Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Buku ini adalah hasil karya antropolog terkenal asal Amerika serikat
Clifford geertz,dia lahir di San Fransisco tanggal 23 Agustus 1926.
Orangtuanya bercerai ketika ia berusia tiga dan ia dibesarkan
oleh keluarga jauh di California pedesaan. Pada tahun 1943,
pada usia tujuh belas, Geertz secara sukarela untuk masuk ke
Angkatan Laut Amerika Serikat, di mana ia melayani selama
dua tahun (1943-1945). Setelah berakhirnya Perang Dunia II,
seperti prajurit lainnya, ia pergi ke perguruan tinggi pada tahun
1946 dengan dana dari GI Bill. Di Antiokhia College, Inggris.
Ini adalah cita-cita geertz yang paling dia inginkan karena ia ingin menjadi
penulis. Selanjutnya, Geertz melanjutkan sekolah pascasarjana di Harvard
University, mendapatkan gelar Ph.D dalam antropologi dari Departemen
Hubungan Sosial pada tahun 1956. Baik dari pendidikan sarjana lulusan
pendidikan humaniora. Geertz adalah penulis yang sangat produktif namun,
sebagian besar artikel penting nya dapat ditemukan dalam kompilasi (misalnya,
The Interpretation of Budaya, Pengetahuan Lokal, Tersedia Light), Berikut adalah
hasil karya Geertz :
¨ Religion of Java, Glencoe, Illinois: The Free Press, 1960.
Agricultural Involution, the Processes of Ecological Change in
Indonesia,Berkeley: University of California Press, 1963
Peddlers and Princes, Chicago: University of Chicago Press, 1963.
Person, Time and Conduct in Bali: An Essay in Cultural Analysis, Yale Southeast
Asia Program Cultural Report Series, No. 14, 1966.
Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia, New Haven:
Yale University Press, 1968.
The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York: Basic Books,1973,
2000.
(Editor), Myth, Symbol and Culture, New York: Norton, 1974.
(with Hildred Geertz), Kinship in Bali, Chicago: University of Chicago Press,
1975.
(with Hildred Geertz and Lawrence Rosen), Meaning and Order in Moroccan
Society, New York: Cambridge University Press, 1979
Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali, Princeton: Princeton
University Press, 1980
Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology, New York: Basic
Books, 1983, 2000
Sejak tahun 1970 hingga meninggal dunia Geertz menjabat sebagai profesor
emeritus di Fakultas Ilmu Sosial di Institute for Advanced Study. Ia juga pernah menjabat
sebagai profesor tamu di Departemen Sejarah Universitas Princeton dari 1975 hingga
2000. Hingga akhirnya ia meninggal di Philadelphia, 30 Oktober 2006.
Buku Geertz yang saya ulas kali ini berisi pembahasan tentang “Etos,Pandangan
dunia, dan Analisis atas Simbol-Simbol Sakral. Di dalam buku ini terdapat penjelasan
bahwa agama tak pernah merupakan metafisika belaka. Buku ini kebanyakan
menghadirkan suasana atau keadaan pada saat geertz melakukan penelitian. Kata-kata
yang rumit agak susah ditafsirkan bagi para pembaca yang tidak mengerti dengan alur
cerita yang di jelaskan oleh geertz,sehingga para pembaca harus membacanya dengan
lebih teliti agar mereka dapat memahami apa isi yang ada di dalam buku tersebut.
Kepercayaan dan ritus religious berhadapan dan saling meneguhkan satu sama
lain. Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkannya sebuah cara
hidup yang tersirat oleh masalah-masalah aktual dari cara hidup itu,dan cara hidup itu
adalah suatu ekspresi otentik.bagaimanapun macamnya agama itu, agama adalah
sebagian usaha (dari sesuatu yang lebih dirasakan implicit dan tak langsung daripada
sesuatu yang dirasa eksplisit dan sadar dipikirkan) untuk memperbincangkan kumpulan
makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu,masing-masing individu menafsirkan
pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya.
