Anda di halaman 1dari 30

- Depresi

a. Definisi
Depresi pada lanjut usia sangat sering terjadi dan secara bermakna
menurunn kan kualitas kehidupan para lansia. Depresi sering dianggap
sebagai bagian yang biasa dari proses penuaan sehingga sering tidak
menjadi perhatian. Akibat lebih lanjut yang dapat dialami para lansia
yang depresi adalah peningkatan risiko mendapatkan berbagai penyakit,
sehingga sering ada bersamaan dengan penyakit diabetes melitus,
hipertensi, sindroma metabolik, gangguan jantung koroner, kanker, asma
dan hendaya kognitif dan demensia. Dampak ini semua adalah
morbiditas dan mortalitas dan hendaya fungsi.
Depresi adalah masalah medis yang serius dengan melibatkan
gejala-gejala yang berkaitan dengan mood, kognitif dan gejala fisik.
Depresi dan gangguan suasana hati berhubungan dengan masalah
kesehatan terbesar di dunia. Banyaknya tekanan kehidupan, stres
interpersonal dan penolakan sosial, menjadi faktor risiko terbesar
mengalami depresi. Depresi adalah suatu kondisi seseorang merasa sedih,
kecewa saat mengalami suatu perubahan, kehilangan, kegagalan dan
menjadi patologis ketika tidak mampu beradaptasi (A. K. Townsend et
al., 2009).
Depresi merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
secara afektif, fisiologis, kognitif dan perilaku sehingga mengubah pola
dan respon yang biasa dilakukan (Montgomery, 2011; Thompson &
Binder-Macleod, 2006).
b. Factor Resiko
Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :
1) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira
40 tahun; dan 50% dari pasien memiliki onset anatara usia 20-50
tahun.
2) Jenis kelamin
Pada pengamatan yang hampir uiversal, terlepas dari kultur atau
negara, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali
lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin
disebabkan oleh rendahnya kesehatan maternal
3) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada
usia dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik
yang baik. Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang
hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap
depresi 2,2 kali lebih besar.
4) Status pernikahan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau
yang tercerai atau berpisah.
c. Etiologi dan Patofisiologi
Faktor risiko timbulnya gejala depresi pada lansia selain karena
faktor usia, adalah wanita (tak menikah dan janda), lebih banyak
disabilitas fisik (adanya penyakit fisik, ada gangguan kognitif atau
demensia, problem tidur kronik dan ansietas), status sosial ekonomi yang
kurang, adanya kehilangan (pasangan atau orang terdekat), stres kronik
atau mengalami kehidupan yang penuh stresor, kurangnya dukungan
psikososial (loneliness/social isolation). Sedangkan abnormalitas
kepribadian, riwayat gangguan psikiatri sebelumnya, disfungsi
perkawinan lebih sebagai faktor risiko pada depresi dengan onset yang
lebih muda (Blazer, 2003; Gallagher et al., 2009).
Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Adapun faktor
biologis, faktor bawaan atau keturunan, faktor yang berhubungan dengan
perkembangan seperti kehilangan orang tua sejak kecil, faktor
psikososial, dan faktor lingkungan, yang menjadi satu kesatuan
mengakibatkan depresi.
Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut
bisa berupa:
1) Faktor Biologis
Faktor biologis yang dapat menyebabkan terjadinya depresi dapat
dibagi menjadi dua hal yaitu disregulasi biogenik amin dan
disregulasi neuroendokrin. Abnormalitas metabolit biogenik amin
yang sering dijumpai pada depresi yaitu 5 hydroxy indoleacetic acid
(5HIAA), homovalinic acid (HVA), 3-methoxy 4-hydrophenylglycol
(MHPG), sebagian besar penelitian melaporkan bahwa penderita
gangguan depresi menunjukkan berbagai macam abnormalitas
metabolik biogenikamin pada darah, urin dan cairan serebrospinal.
Keadaan tersebut endukung hipotesis ganggua depresi berhubungan
dengan disregulasi biogenikamin. Dari biogenik amin, serotonin dan
norepinefrin merupakan neurotransmiter yang paling berperan dalam
patofisiologi depresi.
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik
antidepresan mungkin merupakan peran langsung sistem
noradrenergik dalam depresi. Bukti lain yang juga melibatkan
reseptor beta2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan reseptor
yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinephrin.
Reseptor beta2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik
dan mengatur jumlah pelepasan serotonin.
Serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter sistem
menunjukan keterlibatan dalam patofisiologi gangguan afektif, dan
obat-obatan yang meningkatkan aktifitas serotonergik pada umumnya
memberi efek antidepresan pada pasien . Selain itu , 5 - HT dan / atau
metabolitnya, 5-HIAA, ditemukan rendah pada urin dan cairan
serebrospinal pasien dengan penyakit afektif.14 Hal ini juga
dibuktikan terdapat kadar 5-HT yang rendah pada otak korban bunuh
diri dibandingkan dengan kontrol. Selain itu , ada beberapa bukti
bahwa terdapat penurunan metabolit serotonin, 5 – hydroxyindole
acetic acid (5-HIAA) dan peningkatan jumlah reseptor serotnin
