a. Definisi
Depresi pada lanjut usia sangat sering terjadi dan secara bermakna
menurunn kan kualitas kehidupan para lansia. Depresi sering dianggap
sebagai bagian yang biasa dari proses penuaan sehingga sering tidak
menjadi perhatian. Akibat lebih lanjut yang dapat dialami para lansia
yang depresi adalah peningkatan risiko mendapatkan berbagai penyakit,
sehingga sering ada bersamaan dengan penyakit diabetes melitus,
hipertensi, sindroma metabolik, gangguan jantung koroner, kanker, asma
dan hendaya kognitif dan demensia. Dampak ini semua adalah
morbiditas dan mortalitas dan hendaya fungsi.
Depresi adalah masalah medis yang serius dengan melibatkan
gejala-gejala yang berkaitan dengan mood, kognitif dan gejala fisik.
Depresi dan gangguan suasana hati berhubungan dengan masalah
kesehatan terbesar di dunia. Banyaknya tekanan kehidupan, stres
interpersonal dan penolakan sosial, menjadi faktor risiko terbesar
mengalami depresi. Depresi adalah suatu kondisi seseorang merasa sedih,
kecewa saat mengalami suatu perubahan, kehilangan, kegagalan dan
menjadi patologis ketika tidak mampu beradaptasi (A. K. Townsend et
al., 2009).
Depresi merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
secara afektif, fisiologis, kognitif dan perilaku sehingga mengubah pola
dan respon yang biasa dilakukan (Montgomery, 2011; Thompson &
Binder-Macleod, 2006).
b. Factor Resiko
Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :
1) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira
40 tahun; dan 50% dari pasien memiliki onset anatara usia 20-50
tahun.
2) Jenis kelamin
Pada pengamatan yang hampir uiversal, terlepas dari kultur atau
negara, terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali
lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin
disebabkan oleh rendahnya kesehatan maternal
3) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada
usia dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik
yang baik. Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang
hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap
depresi 2,2 kali lebih besar.
4) Status pernikahan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau
yang tercerai atau berpisah.
c. Etiologi dan Patofisiologi
Faktor risiko timbulnya gejala depresi pada lansia selain karena
faktor usia, adalah wanita (tak menikah dan janda), lebih banyak
disabilitas fisik (adanya penyakit fisik, ada gangguan kognitif atau
demensia, problem tidur kronik dan ansietas), status sosial ekonomi yang
kurang, adanya kehilangan (pasangan atau orang terdekat), stres kronik
atau mengalami kehidupan yang penuh stresor, kurangnya dukungan
psikososial (loneliness/social isolation). Sedangkan abnormalitas
kepribadian, riwayat gangguan psikiatri sebelumnya, disfungsi
perkawinan lebih sebagai faktor risiko pada depresi dengan onset yang
lebih muda (Blazer, 2003; Gallagher et al., 2009).
Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Adapun faktor
biologis, faktor bawaan atau keturunan, faktor yang berhubungan dengan
perkembangan seperti kehilangan orang tua sejak kecil, faktor
psikososial, dan faktor lingkungan, yang menjadi satu kesatuan
mengakibatkan depresi.
Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut
bisa berupa:
1) Faktor Biologis
Faktor biologis yang dapat menyebabkan terjadinya depresi dapat
dibagi menjadi dua hal yaitu disregulasi biogenik amin dan
disregulasi neuroendokrin. Abnormalitas metabolit biogenik amin
yang sering dijumpai pada depresi yaitu 5 hydroxy indoleacetic acid
(5HIAA), homovalinic acid (HVA), 3-methoxy 4-hydrophenylglycol
(MHPG), sebagian besar penelitian melaporkan bahwa penderita
gangguan depresi menunjukkan berbagai macam abnormalitas
metabolik biogenikamin pada darah, urin dan cairan serebrospinal.
Keadaan tersebut endukung hipotesis ganggua depresi berhubungan
dengan disregulasi biogenikamin. Dari biogenik amin, serotonin dan
norepinefrin merupakan neurotransmiter yang paling berperan dalam
patofisiologi depresi.
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik
antidepresan mungkin merupakan peran langsung sistem
noradrenergik dalam depresi. Bukti lain yang juga melibatkan
reseptor beta2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan reseptor
yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinephrin.
Reseptor beta2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik
dan mengatur jumlah pelepasan serotonin.
Serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter sistem
menunjukan keterlibatan dalam patofisiologi gangguan afektif, dan
obat-obatan yang meningkatkan aktifitas serotonergik pada umumnya
memberi efek antidepresan pada pasien . Selain itu , 5 - HT dan / atau
metabolitnya, 5-HIAA, ditemukan rendah pada urin dan cairan
serebrospinal pasien dengan penyakit afektif.14 Hal ini juga
dibuktikan terdapat kadar 5-HT yang rendah pada otak korban bunuh
diri dibandingkan dengan kontrol. Selain itu , ada beberapa bukti
bahwa terdapat penurunan metabolit serotonin, 5 – hydroxyindole
acetic acid (5-HIAA) dan peningkatan jumlah reseptor serotnin
postsinaptik 5- hydroxytryptaminetype 2 (5HT2) di korteks prefrontal
pada kelompok bunuh diri.
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan
subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi
regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperkaya antara
dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan
depresi adalah jalur dopamin mesolimbic mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif
pada depresi.
2) Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode
pertama, dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang
mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama menyebabkan
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan sistem sinyal
intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan
kontak sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi
mengalami episode berulang gangguan mood, sekalipun tanpa
stressor dari luar.
Orang dengan beberapa gangguan kepribadian seperti,
obsesifkompulsif, histeris, dan yang ada pada garis batasnya,
mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena depresi dari
pada orang dengan kepribadian antisosial atau paranoid. Pada
pengertian psikodinamik depresi dijelaskan oleh Sigmund Freud dan
dikembangkan oleh Karl Abraham yang diklasifikasikan dalam 4
teori: (1) gangguan pada hubungan bayi dan ibu selama fase oral (10-
18 bulan awal kehidupan) sehinga bisa terjadi depresi; (2) depresi
dapat dihubungkan dengan kehilangan objek secara nyata atau
imajinasi; (3) Introjeksi dari kehilangan objek adalah mekanisme
pertahanan dari stress yang berhubungan dengan kehilangan objek
tersebut (4) karena kehilangan objek berkenaan dengan campuran
cinta dan benci, perasaan marah berlangsung didalam hati.
3) Faktor Genetik
Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat pada
kromosom 11 Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah
seorang dari orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27 %
anaknya akan menderita gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua
orang tuanya menderita depresi maka kemungkinanya meningkat
menjadi 50 – 75%.
Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu penelitian
dinyatakan bahwa gen-gen yang berhubungan dengan risiko yang
meningkatkan untuk lesi kardiovaskular dapat meningkatkan
kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif. Penelitian lain
melaporkan bahwa predisposisi genetis untuk gangguan depresif
mayor pada orang usia lanjut dapat dimediasi oleh adanya lesi
vascular.
4) Gangguan pada Otak
Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai
salah satu penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia
lanjut adalah penyakit cerebrovaskular, yang mana gangguan ini
dapat sebagai faktor predisposisi, presipitasi atau mempertahankan
gejala-gejala gangguan depresif pada orang usia lanjut.
5) Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin
Istilah biogenik amin umumnya digunakan untuk komponen
katekolamin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Sistem
neuron menggunakan biogenik amin relatif kecil dalam sekelompok
sel yang berada di batang otak.
Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai
neurotransmiter. Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi
adalah norepinefrin dan serotonin.Pada penelitian postmortem
didapatkan penurunan konsentrasi serotonin dalam otak penderita
depresi. Selain itu juga ditemukan adanya penurunan aktivitas
dopaminergik. Hal ini mendukung hipotesis bahwa gangguan depresi
berhubungan dengan biogenic.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Robinson, dkk.,
mendapatkan bahwa konsentrasi norepinephrin dan serotonin
berkurang sesuai dengan bertambahnya usia, tetapi metabolit 5-
HIAA dan enzim monoamineoksidase meningkat sesuai
pertambahan usia.
6) Perubahan Endokrin
Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik
-hipotalamus-hipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan
sekresi kortisol. Selain itu juga ditemukan juga penurunan hormon
lain seperti GH, LH, FSH, dan testosteron.
Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan penurunan kadar
hormon estrogen pada wanita, testosteron pada pria, dan hormon
pertumbuhan pada pria dan wanita. Penurunan kadar hormon
tersebut sejalan dengan perubahan fisiologis karena pertambahan
usia. Sehingga dengan bertambahnya usia, proses degenerasi sel-sel
dari organ tubuh makin meningkat, termasuk di antaranya
meningkatnya proses degenerasi sel-sel organ tubuh yang
memproduksi hormon tersebut makin berkurang. Dengan penurunan
kadar hormon tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi
neurotransmitter terutama serotonin dan norepinephrin.
7) Masalah kesehatan
Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan kronis, kemunduran
kognitif serta kerusakan bagian tubuh yang disebabkan karena
pembedahan atau penyakit dapat menyebabkan individu lanjut usia
jatuh ke dalam kondisi depresi.
d. Penegakkan diagnosis (instrumene pemeriksaan)
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah
sebagai berikut:
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan (anhedonia)
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.
Gejala Lainnya :
Prinsip pengobatan
Memilih antidepresan untuk lansia, perlu mempertimbangkan tipe
depresi, kondisi medisnya, interaksi dengan obatobatan lain yang
dikonsumsi, respon terhadap medikasi antidepresan terdahulu bila pernah
menggunakan dan potensi penggunaan berlebihan. Depresi psikotik tidak
berespon hanya dengan antidepresan monoterapi, depresi bipolar juga
memerlukan obat penstabil mood.
Pada kondisi medis, hati-hati penggunaan antikolinergik dapat
memperburuk penyakit demensia, gangguan kerdiovaskuler, diabetes dan
penyakit Parkinson. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi postural dan
gangguan konduksi jantung. Perlu juga meminimalkan interaksi antara
obat. Golongan antidepresan trisiklik sebaiknya dihindari, karena letal
pada overdosis.
Dosis awal untuk lansia adalah separuh dosis dewasa muda untuk
meminimalkan efek samping. Peningkatan efek samping yang lebih
sering terjadi pada lansia karena perubahan metabolisme hepar akibat
penuaan, adanya penyakit fisik yang bersamaan dan interaksi obat.
Rekomendasi untuk ‘start low and go slow’ walaupun bukti saat ini
menunjukkan tidak perlu untuk mentitrasi naik pada semua individu.
Peningkatan dosis 1-2 minggu bila ditoleransi untuk mencapai dosis
terapi sesuai variasi individu. Bila tidak terjadi perbaikan yang signifikan
setelah 2-4 minggu pada dosis terapi, maka dinaikkan hingga didapatkan
perbaikan klinis, atau efek samping atau dosis maksimum sudah dicapai.
Monitor pada setiap kontrol tentang perbaikan depresi atau perburukan
dari depresi, adanya agitasi atau ansietas, percobaan bunuh diri
khususnya pada masa awal pengobatan. Tidak ada bukti peningkatan ide
untuk bunuh diri karena penggunaan antidepresan pada lansia. Pada
umumnya periode penurunan setiap 10 hari direkomendasikan untuk
semua antidepresan. Bila tidak ada perbaikan yang bermakna tetapi tidak
remisi sempurna setelah 4 minggu, maka ditunggu 4 minggu lagi.
Setelahnya pertimbangkan untuk menambahkan terapi add-on bila masih
belum remisi. Pilihan add-on terapi termasuk antidepresan dari golongan
lain, pemberian psikoterapi. Bila ditambahkan golongan antidepresn yang
lain, jangan lupa memonitor potensi terjadinya sindroma serotonin.
Secara psikologi, dapat dilakukan berbagai intervensi sebagai
berikut antara lain (Wilkins et al., 2010): Pada keadaan pasien masih
dapat diajak bercakap-cakap, maka dapat dilakukan berbagai psikoterapi
untuk gangguan depresinya. Namun bila depresi cukup parah, maka lebih
ke fokus pada latihan dan perilaku pasien. Terapi non psikofarmaka yang
dapat diberikan misalnya Reminiscene therapy, Cognitive Behavioral
Therapy (CBT), Problem Adaptation Therapy (PATH).
Perhatian pada nutrisi sangat penting pada depresi pada lansia,
termasuk pengukuran berat badan dan tinggi badan, riwayat turunnya
berat badan, tes laboratorium untuk albumin, kolesterol, akan
memperparah kondisi depresi pada lansia. Melakukan exercise rutin dan
ringan seperti brain gym, Tail Chi dapat memperbaiki mood dan kognitif.
Secara spiritual, perlu mendapat perhatian pada individu lansia
yang depresi. Ini berhubungan dengan makna kehidupan dan akhir
pengabdian dari kehidupannya. Beberapa studi mengusulkan bahwa
religious coping, yaitu persepsi individu bahwa religius adalah faktor
yang paling penting dalam mengatasi masalah kehidupan, berhubungan
dengan kesehatan fisik dan emosi. Ditemukan bahwa religious coping
dapat membantu tipe depresi tertentu termasuk kehilangan minat,
perasaan tidak berharga, penarikan dari interaksi sosial, kehilangan
harapan dan gejala kognitif yang lain dari depresi. Religious coping juga
menurunkan gejala somatik (Blazer DG, 2003).
- Bipolar
a. Definisi
Tidak direkomendasikan
Tidak direkomendasikan
Daftar Pustaka