Akan tetapi makna hanya dapat disimpan di dalam symbol, misalnya : sebuah
salib,sebuah bulan sabit,atau seekor ulat bulu. Symbol-simbol religious semacam itu,yang
dipentaskan dalam ritus-ritus atau yang dikaitkan dalam mitos-mitos,entah dirasakan bagi
mereka yang tergetar oleh symbol-simbol itu. Meringkas apa yang diketahui tentang
dunia apa adanya,meringkas kualitas kehidupan emosional yang ditopangnya, Dan cara
seseorang seharusnya bertindak didalamnya. Symbol-simbol sakral lalu meghubungkan
sebuah ontology dan sebuah kosmologi dengan sebuah estetika dan sebuah moralitas.
Yang membentuk sebuah system religious adalah serangkaian symbol sakral yang terjalin
menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur.
Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial lantas terletak pada
kemampuan-kemampuan symbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat
nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi
manusia untuk mebangun sebuah gambaran kenyataan. Seperti yang Max Weber
kemukakan “ peristiwa-peristiwa tidak hanya disana yang terjadi,melainkan peristiwa-
peristiwa itu mempunyai sebuah makna dan terjadi karena makna itu”. Kebutuhan akan
pendasaran metafisis untuk nilai-nilai itu tampaknya sangat bervariasi dalam
intensitasnya dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lainnya,namun
kecenderungan untuk menginginkan sejens basis factual tertentu bagi komitmen-
komitmen seseorang agaknya secara praktis bersifat universal.
Di jawa ada suatu kebudayaan yang didalamnya dipengaruhi oleh agama Hindu
dan Islam yaitu kesenian boneka bayangan atau wayang. Permainan bayangan disebut
begitu karena boneka-boneka yang dipotong rata dari kulit,dilukisi dengan warna emas,
merah, biru, dan hitam itu dibuat untuk membuat bayngan-bayanganpada sebuah layar
putih. Dalng,sebutan bagi orang yang memainkan wayang itu,duduk diatas sebuah lapik
di depan layar,dengan sebuah orkes perkusi,gamelan dibelakangnya.
Bagi orang jawa yang pemikirannya masih dipengaruhi oleh pemikiran Hindu-
Budha jawa dari abad kedua sampai abad ke lima belas,arus pengalamannya
subjektif,yang diambil dalam segala kelangsungan fenomenologisnya, merupakan sebuah
mikrokosmos dari alam semesta pada umumnya. Di dalam genangan dunia batiniah dari
pikiran dan emosi tercerminlah kenyataan terakhir itu sendiri. Jenis pandangan dunia
yang melihat kedalam ini paling jelas terungkap dalam sebuah konsep jawa yang juga di
pinjam dari india dan juga ditafsirkan secara khas atau rasa. Rasa mempunyai dua arti
pokok : ‘perasaan’ (feeling) dan makna (meaning). Sebagai “perasaan” rasa adalah salah
satu dari panaca indera orang jawa,yaitu : melihat,mendengar,berbicara,membaui,dan
merasakan,dan dlam dirinya mengandung tiga segi dari “perasaan” sehingga pandangan
kita tentang kelima panca indera tersebut terpisah-pisah.
Suatu pendekatan terhadap teori nilai yang menyoroti kea rah tingkah laku orang-
orang actual di dalam masyarakat-masyarakat actual,yang dihayati menurut kebudayaan-
kebudayaan actual baik untuk rangsangannya maupun validasinya,akan menjauhkan kita
dari argument-argumen abstrak dan agak skolastik yang didalamnya sejumlah kecil
posisi-posisi klasiknya dinyatakan lagi dan lagi dengan sedikit diperbarui untuk
mendukungnya,ke suatu proses terus bertambah banyaknya tilikan ke dalam apa itu nilai-
nilai di luncurkan dengan baik,diskusi diskusi filosofis tentang etika mungkin
mengambil lebih banyak persoalan.
Prose situ bukanlah proses yang menggantikan filsafat moral dengan sebuah dasar
empiris dan sebuah kerangka kerja konseptual yang agak maju yang melampaui apa yang
tersedia pada Aristoteles, Spinoza,Atau G. E. Moore. Peranan dari ilmu pengetahuan
special seperti itu seperti antropologi dalam analisis tentang nilai-nilai tidaklah
menggantikan penyelidikan filosofis,melainkan untuk membuatnya relevan.