Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA

KONTEKS LEGAL ASKEP JIWA DAN RENTANG ASKEP JIWA

Dosen pembimbing :
Ns. Rita Rahayu. S. Kep,. M. Kep Sp.
Kep. J

Oleh :
Farah Farhanah S 32722001D18040

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
TAHUN 2021
 KONTEKS LEGAL ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
MELIPUTI:
1. Pasien Rawat Inap
a. Karakteristik Pasien Masuk RS
Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar
sukarela. Hal ini berarti mereka ingin mencari terapi dan setuju dirawat
di rumah sakit. Akan tetapi, beberapa klien tidak mau dirawat di rumah
sakit dan diobati. Keinginan mereka dihargai kecuali mereka
berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain (misalnya
mengancam atau berupaya bunuh diri atau membahayakan orang lain).
b. Pemulangan Pasien dari RS
Perencanaan pulang atau discharge planning merupakan proses
terintegrasi yang terdiri dari fase-fase yang di tujukan untuk
memberikan asuhan keperawatan yang berkesinambungan (Raden dan
Traft dalam Rosyidi, 2013).
Discharge planning keperawatan merupakan komponen yang
terkait dengan rentang keperawatan atau di sebut dengan keperawatan
yang berkelanjutan, dimana perawatan yang di butuhkan pasien harus
diberikan dimanapun pasien berada. Kegagalan untuk memberikan dan
medokumentasikan perencanaan pulang akan beresiko terhadap
beratnya penyakit, ancaman hidup, dan disfungsi fisik. Dalam
perencanan pulang di perlukan komunikasi yang baik dan terarah
sehingga apa yang di sampaikan dapat di mengerti dan berguna untuk
proses keperawatan di rumah.
Perawat mengkaji setiap pasien dengan mengumpulkan data dan
menggunakan data yang berhubungan untuk mengidentifikasi masalah
aktual dan potensial, menentukan tujuan dengan atau bersama pasien
dan keluarga, memberikan tindakan khusus untuk mengajarkan dan
mengkaji secara individu dalam mempertahankan atau memulihkan
kembali kondisi pasien secara optimal dan mengevaluasi
kesinambungan asuhan keperawatan (pemila, 2009). Perawat
bertanggungjawab untuk membuat rujuakan sesuai dan untuk
memastikan bahwa semua informasi yang sesuai telah disediakan untuk
orang-orang yang akan terlibat dalam perawatan pasien tersebut,
termasuk keluarganya. Selain itu, perawat harus mampu menentukan
pengetahuan, keahluan, dan tindakan apa yang dapat membantu pasien
beradaptasi terhadap lingkungan baru setelah pemulangan (Stuart,
2001).
c. Status Hak Warganegara
Hak warga negara adalah kuasa menerima sesuatu sesuai
peraturan dari negara yang berlaku.
Banyak sekali negara yang memiliki perlindungan terhadap
kerahasiaan untuk perekaman dan komunikasi klien. Hanya individu
yang mempunyai hak untuk mengobservasi klien atau mempunyai
akses untuk informasi medis klien. Terkait dengan informasi medis
mungkin dihubungkan tanpa persetujuan pada situasi yang mengancam
kehidupan. Jika informasi terkair dengan kondisi emergensi, informasi
harus direkam dalam catatan klien : tanggal penyingkapan, seseorang
yang diberi informasi mengenai penyingkapan, alasan penyingkapan,
alasan menulis persetujuan yang tidak diperkenankan, dan informasi
penyingkapan secara spesifik.

