Anda di halaman 1dari 24

Peranan kelembagaan Dalam

Pertumbuhan Ekonomi
Kelembagaan dan Biaya
Transaksi
Kelembagaan di Era Otonomi
Social Capital
Ekonomi kelembagaan adalah paradigma baru dalam ilmu
ekonomi yang melihat kelembagaan (rule of the game) berperan
sentral dalam membentuk perekonomian yang Effisien.
Munculnya Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics)
merupakan reaksi dari rasa ketidakpuasan terhadap aliran
Neoklasik, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran
ekonomi klasik. Menurut Hasibun (2003) inti pokok aliran
ekonomi kelembagaan adalah melihat ilmu ekonomi dengan
satu kesatuan ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, politik,
antropologi, sejarah dan hukum.
Landreth dan Colandar (1994) membagi para tokoh ekonomi
aliran kelembagaan dalam tiga golongan, yaitu tradisional, quasi
dan neo. Yustika (2006) membagi aliran Kelembagaan dalam
ilmu ekonomi kelembagaan lama (old institutional economics)
dan ilmu ekonomi kelembagaan baru (new institutional
Economics).
Bapak Ekonomi kelembagaan yang disetujui oleh para pakar adalah
Thorestein Bunde Veblen (1857-1929). Krirtik Veblen sangat tajam
terhadap ekonomi ortodoks. Menurut Veblen teori ekonomi ortodoks
merupakan teori teologi, oleh karena akhir cerita telah ditentukan dari
awal. Misalnya, keseimbangan jangka panjang itu tidak pernah dibuktikan,
tetapi telah ditentukan walaupun ceritanya belum dimulai. Ilmu ekonomi
bukan hanya mempelajari tingkat harga, alokasi sumber-sumber tetapi
justru mempelajari faktor-faktor yang dianggap tetap (given).

Salah seorang tokoh ekonomi kelembagaan dari inggris yang penting


adalah John A. Hobson (1858-1940). Menurutnya, ada tiga kelemahan
toeri ekonomi ortodoks, yaitu tidak dapat menyelesaikan masalah full-
employment, distribusi pendapatan yang senjang dan pasar bukan ukuran
terbaik untuk menentukan ongkos sosial. Beliau tidak setuju adanya unsur
ekonomi positif dan normatif karena keduanya tetap memerlukan adanya
unsur etika. Timbulnya Imprealsime menurut Hobsoan disebabkan karena
terjadinya konsumsi yang kurang dan kelebihan tabungan di dalam negeri,
maka diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah jajahan.
Pengeluaran pemerintah dan pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full-
employment dan peningkatan pendapatan pekerja dan produktivitas.
Dengan semakin meratanya pembagian pendapatan akan mendorong
peningkatan produktivitas, yang berarti bisa terhindar dari bahaya adanya
resesi..
Para tokoh yang masuk di dalam aliran ini
adalah mereka yang terpengaruh oleh
pemikiran veblen dan kawan-kawannya, para
tokoh aliran ini antara lain Joseph
Schumpeter, Gunnar Myrdal, dan Kenneth
Galbraith.
Pemikiran Schumpeter bertumpu pada ekonomi jangka panjang, yang terlihat dalam
analisisnya baik mengenai terjadinya inovasi komoditi baru, maupun dalam mejelaskan
terjadinya siklus ekonomi. Keseimbangan ekonomi yang statis dan stasioner seperti konsep
kaum ortodoks mengalami gangguan dengan adanya inovasi, Meskipun demikian,
gangguan tersebut dalam rangka berusaha mencari keseimbangan yang baru. Inovasi tidak
bisa berlanjut kalau kaum wirasawata telah terjebak dalam persoalan-persoalan yang
sifatnya rutin. Sedangkan Galbraith menjelaskan perkembangan ekonomi kapitalis di
Amerika serikat yang tidak sesuai dengan perkiraan (prediksi) yang dikemukakan kaum
ekonomi ortodoks. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori ekonomi ortodoks dalam
kenyataannya melenceng jauh sekali. Keberadaan pasar persaingan sempurna tidak ada,
bahkan pasar telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan
ini demikian besar kekuasaanya sehingga selera konsumen bisa diaturnya.
