingga akhirnya Belanda mulai menarik diri, Jenderal Sudirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949 oleh Presiden
Soekarno.
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Sudirman. Pada 1948
Sudirman didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Hingga pada November 1948, paru-paru kanannya dikempeskan lantaran ditengarai sudah
mengalami infeksi. Sudirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih, Yogyakarta. Ia dipindahkan ke
sebuah rumah di Magelang pada Desember 1949. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi
panjang selama beberapa bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Meskipun
sedang sakit, Sudirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat.
Selang sebulan, tepatnya pada 18.30 tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman wafat di Magelang, Jawa Tengah. Kabar duka ini dilaporkan
dalam sebuah siaran khusus di RRI. Jenazah Sudirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari. Jenazah Sudirman kemudian
dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer mengiringi di belakang.

6. RA Kartini
RA Kartini lahir tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa. Hal tersebut
menjadi alasan mengapa beliau mendapat gelar RA yang merupakan singkatan dari Raden Ajeng. Namun setelah menikah, sesuai dengan
tuntunan adat Jawa kepanjangan dari gelar RA tersebut beru bah menjadi Raden Ayu. Hari kelahiran RA Kartini saat ini diperingati sebagai hari
nasional, yaitu hari Kartini. Diperingatinya tanggal 21 April sebagai hari Kartini tidak lain untuk mengenang dan menghormati jasa beliau yang
telah ikut berjuang bagi rakyat Indonesia, terutama kaum wanita, agar bisa lebih maju dan bersaing dengan bangsa lainnya.
RA Kartini merupakan putri pertama dari istri pertama Raden Adipati Ario Sosroningrat. Ayah dari RA Kartini merupakan putra Pangeran
Arion Tjondronegoro IV. Meskipun ibu dari RA Kartini merupakan istri pertama, namun ibu dari RA Kartini bukan istri yang utama. Ibu dari RA
Kartini bernama MA Ngasirah. Beliau adalah seorang Kiyai di Telukawur, Surabaya. MA Ngasirah sendiri bukan merupakan putri keturunan
bangsawan. Padahal, di masa kolonial Belanda terdapat peraturan jika seorang Bupati harus menikah dengan sesama keturunan bangsawan.
Itulah penyebab ayah RA Kartini menikahi Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan bangsawan dari Raja Madura. Setelah pernikahan
tersebut, ayah RA Kartini kemudian diangkat menjadi bupati Jepara tepat setelah RA Kartini dilahirkan. Kakek dari RA Kartini adalah bupati
pertama yang sudah memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Sedangkan RA Kartini merupakan merupakan anak ke-5 dari 11
bersaudara, baik kandung maupun tiri. RA Kartini sendiri merupakan putri tertua di antara saudara sekandungnya.
Kemudian RA Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Di masa sekolah inilah beliau belajar Bahasa
Belanda. Singkatnya masa sekolah tersebut disebabkan pada umur 15 tahun RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit. RA Kartini
sangat pandai bahasa Belanda. Dirinya mulai belajar menulis surat pada teman-teman dari Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon,
yang sangat mendukung RA Kartini. Dimulai belajar surat-menyurat inilah RA Kartini tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Beliau
mempelajari mengenai hal tersebut melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku. Lalu beliau mulai memiliki keinginan untuk memajukan
perempuan Indonesia yang status sosialnya masih rendah kala itu. RA Kartini mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita dengan
membandingkan para wanita Eropa dengan wanita Indonesia. Baginya seorang wanita harus mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi
serta kesetaraan hukum. Hal tersebut yang kedepannya diperjuangkan oleh RA Kartini.
12 November 1903 tepatnya ketika RA Kartini berusia 24 tahun, beliau diminta menikah dengan Bupati Rembang saat itu, yaitu K.R.M
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suami RA Kartini tersebut telah memiliki tiga orang istri. Suami dari RA Kartini sangat memberi pengertian
tentang keinginan RA Kartini. Bahkan beliau membebaskan dan mendukung RA Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang
perkantoran Rembang, yang saat ini telah menjadi gedung pramuka.
Dari pernikahannya dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama RM Soesalit
Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Sangat disayangkan, empat hari setelah RA Kartini melahirkan, tepatnya pada usia
25 tahun, RA Kartini meninggal dunia dan beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Sedangkan Soesalit Djojoadhiningrat sendiri sempat
menjabat sebagai Mayor Jenderal pada masa kependudukan Jepang. Di mana dirinya kemudian memiliki anak bernama RM. Boedi Setiyo
Soesalit yang merupakan cucu RA Kartini. Lalu RM Boedi Setiyo Soesalit menikah dengan wanita bernama Ray Sri Biatini Boedi Setio Soesalit.
Kemudian, dari hasil pernikahannya beliau dikaruniai lima orang anak bernama yang merupakan cicit RA Kartini. Masing-masingnya bernama
RA Kartini Setiawati Soesalit, RM Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM Rahmat
Harjanto Soesalit.
Tepat pada tahun 1912, Yayasan Kartini di Semarang mendirikan sekolah wanita yang diberi nama Sekolah Kartini. Sekolah tersebut
didirikan oleh keluarga Van Deventer yang merupakan tokoh Politik Etis kala itu. Pembangunan sekolah tersebut kemudian berlanjut di
Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya.