postsinaptik 5- hydroxytryptaminetype 2 (5HT2) di korteks prefrontal
pada kelompok bunuh diri.
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan
subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi
regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperkaya antara
dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan
depresi adalah jalur dopamin mesolimbic mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif
pada depresi.
2) Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode
pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang
mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama menyebabkan
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem sinyal
intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan
kontak sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi
mengalami episode berulang gangguan mood, sekalipun tanpa
stressor dari luar.
Orang dengan beberapa gangguan kepribadian seperti,
obsesifkompulsif, histeris, dan yang ada pada garis batasnya,
mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena depresi dari
pada orang dengan kepribadian antisosial atau paranoid. Pada
pengertian psikodinamik depresi dijelaskan oleh Sigmund Freud dan
dikembangkan oleh Karl Abraham yang diklasifikasikan dalam 4
teori: (1) gangguan pada hubungan bayi dan ibu selama fase oral (10-
18 bulan awal kehidupan) sehinga bisa terjadi depresi; (2) depresi
dapat dihubungkan dengan kehilangan objek secara nyata atau
imajinasi; (3) Introjeksi dari kehilangan objek adalah mekanisme
pertahanan dari stress yang berhubungan dengan kehilangan objek
tersebut (4) karena kehilangan objek berkenaan dengan campuran
cinta dan benci, perasaan marah berlangsung didalam hati.
3) Faktor Genetik
Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat pada
kromosom 11 Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah
seorang dari orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27 %
anaknya akan menderita gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua
orang tuanya menderita depresi maka kemungkinanya meningkat
menjadi 50 – 75%.
Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu penelitian
dinyatakan bahwa gen-gen yang berhubungan dengan risiko yang
meningkatkan untuk lesi kardiovaskular dapat meningkatkan
kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif. Penelitian lain
melaporkan bahwa predisposisi genetis untuk gangguan depresif
mayor pada orang usia lanjut dapat dimediasi oleh adanya lesi
vascular.
4) Gangguan pada Otak
Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai
salah satu penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia
lanjut adalah penyakit cerebrovaskular, yang mana gangguan ini
dapat sebagai faktor predisposisi, presipitasi atau mempertahankan
gejala-gejala gangguan depresif pada orang usia lanjut.
5) Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin
Istilah biogenik amin umumnya digunakan untuk komponen
katekolamin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Sistem
neuron menggunakan biogenik amin relatif kecil dalam sekelompok
sel yang berada di batang otak.
Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai
neurotransmiter. Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi
adalah norepinefrin dan serotonin.Pada penelitian postmortem
didapatkan penurunan konsentrasi serotonin dalam otak penderita
depresi. Selain itu juga ditemukan adanya penurunan aktivitas
dopaminergik. Hal ini mendukung hipotesis bahwa gangguan depresi
berhubungan dengan biogenic.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Robinson, dkk.,
mendapatkan bahwa konsentrasi norepinephrin dan serotonin
berkurang sesuai dengan bertambahnya usia, tetapi metabolit 5-
HIAA dan enzim monoamineoksidase meningkat sesuai
pertambahan usia.
6) Perubahan Endokrin
Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik
-hipotalamus-hipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan
sekresi kortisol. Selain itu juga ditemukan juga penurunan hormon
lain seperti GH, LH, FSH, dan testosteron.
Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan penurunan kadar
hormon estrogen pada wanita, testosteron pada pria, dan hormon
pertumbuhan pada pria dan wanita. Penurunan kadar hormon
tersebut sejalan dengan perubahan fisiologis karena pertambahan
usia. Sehingga dengan bertambahnya usia, proses degenerasi sel-sel
dari organ tubuh makin meningkat, termasuk di antaranya
meningkatnya proses degenerasi sel-sel organ tubuh yang
memproduksi hormon tersebut makin berkurang. Dengan penurunan
kadar hormon tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi
neurotransmitter terutama serotonin dan norepinephrin.
7) Masalah kesehatan
Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan kronis, kemunduran
kognitif serta kerusakan bagian tubuh yang disebabkan karena
pembedahan atau penyakit dapat menyebabkan individu lanjut usia
jatuh ke dalam kondisi depresi.
d. Penegakkan diagnosis (instrumene pemeriksaan)
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah
sebagai berikut:
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan (anhedonia)
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.