Pada perusahaan yang besar ini, pemilik modal terpisah dengan manajer profesional dan
para manajer ini telah menjadi technostrusture masyarakat. Konsumsi masyarakat telah
menjadi demikian tinggi, tetapi sebaliknya terjadi pencemaran lingkungan dan kualitas
barang-barang swasta tidak dapat diimbangi oleh barang-barang publik. Selanjutnya
kekuatan-kekuatan perusahaan besar dikontrol oleh kekuatan buruh, pemerintah dan
lembaga-lembaga konsumen. Namun demikian, untuk menjamin keberlanjutan
perusahan-perusahaan ini, maka pemerintah hendaknya berfungsi untuk menstabilkan
perkembangan ekonomi.
Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya ‘perlawanan’ terhadap dan
sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat
terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para
pemikir. NIE menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan
nonpasar dengan fondasi teori ekonomi Neoklasik. Seperti yang diungkapkan
oleh salah satu tokoh NIE, Douglas C. North, bahwa NIE masih menggunakan
dan menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan
dan kompetisi akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas instrumental
(instrumental rasionality).
NIE selanjutnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak
kepemilikan, kontrak, partai revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering
terjadi masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar muncul karena
terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya
kenyataan keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods). Akibat kealpaan teori
ekonomi Neoklasik terhadap adanya kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya
kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost). Di samping itu NIE
menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan (institutional failure)
sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan pada banyak negara. Dengan demikian, ilmu
ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting
peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan
terutama ekonomi politik.
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat
penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik,
budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Oleh karena itu, untuk mendekati
gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode kualitatif
yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas
karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial
selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak
berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis
partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung
berbicara dua hal (Yustika, 2008: 69):
(1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal;
(2) penelitian kualitatif secara rendah hati telah
memproklamasikan keterbatasannya.
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya
bukan berarti peneliti melakukan penelitian secara subyektif
tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih
mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada
sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir
dari sudut pandang “orang dalam” dalam antropologi disebut
dengan emic.
Ketiga, nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian
kualitatif sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi kedepan,
tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan,
konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi
atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh
proses dibalik sebuah fenomena.
Perkembangan pemikiran ekonomi di Barat turut mempengaruhi studi-studi ekonomi di
Indonesia. Beberapa sarjana-sarjana Indonesia lulusan sekolah Barat yang menaruh
perhatian terhadap gagasan ini dapat dilacak misalnya, Mubyarto, dengan pemikirannya
tentang pengembangan ilmu dan pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada sistem
nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) masyarakat Indonesia.
Lincolin Arsyad (2005) dalam penelitiannya Assessing the Performance and Sustainability
of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali menemukan
kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Gianyar, Bali dipengaruhi oleh kelembagaan
yang meliputi lembaga formal dan informal. Ia mencatat bahwa kelembagaan adat
memberikan kontribusi dalam kinerja portofolio, leverage, rasio kecukupan modal,
produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan keuangan LPD.
Ahmad Erani Yustika (2005) lulusan Georg-August-Universität Göttingen, Jerman dengan
disertasi Transaction Cost Economics of The Sugar Industry in Indonesia dan juga buku teks
“Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori, dan Strategi” sehingga tidaklah berlebihan jika
Yustika dikategorikan sebagai salah satu pemikir ekonomi kelembagaan di tanah air.
Negara-negara ataupun kawasan yang lebih makmur dewasa ini adalah yang memiliki
kelembagaan politik dan ekonomi lebih baik di masa lalu (Hall & Jones, 1999; dan
Acemoglu, et.al., 2001). Kemajuan China dan India dewasa ini, dengan segala
kekurangannya, bisa dijelaskan dari aspek kelembagaan ini. Juga negara-negara di Asia
yang paling dinamis. Apalagi saat terjadi gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia
saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik
membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena itu
studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif
bagi ekonomi dunia saat ini. Dengan demikian diharapakan ekonomi kelembagaan dapat
menjadi eskalator perbaiakan ekonomi di Indonesia.
Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di
mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk
mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984).
Kelembagaan adalah suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang
bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan
menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan
adat istiadat (Uphoff, 1986).
Sedangkan Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam
masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat,
prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan
keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya.
Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang
disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan
dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian
interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan
kegiatan ekonomi, politik maupun sosial.