Setelah wafatnya RA Kartini, seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama,
dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini saat aktif melakukan korespondensi dengan teman
Eropa-nya kala itu. Dari situlah awal mula penyusunan buku yang judul awalnya “Door Duisternis tot Licht” dan kemudian diterjemahkan menjadi
“Dari Kegelapan Menuju Cahaya”, kemudian diterbitkan pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak lima kali, dan khusus pada cetakan kelima
terdapat surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini. Pemikiran yang tertuang oleh RA Kartini banyak menarik perhatian masyarakat masa
itu, terutama kaum Belanda. Sebab orang yang menulis surat-surat ke orang Eropa tersebut merupakan wanita pribumi. Pemikiran RA Kartini
banyak merubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi saat itu. Tulisan RA Kartini juga menjadi inspirasi para tokoh-tokoh
Indonesia seperti W.R Soepratman yang kemudian menciptakan lagu dengan judul “Ibu Kita Kartini”.
Kemudian, berkat jasa-jasa RA Kartini, Presiden Soekarno sendiri saat itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang mana keputusan tersebut menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional. Bahkan Presiden Soekarno sendirilah yang turut menetapkan hari lahir RA Kartini pada tanggal 21 April untuk diperingati sebagai Hari
Kartini hingga masa kini.

7. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Mustahar merupakan salah satu pahlawan nasional. Namanya dikenang dalam buku-
buku sejarah karena pernah memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berlangsung mulai 1825 sampai 1830. Ia adalah anak lelaki
paling tua dari keturunan Sultan Hamengkubawana III atau Raden Mas Suraja. Sedangkan nama ibunya adalah RA Mangkarawati, seorang
permaisuri raja. Kendati merupakan anak sultan, ia tidak ingin hidup dengan segala kemewahan yang biasa dirasakan keluarga kerajaan.
Berdasarkan catatan, Pangeran Diponegoro disebut sebagai pangeran Kesultanan Yogyakarta dan kelak akan menjadi raja. Namun, dengan
cara halus Diponegoro menolak karena merasa tidak pantas selaku anak selir. Jejak Hidup Dalam sejarah, ia pernah memendam benci terhadap
kolonialisme Belanda yang menjajah Kerajaan Nusantara, dalam hal ini terkait Kesultanan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengkubowono IV atau
Raden Mas Ibnu Jarot naik tahta di usia 10 tahun, Belanda ikut campur urusan politik kerajaan peninggalan ayahnya hingga membuat Diponegoro
naik pitam. Terkait hal ini, Sagimun dalam Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965) mengungkapkan alasan lengkapnya. Pangeran Diponegoro
menyuarakan perlawanan karena Belanda datang mengatur internal kerajaan dan juga menetapkan beban pajak kepada rakyat dengan jumlah
yang tidak sedikit. Selain benci Belanda, ia juga diklaim tidak suka dengan bangsa Tionghoa yang ada di Jawa. Keterampilan orang-orang
Tionghoa dalam mengatur keuangan sering memeras masyarakat Kesultanan Yogyakarta. Terungkap dalam Nusantara: Sejarah Indonesia
(2008:320) karya Bernard H.M., mereka kerap memeras dengan aturan pajak tol yang tidak masuk akal. Mengenai kebencian Diponegoro
terhadap Tionghoa, ternyata tidak bisa digambarkan secara benar. Faktanya, Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan
Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2019:727) menerangkan, tidak secara gamblang kebencian tersebut dianggap benar. Sebab, kata dia,
perlakuan Diponegoro kepada orang-orang Tionghoa juga baik. Bahkan, seiring perjalanan Perang Diponegoro mereka menjadi mitra bisnis dan
membantu Diponegoro dengan ikut masuk menjadi tentara ketika pertempuran melawan Belanda terjadi. Akhir hayat Aksi yang dijalankan
Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya di Jawa membuat Belanda kewalahan. Pada 28 Maret 1830, Belanda mengajak Diponegoro
melakukan gencatan senjata lalu mengadakan perundingan. Belanda ternyata hanya memberi janji manis kepada Diponegoro ketika itu. Penjajah
tersebut bukan mengadakan perundingan, namun malah menangkap pangeran yang datang tanpa membawa senjata. Saat itu, Perang
Diponegoro pun dikatakan sudah sampai pada akhir perjuangannya karena pemimpinnya berhasil ditahan di Batavia hingga 3 Mei 1830.
Berdasarkan catatan Toby Alice dalam Sulawesi: Islan Crossroads of Indonesia (1990), Pangeran Diponegoro setelah itu diasingkan ke Manado,
lalu dipindahkan ke Makassar. Melengkapi itu, tahun 1833 di Makassar, benteng Rotterdam, Diponegoro hidup bersama istri, dua anaknya, dan
23 pengikutnya. Pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal dunia. Berdasarkan Surat Keterangan (SK) yang tertulis dalam Pahlawan
Dipanegara Berjuang (1965) karya Sagimun, usia lanjut adalah penyebab wafatnya Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai