Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SPIRIT ISLAM DAN RUJUKAN UTAMA DOKTRIN AGAMA ISLAM

Dibuat untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam Dosen : Ikah
Rohilah S.Ag., M.Si.

Disusun oleh :
WULANDARI (2001045099)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayahNya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ SPIRIT ISLAM DAN RUJUKAN UTAMA
DOKTRIN ISLAM dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas yang
diberikan oleh Ibu Ikah Rohilah S.Ag., M.Si. pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam di
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca mengenai materi yang akan disampaikan ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Ikah Rohilah S.Ag.,
M.Si. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam, karena berkat tugas yang telah
diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait materi ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.
Tentu kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini dengan
senang hati.

Jakarta, 13 Desember 2020

Wulandari

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
A Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan.............................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN............................................................................................................................2
A. Spiritualitas Islam................................................................................................................2
B. Tujuan Islam Spiritualitas....................................................................................................2
C. Tingkatan Spiritualitas dalam Islam..................................................................................4
D. Rujukan Utama Doktrin Agama Islam...............................................................................7
BAB III........................................................................................................................................10
PENUTUP....................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................10
3.2 Saran...................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................11

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara bahasa, spiritualitas berasal dari bahasa Latin yaitu Spiritus yang berarti roh,
jiwa, semangat. Dari kata Latin ini terbentuklah kata Prancis yaitu l’spirit dan kata bendanya
la spiritualite. Setelah kata Prancis ini, kita mengenal kata Inggris yaitu spirituality, yang
dalam bahasa Indonesia menjadi kata spiritualitas.Dalam kamus Filsafat Lorenz Bagus
ditemukan beberapa pengertian lain tentang spirit dari para filosof. Aristotelas mengatakan
bahwa spiritual juga dapat dianggap sebagai prinsip adi kodrati yang ditangkap langsung dan
intuitif pandangan ini erat dengan agama karena dalam agama ruh tertinggi adalah Tuhan.
Islam Agama Spiritualitas adalah agama sebagai nilai-nilai luhur yang menjadi
landasan hidup umat manusia tanpa mengenal golongan, institusi atau organisasi (organized
religion), tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku manusia
Dalam ajaran Islam terdapat sumber hukum pokok yang menjadi pedoman atau rujukan
bagi umat Islam. Sumber hukum Islam utama ada tiga, yaitu: Al Aquran Sunnah (Hadist)
jtihad
B. Rumusan Masalah
Kami telah menyusun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.
1) Apa yang dimaksud islam agama spiritualitas ?
2) Apa yang menjadi tingkatan spiritualitas dalam islam?
3) Apa yang menjadirujukan doktrin agama islam?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1) Untuk memberi pemahaman spiritualitas islam dan rujukan utama doktrin agama
islam
2) Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan spiritualitas islam
3) Untuk memberikan pengetahuan tambahan kepada para pembaca

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Spiritualitas Islam
Spiritualitas merupakan nilai-nilai moral yang bersumber dari hati nurani yang sejatinya
telah dimiliki oleh setiap manusia di muka bumi ini sejak ia lahir. Saat di dalam
kandungan, janin ditiupkan oleh Allah ruh-Nya dan disempurnakannya dengan jalan
kefasikan dan ketakwaan (38:72). Islam Agama Spiritualitas adalah agama sebagai nilai-
nilai luhur yang menjadi landasan hidup umat manusia tanpa mengenal golongan, institusi
atau organisasi (organized religion), tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku
manusia. Islam yang merupakan landasan, jalan dan alat untuk menjadikan manusia
merdeka sejati. Islam yang menggerakkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri,
menjadikan manusia yang memiliki kepribadian. Inilah inti dari Islam Agama
Spiritualitas; berbeda dari agama konvensional dewasa ini yang membuat sebagian besar
orang tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup berdasarkan pikiran orang lain. Agama
spiritualits tidak bersifat teoritis keimanan semata dengan lautan ajaran, tetapi hasil
penghayatan dengan laku atau perbuatan nyata walau tampaknya kecil aatau
sederhana. 21:92. Sesungguhnya ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Ketika manusia itu telah menerapkan nilai-
nilai moralitas tersebut karena rasa pengabdian dan tanggung jawabnya tanpa ada maksud
untuk mendapatkan imbalan, iming-iming harta, ataupun kedudukan, maka manusia
tersebut telah menjadi manusia spiritual. Masyarakat yang memiliki spiritualitas yang
baik terlihat diantaranya dari semangat kerja tinggi, diimbangi dengan sikap mereka yang
rendah hati, kepedulian akan kebersihan, dan sikap mulia lainnya. Agama Spiritualitas
menolak taqlidisme, ketakhyulan dan pikiran picik agama yang justru tumbuh subur di
jaman modern ini, teristimewa di Indonesia. Islam Agama Spiritualitas membangkitkan
kesetaraan antara sesama manusia dan menolak kepercayaan sebagai alat kekuasaan.

B. Tujuan Islam Spiritualitas


Islam Agama Spiritualitas bertujuan pada kesempurnaan kepribadian, yakni :
1. Fitrah: berpikir wajar, baik, akal sehat, alami, 30:30. Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
2
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui 
2. Integritas, 4:135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka allah lebih
tahu kemaslahatannya.
3. Berani dan setia, 005:8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan kebenaran karena allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. 
4. Murah hati dan mencintai sesamanya, 4:1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada allah yang dengan
(mempergunakan) nama-nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. 
5. Santun dan sopan, 13:18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. 
6. Tulus ikhlas memberi pertolongan, 107:1 tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama, itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-
orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan
memberikan pertolongan. 
7. Kehormatan dan kemuliaan, 3:102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada allah sebenar-benar takwa kepada-nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama islam. 
8. Hidup untuk melayani, mengabdi dan loyal. 28:77. Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan allah kepadamu negeri akhirat (adil, harmonis, lestari), dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari duniawi (kemakmuran) dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
3
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-
orang yang berbuat kerusakan. Delapan Nilai di atas untuk dijalankan dengan
istiqomah walau dengan langkah-langkah kecil dan turun-temurun dibudayakan
hingga membentuk pribadi masyarakat yang islam.

C. Tingkatan Spiritual Dalam Islam


1. Nafsu al-amᾱrah (the commading self) merupakan tingkat terendah dari jiwa spiritual
manusia. Pada tingkatan ini nafsu mendominasi kepada ajakan untuk berbuat
kejahatan. Hal ini menyebabkan orang dengan nafsu al-amᾱrah tidak dapat
mengontrol kepentingan dirinya, tidak memiliki moral dan rasa kasih sayang. Pribadi
mereka dihiasi dengan dendam, kemarahan, ketamakan, gairah seksual, iri hati, egois,
dan lain-lain. Kehidupan mereka rusak karena kecanduan kepada perilaku-perilaku
negatif. Orang dengan nafsu al-amᾱrah, menolak adanya masalah. Mereka mudah
melarikan diri dan melampiaskan masalah tanpa kendali akal sehat. Orang yang
mengidap nafsu al-amᾱrah, kesadaran dan akal dikalahkan oleh keinginan dan nafsu
hewani, mereka tidak dapat berubah karena tidak memiliki kebutuhan untuk berubah.
2. Nafsu al-lawwᾱmah (the regretful self), adalah manusia yang memiliki kesadaran
terhadap perilakunya, dapat membedakan yang baik dan yang buruk, menyesali
kesalahankesalahannya, namun belum memiliki kemampuan untuk mengubah gaya
hidupnya dengan cara yang signifikan. Ibarat seorang pecandu yang mulai memahami
rasa sakit, namun kecanduan yang kuat menyebabkan mereka tidak dapat segera
berubah. Pada tahap ini dibutuhkan obat yang lebih kuat. Dosis awal terapi yang
diberikan adalah melaksanakan kewajiban agama seperti Shalat, puasa, membayar
zakat dan mencoba berperilaku baik. Seseorang yang mengidap nafsu al-lawwᾱmah,
diintai oleh tiga bahaya besar yaitu kemunafikan, kesombongan dan kemarahan.
Kemunafikan timbul ketika seorang pengidap nafsu al-lawwᾱmah menginginkan
orang lain mengetahui bahwa dirinya sedang berusaha berubah. Orang tersebut
menunjukkan segala kebaikan di depan orang lain dan mengharapkan pujian.
Kesombongan terjadi karena memandang bahwa apa yang sedang dilakukannya
merupakan prestasi terbaik. Kemarahan timbul ketika merasa tidak merasa dirinya
tidak dihargai. Pada tingkatan ini, orang dengan nafsu al-lawwᾱmah tidak mampu
membebaskan diri dari godaan. Kekecewaan terhadap penghargaan dari orang lain
terhadap perilakunya membuatnya kembali kepada perilaku buruk. Ia merasa
mengambil jalan yang salah karena kurang dihargai, bahkan menyalahkan orang lain
4
yang membawanya pada tahap ini. Orang tersebut kembali terpengaruh dengan nafsu
hewani yang mereka miliki, namun mereka cukup cerdas untuk menghadapi
kekecewaan, kemunafikan, kesombongan dan kemarahan. Semakin lama orang
berada pada tahap ini semakin banyak godaan yang diterima.
3. Nafsu al-mulhimma (the inspired self), merupakan tahap ketika seseorang sudah
mulai merasakan ketulusan dari ibadahnya. Orang dengan nafsu al-mulhimma
termotivasi kepada cinta kasih, pengabdian dan nilai-nilai moral. Pada dasarnya
mereka belum terbebas dari keinginan dan ego. Motivasi dan pengalaman spiritual
dapat mengurangi keinginan mereka untuk berbuat salah. Seseorang yang berada pada
tingkatan nafsu al-mulhimma sangat penting untuk hidup dalam nilai-nilai yang lebih
tinggi, agar kebaikan-kebaikan yang dirintisnya tidak memudar dan mati. Perilaku
umum orang dengan nafsu al-mulhimma adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas
dan tindakan moral yang baik, secara umum memiliki emosi yang matang,
menghargai dan dihargai orang lain. Seseorang dengan nafsu al-mulhimma
mendapatkan pesan dari nurani. Pesan tersebut memberikan inspirasi ke arah dan
tujuan yang baik, bahkan mendorongnya untuk memperkuat usahanya. Namun
demikian, kadang kala kejahatan menyamar dalam bisikan nurani dan mendorongnya
untuk melakukan sesuatu yang tampaknya baik padahal tidak. Oleh karena itu penting
bagi mereka untuk terus belajar membedakan kedua dorongan ini, mereka seperti di
dalam badai. Cara untuk menyelamatkan mereka adalah dengan mematuhi ajaran
agama dan berhati-hati atas segala perbuatannya. Orang dengan nafsu al-mulhimma
harus selalu berperang dengan ego. Kekalahan menyebabkan mereka hilang
ketakwaannya kepada Allah dan berani melakukan berbagai macam dosa atas nama
Allah dan menjadi budak kejahatan.
4. Nafsu al-muṭma’innah (the contented self), adalah jiwa spiritual bagi orang sudah
mampu merasakan kedamaian. Orang tersebut merasakan kepentingan diri mulai
lenyap dan lebih dekat kepada Tuhannya. Pada tahap ini seseorang berada pada
periode transisi, mampu berpikiran terbuka, bersyukur, dapat dipercaya, penuh kasih
sayang. Orang dengan nafsu almuṭma’innah dapat melepaskan semua belenggu diri.
Mereka mulai melakukan integrasi kembali terhadap semua aspek universal
kehidupan dalam dirinya. Tahap ini dicapai setelah melalui perjalanan panjang
melawan segala bentuk hawa nafsu dan kejahatan yang bersemayam di dalam diri.
Orang dengan nafsu al-muṭma’innah telah meninggalkan nafsu hewani dan menghiasi
diri dengan nafsu insani. Mereka menerima perintah dan aturan agama sebagaimana
5
dicontohkan oleh Nabi Muhammad. perilaku mereka tinggi, mereka adalah orang
pemurah, penyabar, ikhlas, bersyukur, bahagia, pemaaf dan damai. Orang yang
memiliki nafsu al-muṭma’innah menjadi pendidik, bukan hanya dengan kata-katanya
tetapi dengan perbuatannya, perilaku mereka selalu berhubungan dengan peraturan
agama, mereka akan mendapat bimbingan dari Allah, karena sikap berserah diri dan
bergantung hanya kepada Allah.

5. Nafsu ar-raḍiyah (the pleased self) adalah orang yang telah mencapai jiwa spiritual
tenang dan bahagia, baik dalam keadaan lapang maupun sempit dengan segala cobaan
musibah hidupnya. Kebahagiaannya tidak bersifat hedonistik atau materialistis,
namun bahagia itu timbul karena mencintai dan bersyukur kepada Allah. Orang-orang
yang memiliki nafsu ar-raḍiyah berada pada tahta spiritual, sehingga tidak ada
kemungkinan salah. Orang dengan nafsu ar-raḍiyah telah mampu menguasai nafsu-
nafsu buruk mereka, dunia luar melayani mereka. Ketakwaan, kepasrahan, kesabaran,
kesyukuran dan kecintaan kepada Allah bersemayam dalam dada mereka. Allah
menanggapi dengan cepat doa-doa mereka karena mereka adalah hamba yang kembali
kepada-Nya.

6. Nafsu al-marḍiah (the self pleasing to God) adalah orang-orang yang menyadari
bahwa segala kekuatan berasal dari Allah. Mereka tidak lagi mengalami rasa takut
dan tidak meminta, mereka telah mencapai kesatuan internal. Ibarat kaca yang pecah,
mereka mampu menyatukan perpecahan tersebut menjadi utuh. Mereka adalah insᾱn
kamȋl yang memiliki ikatan antara Khaliq dengan makhluk. Nama dan sifat Allah
termanifestasi dalam diri mereka. Mereka melihat keindahan dalam segala hal,
memaafkan segala kesalahan yang tidak diketahui. Orang dengan nafsu al-marḍiah
memiliki ciri; sabar, murah hati, selalu memberi tidak pernah meminta, mengabdi
dengan membawa orang lain kepada cahaya jiwa. Mereka mampu melindungi orang
lain dari bahaya nafsu dan kegelapan dunia, segalanya dilakukan demi Allah dalam
nama Allah.
7. Nafsu as-safῑyah (the pure self) adalah tahap akhir, tahta tertinggi bagi seseorang yang
mengalami transedensi diri seutuhnya. Tidak ada nafsu yang tersisa, mereka
menyadari kebenaran sejati dari pernyataan tidak ada Tuhan selain Allah. Orang
dengan nafsu assafῑyah dapat disebut manusia suci, memiliki jiwa yang murni, gerak-
gerik mereka adalah kasih sayang, kata-kata yang diucapkan penuh kebijaksanaan,
6
mereka tidak ada keluhan dan keinginan. Seluruh keridhaan-Nya adalah ibadah, setiap
ruas tubuh dan sel memuji Allah, mereka hidup sederhana. Mereka selalu
mengeluarkan air mata taubat, meskipun tidak pernah berbuat dosa. Kebahagiaan
mereka adalah melihat manusia lain dapat mencapai Tuhan. Rasa sakit mereka adalah
jika mereka melihat orang-orang menjauhi Tuhan. Mereka mencintai orang yang
mengabdi kepada Allah lebih dari segalanya. Mereka marah jika melihat orang yang
durhaka. Apa yang mereka inginkan dari manusia adalah apa yang Allah inginkan.
Mereka takut pada nasib orang-orang yang tidak beriman, maka mereka termasuk
orang berusaha menyadarkan orang-orang yang berdosa. Seluruh komitmen dan
keyakinan dalam menjalankan syariat agama tidak terlepas dari kekuatan spiritual.
Spiritual dapat dianggap sebagai kendali bagi manusia dalam memilih jalan hidup
yang baik. Kebutuhan kepada agama sebagai jalan kebutuhan yang alami yang tidak
mungkin lepas dari seorang muslim, walaupun telah berkembang akal pikirannya dan
telah maju akademisnya.

Untuk mendaki tiap tingkatan tersebut, dibutuhkan moderasi dalam berpikir, karena
moderasi dalam berpikir akan membawa kepada moderasi dalam beragama. Cara
pengembangan moderasi berpikir tersebut adalah dengan berpikir jauh, berpikir dalam dan
berpikir luas terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan ini

D. Rujukan Utama Doktrin Agama Islam


Sumber hukum merupakan segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan
sebagainya yang digunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu.
Dalam ajaran Islam terdapat sumber hukum pokok yang menjadi pedoman atau rujukan bagi
umat Islam. Sumber hukum Islam utama ada tiga, yaitu: Al Aquran Sunnah (Hadist) jtihad
1. Al-Quran
Dalam buku Ushul Fikih 1 (2018) karya Rusdaya Basri, kedudukan Al Quran dalam
Islam adalah sebagai sumber hukum umat Islam dari segala sumber hukum yang ada
di bumi. Firman Allah SWT dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 59 yang artinya.
“Hai, orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Al Quran dan hadis merupakan dua hal pokok
7
dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi jantung umat
Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari
dua hal pokok tersebut. Kedudukan Al Quran sebagai sumber utama dan pertama bagi
penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu
kejadian.

2. Sunnah
Sunnah (hadis) Sunnah (hadis) merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al
Quran. Sunnah juga menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian-
kajian keislaman. Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan lagi. Sunnah dari
segi etimologi adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian
diikuti oleh orang yang lebih baik perbuatan terpuji maupun tercela. Secara
terminologi, ahli fiqih dan hadis berbeda memberikan pengertian tentang hadis.
Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis yaitu suatu yang dinisbahkan oleh
Rasullullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun sikap belaiu tentang suatu
peristiwa.Sunnah menurut istilah ahli ushul figh adalah ucapan nabi dan perbuatannya
dan takrirnya. Jadi sunnah artinya cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji.
Sedangkan menurut istilah agama yaitu perbuatan nabi. Perbuatan dan takririnya
(yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkan).
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis rasul merupakan sumber dan hukum
Islam setelah Al Quran. Kesepakat umat Islam dalam mempercayai, menerima dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadis ternyata sejak
Rasullullah masih hidup.Sepeninggal beliau, masa Khulafaal Rasyidin dan masa-masa
selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya. Banyak mereka yang tidak hanya
memahami dan mengamalkan isi kandungannya, tapi juga menghafal, memelihara
dan menyebarluaskan kepada generasi selanjutnya.
3. Ijtihad
Ijtihad Menurut bahasa ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan
pikiran. Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran secara sungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Ijtihad dapat
dilakukan ketika suatu masalah yang hukumnya tidak ada di dalam Al Quran dan
hadis. Sehingga bisa menggunakan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran, namun
tetap mengacu berdasarkan Al Quran dan hadist. Ijtihad merupakan sumber hukum
8
Islam setelah Al Quran dan hadist. Ketika melakukan ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan Al Quran dan hadist. Bentuk ijtihad itu ada ada tiga macam, yakni:
1. Ijma Ijma adalah kesepakatan dan ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu.
Ijma dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara
khusus dalam Al Quran dan hadis.
2. Qiyas Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada
kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah karena ada alasan yang
sama.
3. Maslahah Mursalah Maslahah mursalah merupakan cara dalam menetapkan
hukum. Di mana berdasarkan pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Islam Agama Spiritualitas adalah agama sebagai nilai-nilai luhur yang menjadi landasan
hidup umat manusia tanpa mengenal golongan, institusi atau organisasi (organized religion),
tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku manusia. Yang bertujuan fitrah: berpikir
wajar, baik, akal sehat, alami, integritas, berani dan setia, murah hati dan mencintai
sesamanya, santun dan sopan, tulus ikhlas memberi pertolongan, kehormatan dan kemuliaan,
hidup untuk melayani, mengabdi dan loyal. 

Saran :
Menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan baik dari cara dalam penyampaian dan penulisan. Maka saya akan
memperbaikinya kembali

10
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsby.ac.id/13980/56/Bab%202.pdf
https://www.kompasiana.com/soetarno/550db6c3a33311231e2e3d7e/menuju-islam-agama-
spiritualitas
file:///C:/Users/wulandari/Downloads/5526-13687-3-PB%20(4).pdf
https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/09/140000069/sumber-hukum-pokok-ajaran-
islam

11

Anda mungkin juga menyukai