Wolfgang Kasper dan Manfred Streit dalam bukunya berjudul Institutional Economics,
Social Order and Public Policy Edisi 1998 membagi kelembagaan berdasarkan atas proses
kemunculannya menjadi dua, yaitu internal dan external institutions. Internal institution
adalah institusi yang tumbuh dari budaya masyarakat seperti nilai-nilai kearifan lokal yang
hidup di masyarakat. Institusi eksternal adalah institusi yang dibuat oleh pihak luar/ketiga
yang kemudian diberlakukan pada suatu komunitas tertentu. Regulasi produk pemerintah
termasuk external institutions.
1. Cenderung menolak mekanisme penyesuaian otomatis lewat
perubahan-perubahan dalam sistem harga
2. Mengutamakan pandangan eksistensi kelembagaan yang
mengandaikan adanya tindakan kolektif dari individu –individu dalam
masyarakat
3. Faktor teknologi tidaklah given (didapatkan begitu saja). Teknologi
merupakan proses perubahan yang berkesinambungan dan hal itu
menyebabkan perubahan yang penting.
4. Sumber daya dialokasikan melalui struktur kelembagaan yang
bermacam-macam dan dalam beragam hubungan kekuasaan yang
ada di masyarakat
5. Teori kelembagaan merupakan nilai yang tidak melihat harga-harga
relatif, namun ilai kepentingan terhadap kelembagaan struktur sosial
dan perilaku.
6. Kultur dan kekuasaan menentukan cara bagaimana individu
berperilaku
7. Ahli ekonomi kelembagaan lebih demokratis dalam orientasinya, dan
tidak menganggap struktur sosial dan kekuasaan telah ada dengan
sendirinya
8. Ekonom kelembagaan melihat ekonomi dengan cara pandang
menyeluruh dan mencoba untuk menjelaskan aktivitas ekonomi
dalam perspektif multidisipliner
Aliran pemikiran ekonomi klasik/neoklasik menjadi sandaran bagi sebagian besar
pengambil kebijakan ekonomi dalam merancang mekanisme dan kebijakan ekonomi.
Lebih-lebih setelah era 1980-an, ketika liberalisasi menjadi bahasa tunggal pergaulan
ekonomi internasional, pemikiran klasik/neoklasik mendapatkan tempat yang luas untuk
merentangkan sayapnya. Masa itu, ditandai oleh dua peristiwa penting :
 Ambruknya ekonomi sebagian negara berkembang, yang kemudian diobati dengan
kebijakan penyesuaian struktural yang disponsori IMF dan Bank Dunia, yang tidak lain
adalah paket kebijakan memaklumatkan pasar sebagai institusi penggerak kegiatan
ekonomi.
 Transisi ekonomi beberapa negara Eropa Timur menuju mekanisme pasar,
menggantikan paket ekonomi komando yang dipandu oleh negara. Momentum
tersebut semakin disempurnakan ketika pada tahun 1994 perjanjian WTO (World Trade
Organization) diratifikasi sebagai payung liberalisasi ekonomi.
Pada saat ini para ekonom memberikan perhatian besar pada seperangkat ide yang
kemudian dikenal dengan istilah "ekonomi kelembagaan baru" (NIE) yang beroperasi pada
dua level, yakni lingkungan kelembagaan/institutional environment (macro level) dan
kesepakatan kelembagaan/institutional arrangement (micro level).
Williamson mendeskripsikan institutional environment ini sebagai seperangkat struktur
aturan politik, sosial, dan legal yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran, dan
distribusi. Aturan mengenai tata cara pemilihan, hak kepemilikan, dan hak-hak di dalam
kontrak merupakan beberapa contoh dari kebijakan ekonomi. Sebaliknya, level analisis
mikro berkutat dengan masalah tata kelola kelembagaan (institutions of governance).
Sedangkan kesepakatan kelembagaan merujuk kepada cara untuk mengelola transaksi,
baik melalui pasar, pasar bayangan (quasi-market), maupun model kontrak yang memakai
hirarkhi.
Pembangunan lembaga bisa terdiri dari pemerintah, pelaku usaha, dan anggota
komunitas. Hukum atau undang-undang, agensi penegakannya adalah lembaga
publik yang dibangun pemerintah. Lembaga keuangan, norma warisan tanah,
hubungan antar anggota komunitas adalah lembaga swasta yang dibangun pelaku
usaha, dan anggota komunitas .
Peran penting kelembagaan dalam ekonomi adalah sebagai sarana untuk
menurunkan ketidak pastian atau mengubahnya menjadi resiko. Turunnya ketidak-
pastian membuat biaya transaksi menjadi lebih rendah, sehingga transaksi pasar
atau perdagangan akan meningkat. Sebagaimana telah dipahami bersama bahwa
perdagangan memberikan keuntungan bagi pelakunya, karena memungkinkan
mereka untuk spesialisasi. Spesialisasi akan meningkatkan produktivitas, dan pada
akhirnya akan meningkatkan kemakmuran masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Peran lembaga terhadap perekonomian tersebut terkait dengan kondisi pasar yang
ada. Jika kondisi pasar sudah terbuka dan terintegrasi, maka peran kelembagaan
dalam mendorong perekonomian menjadi lebih besar. Jadi perlu diperhatikan
mengenai pembangunan lembaga yang dapat mendukung berkembangnya pasar.
Perubahan dalam kondisi dan lingkungan masyakat yang terus terjadi,
mengakibatkan kelembagaannya yang mengatur interaksi masyarakat juga
berubah. Perubahan ini bisa terjadi secara alami ataupun melalui intervensi
pemerintah. Menurut North (2005) perubahan lembaga terjadi karena interaksi
antara organisasi dan lembaga. Individu dan organisasi bersaing untuk mengambil
keuntungan dari kesempatan yang disajikan dalam struktur kelembagaan yang ada.
Jika organisasi menganggap bahwa mereka dapat mempunyai kesempatan yang
lebih baik dalam susunan aturan yang berbeda, maka mereka akan mencurahkan
sumber daya untuk merubah aturan tersebut, jika mereka pikir pilihan tersebut
mempunyai peluang untuk berhasil.
Tiga Dampak Utama keterkaitan antara lingkungan individual,
struktur pemerintahan/governansi dan lingkungan kelembagaan
dalam suatu Analisis Biaya Transaksi (ABT):
1. Parameter pergeseran (shift parameters): apabila perubahan
dalam hak properti, hukum kontrak dsb mendorong
perubahan biaya komparaif dari pemerintahan;
2. Atribut Perilaku (behavioural attributes): membawa asumsi
perilaku dimana ABT beroperasi;
3. Panah yang berputar dalam sektor governansi
mencerminkan proporsi bahwa organisasi seperti halnya
hukum memiliki suatu kehidupan tersendiri
Gambar menunjukkan dua dampak umpan balik dari governasi ke
lingkungan kelembagaan yang dapat berupa instrumental atau
strategi, dan dari governasi ke tingka individual, yang ditafsirkan
sebagai pembentukan preferensi secara endogen.
Menurut Williamson, biaya transaksi terjadi bila barang dan jasa ditransfer melalui
teknologi yang terpisah. Satu tahap aktivitas berhenti dan tahap yang lain dimulai.
Selanjutnya, Coase menunjukkan bahwa "jika pekerja pindah dari departemen (divisi) Y ke
departemen (divisi) X, dia tidak pindah karena perubahan harga relatif, tetapi dia pindah
karena diminta untuk melakukannya". Akhirnya, Commons menyatakan bahwa "unit
terakhir dari sebuah aktivitas harus mengandung ketiga prinsip, yaitu konflik (conflict),
saling menguntungkan (mutually), dan ketertiban (order). Unit itu tidak lain adalah
transaksi".
Sedangkan menurut Mburu, biaya transaksi adalah: (1) biaya pencarian dan informasi; (2)
biaya negosiasi (bargaining) dan keputusan atau mengeksekusi kontrak; dan (3) biaya
pengawasan (monitoring), pemaksaan, dan pemenuhan/pelaksanaan (compliance). Secara
lebih detail, proses negosiasi sendiri bisa sangat panjang dan memakan banyak biaya.
Seluruh pelaku pertukaran harus melakukan tawar-menawar antara satu dengan lainnya.
Serikat kerja dan pihak manajemen perusahaan, misalnya, setiap saat harus melakukan
proses negosiasi baru secara periodik.