Gejala Lainnya :

1) Konsentrasi dan perhatian berkurang


2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu.

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut


diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1)


dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah
salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).
e. Diagnosis banding
1) Bereavement (Kehilangan teman atau keluarga karena kematian)
Bereavement atau rasa kesedihan yang berlebihan karena putusnya
suatu hubungan dapat memperlihatkan gejala yang sama dengan
episode depresi mayor. Tingkat keparahan dan durasi dari gejala dan
dampaknya pada fungsi sosial dapat membantu dalam menyingkirkan
antara kesedihan yang mendalam dan Major Depressive Disorder
(MDD).9
2) Gangguan Afektif Disebabkan Karena Kondisi Medis Umum
Gejala depresi dapat diperlihatkan dari efek fisiologis suatu kondisi
medis khusus yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, gejala fisik suatu
penyakit medis utama sulit untuk dapat didiagnosis yang
berkormorbid dengan MDD. The Hospital Anxiety and Depression
Scale (HADS) sangat berguna untuk alat deteksi pasien dengan
penyakit medis dimana digunakan pertanyaan yang memfokuskan
pada gejala kognitif dibandingkan dengan gejala somatiknya. MDD
sama banyaknya dengan penyakit kronis, tetapi lebih umum diabetes,
penyakit tiroid, dan gangguan neurologis (penyakit Parkinson,
multiple sklerosis).
3) Gangguan Afektif Disebabkan Karena Zat
Efek samping obat (baik yang diresepkan atau tidak) dapat
memperlihatkan gejala depresi, jadi suatu zat yang dapat
mempengaruhi gangguan mood harus dapat dipertimbangkan dalam
mendiagnosis banding MDD. Bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik,
atau temuan laboratorium digunakan untuk dapat menentukan adanya
suatu pengalahgunaan, ketergantungan, intoksikasi/keracunan, atau
kondisi putus obat yang secara fisoilogis akan menyebabkan suatu
episode depresi. Selama gejala depresi karena pengaruh obat dapat
disembuhkan dengan menghentikan penggunaan obat tersebut, gejala
putus obat dapat berlangsung selama beberapa bulan.
4) Gangguan Bipolar
Sejarah adanya mania atau hipomania mengidentifikasikan adanya
gangguan bipolar, tetapi semenjak (1) gangguan bipolar sering
berawal dengan episode depresi, dan (2) pasien bipolar mengalami
episode depresi lebih lama dibandingkan dengan hipomania/mania,
hal ini penting untuk untuk mengeluarkan diagnosis bipolar ketika
sedang mendiagnosis MDD. Pada kenyataannya, 5-10% individu
yang mengalami episode depresi mayor akan memiliki episode
hipomanik atau manik didalam kehidupannya. Gejala depresi yang
memperlihatkan suatu gangguan bipolar termasuk didalamnya
pemikiran yang kacau, gejala psikotik, gambaran atipikal
(pipersomnia, makan berlebihan), onset usia dini, dan episode
kekambuhan. Gangguan Bipolar II (dengan hipomania) sulit untuk
dikenali karena pasien tidak mengenali hipomania sebagai suatu
kondisi yang abnormal – mereka menerima itu sebagai perasaan yang
baik. Informasi yang mendukung dari pasangan hidup, teman
terdekat, dan keluarga sering menjadi hal yang penting untuk dapat
mendiagnosis. Pertanyaan-pertanyaan yang valid, seperti kuesioner
gangguan afektif, dapat membantu dalam mengidentifikasi
hipomania.
f. Instrument
Penilaian Depresi Dengan GDS (Geriatric Depression Scale)
Skala depresi geriatrik geriatric depression scale, GDS)
merupakan skala penilaian depresi pada lansia yang diciptakan oleh
Yesavage dan Brink (1983). Dalam studi yang dilakukan oleh Bonin-
Guillaume and Benoit (2018) tentang validitas kuesioner GDS,
didapatkan hasil bahwa kuesioner GDS memiliki tingkat sensitivitas 92%
dan spesifisitas 89%. Skala depresi geriatrik-15 (GDS-15) memiliki
format yang sederhana, dengan pertanyaan-pertanyaandan respons yang
mudah dibaca. GDS-15 telah divalidasi pada berbagai populasi lansia,
termasuk di Indonesia (Aritonang dkk, 2018).
g. Tatalaksana
Obat-obatan yang digunakan untuk terapi penyakit fisik, mungkin
menyebabkan toksik untuk afektif dan potensial menjadi gangguan
depresi (Katz, 1999), seperti:
1) Antikonvulsan : phenobarbital, phenytoin, topiramide, vigabatrin.
2) Antihiperlipidemik
3) Antiparkinson
4) Obat kardiovaskular : angiotensinconverting enzyme inhibitors, beta-
bloker, kalsium canel bloker, clonidin, alfametildopa
5) Obat hormonal: anabolik steroid, kontrasepsi, kortikosteroid,
gonadotropinrelasing hormon antagonis, progesteron, tamoxifen
6) Obat migren: cinarizine, flunarizine, oxetorone, sumatriptan
7) Lainnya: antipsikotik, baclofen, benzodiazepin, H2 bloker, interferon,
metoclopramid, non-steroidal antiinflamatori, ofloxacin, ondansetron,
psikostimulan, retinoid, tramadol.

Prinsip pengobatan
Memilih antidepresan untuk lansia, perlu mempertimbangkan tipe
depresi, kondisi medisnya, interaksi dengan obatobatan lain yang
dikonsumsi, respon terhadap medikasi antidepresan terdahulu bila pernah
menggunakan dan potensi penggunaan berlebihan. Depresi psikotik tidak
berespon hanya dengan antidepresan monoterapi, depresi bipolar juga
memerlukan obat penstabil mood.
Pada kondisi medis, hati-hati penggunaan antikolinergik dapat
memperburuk penyakit demensia, gangguan kerdiovaskuler, diabetes dan
penyakit Parkinson. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi postural dan
gangguan konduksi jantung. Perlu juga meminimalkan interaksi antara
obat. Golongan antidepresan trisiklik sebaiknya dihindari, karena letal
pada overdosis.
Dosis awal untuk lansia adalah separuh dosis dewasa muda untuk
meminimalkan efek samping. Peningkatan efek samping yang lebih
sering terjadi pada lansia karena perubahan metabolisme hepar akibat
penuaan, adanya penyakit fisik yang bersamaan dan interaksi obat.
Rekomendasi untuk ‘start low and go slow’ walaupun bukti saat ini
menunjukkan tidak perlu untuk mentitrasi naik pada semua individu.
Peningkatan dosis 1-2 minggu bila ditoleransi untuk mencapai dosis
terapi sesuai variasi individu. Bila tidak terjadi perbaikan yang signifikan
setelah 2-4 minggu pada dosis terapi, maka dinaikkan hingga didapatkan
perbaikan klinis, atau efek samping atau dosis maksimum sudah dicapai.
Monitor pada setiap kontrol tentang perbaikan depresi atau perburukan
dari depresi, adanya agitasi atau ansietas, percobaan bunuh diri
khususnya pada masa awal pengobatan. Tidak ada bukti peningkatan ide
untuk bunuh diri karena penggunaan antidepresan pada lansia. Pada
umumnya periode penurunan setiap 10 hari direkomendasikan untuk
semua antidepresan. Bila tidak ada perbaikan yang bermakna tetapi tidak
remisi sempurna setelah 4 minggu, maka ditunggu 4 minggu lagi.
Setelahnya pertimbangkan untuk menambahkan terapi add-on bila masih
belum remisi. Pilihan add-on terapi termasuk antidepresan dari golongan
lain, pemberian psikoterapi. Bila ditambahkan golongan antidepresn yang
lain, jangan lupa memonitor potensi terjadinya sindroma serotonin.
Secara psikologi, dapat dilakukan berbagai intervensi sebagai
berikut antara lain (Wilkins et al., 2010): Pada keadaan pasien masih
dapat diajak bercakap-cakap, maka dapat dilakukan berbagai psikoterapi
untuk gangguan depresinya. Namun bila depresi cukup parah, maka lebih
ke fokus pada latihan dan perilaku pasien. Terapi non psikofarmaka yang
dapat diberikan misalnya Reminiscene therapy, Cognitive Behavioral
Therapy (CBT), Problem Adaptation Therapy (PATH).
Perhatian pada nutrisi sangat penting pada depresi pada lansia,
termasuk pengukuran berat badan dan tinggi badan, riwayat turunnya
berat badan, tes laboratorium untuk albumin, kolesterol, akan
memperparah kondisi depresi pada lansia. Melakukan exercise rutin dan
ringan seperti brain gym, Tail Chi dapat memperbaiki mood dan kognitif.
Secara spiritual, perlu mendapat perhatian pada individu lansia
yang depresi. Ini berhubungan dengan makna kehidupan dan akhir
pengabdian dari kehidupannya. Beberapa studi mengusulkan bahwa
religious coping, yaitu persepsi individu bahwa religius adalah faktor
yang paling penting dalam mengatasi masalah kehidupan, berhubungan
dengan kesehatan fisik dan emosi. Ditemukan bahwa religious coping
dapat membantu tipe depresi tertentu termasuk kehilangan minat,
perasaan tidak berharga, penarikan dari interaksi sosial, kehilangan
harapan dan gejala kognitif yang lain dari depresi. Religious coping juga
menurunkan gejala somatik (Blazer DG, 2003).

- Bipolar
a. Definisi

Menurut PPDGJ III, gangguan afektif bipolar adalah suatu gangguan


suasana perasaan yang ditandai oleh adanya episode berulang (sekurang-
kurangnya dua episode) dimana afek 3 pasien dan tingkat aktivitas jelas
terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai
penambahan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada
waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan
aktivitas (depresi). 3
Gangguan bipolar menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders-Text Revision edisi ke-4 (DSM-IV-TR) adalah
gangguan mood yang terdiri dari paling sedikit satu episode manik,
hipomanik atau campuran yang biasanya disertai dengan adanya riwayat
episode depresi mayor. 3
Gangguan bipolar menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders-5 (DSM-5) merupakan gangguan yang tersifat
berulang (sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan
tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari
peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania),dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai
pengurangan energi dan aktivitas (depresi). 3
b. Etiologi
Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui
dengan pasti. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam gangguan bipolar
yaitu faktor genetik, faktor biokimia, faktor neurofisiologi, faktor
psikodinamik, dan faktor lingkungan. Faktor yang mempengaruhi bipolar
secara umum dibagi menjadi :
- Faktor biologis
Adanya gangguan disebabkan oleh kelainan zat kimiawi pada sel
saraf otak dan faktor genetik. Individu yang salah satu orang tuanya
menderita bipolar memiliki resiko 15-30% untuk juga menderita
gangguan bipolar. Apabila kedua orang tuanya menderita bipolar
maka kemungkinan anaknya 50-75% akan mengalami gangguan yang
sama. Pada kembar indentik resiko 33-90% saudara kembar
kemungkinan mengalami bipolar. Sebanyak 10-15% keluarga dari
pasien yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu
episode ganagguan afek / mood.3
Selain faktor biologis genetic gangguan bipolar juga dipengaruhi
oleh neurokimia yang mengalami gangguan reseptor neurotransmitter.
penurunan sensitivitas terhadap dopamine erat hubungannya dengan
depresi,sebaliknya jika terjadi peningkatan sesitivitas terhadap
dopamine maka memungkinkan untuk meningkatkan rasa bahagia
yang berlebihan atau mania. Penurunan serotonin dan norephineprine
bisa menyebabkan depresi.3
- Faktor psikososial
Peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental yang lain
ditenggarai bisa menyebabkan perubahan biologis pada otak dan
signal terhadap saraf. Informasi yang dialami akan disimpan didalam
otak yang akan terpanggil kembali pada suatu kejadian yang
membangkitkan memori. Proses memori juga bisa terjadi walaupun
tidak ada sesuatu rangsangan pemicu dari luar. 3
c. Factor Resiko
Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui
dengan pasti. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam gangguan bipolar
yaitu faktor genetik, faktor biokimia, faktor neurofisiologi, faktor
psikodinamik, dan faktor lingkungan.
d. Patifisiologi
Dalam otak terdapat neurotransmitter yang berperan sebagai
pembawa pesan komunikasi antar neuron otak. Berdasarkan riset
kekurangan serotonin, norepinefrin, dan dopamin dapat menyebabkan
depresi, sedangkan jika neurotransmitter ini berlebih dapat menjadi