d. Pembenaran
Pada seting psikiatri klinik, pemahaman mengenai hukum dan
hak untuk pasien dengan pasien gangguan mental, ditambah dengan
kualitas perawatan yang terbaik untuk menurunkan resiko malpraktik
dalam proses pengadilan.
Issue legal dapat terjadi dalam berbagai seting praktik meliputi
situai meliputi penganiayaan anak, pelanggaran terhadap kerahasiaan,
kegagalan dalam melakukan informed concent, kekerasan dalam
keluarga, mental retardasi, ketergantungan obat pada prental,
perkosaan, serangan seksual, penyiksaan pada pasangan, dan bunuh
diri.
2. Komitmen Pasien Berobat Jalan
Terapi Penerimaan dan Komitmen (TPK) adalah intervensi
psikologis yang unik dan teruji secara empiris yang menggunakan
strategi penerimaan dan mindfulness bersama dengan strategi
perubahan perilaku dan komitmen untuk meningkatkan fleksibilitas
psikologis (Hayes, 2005). TPK merupakan salah satu bentuk
pengembangan dari terapi kognitif perilaku, dimana keduanya
melibatkan strategi tingkah laku dan kognitif (Haris, 2006).
3. Hak–hak Pasien
 Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah sakit
berkorespondensi, telepon dan mendapatkan kunjungan.
 Hak untuk berpakaian
 Hak untuk beribadah
 Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan
 Hak untuk menyimpan dan membuang barang
 Hak untuk melaksanakan keinginannya
 Hak untuk memiliki hubungan kontraktual
 Hak untuk membeli barang
 Hak untuk pendidikan
 Hak untuk habeas corpus
 Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien
 Hak pelayanan sipil
 Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi
 Hak untuk menuntut dan dituntut
 Hak untuk menikah dan bercerai
 Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu
 Hak untuk review status secara periodik
 Hak untuk perwalian hukum
 Hak untuk privasi
 Hak untuk informed consent
 Hak untuk menolak perawatan
4. Peran Legal Perawat
Perawat Jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam 3 peran legal:
1) Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
2) Perawat sebagai pekerja
3) Perawat sebagai warga negara
 ASUHAN KEPERAWATAN JIWA MELIPUTI:
a. Upaya Pencegahan Primer
Tatanan pelayanan primer dapat menjadi tempat kontak yang paling
penting antara klien dengan masalah kesehatan jiwa dengan sistem
pelayanan kesehatan. Sebagian besar orang akan mencari bantuan terkait
dengan masalah kesehatan jiwanya melalui pemberi layanan primer.
Pelayanan kesehatan jiwa di tatanan pelayanan primer juga dapat
menjangkau orang yang tidak menerima tindakan kesehatan jiwa. Hal
tersebut memberikan keahlian terkait diagnosis dan tindakan untuk
masalah yang tidak terlihat di tatanan medis secara umum, yang berakibat
pada peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam deteksi dini dan
penanganan masalah kesehatan jiwa di komunitas medis (Stuart et al,
2016).
Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan kesehatan
dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah
mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum
mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu anak,
remaja, dewasa, dan lanjut usia. Aktivitas pada pencegahan primer adalah
program pendidikan kesehatan, program stimulasi perkembangan, program
sosialisasi kesehatan jiwa, manajemen setres, Persiapan manjadi orang tua
(Keliat et al, 2012).
Kegiatan yang dilakukan adalah:
1). Memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua antara lain
seperti pendidikan menjadi orang tua.
2). Pendidikan kesehatan mengatasi setres seperti stres pekerjaan, stres
perkawinan, stres sekolah dan stres pascabencana.
3). Program dukungan sosial diberikan pada anak yatim piatu, individu
yang kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan, kehilangan
rumah/tempat tinggal.
4). Program pencegahan penyalahgunaan obat.
5). Program pencegahan bunuh diri.
b. Upaya Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder diarahka pada mereka yang telah terkena
pentakit tertentu supaya kondisinya tidak memburuk (Setiadarma, 2002).
Menurut (Keliat et al, 2012), fokus pelayanan keperawatan pada
pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan penanganan dengan segera
masalah psikososial dan gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah
menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Target pelayanan adalah
anggota masyarakat yang berisiko atau memperlihatkan tanda-tanda
masalah psikososial dan gangguan jiwa.
Aktivitas pada pencegahan sekunder adalah:
1. Menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh
informasi dari berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan
lain, dan penemuan langsung.
2. Melakukan penjaringan kasus dengan melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Melakukan pengkajian dua menit untuk memperoleh data fokus
pada semua pasien yang berobat ke puskesmas dengan keluhan
fisik (format terlampir pada modul pencatatan dan pelaporan)
b. Jika ditemukan tanda-tanda yang berkaitan dengan kecemasan
dan depresi maka lanjutkan pengkajian dengan menggunakan
pengkajian keperawatan kesehatan jiwa.
c. Mengumumkan kepada masyarakat tentang gejala dini
gangguan jiwa (di tempat-tempat umum).
d. Memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru yang
ditemukan sesuai dengan standar pendelegasian program
pengobatan (bekerjasama dengan dokter) dan memonitor efek
samping pemberian obat, gejala, dan kepatuhan pasien minum
obat.
e. Bekerjasama dengan perawat komunitas dalam pemberian obat
lain yang dibutuhkan pasien untuk mengatasi gangguan fisik
yang dialami (jika ada gangguan fisik yang memerlukan
pengobatan).
f. Melibatkan keluarga dalam pemberian obat, mengajarkan
keluarga agar melaporkan segera kepada perawat jika
ditemukan adanya tanda-tanda yang tidak biasa, dan
menginformasikan jadwal tindak lanjut.
g. Menangani kasus bunuh diri dengan menempatkan pasien di
tempat yang aman, melakukan pengawasan ketat, menguatkan
koping, dan melakukan rujukan jika mengancam keselamatan
jiwa. Menempatkan pasien di tempat yang aman sebelum
dirujuk dengan menciptakan lingkungan yang tenang, dan
stimulus yang minimal.
h. Melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan
untuk membantu pemulihan pasien seperti terapi aktivitas
kelompok, terapi keluarga, dan terapi lingkungan.
i. Memfasilitasi Self-help group (kelompok pasien, kelompok
keluarga, atau kelompok masyarakat pemerhati) berupa
kegiatan kelompok yang membahas masalah-masalah yang
terkait dengan kesehatan jiwa dan cara penyelesaiannya.
j. Menyediakan Hotline service untuk intervensi krisis yaitu
pelayanan dalam 24 pukul melalui telepon berupa pelayanan
konseling.
k. Melakukan tindak lanjut (follow-up) dan rujukan kasus.
c. Upaya Pencegahan Tersier
Setiadarma, 2002 Mengemukakan bahwa pencegahan tersier berlaku
bagi mereka yang terkena gangguan penyakit cukup parah agar tidak
terancam jiwanya. Menurut (Keliat et al, 2012) Pencegahan Tersier adalah
pelayanan keperawatan yang berfokus pelayanan keperawatan adalah pada
peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan pada
pasien gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi kecacatan
atau ketidakmampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan yaitu
anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa pada tahap
pemulihan.
Aktivitas pada pencegahan tersier meliputi:
1. Program pendukung sosial dengan mengerakkan sumber-sumber
dimasyarakat seperti sumber pendidikan, dukungan masyarakat
(tetangga, teman dekat, tokoh masyarakat), dan pelayanan terdekat
yang terjangkau masyarakat.
2. Program rehabilitasi untuk memberdayakan pasien dan keluarga
hingga mandiri terfokus pada kekuatan dan kemampuan pasien dan
keluarga dengan cara: (a) Meningkatkan kemampuan koping yaitu
belajar mengungkapkan dan menyelesaika
masalah dengan cara yang tepat.
(b) Mengembangkan sistem pendukung dengan
memberdayakan keluarga dan masyarakat.
(c) Menyediakan pelatihan kemampuan dan
potensi yang perlu dikembangkan oleh
pasien, keluarga dan masyarakat agar pasien
dapat produktif kembali.
(d) Membantu pasien dan keluarga
merencanakan dan mengambil keputusan
untuk dirinya.
3. Program sosialisasi
4. Program mencegah stigma.
DAFTAR PUSTAKA

https://herirsjs09.wordpress.com/2014/04/21/aspek-legal-etik-terapi-jiwa-komunitas/
https://www.linovhr.com/hak-dan-kewajiban-warga-negara/#:~:text=Hak%20adalah
%20sesuatu%20yang%20mutlak,kuasa%20atas%20hal%20%E2%80%93%20hal
%20tertentu.&text=Contoh%20lain%20adalah%20hak%20atas%20pekerjaan%20dan
%20kehidupan%20yang%20layak.
Widya Lestari, Y. (2014). Hubungan Pelaksanaan Discharge Planning Dengan Kesiapan
Keluarga Dalam Menjalankan Tugas Perawatan Kesehatan Pada Pasien Tuberculosis
Paru Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Paru Jember. Skripsi.
https://stikesypib.ac.id/blog/legal-dan-etik-dalam-konteks-asuhan-perawatan-jiwa/
(García Reyes, 2013)García Reyes, L. E. (2013). 済無 No Title No Title. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Anda mungkin juga menyukai