Furubotn dan Richter menunjukkan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk
menggunakan pasar (market transaction costs) dan biaya melakukan hak untuk
memberikan pesanan di dalam perusahaan (managerial transaction costs). Di samping itu,
ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan
dengan kerangka politik kelembagaan (political transaction costs). Untuk masing-masing
tiga jenis biaya transaksi tersebut bisa dibedakan menurut dua tipe: (1) biaya transaksi
"tetap" (fixed transaction costs), yaitu investasi spesifik yang dibuat di dalam menyusun
kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements); dan (2) biaya transaksi "variabel"
(variable transaction costs), yakni biaya yang tergantung pada jumlah dan volume
transaksi.
Secara spesifik, biaya transaksi pasar (market transaction costs) dikelompokkan sebagai:
 Biaya untuk menyiapkan kontrak (secara sempit bisa diartikan sebagai biaya untuk
pencarian/searching dan informasi).
 Biaya untuk mengeksekusi kontrak/concluding contracts (biaya negosiasi dan
pengambilan keputusan).
 Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam
kontrak (enforcing the contractual obligations).
Biaya transaksi manajerial meliputi: (1) biaya penyusunan (setting up), pemeliharaan, atau
perubahan desain organisasi. (2) biaya menjalankan organisasi, yang kemudian bisa dipilah
dalam dua sub kategori: (a) biaya informasi; dan (b) biaya yang diasosiasikan dengan
transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah (across a separable interface).
Terakhir, biaya transaksi politik (political transaction costs) berhubungan dengan
penyediaan organisasi dan barang publik yang diasosiakan dengan aspek politik. Secara
umum, biaya transaksi politik ini tidak lain adalah biaya penawaran barang publik yang
dilakukan melalui tindakan kolektif, dan bisa dianggap sebagai analogi dari biaya transaksi
manajerial. Secara khusus, biaya ini meliputi: (1) biaya penyusunan, pemeliharaan, dan
perubahan organisasi politik formal dan informal; (2) biaya untuk menjalankan politik (the
costs of running polity). Biaya ini adalah pengeluaran masa sekarang untuk hal-hal yang
yang bekaitan dengan "tugas kekuasaan" (duties of sovereign).
Dari sudut pandang yang lain, biaya transaksi tersebut dapat pula dipisahkan menjadi
biaya transaksi sebelum kontrak (ex-ante) dan setelah kontrak (ex-post). Biaya transaksi ex-
ante adalah biaya membuat draf, negosiasi, dan mengamankan kesepakatan. Sedangkan
biaya transaksi ex-post meliputi: (1) Biaya kegagalan adaptasi (maladaption) ketika
transaksi menyimpang dari kesepakatan yang telah dipersayaratkan; (2) Biaya
negosiasi/tawar-menawar (haggling costs) yang terjadi jika upaya bilateral dilakukan untuk
mengoreksi penyimpangan setelah kontrak (ex-post); (3) Biaya untuk merancang dan
menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan struktur tata kelola pemerintahan (tidak
selalu pengadilan) apabila terjadi sengketa; dan (4) Biaya pengikatan agar komitmen yang
telah dilakukan bisa dijamin.
Hak kepemilikan ditetapkan kepada individu menurut prinsip kepemilikan pribadi (private
ownership) dan bahwa sanksi atas hak kepemilikan dapat dipindahkan (transferable)
melalui ijin menurut prinsip kebebasan kontrak (freedom of contract). Melalui konsep
dasar tersebut, hak kepemilikan (right of ownership) atas suatu aset dapat dimengerti
sebagai hak untuk menggunakan (right to use), untuk mengubah bentuk dan isi hak
kepemilikan (to change its form and substance), dan untuk memindahkan seluruh hak-hak
atas aset (to transfer all rights in the asset), atau beberapa hak (some rights) yang
diinginkan. Dengan deskripsi ini, hak kepemilikan hampir selalu berupa hak eksklusif
(exclusive right), tetapi kepemilikan bukan berarti hak yang tanpa batas (unrestricted
right).
Sedangkan Bromley dan Cernea mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk
mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihak-pihak yang lain respek
dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut. Basis konsep ini pula yang nantinya
dapat dipakai untuk memperluas cakupan dan pemahaman terhadap hak kepemilikan.
Hak kepemilikan tidak hanya merupakan bagian dari kerangka kerja kegiatan ekonomi,
tetapi juga sebagai bagian dari sistem aturan-aturan (system of rules) yang merupakan
hasil dari proses ekonomi, yakni perilaku memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu,
hak kepemilikan bisa didefinisikan sebagai hak-hak untuk memiliki, menggunakan,
menjual, dan mengakses kesejahteraan.