gangguan manik. Penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi,
penurunan dopamin juga dapat menyebabkan depresi sedangkan
peningkatan dopamin dapat menyebabkan mania, jalur dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor
dopamin tipe 1 (D1) mungkin hipoaktif pada depresi. Faktor
neurotransmitter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif yang juga
berperan dalam gangguan mood.1
Regulasi neuroendokrin hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu
neurohormonal dan hipotalamus menerima banyak input neuronal
menggunakan neurotransmitter amin biogenik. Sumbu neuroendrokin
utama yang berperan dalam gangguan mood adalah penurunan sekresi
nokturnal melatonin, penurunan pelepasan prolaktin serta penurunan
kadar FSH dan LH pada perempuan sedangkan pada laki-laki terjadi
penurunan kadar testosteron.1
Neuron di nucleus paraventrikuler (PVN) melepaskan corticotropin
releasing hormon (CRH) yang menstimulasi pelepasan ACTH dari
hipofisis anterior, ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan kortisol dari
korteks adrenal, kotrisol memberikan feedback dengan dua mekanisme
yaitu mekanisme umpan balik cepat, yang peka kecepatan peningkatan
konsentrasi kortisol beroperasi melalui reseptor kortisol di hipokampus
yang menyebabkan penurunan pelepasan ACTH, mekanisme umpan balik
lambat yang sensitif terhadap konsentrasi kortisol dalam keadaan mantap
diperkirakan bekerja melalui reseptor hipofisis dan andrenal.1
e. Penegakan Diagnosis
Kriteria Diagnosis Menurut ICD-10 + PPDGJ III
- F31. Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurangkurangnya dua
episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu,
pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan
energi dan aktivitas (mania atau hipomania) dan pada waku lain
berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas
(depresi).
Episode berulang hanya hipomania atau mania digolongkan
sebagai gangguan bipolar. Episode manik biasanya dimulai dengan
tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan (rata-rata
sekitar 4 bulan). Depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata
sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi setahun kecuali pada orang
lanjut usia.
Termasuk : penyakit, psikosis atau reaksi manik-depresif. Tidak
termasuk Gangguan bipolar, episode manik tunggal dan siklotimia.
- F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
Pasien saat ini hipomanik, dan mengalami sekurangnya satu
riwayat episode afektif (hipomanik, manik, depresi atau campuran).
- F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala
psikotik
Pasien saat ini manik, tanpa gejala psikotik dan memiliki
sekurangnya satu riwayat episode afektif (hipomanik, manik, depresi
atau campuran).
- F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik
Pasien saat ini manik, dengan gejala psikotik dan memiliki
sekurangnya satu riwayat episode afektif (hipomanik, manik, depresi
atau campuran).
- F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresi ringan atau
sedang
Pasien saat ini depresi, dengan derajat ringan atau sedang, serta
sekurangnya satu riwayat episode afektif hipomanik, manik atau
campuran.
- F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresi berat tanpa
gejala psikotik
Pasien saat ini depresi berat tanpa gejala psikotik, dan mengalami
sekurangnya satu riwayat episode afektif hipomanik, manik atau
campuran.
- F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresi berat dengan
gejala psikotik
Pasien saat ini depresi berat dengan gejala psikotik, dan mengalami
sekurangnya satu riwayat episode afektif hipomanik, manik atau
campuran.
- F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
Pasien sekurangnya mengalami satu riwayat episode afektif
hipomanik, manik, depresi atau campuran, serta saat ini
memperlihatkan gejala campuran atau perubahan cepat gejala manik
dan depresi
- F31.7 Gangguan afektif bipolar, saat ini remisi
Pasien mengalami sekurangnya satu riwayat episode afektif
hipomanik, manik atau campuran, serta satu episode afektif
(hipomanik, manik, depresi atau campuran) tapi saat ini tidak
menderita gangguan mood yang nyata selama beberapa bulan
terakhir.Periode remisi selama terapi profilaksis harus diberi kode.
- F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
Gangguan Bipolar II
Episode manik berulang NOS
- F31.9 Gangguan afektif Bipolar YTT
Pedoman diagnostik juga menggunakan DSM-IV-TR seperti
berikut ini.
f. Diagnosis Banding
- Gangguan psikotik akibat kondisi medik umum
- Gangguan psikotik akibat zat
- Skizofrenia
- Gangguan skizoafektif
- Gangguan waham.
g. Pemeriksaan Tambahan
- Pemeriksaan Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB), BMI, lingkaran
pinggang, TD
- Pemeriksaan laboratorium, DPL, fungsi liver, profil lipid, fungsi
ginjal, glukosa sewaktu, kadar litium plasma
- YMRS, MADRS, MDQ, PANSS-EC Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa skala diagnostik lebih superior bila dibandingkan
dengan wawancara klinis.
h. Penatalaksanaan
- Terapi Gangguan Bipolar, Agitasi Akut Injeksi
1) Lini I
a) Injkesi IM Aripiprazol, dosis adalah 9,75 mg/mL injeksi,
maksimum adalah 29,25mg/hari (tiga kali injeksi per hari
dengan interval dua jam).
b) Injeksi IM Olanzapin, dosis 10 mg/injeksi, maksimum adalah
30 mg/hari. Interval pengulangan injeksi adalah dua jam.
2) Lini II
a) Injeksi IM Haloperidol yaitu 5 mg/kali injeksi. Dapat diulang
setelah 30 menit. Dosis maksimum adalah 15 mg/hari.
b) Injeksi IM Diazepam yaitu 10 mg/kali injeksi. Dosis 20-30
mg/hari. Dapat diberikan bersamaan dengan injeksi
haloperidol IM. Jangan dicampur dalam satu jarum suntik.
- Terapi Gangguan Bipolar, Episod Mania Akut Oral
Oral
1) Lini I
Litium, divalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR,
aripiprazol, litium atau divalproat+risperidon, litium atau
divalproat+quetiapin, litium atau divalproat+olanzapin, litium atau
divalproat + aripiprazol
2) Lini II
Karbamazepin, terapi kejang listrik (TKL), litium+divalproat,
paliperidon
3) Lini III
Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat+haloperidol,
litium+karbamazepin, klozapin.
Tidak direkomendasikan
Gabapentin, topiramat, lamotrigin, risperidon+karbamazepin,
olanzapin+karbamazepin.
- Terapi Gangguan Bipolar, Episod Depresi Akut Oral
Oral
1) Lini I Litium, lamotrigin, quetiapin, quetiapin XR, litium atau
divalproat+SSRI, olanzapin+SSRI, litium+divalproat
2) Lini II Quetiapin+SSRI, divalproat, litium atau divalproat+
lamotrigin
3) Lini III Karbamazepin, olanzapin, litium+karbamazepin, litium
atau divalproat+venlafaksin, litium+MAOI, TKL, litium atau
divalproat atau AA+TCA, litium atau divalproat atau
karbamazepin+SSRI+lamotrigin, penambahan topiramat.

Tidak direkomendasikan

Gabapentin monoterapi, aripiprazol monoterapi.

- Terapi Rumatan pada Gangguan Bipolar I


1) Lini I
Litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin, quetiapin,
litium atau divalproat+quetiapin, Risperidon Injeksi Jangka
Panjang (RIJP), penambahan RIJP, aripiprazol.
2) Lini II
Karbamazepin, litium+divalproat, litium+karbamazepin, litium
atau divalproat+olanzapin, litium+risperidon, litium+ lamotrigin,
olanzapin+fluoksetin
3) Lini III
Penambahan fenitoin, penambahan olanzapin, penambahan ECT,
penambahan topiramat, penambahan asam lemak omega-3,
penambahan okskarbazepin.

Tidak direkomendasikan

Gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi.

- Terapi Gangguan Bipolar II, Episod Depresi Akut


1) Lini I
Quetiapin
2) Lini II
Litium, lamotrigin, divalproat, litium atau divalproat +
antidepresan, litium + divalproat, antipsikotika atipik +
antidepresan
3) Lini III Antidepresan monoterapi (terutama untuk pasien yang
jarang mengalami hipomania).
- Terapi Rumatan Gangguan Bipolar
1) Lini I
Litium, lamotrigin
2) Lini II
Divalproat, litium atau divalproat atau antipsikotika atipik +
antidepresan, kombinasi dua dari: litium, lamotrigin, divalproat,
atau antipsikotika atipik
3) Lini III
Karbamazepin, antipsikotika atipik, ECT.
Tidak direkomendasikan
Gabapentin.
Intervensi Psikososial
Intervensi psikososial meliputi berbagai pendekatan misalnya,
Cognitive Behavioural Therapy (CBT), terapi keluarga, terapi
interpersonal, terapi kelompok, psikoedukasi, dan berbagai bentuk terapi
psikologi atau psikososial lainya. Intervensi psikososial sangat perlu
untuk mempertahankan keadaan remisi.
i. Prognosis
Prognosis gangguan bipolar I lebih buruk bila dibandingkan
dengan gangguan depresi mayor.Sekitar 40%-50% pasien dengan
gangguan bipolar I mengalami kekambuhan dalam dua tahun setelah
episod pertama.Sekitar 7% pasien dengan gangguan bipolar tidak
mengalami kekambuhan.Sebanyak 45% mengalami lebih dari satu episod
dan 40% menjadi kronik.Prognosis gangguan bipolar II belum begitu
banyak diteliti. Diagnosisnya lebih stabil dan merupakan penyakit kronik
yang memerlukan terapi jangka panjang.

Daftar Pustaka

1. Martono H. H., Pranarka K. Buku Ajar Budhi-Darmojo Geriatri (Ilmu


Kesehatan Lanjut), Edisi ke-5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ; 2015. Hlm :
885 - 94.
2. Sunarti S, Ratnawati R, Nugrahenny D, dkk. Prinsip Dasar Kesehatan Lanjut
Usia (Geriatri). Malang : UB Press ; 2019. Hlm : 123 - 55.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa.

Anda mungkin juga menyukai