Kepemilikan (property) di sini bisa berupa kepemilikan fisik (obyek konsumen, tanah,
peralatan-peralatan modal) dan kepemilikan yang tidak terlihat (intangible property),
seperti ide, puisi, dan formula/rumus kimia. Namun, barangkali di antara sekian banyak
hak kepemilikan yang ada, bentuk hak kepemilikan yang paling penting bagi teori ekonomi
adalah tenaga kerja dan alat-alat produksi (means of production).
Salah satu pemikir ekonomi kelembagaan yang mengupas hubungan antara konsep hak
kepemilikan dan biaya transaksi adalah Yoram Barzel. Menurutnya, dari asalnya konsep
hak kepemilikan sangat dekat dengan biaya transaksi, di mana biaya transaksi didefinisikan
olehnya sebagai ongkos yang diasosiasikan dengan kegiatan transfer, menangkap, dan
melindungi hak-hak (transfer, capture, and protection of rights).
Dalam konteks kerangka kerja neoklasik, Tietenberg menerima premis yang dikembangkan
oleh aliran neoklasik dan menyarankan bahwa struktur yang efisien dari hak kepemilikan
dapat memproduksi alokasi sumberdaya yang efisien pula. Kemudian dia mengidentifikasi
empat karakteristik dari hak kepemilikan yang penting:
1. Universalitas: seluruh sumberdaya dimiliki secara privat dan seluruh jatah
(entitlement) dispesifikasi secara lengkap.
2. Eksklusivitas: seluruh keuntungan dan biaya diperluas sebagai hasil dari kepemilikan
dan pemanfaatan sumberdaya seharusnya jatuh ke pemilik, dan hanya kepada pemilik,
baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui penjualan atau yang lain.
3. Transferabilitas: seluruh hak kepemilikan seharusnya dapat dipindahkan/ditransfer dari
satu pemilik kepada pihak lain lewat pertukaran sukarela.
4. Enforsibilitas: hak kepemilikan seharusnya dijamin dari praktik/pembeslahan
keterpaksaan atau pelanggaran dari pihak lain.
Jenis-jenis hak kepemilikan yang eksis dalam masyarakat, setidaknya terdapat tiga tipe
yang penting, yakni :
1. Hak kepemilikan individu (private property right/ownership),
2. Hak kepemilikan negara (state property right/ownership),
3. Hak kepemilikan komunal (communal property right/ownership).
Di luar itu, memang masih ada beberapa jenis hak kepemilikan lain, misalnya hak
kepemilikan terbuka (open access property right), namun eksistensinya saat ini semakin
melemah seiring dengan intensitas modernisasi ekonomi.
Salah satu isu kelembagaan dalam era otonomi daerah adalah implementasi tata
kelola yang baik dalam praktik birokrasi di indonesia.
Tata kelola dalam otonomi daerah secara makro  menghendaki interaksi atau
kompatibilitas antara pemerintah, swasta, dan masyarakat
Sementara secara mikro  adanya kompatibilitas antara komponen di dalam
pemerintah daerah, yakni kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, komponen
masyarakat, serta swasata.
Dalam implementasi otonomi daerah di Indonesia terdapat beberapa
kecenderungan yang negatif:
1. Kuatnya semangat memungut retribusi, pajak ataupun pungutan lainya
tanpa memperhatikan pelayanan publik secara maksimal.
2. Rendahnya akuntabilitas pemerintah daerah
3. Masih adanya “grease money” dalam bentuk pungli, upeti, dan biaya ekstra
yang harus dikeluarkan oleh perusahan
Contoh: Pemda merupakan sebuah governance. Transaksi yang terjadi
dipengaruhi oleh kelembagaan internal dan lingkungan kelembagaan eksternal.
Negara merupakan sebuah governance. Transaksi terjadi mengikuti kelembagaan
internal tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan global. Semakin
kompleks transaksi biayanya semakin mahal.
Karakteristik transaksi tersebut mempengaruhi besaran biaya transaksi. Menurut
Williamson (1996) ada tiga karaktristik transaksi yang penting, yaitu:
 Ketidakpastian (uncertainty), terutama terkait dengan produksi, supply,
demand, fluktuasi harga, iklim, kondisi lapangan, dan lain-lain.
 Frekuensi, tergantung pada keadaan dan kemampuan produksi. Produk
pertanian, perikanan, sangat tergantung pada musim. Transaksi pada musim
panen atau musim ikan melimpah berbeda dengan transaksi pada musim
paceklik.
 Spesifitas, yang meliputi site specifity, physical asset speficifity, human asset
specifity. Asset yang spesifik membatasi kegiatan tertentu yang memiliki
transaksi yang terbatas.
Zhang (2000) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi biaya transaksi,
sebagai berikut:
- Karakterisrtik benda dan hak atas benda tersebut (terkait dengan informasi
mengenai benda dan status orang atas benda tersebut).
- Identitas aktor yang terlibat dalam transaksi tersebut.
- Situasi teknis dan sosial penataan pertukaran dan bagaimana pertukaran
tersebut dikelola. Apakah pertukaran tersebut hanya karena kekuatan pasar
atau ada intervensi kelembagaan yang turut menata pertukaran tersebut.
Teori modal sosial pertama kali sesungguhnya dipicu oleh tulisan Pierre Bourdieu
yang dipublikasikan pada akhir tahun 1970-an, namum belum menarik perhatian
ekonomi dunia.
Setelah itu James S. Coleman mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993,
barulah para intelektual mengunduh tema tersebut sebagai salah satu hal penting
yang mempertemukan antardisiplin ilmu. Akhirnya, hingga saat ini, banyak pihak
yang berkeyakinan bahwa Coleman merupakan ilmuwan pertama yang
memperkenalkan konsep modal sosial, seperti yang ia tulis dalam jurnal American
Journal of Sociology yang berjudul “Social Capital in the Creation of Human Capital”
(1988).
Berbeda dengan modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia
(human capital), modal sosial baru eksis bila ia berinteraksi dengan struktur sosial.
Coleman mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal
sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua
elemen: (i) modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial; dan (ii) modal
sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) baik individu maupun
perusahaan di dalam struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif ini, sama
halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat
pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.
Baker mendefinisikan modal sosial sebagai sumberdaya yang diraih oleh pelakunya
melalui struktur sosial yang spesifik dan kemudian digunakan untuk memburu
kepentingannya; modal sosial tersebut diciptakan lewat perubahan-perubahan dalam
hubungan antarpelakunya. Sedangkan Schiff mengartikan modal sosial sebagai
seperangkat elemen dari struktur sosial yang memengaruhi relasi antarmanusia dan
sekaligus sebagai input atau argumen bagi fungsi produksi dan/atau manfaat (utility).
Coleman menyebut setidaknya terdapat tiga bentuk dari modal sosial, yaitu :
Pertama, struktur kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam
konteks ini, bentuk modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan
dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi
(obligation held). Dari perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur
sosial dengan saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik
daripada situasi sebaliknya.
Kedua, jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting
sebagai basis tindakan. Tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal, tidak
gratis. Pada level yang paling minimum, di mana ini perlu mendapatkan
perhatian, informasi selalu terbatas. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan
lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh informasi, sehingga
bisa dikatakan modal sosialnya tinggi; demikian pula sebaliknya.
Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norms and effective sanctions). Norma
dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh prestasi
(achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang
sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif
dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda, mempunyai
potensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaik-
baiknya (having a good time).
4 Pandangan dalam Modal Sosial
1. Pandangan Komunitarian (comunitarian view): menyamakan modal
sosial dengan organisasi lokal seperti klub, asosiasi, dan kelompok-
kelompok sipil. Menganggap modal sosial sebagai sesuatu yang
secara umum baik, dan memandang eksistensinya selalu bernilai
positif bagi kesejahteraan komunitas.
2. Pandangan Jejaring (network view): menekankan pada pentingnya
sosiasi vertikal dan horizontal di antara orang – orang dan relasinya
dengan entitas organisasi lain, seperti kelompok komunitas dan
perusahaan.
3. Pandangan kelembagaan (institutional view): beragrgumentasi
bahwa vitalitas jaringan komunitas dan masyarakat sipil merupakan
produk sistem politik, huum, dan lingkungan kelembagaan.
4. Pandangan sinergi (synergy view): beruaya untuk mengintegrasikan
konsep jejaring dan konsep kelembagaan, sinergi antara pemerintah
dan masyarakat/warga negara dapat dilakukan berdasarkan prinsip
komplementaritas dan kelekatan (complementarity and embenddednes)

Anda mungkin juga menyukai